Artikel

Sabtu, 23 Februari 2013

“KNOWLEDGE TRANSFER: SEDEKAH ILMU ITU IBADAH”



SEDEKAH ILMU ITU IBADAH

 

Oleh: Nur Bintang

Ikatlah ilmu dengan tulisan
(Ali bin Abi Thalib)


Beberapa waktu yang lalu ada seorang kawan kuliah saya dulu yang sekedar mampir berkunjung  untuk membaca tulisan kumpulan postingan di blog saya. Dia cukup heran dengan tema-tema postingan saya yang isinya dianggap berat, tulisan yang menembus nalar logika manusia, dan sangat filosofis dengan kajian-kajian filsafat social yang banyak saya bahas di setiap postingan saya. Kawan saya yang juga salah seorang dosen pengajar di salah satu universitas swasta tersebut kemudian menyarankan saya untuk segera melamar mengajar menjadi dosen pengajar di salah satu universitas swasta di Indonesia dimana kini kawan saya juga aktif mengajar di sana (Saya kemudian hanya bisa tersenyum saja karena untuk sementara ini, saya lebih merasa nyaman menjadi editor buku bergenre social-budaya agar dapat meneruskan kebiasaan hobi menulis saya ke dalam dunia pekerjaan). Sesuatu yang mengherankan buat kawan saya adalah kebaikan hati saya yang mau meluangkan waktu untuk sekedar membaca apalagi menulis, dan mau berbagi menyebarkan ilmu yang saya dapatkan selama ini dengan susah payah belajar kepada para pengunjung internet secara gratis dengan mengakses website blog saya melalui mesin pencari “Google”. Setahu kawan saya yang kini menjadi seorang dosen biasanya orang yang sudah dianggap berilmu kebanyakan sangat enggan untuk mau membagikan seluruh ilmunya kepada orang lain dalam usaha untuk memenangkan kompetisi di setiap persaingan. 

Saya terkadang suka menganggap diri sebagai orang bodoh yang mempunyai tekad untuk belajar sungguh-sungguh dan sepenuh hati. Bagi saya belajar adalah proses, semua proses harus saya lalui dari tingkatan yang paling bawah menuju ke arah tingkatan yang paling atas. Jujur, dari lubuk hati saya yang paling dalam sangat bersyukur dan senang apabila selama saya hidup bisa memberikan kebaikan dan manfaat bagi sesama manusia. Saya mungkin dianggap seorang ‘kutu buku’ yang bekerja sebagai ‘editor buku’ yang bergenre kajian sosial-budaya di sebuah perusahaan penerbitan buku berskala nasional di Jakarta namun itu saya anggap sebagai kecintaan dan kesenangan saya dalam dunia tulis-menulis apalagi kini blog saya yang belum genap berumur satu tahun (baru beberapa bulan saja) ketika saya pantau dari data statistik pengunjung melalui akun blog pribadi saya maka kini “Sociology Thinker: Nur Bintang’s Blog” sudah banyak dikunjungi lebih dari 3.628 visitors dari beberapa negara seperti Indonesia, Amerika Serikat (United States), Rusia, Jerman (Germany), Belanda (Netherland), Inggris (Britain), Korea Selatan, Malaysia, Australia, India, Kanada, Perancis (France), Filiphina, Swiss, Panama, Jepang (Japan), Timor Leste, dan Ukraina melalui berbagai macam browser dan sistem operasi seperti Windows, Linux, Android, BlackBerry, iPhone, iPad, Macintosh, dan Nokia. Saat ini pengunjung terbesar yang mengakses website blog saya dari luar negeri adalah pengunjung dari Amerika Serikat (United States) yang berjumlah 657 visitors dan jumlah ini semakin bertambah setiap harinya beserta pengunjung blog dari beberapa negara lain termasuk negara saya tercinta yaitu Indonesia dengan jumlah paling banyak sebesar 2.492 visitors sampai tulisan ini dibuat. Alhamdulilah.. "Sociology Thinker: Nur Bintang's Blog" juga sudah dibagikan (share) oleh para pengunjung pemilik akun Google+ dari beberapa negara sebanyak 80.935 kali namun jumlah angka share pemilik akun Google+ ini cenderung semakin menurun. Hal ini mungkin karena beberapa postingan saya di blog ini tidak menjadi trending topic lagi di "Google". Namun tetap ada kesempatan bagi saya untuk menulis artikel posting yang dapat kembali menjadi trending topic di mesin pencari situs yakni "Google". Semoga! Walaupun tulisan di blog ini sebagian besar menggunakan bahasa Indonesia tapi dengan hadirnya Google Translate ataupun  transtool yang dapat melakukan kebenaran penerjemahan bahasa hingga mencapai 80% dianggap dapat sangat membantu bagi para visitors dari luar negeri yang berkunjung ke blog pribadi saya. (Mengingat makin banyak visitors dari luar negeri yang berkunjung ke blog saya maka untuk jeda waktu ke depan saya berencana akan menambah postingan artikel dalam bahasa Inggris).

