Artikel

Minggu, 19 Januari 2014

COLOUR BLIND/BUTA WARNA: WUJUD KEKERASAN SIMBOLIK?




Ditulis oleh: Nur Bintang*

   

"Bahasa merupakan sarana perwujudan simbolik
dimana pihak yang berkuasa akan menguasai ruang komunikasinya"
(Pierre Bourdieu, filsuf sosial, sosiolog postmodern dari Perancis)      



httpmeetdoctor.comuploadstaxonomyshutterstock_65409730.jpg


Jika dahulu terdapat praktek apartheid atau bahkan rasisme (diskriminasi terhadap suatu ras suku bangsa) yang sangat ditentang karena dianggap melanggar batas hak-hak asasi manusia namun kini masih saja terdapat praktek kekerasan simbolik terhadap para penyandang cacat  mata ‘buta warna’ yang saya biasa menyebutkan melalui istilah sendiri dengan nama colour blindheid (diskriminasi terhadap penderita buta warna) atau mungkin penyandang disabilitas lain (menyangkut keterbatasan fisik yang dimiliki seseorang). Negara seharusnya dapat berbenah dan mengakui hak-hak asasi manusia dalam penghidupan ekonomi terutama dalam hal ‘mendapatkan pekerjaan’ bagi seluruh warga negaranya tanpa terkecuali yang dijamin oleh undang-undang. 

Namun perkembangan sosial masyarakat dewasa ini telah mengakibatkan banyak para penderita buta warna yang memiliki integritas, kecakapan, dan potensi terpaksa harus kalah bersaing terlebih dahulu dalam bursa pencarian kerja akibat adanya peraturan awal larangan rekruitmen (lowongan pekerjaan) di beberapa perusahaan hingga instansi pemerintah untuk tidak menerima para penderita buta warna terutama bagi para penderita buta warna total atau sebagian (parsial). Dalam pandangan saya, hal ini merupakan sebuah bentuk diskriminasi dan wujud praktek kekerasan simbolik! Maka tidak heran jika sosok Prof. Dr. Shinobu Ishihara dari Universitas Tokyo, Jepang penemu buku tes buta warna yang melegenda ini menjadi tokoh nomor satu yang paling banyak dibenci, dicaci bahkan dihujat oleh hampir semua penderita buta warna di seluruh dunia karena dianggap menemukan praktek diskriminasi baru terkait pembatasan hak sosial terhadap para penderita buta warna.


Prof. Dr. Shinobu Ishihara, penemu tes buta warna
Semua manusia dimanapun ia berada pasti menginginkan terlahir dalam kondisi fisik yang normal namun terkadang Tuhan berkata lain dengan memberikan kekurangan dan kelebihan dari setiap makhluk yang diciptakan-Nya. Buta warna sendiri pada umumnya bukanlah sejenis penyakit melainkan cacat mata yang berasal dari faktor genetis bawaan dari orang tua (biasanya berasal dari garis keturunan ibu atau dari garis keturunan ayah yang dibawa melalui kromosom X) yang diturunkan kepada anak atau kepada cucunya (bagi ayah penderita buta warna berpeluang besar menurunkan genetik buta warna kepada anak perempuannya dan bagi pihak ibu penderita buta warna berpeluang besar menurunkan genetik buta warna kepada anak laki-lakinya). Namun ada juga penderita buta warna yang disebabkan bukan berasal dari faktor genetis (keturunan) melainkan akibat dari faktor dari luar (kemungkinan kecil) seperti benturan kepala akibat mengalami kecelakaan, keracunan mata, kekurangan gizi, atau terkena sejenis virus yang menyerang sel mata pada janin ketika dahulu masih berada dalam kandungan dan lain sebagainya. Cacat mata ‘buta warna’ untuk saat ini belum dapat disembuhkan tetapi bisa dikurangi dampaknya melalui penggunaan lensa warna pada kacamata khusus.

Skema 'buta warna' yang diturunkan secara genetis
Jika sudah ada bawaan genetis cacat mata buta warna yang berasal dari orang tua biasanya seorang anak memiliki resiko besar untuk menjadi penderita buta warna (baik total maupun parsial). Kebanyakan penderita buta warna pada umumnya adalah berjenis kelamin laki-laki sebesar 98% dan berjenis kelamin perempuan sebesar 2% sebagai penderita atau pembawa genetis buta warna saja walaupun dirinya tidak menderita buta warna. Secara kasuistis kebanyakan dari penderita buta warna merupakan anak bungsu dalam keluarganya. Saat ini diperkirakan ada 40 juta orang pengidap buta warna di seluruh dunia dengan perbandingan rata-rata 1:12 dari setiap jenis kelamin laki-laki dan 1: 200 dari setiap jenis kelamin perempuan dari setiap populasi penduduk.

