Artikel

Minggu, 10 Maret 2013

“KOSMOS versus KHAOS: Case Study about Violence Culture”



By: Nur Bintang, M.A.*

Fenomena aksi demonstrasi yang berujung menjadi tragedi bentrokan 

Situasi sosial di Indonesia saat ini, bila saya perhatikan sebagai analis dan pengamat sosial maka bisa dikatakan kondisi sosial masyarakat di Indonesia sedang mengalami “sakit”. Penyakit-penyakit sosial yang sering melanda masyarakat di Indonesia serasa tidak pernah kunjung habis dan terus silih-berganti. Analisa saya saat ini lebih focus terhadap masalah budaya kekerasan yang semakin akut di kalangan masyarakat di Indonesia. Masih segar di pikiran kita ketika marak pemberitaan media massa di Indonesia mengenai perang antar suku di beberapa daerah di Indonesia, kasus demonstrasi buruh atau demonstrasi mahasiswa yang berujung pada tragedi bentrokan dan kerusuhan, kasus perkelahian (tawuran) diantara para supporter kesebelasan sepak bola di Indonesia, kasus perkelahian (tawuran) yang dilakukan antar oknum mahasiswa berbagai universitas di Indonesia, kasus perkelahian (tawuran) para siswa antar sekolah SMA yang marak terjadi di Indonesia hingga sampai menimbulkan jatuhnya korban jiwa, budaya kekerasan pada beberapa institusi pendidikan di Indonesia terkait hubungan relasi kekuasaan diantara siswa senior dan siswa junior di sekolah, kasus kejahatan geng motor, dan berita paling terkini di media massa terkait bentrokan perseteruan konflik horizontal masyarakat yang mengatasnamakan kelompok, suku, bahkan agama yang justru malah melanggar nilai-nilai kemanusiaan yang diajarkan oleh  agama itu sendiri, hingga maraknya tindakan premanisme yang dilakukan para gangster di kota-kota besar. Dari berbagai fenomena kasuistis di atas nampaknya ada sesuatu yang salah pada masyarakat kita (something wrong in my society?) maka dalam pembahasan posting kali ini saya akan membahas mengenai konsonan “kekerasan” (violence) secara obyektif tanpa harus bersikap skeptis terhadap perubahan yang ada.

Budaya kekerasan pada masyarakat kita tidak terlepas dari perasaan “benci” atau dalam bahasa Inggris biasa disebut dengan “hate”. Jauh sebelum ada kajian secara spesifik mengenai budaya kekerasan telah terlebih dulu ada kajian mengenai “kebencian” dan “percintaan” dari seorang filsuf Yunani kuno pada masa pra-Sokratik yang masuk dalam kategori filsuf pluralis yaitu Empedokles yang lahir pada awal abad ke-5 SM. Filsuf Empedokles memberi kajian mengenai perubahan alam semesta yang terdiri dari “Cinta” (philotes) dan “Benci” (neikos). “Cinta” menurutnya adalah penguat unsur terbentuknya “kosmos” (keteraturan dunia) sedangkan “benci” adalah penguat unsur terbentuknya “khaos”(ketidakteraturan dunia). Dunia alam semesta ini menurut filsuf Empedokles bagaikan sebuah alur siklus yang dimana setiap zaman akan menceritakan unsur kejadiannya tersendiri. Empedokles menjelaskan bahwa pada zaman pertama bahwa semua unsur alam semesta termasuk makhluk hidup yang ada di dalamnya akan hidup dalam kedamaian dan keteraturan berlandaskan rasa cinta; zaman kedua bahwa perlahan timbul rasa benci yang berangsur-angsur mulai bangkit dan merusak hubungan antar unsur-unsur yang berlandaskan rasa cinta tersebut; zaman ketiga bahwa perasaan benci menjadi perasaan dominan yang melandasi hubungan setiap unsur sehingga mengakibat khaos (ketidakteraturan); zaman keempat bahwa perasaan cinta berangsur-angsur menjadi dominan dan akhirnya mengikis perasaan benci hingga akhirnya membentuk harmoni kosmos (keteraturan) di semua unsur lalu kemudian seiring berjalannya waktu secara berangsur-angsur maka rasa cinta terkikis kembali oleh rasa benci dan akhirnya berulang menjadi pada zaman kedua yang dialami oleh alam semesta dan seterusnya.