  Soekarno ketika memberikan ilmu kepada rakyat Indonesia


Teringat saya dengan pesan sahabat sekaligus menantu dari Nabi Muhammad SAW yaitu Ali bin Abi Thalib yang gemar sekali membaca dan menuntut ilmu. Ali bin Abi Thalib pernah berkata “Ikatlah ilmu dengan tulisan” dan sebenarnya jujur, lewat dari kata-kata beliaulah yang akhirnya memotivasi saya untuk terus menulis dan menilisik perjuangan Soekarno, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir (The Founding Fathers of Indonesia) dalam memajukan pendidikan ilmu di Indonesia ketika zaman penjajahan kolonial hingga sampai Indonesia merdeka. Saya bukanlah orang pintar atau pandai, saya hanyalah seorang yang mempunyai tekad untuk mau belajar kepada siapapun yang dapat memberikan pencerahan ilmu bermanfaat kepada diri saya. Sekedar flashback ke masa lalu, ketika saya pernah mengalami masa-masa sulit ketika zaman duduk di bangku kuliah dulu. Sebagai seorang pelajar perantauan untuk dapat membeli sebuah buku setelah mendapat kiriman uang dari orang tua di kampung bagi diri saya saat itu sudah sesuatu barang yang sangat mewah dan sangat istimewa sekali bagi diri saya secara pribadi walaupun pihak perpustakaan di kampus menyediakan buku-buku wajib pinjaman lengkap namun menurut hemat saya, buku pinjaman yang mendapatkannya harus melalui proses antrian ini termasuk dalam kategori buku-buku lawas/lama yang sudah tidak cocok dengan kondisi zaman saat ini. Untuk mencari buku-buku baru edisi revisi maka mau tidak mau saya harus membelinya ke beberapa toko buku.

Di tengah keterbatasan melalui referensi buku itu, maka saya jadi selalu rajin untuk membuka internet melalui mesin pencari “Google” hanya untuk sekedar mendapatkan pencerahan dari para penulis blog yang notabene adalah orang-orang pintar secara akademis yang berbaik hati mau berbagi dan menyumbangkan ilmunya kepada mahasiswa perantauan seperti saya ini yang sedang mengalami kondisi kesulitan saat hendak membeli sebuah buku dan mengejar pemahaman materi pendalaman. Barawal dari itulah maka saya mendapat inspirasi untuk mau berbagi dan bersedekah melalui ilmu yang bermanfaat yang saya dapatkan selama ini dalam wujud kumpulan artikel tulisan di blog saya dengan memanfaatkan media social yang dimana semua artikel tulisan saya ini setelah diterbitkan melalui akun blog pribadi saya maka dapat dibaca oleh semua manusia di seluruh penjuru dunia melalui akses mesin pencari “Google”. Menyedekahkan ilmu bermanfaat itu merupakan bagian dari ibadah”. Sebagai seorang yang mendalami ilmu sosiologi maka saya selalu belajar mengenai indahnya perbedaan dan kebersamaan dalam membentuk hubungan social yang harmonis di tengah zaman era globalisasi dan kemajuan teknologi seperti sekarang ini.