Penderita buta warna parsial (sebagian) ini biasanya masih bisa melihat warna secara normal namun hanya ada beberapa warna-warna tertentu yang dimana penderita ini tidak bisa membedakan jenis warnanya. Hal ini tentu sangat lain dengan penderita buta warna total yang hanya bisa melihat warna hitam dan putih saja. Namun untuk penderita buta warna total saat ini sudah sangat jarang ditemukan karena pada umumnya populasi penderita buta warna paling banyak ditemui saat ini di dunia adalah penderita buta warna sebagian (parsial). Adapun jenis-jenis buta warna tersebut adalah sebagai berikut:

1.  Trikromasi dimana mata penderita memiliki sensitivitas warna dari satu jenis atau lebih sel kerucut. Penderita yang lemah terhadap warna hijau (deutramali), penderita yang lemah terhadap warna merah (protranomali), dan penderita yang lemah terhadap warna biru (tritanomali).
2.  Dikromasi dimana penderita tidak memiliki salah satu sel kerucut pada retina mata. Penderita memiliki retina mata yang tidak memiliki sel kerucut yang peka terhadap warna hijau (deuteranopia), penderita memiliki retina mata yang tidak memiliki sel kerucut yang peka terhadap warna merah (protanopia), penderita memiliki retina mata yang tidak memiliki sel kerucut yang peka terhadap warna biru (tripanopia). 
3.  Monokromasi dimana penderita tidak memiliki sama sekali sel kerucut pada retina mata sehingga tidak bisa membedakan warna apapun sehingga menderita buta warna total  (akromatopsia) yang hanya bisa melihat warna hitam dan putih saja.

Bagi para penderita buta warna pada zaman sekarang ini mungkin benar-benar seperti merasa mengalami praktek diskriminasi, menjadi korban kekerasan simbolik, dan penolakan sosial terhadap akses hak pendidikan dan hak ekonomi (pekerjaan). Ada terdapat ribuan bahkan jutaan para penderita buta warna yang harus kecewa, menangis, sedih, rendah diri, frustasi, merasa tertekan karena cita-cita mereka untuk melanjutkan studi ke sebuah sekolah favorit, jurusan favorit di universitas, bahkan pekerjaan yang diimpikan selama ini pada perusahaan besar atau instansi pemerintah harus gagal hanya karena sebuah seleksi tes kesehatan (medical check up) terhadap mata yaitu Tes Ishihara! (melihat simbol angka, garis atau huruf dalam bentuk titik-titik warna yang dicampur). Untuk jurusan atau pekerjaan yang wajib berhubungan dengan penggunaan warna seperti kemiliteran, psikologi, biologi, kimia, kedokteran, ilmu gizi, farmasi, teknik, agronomi, geografi, elektro, pertanian, pelayaran dan lain-lain menurut pandangan saya pribadi masih bisa dimaklumi untuk menghindari human error karena pekerjaannya yang menyangkut resiko bahaya bagi keberlangsungan institusi dan orang lain di sekitarnya. Sayangnya, terkadang masih ada juga beberapa sekolah bahkan beberapa perusahaan maupun instansi pemerintah yang dimana dalam studi atau pekerjaan sehari-harinya tidak banyak bersinggungan dengan penggunaan warna namun tetap ‘MENOLAK MENERIMA’ murid, mahasiswa, atau karyawan/pegawai yang menderita ‘buta warna’ tanpa melihat kompetensi dan latar belakang dari para penderita buta warna tersebut. 


Contoh gambar Tes Ishihara untuk mengetahui status buta warna
 
Jika saya telisik menggunakan kacamata pemikiran filsuf sosial sekaligus sosiolog postmodern lulusan dari kampus École Normale Supérieure, Paris, Perancis yaitu Pierre Bourdieu yang melihat hubungan dominasi (relations of dominations) dalam medan sosial terhadap kepemilikan akses terhadap modal yang dimana bahwa istilah kata “colour blind” atau “buta warna” menjadi simbol pihak yang didominasi karena ada pihak-pihak yang memproduksi dan mempertinggi nilai simboliknya sendiri sebagai “orang sempurna tanpa cacat” dengan menggunakan strategi perbedaan (distinction) dengan berusaha membedakan diri dari pihak yang ada di bawahnya. Kelompok dominan berusaha memperbesar nilai simbolik yang dimilikinya sebagai manusia sempurna tanpa cacat tubuh yang dapat bekerja baik. Para penderita buta warna ditundukkan melalui regulasi (peraturan) resmi melalui pernyataan bahasa oleh pihak-pihak yang merasa tinggi dengan nilai simboliknya hanya untuk sekedar mempertahankan praktek dominasi. Hal ini dapat dilihat dari modal memiliki fisik sempurna melalui komunikasi dalam iklan penerimaan murid di sekolah hingga iklan lowongan pekerjaan seperti kalimat persyaratan ‘sehat jasmani dan rohani’ lebih menjurus terhadap persepsi ‘tidak cacat’ dan ‘bebas dari buta warna’ sehingga menimbulkan kesan berbeda dari yang lain nampaknya sudah menjadi basis dominasi dalam struktur sosial terhadap penyandang disabilitas termasuk penderita buta warna yang merasa dibatasi hak pendidikan dan ekonominya terutama dalam mendapatkan pekerjaan.

Pierre Bourdieu, sosiolog postmodern dari Perancis
Tanpa melepaskan dari analisa pemikiran Bourdieu jika ternyata praktek dominasi dan kekerasan simbolik ini menunjukkan ketidaksetaraan suatu kelompok yang dianggap tidak tinggi nilai simboliknya terhadap suatu akses seperti ekonomi, teknologi, atau bahkan budaya. Bagi Bourdieu kekerasan simbolik tidak dapat dilepaskan dari habitus, medan, dan praksis bahwa modal yang dimiliki suatu individu dalam medan sosial akan melahirkan praktik sosial. Akibatnya adalah relasi kekuasaan (power relations) sekelompok ‘orang sempurna’ sebagai mayoritas yang dapat leluasa melakukan tekanan sosial lebih besar terhadap sekelompok ‘orang yang tidak sempurna’ sebagai minoritas sehingga terpaksa merasa harus dipinggirkan. Khusus dalam pembahasan kali ini adalah para penderita buta warna atau bahkan penyandang disabilitas lain yang menjadi pihak yang didominasi dan didiskriminasi. Para penderita buta warna jika dikaji menggunakan teori sosial analisa Bourdieu ini seperti nampak tidak dapat melakukan perubahan struktur sosial karena tidak memiliki akses terhadap modal sosial dan budaya. Para penderita buta warna dalam hal ini mengalami praktek ketidaksetaraan relasi kuasa dalam medan sosial (social sphere).