Seiring perkembangan zaman, kajian mengenai kekerasan juga dibahas dalam kajian ilmu-ilmu social seperti psikologi, antropologi dan sosiologi di masa zaman modern seperti sekarang ini. Budaya dan perilaku kekerasan manusia dan masyarakat tidak terlepas dari awal mula dari kelahiran sejarah peradaban manusia itu sendiri. Mitos kepercayaan yang salah pada masyarakat pagan zaman kuno di masa lalu ialah menganggap “kekerasan sebagai karunia dari Para Dewa” maksudnya masyarakat pagan pada zaman kuno sangat percaya bahwa dewa-dewa sangat mengasihi kekerasan karena jiwa kekerasan sudah ada dalam diri kita (manusia) masing-masing tanpa terkecuali. Masyarakat zaman kuno sangat memuliakan kekerasan dan menganggap bahwa perang dengan merampok dan melakukan penjarahan terhadap apa yang mereka miliki dan harus dikuasai karena para dewa memberi manusia jiwa kekerasan sebagai bentuk landasan upah untuk menyembah dan memuja-Nya. Sebagai bentuk contoh kecilnya yaitu adanya pertunjukkan pertarungan gladiator pada era zaman Kerajaan Romawi dulu di Eropa dengan tujuan untuk menghormati kemuliaan Dewa Saturnus. Kepercayaan moral pada masyarakat pagan zaman kuno ialah beribadah kepada Dewa dengan melalui kejayaan penjajahan, penaklukan (ekspansi) melalui jalur kekerasan/peperangan dan kemudian melakukan ritual sesembahan di atas penderitaan korban manusia. Selama masa awal peradaban manusia dari awal zaman purba (pra-sejarah) hingga sampai zaman modern millennium sekarang ini dari selama masa proses evolusi dan perkembangan insting manusia dalam berjuang bertahan hidup maka bisa saya simpulkan bahwa manusia hidup sebagai bagian dari insting purba kekerasan. Manusia dan kekerasan adalah bentuk dari suatu hal kejadian yang tidak dapat dipisahkan! Tugas kita sebagai wujud keberadaan (eksistensi) dari wujud keberadaban manusia adalah mengendalikan rasio kesadaran dari pengaruh dan pengulangan insting alami kekerasan yang terbentuk dari pengaruh evolusi di zaman lalu! 

Pembahasan dalam posting saya kali ini bukan bermaksud mencampuri perbaikan akhlak para pembaca melainkan mengajak para pembaca semua sekalian untuk berpikir kritis secara bersama-sama memahami mengenai arti dari “kekerasan” (violence) tersebut. Tanpa harus menjelaskan dari aspek sudut pandang gender bisa dibilang mayoritas perbuatan kekerasan kebanyakan secara dominan dilakukan oleh pihak laki-laki (man of violence) dengan tidak menafikan bahwa kekerasan juga ada yang dilakukan oleh perempuan namun secara mayoritas aspek kasuistis bahwa kekerasan dari awal sejarahnya hingga sampai detik ini nampaknya kekerasan lebih banyak melekat pada pihak laki-laki yang tidak telepas dari konflik fisik. Secara aspek sosiologis bahwa kekerasan juga dapat dianalisis sebagai wujud keputusan akhir yang disepakati bersama secara kolektif oleh sekelompok manusia tertentu dalam upaya untuk mencapai ambisi ego dan hasrat kekuasaannya dengan melakukan tindakan-tindakan anarkhis secara tidak teratur (khaos) dan cenderung merusak! Selama ini kekerasan yang dilakukan oleh kelompok manusia di dalam masyarakat masih menjadi pertanyaan misteri di kalangan ahli psikologi dan ahli sosiologi tentang bagaimana aturan kesepakatan hukum dan norma-norma social dalam wujud keteraturan (kosmos) di dalam masyarakat dapat dilanggar dengan mudah melalui kesepakatan kolektif bersama diantara kelompok-kelompok manusia dalam wujud perilaku merusak melalui kekerasan yang tidak teratur (khaos).


Psikolog Yahudi-Austria: Sigmund Freud


Para ahli psikologi dengan menggunakan kacamata psikoanalisa yang dicetuskan oleh Psikolog Yahudi-Austria yaitu Sigmund Freud berusaha untuk menganalisa sistem mekanisme pertahanan diri dari setiap individu pelaku kekerasan untuk merumuskan konflik tidak sadar sekaligus memeriksa daya tahan psikis individu di dalam melakukan reaksi perilaku menyimpang (dalam hal ini kekerasan). Para individu pelaku kekerasan kebanyakan akan selalu membenarkan tindakan kekerasannya tersebut sebagai bagian dari bentuk pertahanan dirinya dalam melawan realita (kenyataan) social yang ada di luar dirinya sehingga menimbulkan kecemasan dan ketegangan yang dialami diri sendiri dengan bertindak destruktif (merusak) melawan tatanan aturan, nilai-nilai, serta hukum yang telah disepakati bersama oleh masyarakat.