Saya berharap dengan kumpulan tulisan saya ini dapat memberi manfaat bagi para mahasiswa-mahasiswi atau pengunjung dari kalangan umum yang tertarik mengkaji ilmu sosiologi dan antropologi (sosiologi mikro). Tulisan saya di blog ini akan saya selalu sederhanakan dengan tujuan untuk memudahkan pemahaman kepada para pembaca sekalian di blog saya. Saya menulis di blog ini bukan menganggap diri sebagai orang pintar atau jenius, bukan itu maksud saya… Kondisi saya sama dengan para pembaca sekalian sebagai orang yang masih menunutut ilmu sampai akhir hayat dan keinginan utama saya adalah berbagi ilmu dan menyedekahkan ilmu bermanfaat yang saya pelajari selama ini guna membantu sesama serta mengajak para pembaca semuanya untuk belajar bersama–sama (Saya belajar kepada anda dan anda belajar kepada saya). Jadi, saat ini sedekah menurut hemat saya tidak lagi harus berwujud materi seperti uang dan harta benda namun kini ilmu yang berwujud abstrak juga dapat masuk menjadi kategori sedekah yang sangat bermanfaat bagi sesama manusia.[]

*Nur Bintang adalah alumnus pascasarjana sosiologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta yang kini merintis karier sebagai editor buku di salah satu perusahaan penerbitan nasional di Jakarta.

Jumat, 15 Februari 2013

“QUALITATIVE RESEARCH: DESCRIPTIVE AND ANALYTICAL”




Ditulis Oleh: Nur Bintang*


This posting tell about social research in qualitative tradition. Sebagai seorang pembelajar dan masih terus untuk belajar maka dalam postingan kali ini saya akan membahas mengenai tradisi penelitian dalam metodologi kualitatif  yang dalam kajian keilmuan sosiologi sebenarnya metode penelitian ini masih tergolong baru setelah selama beberapa dekade yang lampau terkungkung dalam tradisi positivisme penelitian kuantitatif  yang kaku dan hanya selalu mengandalkan perhitungan angka statistik di dalam penjelasan fenomena social. Pada masa lalu penelitian sosiologi selalu berkiblat pada perhitungan angka statistik (kuantitatif) berbeda dengan penelitian antropologi yang selalu berkiblat pada penelitian kualitatif deskriptif melalui pendekatan etnografi berdasarkan observasi langsung hasil data wawancara kepada informan. Namun saat ini, penelitian kualitatif sudah masuk ke dalam ranah kajian ilmu sosiologi seiring perkembangan ilmu sosiologi yang kini juga membahas permasalahan kebudayaan (cultural studies). 

Jadi bisa dibilang kajian sosiologi dan antropologi kini hanya berbeda seperti benang tipis saja seiring majunya ilmu pengetahuan sosial. Adapun perbedaan yang sangat menyolok di dalam kajian penelitian kualitatif ini karena perhitungan data angka statistik deskriptif  bisa diikutsertakan sekedar untuk melengkapi data pokok wawancara yang menjadi ciri khas dari penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang paling fleksibel (bebas) menurut hemat saya bahkan sewaktu mengikuti workshop metodologi penelitian dulu dosen saya pernah berkata, ”Penelitian kualitatif yang baik adalah penelitian yang ketika kita membaca penelitian itu serasa seperti membaca sebuah novel”. Ya.. sangat unik dan menarik. Jadi siapkah anda membuat novel ilmiah ini..?? tapi bukan sembarang tulisan novel karena di dalam metodologi kualitatif tidak hanya sekedar menulis dan bercerita secara deskriptif tetapi juga harus menganalisa mengapa fenomena social itu dapat terjadi. Penjelasan fenomena social itu harus bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya oleh sang peneliti itu sendiri. Berikut adalah tulisan lama saya yang saya rangkum dari banyak buku mengenai penelitian kualitatif karena posisi saya masih di Jakarta sedangkan buku-buku saya banyak yang tertinggal di kampung maka saya belum sempat mencantumkan referensi bukunya tapi hal tersebut tidak mengurangi keinginan saya untuk terus berbagi ilmu kepada pembaca sekalian. Semoga bermanfaat!