Solusinya? pemerintah sudah seharusnya mulai berbenah dengan membuat kebijakan mengenai peraturan tenaga kerja yang lebih berpihak kepada hak sosial dari para penderita buta warna atau para penyandang disabilitas lain dalam mengakses pendidikan dan pekerjaan. Perlu adanya deteksi lebih dini (usia 4 tahun) terhadap anak-anak penderita buta warna agar dapat merancang masa depannya secara lebih baik seperti melalui sosialisasi pendidikan dan pekerjaan dari pihak sekolah atau pemerintah mengenai jurusan studi di sekolah atau universitas yang dapat dimasuki oleh para penderita buta warna sehingga setelah lulus nanti para penderita buta warna dapat mencari pekerjaan atau memutuskan mandiri menjadi pengusaha sesuai dengan bakat, keahlian dan kemampuan bidangnya masing-masing. Sekedar saran, sebaiknya para penderita buta warna untuk lebih memilih jurusan sosial atau IPS ketimbang jurusan eksak atau IPA karena dalam jurusan ilmu sosial pemahaman mengenai bidang studi atau bidang pekerjaan nantinya tidak banyak berkaitan langsung dengan hal-hal teknis penggunaan warna.

Jika dilihat dari sistem kesempatan dan penerimaan tenaga kerja saat ini di Indonesia walaupun sudah ada kebijakan dari pemerintah mengenai pengaturan hak-hak penyandang disabilitas (terutama dalam hak pekerjaan) namun nampaknya masih belum menjadi skala prioritas dan perhatian bagi kebanyakan perusahaan maupun instansi pemerintah di Indonesia mengenai hal rekruitmen bagi calon karyawan atau calon pegawainya. Pemerintah di Indonesia seharusnya mulai berkaca, mencontoh dan mencoba membuat kontrol regulasi yang tepat mengenai perlakuan hak-hak asasi manusia bagi penyandang disabilitas seperti yang sudah diterapkan pada negara-negara maju di Eropa Barat yang saat ini dinilai cukup baik. 

Perusahaan dan instansi pemerintah yang memberikan peluang pekerjaan bagi para penyandang disabilitas terutama bagi penderita buta warna di Indonesia saat ini jumlahnya dianggap masih sangat minim karena penampilan fisik normal masih menjadi kebutuhan prioritas bagi rekruitmen calon karyawan atau calon pegawai di berbagai perusahaan atau instansi pemerintah saat ini. Sekedar saran, bila perlu pemerintah kini harus membuat aturan tegas untuk mencabut izin operasional suatu perusahaan atau memberikan peringatan tertulis atau sanksi kepada instansi pemerintah jika dianggap tidak memfasilitasi atau memberi kesempatan kerja terkait hak ekonomi bagi penyandang disabilitas termasuk para penderita buta warna yang dimana bidang pekerjaannya tidak menyangkut persoalan teknis penggunaan warna.

Saya pernah membaca sebuah koran berbahasa asing dari luar negeri jika ternyata perusahaan swasta dan instansi pemerintah negara-negara maju di Eropa Barat bahkan di Amerika Serikat pada abad 21 secara humanis sudah mulai menerapkan kebijakan memberikan peluang hak ekonomi (lowongan pekerjaan) secara merata kepada semua warga negaranya tanpa melihat perbedaan batasan umur (dewasa), ras/suku bangsa, agama, status/kelas sosial terutama bagi penyandang disabilitas termasuk para penderita buta warna (hingga sudah di atas angka 50% dari jumlah pekerjanya). Perusahaan-perusahaan dan instansi-instansi pemerintah di Eropa Barat saat ini kini sudah mulai memperhatikan dan memfasilitasi rekruitmen keberadaan terhadap calon karyawan yang berasal dari para penyandang disabilitas terutama bagi para penderita buta warna yang dinilai cocok oleh para tim psikolog untuk dapat bekerja pada bidang yang tidak berhubungan dengan penggunaan teknis warna yang biasanya terkait pada bidang-bidang sosial kemasyarakatan, analis, evaluator, hubungan masyarakat, jurnalis, penulis yang mewakili atas nama perusahaan atau instansi pemerintah.

Terkadang di lingkungan sosial sekitar (terutama di Indonesia), kita sering menemukan para penderita buta warna yang menjadi pelamar kerja ternyata lolos ujian tes tertulis psikotes dan lolos ujian wawancara kerja serta berhasil menyisihkan puluhan, ratusan bahkan ribuan kandidat pelamar kerja lain yang memiliki kondisi fisik normal di berbagai perusahaan besar atau instansi pemerintah namun harus menerima kenyataan pahit harus ‘gugur’ di tengah jalan karena dianggap gagal dalam tahap final seleksi tes kesehatan (medical check up) oleh dokter yang berwenang karena divonis menderita buta warna. Sangat diakui jika sebenarnya para penderita ‘buta warna’ itu sendiri kebanyakan adalah orang-orang yang terlahir memiliki intelegensi tinggi, pemikir, analitis, dan cenderung dapat menjadi seorang yang jenius bahkan konon pada zaman ‘Perang Dunia’ melanda Eropa dahulu banyak serdadu tentara penderita buta warna tertentu di Eropa yang diterjunkan secara khusus ke medan perang sebagai navigator pada malam hari karena dianggap memiliki penglihatan detail yang lebih baik dibandingkan penglihatan tentara biasa yang memiliki kondisi mata normal dengan tujuan untuk mengetahui pergerakan musuh. Tuhan memberikan para penderita ‘buta warna’ dengan kekurangan beserta kelebihan yang dimilikinya.