Kemarahan sekelompok manusia yang menjalar dan berakhir menjadi kerusuhan

Kerumunan orang-orang (crowded) sangat mempunyai dampak pengaruh terhadap psikologi manusia di dalam suatu kelompok. Kalau saya (sebagai analis sosiologi) lebih suka menyebutnya sebagai “psikologi massa” dalam melakukan penjelasan secara aspek sosiologis mengenai kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok manusia di dalam masyarakat. Identitas kemanusiaan dan logika individu manusia bisa melebur atau bahkan hilang jika setiap individu manusia terjebak bergabung dengan kerumunan manusia (massa) yang cenderung melakukan tindakan destruktif  (merusak) dengan bangkitnya insting alami kekerasan manusia secara berkelompok. Massa seolah menjadi segerombolan manusia buas pada zaman purba yang tidak memiliki rasio dan logika yang mudah untuk dihasut dan disulut emosinya oleh issue-issue sensitif yang belum diketahui kebenarannya. Pandangan saya dengan berusaha melihat wujud relasi kekuasaan diantara individu-individu manusia yang bergabung dalam kelompok massa ini yang sangat unik untuk dikaji dan diteliti secara ilmiah tentang bagaimana semangat perbuatan untuk merusak dan tidak teratur (khaos) itu disepakati secara kolektif bersama-sama di dalam suatu kelompok tertentu sebagai wujud “rasionalitas semu” yang dianggap sebagai wujud pembenaran tindakan sosial yang pantas untuk dilakukan oleh sekelompok manusia (massa) tertentu tersebut di dalam mencapai tujuan dan kepentingannya yang bagi mereka mungkin sulit untuk dicapai/diperjuangkan. Tarik menarik relasi kekuasaan diantara struktur dan sekumpulan individu nampaknya memberi dampak pengaruh besar bagi penyimpangan (anomali) di dalam kerumunan manusia (massa) tersebut!

Dari penjelasan di atas, maka saya dapat mengambil kesimpulan sederhana bahwa jika ada pihak yang berkata bahwa kosmos dan khaos sebagai bentuk dari siklus perubahan zaman, maka itu adalah pendapat ahli pada zaman masa lalu; jika ada pihak yang menganggap kosmos dan khaos adalah wujud dari antithesis (pertentangan) di dalam perkembangan masyarakat kontemporer (saat ini), maka itu adalah pendapat ahli pada zaman masa sekarang; namun jika ada pendapat ahli yang menganggap jika kosmos dan khaos sebagai bentuk simbiosis mutualisme yang saling menguntungkan, maka bisa saya bilang ini adalah pendapat dari para ahli pada zaman masa yang akan datang! (this is about future conflict). Karena saya beranggapan jika khaos (ketidakteraturan) adalah sebagai bentuk resistensi (perlawanan) sekaligus koreksi terhadap kosmos (keteraturan) yang enggan melakukan perubahan perbaikan diri terhadap kondisi struktur yang sesuai dengan arus perkembangan zaman dengan menganggap "reformasi struktur" sebagai bentuk keberadaban khaos ketimbang pergerakan "revolusi" melalui jalan kekerasan yang justru mengakibatkan kerugian besar dengan jatuhnya korban jiwa dan pertumpahan darah yang sangat sia-sia dan melahirkan kebiadaban di luar batas nilai-nilai kemanusiaan. Selain itu, kosmos (keteraturan) juga membutuhkan khaos (ketidakteraturan) untuk merubah sistem (change the system) dengan memberi penekanan untuk membenahi struktur sosial yang lama kaitannya dalam lingkup individu dan masyarakat yang selalu ingat, mendambakan kehadiran dan perlindungan dari kosmos (keteraturan)! Perkara terbentuknya khaos (ketidakteraturan) yang terjadi secara alamiah atau sengaja dibentuk melalui rekayasa sosial (social engineering) bisa saya katakan itu masih menjadi “social mistery” karena insting purba kekerasan dapat dipicu oleh pengaruh tekanan-tekanan aspek psikologi dalam diri seseorang dan tekanan sosial dari luar diri seseorang yaitu lingkungan masyarakat sekitar.   

Kekerasan dapat dikendalikan dengan tatanan norma dan seperangkat peraturan yang tegas yang sesuai dengan wujud kesepakatan masyarakat di lingkungan sosialnya serta bersifat mengikat tanpa kecuali. Selain itu, perlunya penyebaran stand konsultasi psikologi dan sosiologi seperti di sekolah, kantor atau tempat-tempat umum agar setiap bibit pelaku tindak kekerasan dapat mengenali dirinya sendiri, mengenali orang lain dan memahami lingkungan sosial masyarakat disekitarnya dan sudah menjadi hak pendapat dan hak persepsi dari para pembaca sekalian masing-masing untuk menganalisisnya sendiri bahwa kekerasan sengaja diciptakan atau kekerasan menciptakan dirinya sendiri ? Coba pikirkan dan renungkan..[]
*Nur Bintang, M.A. adalah alumnus pascasarjana ilmu sosiologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Sumber Referensi:
-Fritz H.S. Damanik. (2012). Sosiologi SMA/MA Kelas X. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
-Prof. Dr. K. Bertens. (1999). Sejarah Filsafat Yunani : Dari Thales ke Aristoteles. Yogyakarta: Penebit Kanisius.