- Qualitative Mapping/Pemetaan alur penelitian kualitatif
Saya akan mengambil contoh judul penelitian kualitatif di bawah ini:

Demam K-Pop Remaja Sekolahan (Studi kasus tentang Persepsi dan Sikap Siswa Sekolah "A" terhadap Kebudayaan Pop Korea di Indonesia)

-Latar belakang masalah yang menjelaskan mengapa fenomena social tersebut menarik dan perlu untuk diteliti serta hal apakah yang membedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yang sudah lebih dulu ada.

-Perumusan masalah eksplanatoris yang mengandung paling sedikit dua variabel yaitu variabel X dan variabel Y. Masing-masing variabel yakni 'persepsi' dan 'sikap' perlu dibuat tabel indikator secara lebih spesifik.
Cth:  -Bagaimanakah persepsi siswa sekolah "A" terhadap kehadiran budaya K-Pop di Indonesia?
        -Bagaimanakah sikap siswa sekolah "A" terhadap kehadiran budaya K-Pop di Indonesia?

-Contoh teori yang bisa digunakan sebagai pisau analisa masalah:
Teori fenomenologi dari Alred Schultz dengan cara memahami kesadaran hidup orang lain atau Teori interaksionisme simbolik dari G.H. Mead dengan melihat pada konteks behaviorisme psikologi social dengan memusatkan pada aktor dan perilakunya dalam lingkungan sosialnya (interaksi individu dengan kelompoknya).

-Penelitian yang cocok membahas penelitian di atas:
Studi kasus: Mengeksplorasi masalah dengan batasan terperinci, memiliki pengambilan data yang mendalam, dan menyertakan berbagai sumber informasi. Penelitian ini dibatasi oleh waktu dan tempat, dan kasus yang dipelajari bisa berupa jalannya kegiatan program, peristiwa, aktivitas, atau individu.

-Saya akan memberi contoh beberapa jenis penelitian yang sering digunakan dalam disiplin ilmu sosiologi beserta rumusan masalahnya untuk memberi gambaran lebih jelas mengenai penelitian kualitatif sebagai berikut:

Studi Kasus
Judul penelitian:
Model Partisipasif  Program Pemberdayaan Masyarakat (Studi Kasus di Desa “A”, Kecamatan “B”, Kabupaten “C”).
Rumusan Masalah:
Bagaimanakah model partisipasif program pemberdayaan masyarakat di Desa "A" diselenggarakan?

Etnometodologi:
Judul penelitian:
Dilarang Menikah! (Kajian Etnometodologi Tentang Larangan Adat Menikah Lintas Desa antara Desa “A” dan Desa “B”).
Rumusan Masalah:
Bagaimanakah masyarakat desa memandang dan menjelaskan aturan adat larangan menikah lintas desa diantara kedua desa tersebut?

Fenomenologi
Judul Penelitian:
Pemahaman Perempuan Pekerja Seks Tentang Kesehatan Reproduksi (Kajian Fenomenologi Perempuan Pekerja Seks di Lokalisasi “A”).
Rumusan Masalah:
Bagaimanakah para perempuan pekerja seks memahami makna dari kesehatan reproduksi?