                                     
Mark Zuckerberg, pembuat situs fenomenal jejaring sosial "facebook" merupakan penderita buta warna parsial yang kini sukses menjadi pengusaha top dunia

Neil Harbisson, seniman penderita buta warna total  pendiri yayasan nirlaba 'Cyborg Foundations'


Tentara navigator malam pada Perang Dunia ke-2 kebanyakan diambil dari penderita buta warna

Kita perlu mengenal sosok tokoh-tokoh besar dunia yang ternyata adalah seorang penderita buta warna diantaranya adalah ilmuwan penemu berat atom asal Inggris yaitu John Dalton; mantan Presiden Amerika Serikat yaitu Bill Clinton; Pangeran William dari Kerajaan Inggris; seniman yang menderita buta warna total (akromatopsia) yang mendirikan Cyborg Foundations, yayasan nirlaba yang mambantu manusia menjadi cyborg (manusia robot) terutama bagi para penyandang disabilitas yaitu Neil Harbisson; CEO & founder situs jejaring sosial ‘facebook’ yaitu Mark Zuckerberg; pencipta krayon senior yaitu Emerson Moser, artis-artis ternama dunia seperti Mark Twain, Paul Newman, Rutger Hauer, Bing Crosby, Meat Loaf, Keanu Reeves, Fred Rogers, Jack Nicklaus, Matt Lauer dan Bob Dole. Kisah perjuangan hidup para tokoh dunia sebagai penderita buta warna namun kini sukses dan berhasil mengubah dunia dapat menjadi acuan referensi bagi kita sebagai umat manusia untuk dapat terus melangkah maju. Semoga kesuksesan selalu menyertai langkah kita semua tanpa kecuali karena sukses adalah hak setiap manusia. Amin![] STOP DISKRIMINASI, STOP KEKERASAN SIMBOLIK…!!!

*Nur Bintang adalah pengamat sosial dan budaya

OOO

Minggu, 05 Januari 2014

“AMERICAN DREAM OR INDONESIAN DREAM ???”

Ditulis oleh: Nur Bintang*

Darkness cannot drive out darkness. Only light can do that." 
(Martin Luther King Jr.)



Film 'Scarface' yang  sangat fenomenal

          Slogan American Dream merupakan semboyan mimpi bagi kebanyakan masyarakat di  Amerika sendiri ataupun warga imigran yang hijrah ke Amerika hanya untuk merubah nasib, mencari pekerjaan dan kehidupan yang lebih baik. Kemajuan ekonomi di Amerika dengan paham kapitalismenya yang mendunia bagaikan intan permata yang banyak menarik pesona para imigran untuk hijrah ke Amerika Serikat. Saya teringat pada salah satu film Hollywood tahun 1983 yang berjudul ‘Scarface’ yang dimana tokoh utamanya diperankan oleh aktor kawakan Al Pacino. Film ini bercerita mengenai bos mafia Amerika yang bernama Tony Montana, seorang warga imigran asal Kuba yang melarikan diri dan mencari suaka ke Amerika Serikat akibat tekanan dari kebijakan politik dari pemerintah Kuba di bawah kepemimpinan Fidel Castro. Kegigihan perjuangan Antonio Montana dari seorang imigran pengangguran miskin di Amerika yang kemudian berusaha merubah nasib dari seorang pekerja serabutan yang menjadi pelayan di sebuah rumah makan hamburger, pengedar narkoba, hingga akhirnya sukses menjadi jutawan sekaligus bos mafia nomor satu di Amerika yang menguasai bisnis ritel narkoba di beberapa negara bagian di Amerika hingga sampai ke mancanegara. Ini hanya sekelumit film yang menceritakan tentang keinginan dan kegigihan seorang imigran yang ingin merubah nasib melalui usaha kerja keras di Amerika namun sayangnya dalam bentuk konotasi yang masih negatif.



Film 'The Pursuit of Hapyness' yang menginspirasi

Kisah nyata mengenai gambaran ‘American Dream’ ada juga yang dalam bentuk konotasi positif seperti film Hollywood tahun 2006 yang berjudul ‘The Pursuit of Happyness’. Film ini menceritakan mengenai kisah nyata perjuangan hidup seorang pria di Amerika Serikat bernama Chris Gardner (diperankan aktor Will Smith) yang bekerja sebagai sales alat-alat kesehatan yang kemudian jatuh bangkrut dan hidup miskin bahkan ditinggal pergi begitu saja oleh isterinya. Walaupun dia seorang tunawisma bahkan pernah tidur dan bertahan hidup sambil merawat anaknya yang masih kecil di sebuah WC umum untuk sekedar dapat beristirahat karena tidak memiliki cukup uang untuk menyewa sebuah apartemen atau losmen. Semangat hidupnya dalam merubah nasib yang lebih baik melalui usaha kerja kerasnya tidak sia-sia karena kemudian dia melamar pekerjaan dan berhasil diterima bekerja sebagai seorang pialang saham pada salah satu perusahaan swasta besar di Amerika hingga sukses berkarier dan memiliki posisi penting di perusahaan. Prestasi kerjanya yang dianggap bagus oleh perusahaan tempat dia bekerja memberikannya bonus berupa penghasilan yang mencapai jutaan dollar untuk setiap transaksi bisnisnya. Kesuksesan dan perjuangan kisah hidupnya dari orang miskin menjadi jutawan menjadi cermin gambaran nilai-nilai ‘American Dream’ yang masih melekat bagi kebanyakan masyarakat di Amerika Serikat.