-Pelaksanaan penelitian dengan menggunakan metode kualitatif :
Etnometodologi: Metode penelitian yang dilaksanakan dengan mengamati perilaku indvidu atau masyarakat dalam mengambil tindakan yang disadarinya dan cara mengambil tindakannya.
Fenomenologi: Metode penelitian yang dilakukan menggambarkan arti dari sebuah pengalaman hidup dari beberapa orang tentang sebuah konsep atau fenomena.
Studi Kasus: Metode penelitian yang dilaksanakan dengan mengeksplorasi suatu masalah dengan batasan terperinci, pengambilan data yang mendalam. Penelitian ini dibatasi oleh waktu dan tempat, dan kasus yang dipelajari berupa program, peristiwa, aktivitas, atau individu.
Etnografi: Metode penelitian dengan cara mendeskripsikan kehidupan budaya sehari-hari masyarakat atau suku-suku di pedalaman dengan cara partisipatif yang mengharuskan peneliti untuk tinggal bersama dengan mereka selama jeda beberapa waktu tertentu (biasanya para antropolog  membutuhkan waktu paling sedikit minimal satu tahun untuk memilih penelitian jenis ini hingga waktu yang tidak terbatas sesuai dengan kebutuhan peneliti sendiri ketika dalam proses mengumpulkan data). Penelitian etnografi sekarang juga sudah mulai diadopsi sosiologi dari kajian ilmu antropologi.
Interaksionisme Simbolik: Metode penelitian yang berusaha menafsirkan dan menjelaskan tindakan individu dalam kaitan hubungan interaksi individu sebagai aktor dengan lingkungan sosialnya. Kajian ini biasa digunakan dalam tema-tema psikologi social.
Grounded Research: Penelitian yang dilakukan untuk mengembangkan teori terkait dengan hubungan interaksi di dalam fenomena sosial yang bergerak secara empirik hingga ke teoritik. Penelitian ini biasanya dilakukan peneliti tanpa ada praduga teori ketika berada di lokasi penelitian. Analisa teori mengikuti temuan perkembangan fenomena sosial di lokasi penelitian agar menghasilkan penemuan teori yang tepat.

CULTURAL STUDIES (Kajian Ilmu Budaya):

Apa itu CDA?
Discourse berhubungan dengan POWER atau KEKUASAAN dari idiologi, gender, kelas social, etnisitas, golongan usia dll.  Bila merujuk pada pemikiran Post-Strukturalis dari Perancis yakni Michel Foucault bahwa kekuasaan itu tersebar dimana-mana. Relasi kekuasaan dapat dilihat dari “dominasi” dan “hegemoni” dari sebuah teks tulisan (maksud tulisan), gambar (maksud gambar), atau film (arah sorot kamera) terhadap objek sesuatu. Kajian Cultural Studies menggunakan pendekatan interdisipliner (berbagai disiplin ilmu) seperti sosiologi, sastra, sejarah, sosiolinguistik, komunikasi, analisis media, antropologi, kajian multikultural dll. Lazimnya penelitian ini menggunakan metode Analisis Wacana Kritis (Critical Discourse Analysis) yang biasa disingkat dengan CDA dalam bentuk analisis teks maupun analisis gambar/film seperti halnya dalam penelitian semiotika dan hermeunetika.

CDA (Critical Discourse Analysis) adalah suatu perspektif yang masuk ke dalam ranah studi “Postmodern” dan bermahzab konstruksionis dalam kaitan bentuk kajian yang bertemakan Post-Strukturalis dan Post-Kolonial dalam menafsirkan hubungan relasi kekuasaan yang terdapat di dalam simbol atau bahasa. Konsep pemikiran CDA berakar dari pengaruh tradisi Marxian (Mahzab Frankfurt) yang melihat segala suatu fenomena social secara kritis dan penuh kecurigaan maka CDA tidak menyibukkan diri untuk mencari kebenaran dari suatu fakta dan realita yang terjadi. CDA lebih memandang fakta  (berbentuk gambar, tulisan, graffiti, maupun percakapan) sebagai suatu teks yang terkonstruksi berdasarkan kompleksitas konteks dan kepentingan yang melatar belakanginya. Teks memiliki mekanismenya sendiri ketika diproduksi, dikonsumsi, dan didistribusikan dengan maksud kepentingan tujuan tertentu. Dalam hal ini teks merupakan sesuatu yang selalu dipengaruhi dan juga mempengaruhi teks yang lain meskipun secara metodologi CDA belum terstandardisasi dengan baik lain halnya seperti positivisme (statistik social) ataupun fenomenologi yang sudah kokoh standardisasi metodologinya namun penggunaan CDA saat ini di ranah kajian ilmu-ilmu social sudah semakin dianggap penting keberadaannya seiring kemajuan teknologi media massa yang semakin berkembang.

Karakter dan Metode CDA:
-Wacana selalu muncul dalam hubungan kekuasaan yang perinsip dasarnya adalah: tindakan, konteks, historis, kekuasaan, dan idiologi.
-Bahasa adalah manifestasi dari konteks (lisan atau tulis), situasi diluar konteks yang mempengaruhi pemakaian bahasa dan wacana (keseluruhan antara teks dan konteks yang saling menyatu).

Contoh CDA:
Penayangan iklan sabun di televisi yang selalu memakai model wanita cantik berkulit  putih alami. Analisis wacana kritisnya bahwa wanita cantik tidak selalu identik dengan berkulit putih, akibat kapitalisasi produk kecantikan lewat media massa di televisi. Warna kulit hitam juga bisa dikatakan cantik apabila mempunyai karakter  inner beauty” yang kuat karena memiliki intelegensi kepintaran, sopan-santun, dan anggun. Jadi konstruksi media yang selalu mewacanakan wanita cantik itu harus berkulit putih bisa dibantah/dipatahkan kebenarannya.

Level Mikro dan Level Makro dalam penelitian CDA:
-Level Mikro CDA: Penggunaan bahasa, wacana, interaksi verbal, dan komunikasi.
-Level Makro CDA: Relasi kekuasaan (power), dominasi/hegemoni, ketidakadilan kelompok social (kaum marginal), idiologi simbol, identitas budaya atau identitas sosial.

---------------------------
*Nur Bintang adalah alumnus pascasarjana sosiologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Minggu, 03 Februari 2013

"INDIGENOUS SOCIOLOGIST: SOCIOLOGY OF INDONESIA”


Oleh: Nur Bintang*

Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia


Pengantar dari saya:
Suasana pasca musibah banjir di Jakarta beberapa waktu lalu (tanggal 17-18 Januari 2013) dampaknya masih terasa hingga kini, di tengah kesibukan saya yang berprofesi sebagai ‘editor buku’ dari sebuah penerbitan buku berskala nasional yang ada di Jakarta maka saya tidak lupa untuk membaca buku-buku bacaan yang sangat melimpah tersedia di kantor saya yang dimana buku-buku yang menurut saya sangat menarik untuk dibaca maka sengaja saya taruh di atas meja kantor saya. Sebagai editor buku-buku yang berkaitan dengan sosiologi dan antropologi (sosiologi mikro), maka saya dituntut untuk selalu berkembang dan terkini terhadap semua berita informasi pengetahuan yang ada di media massa sesuai kajian bidang disiplin ilmu yang saya geluti dan saya selalu memantau berita-berita on internet yang difasilitasi perusahaan yang memang harus digunakan para editor untuk mencari bahan informasi demi penyempurnaan suntingan buku sebelum masuk ke tahap produksi buku. 