Film 'The Butler' yang menyentuh dan humanis

         Adapun contoh ‘American Dream’ dari perjuangan para imigran di Amerika Serikat yang sangat menyentuh hati menurut pandangan saya dapat dilihat dari gambaran film Hollywood yang dibuat pada tahun 2013. Film yang diangkat dari sebuah kisah nyata ini berjudul ‘The Butler’. Film ini pada dasarnya menceritakan mengenai nilai-nilai perjuangan seorang kulit hitam yang hidup dalam tekanan diskriminasi superioritas bangsa kulit putih Eropa di Amerika Serikat pada masa lalu terhadap bangsa imigran kulit hitam Afrika di Amerika sebelum zaman pergerakan demonstrasi mahasiswa Amerika melalui gerakan hippie, flower generation, dan black liberation yang menentang kebijakan Perang Vietnam dan diskriminasi rasial terhadap warga imigran kulit hitam di Amerika pada dekade tahun 1960-an. Seorang pria kulit hitam yang bernama Cecil Gaines (diperankan oleh aktor Forest Whitaker) mempunyai mimpi untuk merubah nasib yang lebih baik. Kisah perjuangan hidupnya diawali dengan bekerja sebagai seorang pelayan rumah tangga biasa dan kemudian dapat beranjak menjadi pelayan pada salah satu hotel berbintang di Washington D.C. yaitu Hotel Exelsior hingga akhirnya, ia berhasil mendapat rekomendasi untuk bekerja menjadi pelayan di Gedung Putih, Washington D.C. dan semua hasil jerih payah kerja kerasnya selama ini berhasil mencukupi semua kebutuhan ekonomi keluarganya. Pekerjaannya selama bertahun-tahun sebagai pelayan di Gedung Putih saat itu lebih banyak hanya untuk melayani semua kebutuhan presiden-presiden Amerika Serikat yang mayoritas merupakan bangsa kulit putih hingga pada suatu saat, peristiwa yang mengharukan terjadi dimana Cecil Gaines, seorang kakek yang dahulu merupakan seorang pelayan kulit hitam yang sudah lama pensiun bekerja di Gedung Putih hampir selama 30 tahun lebih dan pernah merasakan praktek diskriminasi rasial kebijakan di negaranya di masa lalu mendapatkan sebuah kehormatan besar yaitu berupa undangan resmi atas nama Presiden Amerika Serikat untuk dapat bertemu langsung secara pribadi dengan presiden kulit hitam pertama dari Amerika Serikat yaitu Presiden Barack Obama.


American Dream diwujudkan melalui usaha kerja keras dan prestasi

American Dream bagi kebanyakan masyarakat di Amerika Serikat termasuk para imigran di sana ialah mengejar kesuksesan melalui usaha kerja keras dan prestasi. Tidak heran akibat semangat American Dream ini mengubah mindset kebanyakan warga di Amerika untuk lebih banyak berkiprah di sektor swasta sebagai buruh/karyawan atau berwirausaha di berbagai sektor lapangan pekerjaan dan berusaha memenangkan setiap kompetisi dan persaingan yang ada. Masih tidak terlalu banyak bagi warga masyarakat biasa di Amerika yang ingin berkiprah dan berkarier dalam instansi kantor-kantor pemerintahan dengan status pegawai negeri atau sebagai politikus agar bisa duduk di kursi parlemen (para politisi di Amerika Serikat kebanyakan masih didominasi oleh para aktivis, para akademisi, veteran atau pengusaha mapan yang sudah dikader lama oleh partai). Hal ini dapat dilihat dari perkembangan sektor perniagaan dari perusahaan-perusahaan swasta di Amerika yang sangat berkembang dan memberi banyak pemasukan pajak bagi negaranya walaupun sempat mengalami krisis ekonomi beberapa waktu lalu. Kota New York saat ini dianggap sebagai ikon kota yang paling maju dalam hal bisnis perniagaan dalam sektor swasta di Amerika bahkan secara tidak langsung telah menjadi lambang supremasi kapitalisme bagi kemajuan ekonomi di Amerika itu sendiri bahkan di dunia.

Bagaimana dengan Indonesian Dream di Indonesia saat ini? Saya sebagai orang Indonesia memiliki sudut pandang dan pendapat sendiri jika melihat mimpi kebanyakan orang Indonesia pada saat ini ialah menjadi caleg (calon legislatif) dengan duduk di kursi parlemen atau menjadi seorang abdi negara di berbagai instansi pemerintahan dengan status Pegawai Negeri Sipil. Mimpinya orang Indonesia ini adalah hak masing-masing warga negara Indonesia yang harus tetap kita hormati bersama. Fenomena perkembangan ‘Indonesia Dream’ ini terlihat sangat menarik untuk dikaji karena dahulu pada zaman Orde Lama di bawah pemerintahan Presiden Ir. Soekarno, kebanyakan mimpinya orang Indonesia pada saat itu belum mengarah pada persoalan spesifik sosial ekonomi tetapi lebih mengarah kepada aspek sosial kebangsaan dengan mengangkat harkat dan martabatnya sebagai bangsa berdikari dan merdeka yang lepas dari belenggu penjajahan asing dan setara dengan bangsa-bangsa lain di dunia (character building). 

Mimpi orang Indonesia ini kemudian bergeser ketika era Orde Baru berkuasa di bawah pemerintahan Presiden Soeharto dimana kebijakannya lebih mengarah kepada pembangunan ekonomi (economy building). Pada zaman inilah kebanyakan masyarakat di Indonesia memiliki mimpi yang hampir sama dengan mimpinya orang Amerika (American Dream) pada saat ini yakni bekerja pada sektor swasta, wirausaha, dan perniagaan. Pada zaman pemerintahan Presiden Soeharto tidak begitu banyak masyarakat Indonesia terutama yang berada di perkotaan yang tertarik untuk menjadi abdi negara (kecuali di daerah pedesaan dimana status menjadi abdi negara pada saat itu masih melekat tinggi) karena kecenderungan masyarakat Indonesia saat itu lebih tertarik berkiprah di sektor swasta terutama industri dengan banyaknya investasi dari pihak luar yang masuk ke Indonesia dan dianggap lebih menguntungkan.


ilustrasi: Pegawai Negeri Sipil di Indonesia

Mimpi orang Indonesia (Indonesian Dream) kini berubah mindset setelah zaman reformasi bergulir dengan turunnya Presiden Soeharto dari tahta presiden akibat praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme. Saat ini, kebanyakan mimpinya orang Indonesia jika saya perhatikan ialah menjadi caleg atau menjadi abdi negara akibat kelesuan yang dialami di sektor swasta setelah hantaman badai krisis ekonomi tahun 1997 di Asia termasuk Indonesia dan krisis ekonomi dunia pada akhir-akhir ini. Saya bisa menyebut pemerintah di Indonesia saat ini yang menurut istilah pandangan saya lebih mengarah kepada safety building. Mengapa saya sebut safety building? Karena pemerintah di Indonesia saat ini lebih condong mengamankan, memperhatikan dan meningkatkan kesejahteraan abdi negaranya terutama terkait tunjangan dan jaminan hari tua setelah sekian lama di masa lalu kurang mendapatkan perhatian. Pemerintahan dahulu dianggap lebih banyak memperhatikan pada sektor swasta terutama industri dalam usaha menggenjot laju pembangunan ekonomi. Hal inilah yang mendorong motif kebanyakan masyarakat biasa di Indonesia (tidak semuanya) berubah dengan alasan keamanan dan kenyamanan mencari jaminan tunjangan hari tua dengan bekerja menjadi abdi negara. Namun baik sektor negeri dan sektor swasta saat ini semuanya saling bergantung sama lain jika dilihat dari fungsinya secara ekonomi karena para pengusaha yang membayar pajak ke negara dan negara memberikan kemudahan izin usaha bagi pengusaha. Negara mengolah hasil uang pajak tersebut untuk melakukan pengembangan sarana dan prasarana bagi aktivitas warga selain untuk menggaji para pegawai negerinya. Dalam kajian postingan saya kali ini lebih khusus melihat dari aspek perkembangan kondisi sosial masyarakatnya.


ilustrasi: Sosialisasi iklan calon legislatif

Mimpi orang Indonesia (Indonesian Dream) yang lain selain menjadi abdi negara adalah menjadi calon legislatif di parlemen. Ini fenomena sosial yang cukup menarik dan unik bagi saya setelah era zaman reformasi bergulir. Hal ini berkaitan perbedaan kualitas politisi di Indonesia dengan politisi di Amerika. Kualitas politisi di Amerika dilihat dan dipilih berdasarkan prestasi track record, kaderisasi partai yang jelas serta dianggap ahli menurut kemampuan bidangnya yang kebanyakan diambil dari kalangan aktivis, akademisi, veteran maupun pengusaha mapan namun hal ini jauh berbeda dengan kondisi kebanyakan politisi di Indonesia yang lebih bersifat spontan, sedikit kaderisasi,  tidak melihat latar belakang keahlian karena yang lebih diutamakan adalah populer untuk dapat meraup suara terbanyak dan terpilih menjadi anggota legislatif. Akibatnya ialah beban biaya politik menjadi lebih besar hanya untuk dapat melakukan proses sosialisasi kepada masyarakat. Mimpinya orang Indonesia untuk menjadi caleg lebih banyak didominasi para elite sosial yang sudah memiliki status seperti artis, bintang film, ataupun pengusaha mapan namun tidak sedikit ada juga yang berasal dari kalangan akademisi, militer maupun rakyat biasa. Namun masih menjadi harapan bagi rakyat Indonesia untuk mendambakan caleg yang amanah dan idealis yang berjuang tidak atas nama partai saja tetapi juga berjuang atas nama rakyat.

Motif untuk menjadi caleg antara orang Amerika dan orang Indonesia nampak jelas berbeda. Jika orang Amerika menjadi caleg karena sudah dianggap mampu dan menguasai keahlian bidangnya serta mempunyai motif rasa nasionalisme untuk memajukan bangsa dan negaranya yang dipilih berdasarkan prestasi track record-nya namun jika kebanyakan orang Indonesia menjadi caleg  (tidak semuanya) nampaknya saat ini lebih banyak menjurus kepada popularitas selain motif ekonomi sebagai tempat mencari nafkah agar dapat mengganti biaya kampanye yang sudah dikeluarkan di masa lalu ketimbang rasa idealisme. Akibatnya, jabatan publik dapat berbahaya jika diisi oleh orang-orang yang kompetensinya masih diragukan karena kebanyakan modal paling utama untuk menjadi caleg di Indonesia masih didominasi bentuk ‘modal populer’ agar dapat meraup suara terbanyak ketimbang ‘modal keahlian.’ Harapan saya, semoga caleg yang ada di Indonesia pada masa yang akan datang lebih banyak dilihat pada aspek ‘modal keahlian.’ Tulisan ini hanya sekedar analisa saya mengenai pemetaan dalam membandingkan perbedaan mimpinya orang Amerika (American Dream) dengan mimpinya orang Indonesia atau (Indonesian Dream) yang dilihat dari perkembangan kondisi sosial masyarakat pada saat ini. Pada intinya, semua pilihan entah itu di sektor negeri atau di sektor swasta sama baiknya selama digunakan untuk membangun dan memajukan bangsa.[]

*Nur Bintang adalah pengamat sosial dan budaya.


ooo

Kamis, 02 Januari 2014

“DUGEM: DUNIA GEMERLAP DARI SISI LAIN”



Oleh: Nur Bintang*

 “Modernitas telah mengubah tempat-tempat hiburan sebagai alat konsumsi baru”
(George Ritzer: sosiolog, filsuf sosial)

 
ilustrasi: Aksi DJ (Disc Jockey) dalam dunia hiburan malam

Ini adalah postingan pertama saya pada edisi tahun baru 2014. Pada postingan kali ini, saya berusaha mengamati berdasarkan pegamatan sosial saya perihal aktivitas hiburan dunia malam atau yang biasa disebut dengan istilah “dugem” oleh para clubbers yang menyukai suasana dunia hiburan malam dengan melakukan dance di lantai dansa dengan diiringi suara hentakan musik disco yang dimainkan para DJ (Disc Jockey) sehingga dapat memeriahkan suasana pesta kawula muda. Saya memang dulu beberapa kali sering melakukan pemetaan dan pengamatan sosial mengenai gaya hidup (lifestyle) di beberapa tempat hiburan malam baik di Kota Purwokerto, Kota Yogyakarta, dan Kota Jakarta. Saya selaku pengamat sosial menganggap gaya hidup “clubbing” ke tempat hiburan malam memang sangatlah menarik untuk dikaji dari sudut pandang kajian ilmu sosial terutama sosiologi.

Dunia modernitas saat ini sebetulnya tidak bisa dilepaskan dari produksi perkembangan teknologi yang semakin praktis dan canggih, berkembangnya budaya popular, budaya massa, perkembangan teknologi informasi semacam gadget, internet, media massa seperti iklan, koran, dan majalah yang nampaknya hanya akan berujung akhir pada pola gaya konsumsi dari masyarakat itu sendiri. Rangkaian perkembangan budaya saat ini bergerak secara ekonomis dari proses produksi, distribusi, dan berakhir pada pola konsumsi. Perkembangan modernitas saat ini nampaknya telah mengubah gaya hidup kebanyakan masyarakat dewasa ini menuju pada tahap masyarakat postmodern yaitu masyarakat konsumen. Akibatnya, keberadaan paham kapitalistik semakin menguat di segala sendi kehidupan sosial hingga pada akhirnya kesejahteraan yang ditawarkan jalan kapitalisme telah menjadikan “tanda” sebagai elemen penting bagi eksistensi kehidupan masyarakat konsumer.

Saya beberapa kali melakukan investigasi atau riset kecil-kecilan dengan bertukar pikiran dan pendapat dengan rekan-rekan saya yang kebetulan memiliki hobi clubbing dan berusaha menyelami dan memahami pengalaman dunia sosial mereka terhadap makna ‘clubbing’ sebagai bagian dari eksistensi gaya hidup sosial anak muda masa kini. Kebanyakan rekan sejawat saya yang menyukai ‘dugem’ berpendapat jika clubbing merupakan ajang media sosialisasi untuk menunjukkan eksistensi diri dalam pergaulan sosial dan sekaligus sebagai ajang tempat refreshing untuk melepaskan semua kepenatan masalah dan hiruk-pikuk dari dunia nyata yang sesungguhnya. Secara tidak langsung saya bisa menangkap makna pesan dari rekan-rekan sejawat saya bahwa dugem adalah obat penawar masalah sesaat dari dunia nyata yang sesungguhnya seperti rasa bosan karena tekanan pekerjaan, masalah hidup dan lain-lain. Welcom in dream world! 

Memang cukup diakui, jika eksistensi diri terutama pergaulan dalam komunitas sosial di dunia hiburan malam memang sangatlah menarik untuk diteliti. Beberapa kali, saat saya melakukan pengamatan sosial di beberapa tempat hiburan malam menunjukkan adanya sebuah pola konsumsi individu dari sebuah identitas sosial seperti fenomena seorang individu yang banyak mengonsumsi dan memamerkan “tanda” produk barang industri dari merk tertentu yang berharga mahal hanya sekedar untuk meningkatkan status, gengsi, prestise dan penghormatan terhadap dirinya dalam ranah pergaulan sosial di komunitas. Menurut pandangan saya, hal ini juga dipengaruhi oleh dampak dari globalisasi perkembangan budaya Barat (Eropa dan Amerika) yang diimport langsung oleh generasi muda melalui media massa saat ini khususnya di Indonesia untuk dapat berperilaku gaya hidup modern sebagai “anak kota” atau “urban mentality.”


ilustrasi: Kemeriahan pesta dalam dunia industri hiburan malam

Perkembangan tempat-tempat hiburan malam semacam café, pub, diskotek dan sebagainya dewasa ini, kini berubah tidak lagi hanya menjadi sekedar tempat hiburan semata melainkan telah berubah menjadi areal ladang bisnis atau sebuah industri besar untuk meraih keuntungan (profit). Keberadaan industri tempat hiburan malam saat ini sedikit meminjam pandangan analisa seorang sosiolog kenamaan dari Universitas Maryland di Amerika Serikat yakni George Ritzer merupakan perwujudan dari alat-alat konsumsi baru dari perkembangan struktur budaya masyarakat modern yang kini berubah menjadi struktur masyarakat postmodern. Alat-alat konsumsi dalam hal ini akan berusaha menemukan cara baru agar tetap memikat dan mempesona (re-enchantment) untuk menghindarkan dari disenchantment (ketiadaan hal yang mempesona) sebagai akibat dari berkembangnya rasionalisasi kritis masyarakat terhadap makna akan budaya dan kebutuhannya. 

Industri hiburan malam akan berusaha mempertahankan pesona bisnis tempat hiburan malamnya dengan tujuan untuk mengontrol rasionalitas konsumennya yang dalam hal ini adalah para pengunjung café, pub, diskotek untuk ditawarkan sebuah sensasi serta pengalaman berbeda yang sulit untuk ditemukan di tempat hiburan lainnya terkait kompetisi persaingan di antara pengelola bisnis tempat hiburan malam. Pengelola café, pub, diskotek dalam hal ini akan berusaha sekuat tenaga untuk melakukan simulasi untuk menyatukan perpaduan antara realitas dan mimpi dan implosion sebagai wujud pelayanan terhadap kebutuhan konsumen jika dilihat dari aspek pandangan menurut sosiolog postmodernis asal Perancis yakni Jean Baudrillard. Pihak pengelola bisnis tempat hiburan malam dalam hal ini biasanya akan menyelenggarakan event-event hiburan malam yang lebih mempesona bagi para pengunjung. Event-event yang dijual dan ditawarkan kepada para pengunjung café, pub, atau diskotek biasanya tidak jauh-jauh dari wujud praktek kapitalisme kebudayaan seperti pertunjukkan musik band, aksi DJ, tarian sexy dancer. Suasana fantasi mimpi alam surga yang diliputi keceriaan, hura-hura, kebahagiaan itulah yang berusaha ditawarkan pihak pengelola tempat hiburan malam agar para pengunjung dapat terlepas dari realita sosialnya, melupakan tekanan, masalah dan rutinitas kehidupan di dunia nyata sesungguhnya. Saya bisa katakan para pengunjung tempat hiburan malam serasa hidup senang dalam dunia fantasi dan dunia mimpinya walaupun hanya sesaat. Inilah sebuah wujud dari bentuk rasionalitas semu manusia dalam masyarakat postmodern.

Keberadaan industri tempat hiburan malam saat ini adalah wujud dari alat-alat konsumsi baru dari perkembangan praktek kapitalisme kebudayaan dan kapitalisme ekonomi dari kehidupan masyarakat modern yang kemudian bertahap berubah menjadi kehidupan masyarakat postmodern. Gaya hidup masyarakat Barat (Eropa dan Amerika) saat ini, kini mulai menjadi model kiblat acuan nilai, makna sosial sebagai simbol budaya modern bagi masyarakat di Asia khususnya anak-anak muda di Indonesia. Orang-orang dianggap tidak berperilaku modern atau dianggap tidak berbudaya maju sebelum dapat bertingkah laku sesuai gaya hidup dari kultur Barat (Eropa dan Amerika) seperti belanja di mall, menggunakan produk barang-barang merek industri buatan Eropa dan Amerika, makan hamburger di Mc Donald atau makan ayam goreng di CFC, minum kopi di Starbucks, atau pergi minum bir ke tempat hiburan malam semacam café, pub atau diskotek. Semua perilaku Barat yang dianggap modern tersebut tidak lain adalah bentuk dari kegiatan konsumsi semata untuk membentuk citra identitas sosial.

Ketika saya berkunjung ke sebuah tempat hiburan malam semacam café, pub, atau diskotek maka diri saya merasakan semacam perjalanan singgah melewati dimensi dua dunia sosial yang lain. Wujud praktek kebudayaan postmodern semacam ini, saya anggap sebagai wujud perubahan kebudayaan ekonomi dari basis produksi (menurut pandangan Karl Marx) berubah menjadi basis konsumsi (menurut pandangan Jean Baudrillard). Untuk melakukan kegiatan konsumsi baik dalam praktek kehidupan ekonomi maupun praktek kehidupan budaya maka pasti tidak akan terlepas dari kebudayaan uang

Pada akhirnya, uang dalam kehidupan masyarakat postmodern nanti yang akan membedakan kuantitas dan kualitas konsumsi dan citra dari setiap individu. Uang dalam dunia postmodern merupakan motif utama dari berlangsungnya praktek wujud kebudayaan dan nampaknya eksistensi manusia sebagai individu tidak memiliki kekuasaan sepenuhnya untuk mengendalikan kesadaran akan rasionalitasnya karena secara tidak langsung manusia kini sudah dijadikan objek target market industry sebagai konsumen abadi yang tidak berdaya dari pengaruh godaan perkembangan kapitalisme budaya dan kapitalisme industri dalam ranah dunia sosial.

*Nur Bintang adalah seorang pengamat sosial dan budaya.