Beberapa waktu lalu, saya menemukan format PDF on internet tentang pengukuhan Guru Besar Sosiologi di Universitas Gadjah Mada pada tanggal 14 Februari 2012 yang kebetulan beliau adalah dosen pengajar saya dulu yang merupakan akademisi lulusan dari Universitat Bielefeld, Jerman yaitu Prof. Heru Nugroho, Ph.D. Ada pidato menarik dari beliau yang sempat menyinggung indigenous (pribumisasi)  dalam kajian sosiologi walau tidak dijelaskan secara panjang lebar namun cukup menyentil dan menginspirasi kita semua agar kelak acuan pemikiran teori sosiologi tidak berkiblat selalu kepada Barat tetapi dapat berkiblat di atas kaki ilmuwan social Indonesia itu sendiri. Saya lantas langsung berpikir dan merenung dan menyetujui bahwa sudah saatnya ilmuwan social Indonesia produktif menghasilkan berbagai ide orisinil yang siap untuk diterbitkan sehingga dapat menjadi bahan acuan analisa permasalahan social yang dapat digunakan oleh berbagai kalangan. Sedikit terinspirasi dari pidato dosen saya kemaren maka tidak ada salahnya sebagai anak bangsa kita harus bangga dan percaya diri jika Indonesia memiliki pendekar ilmuwan sosial (sociologist) yang kancah reputasinya tidak diragukan lagi di kalangan ilmuwan sosial dunia. 

Bolehlah Indonesia bisa berbangga bahwa jika Amerika Serikat mempunyai pendekar ilmuwan sosial dalam wadah seperti “The Chicago School” dan “The Harvard School”, Jerman memiliki pendekar ilmuwan social kritis dalam wadah “Frankfurt School” dengan “Mahzab Frankfurt”-nya, Inggris berbangga dengan wadah “The Birmingham School” yang eksis dalam kajian cultural studies-nya, maka ada Indonesia dengan pendekar ilmuwan social yang berada dalam wadah “The Gadjah Mada School” (UGM) dengan acuan “Mahzab Bulaksumur Thought”-nya dan “The Indonesia School” (UI). Who knows? Tidak ada salahnya bermimpi, semua sah-sah saja asal untuk kemajuan dan kebaikan perkembangan ilmu pengetahuan di Indonesia. Dalam posting kali ini, maka saya akan sedikit mengulang dan mengulas para pendekar sosiologi asli Indonesia yang mulai menyebarkan ilmu sosiologi pertama kali  di Indonesia dan semua cerita itu berawal dari sebuah 'universitas perjuangan' yaitu “Universitas Gadjah Mada”. Universitas Gadjah Mada disebut sebagai 'universitas perjuangan' karena banyak mahasiswa dan dosen-dosen di UGM pada zaman tempo doeloe yang memiliki pengalaman pernah ikut terjun langsung berperang melawan penjajah kolonial Belanda maupun penjajah militer Jepang di Yogyakarta ketika pemerintah Republik Indonesia baru berdiri tahun 1945 dan harus bertahan dari serangan agresi militer Belanda pada tahun 1947 dan 1948 sehingga memaksa Presiden Soekarno dan Wapres Mohammad Hatta untuk memindahkan ibukota Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta.

Perkembangan Sosiologi di Indonesia
‘Universitas Gadjah Mada’ yang didirikan di atas tanah hibah dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX pada tanggal 19 Desember 1949 merupakan universitas pertama setelah revolusi kemerdekaan yang berdiri di Indonesia serta diresmikan langsung oleh Presiden Soekarno dan menjadi barometer kiblat pendidikan tinggi di Indonesia hingga sampai saat ini yang dimana pada tahun 1970-an memang sangat terkenal dengan sebutan universitas ndeso (dalam bahasa Jawa yang artinya ‘universitas desa’ karena kebanyakan dulu mahasiswa-mahasiswi yang kuliah di ‘Universitas Gadjah Mada’ adalah anak-anak pintar dari desa dan UGM adalah kampus pertama di Indonesia yang mengagas konsep KKN/Kuliah Kerja Nyata bagi para calon sarjana untuk turun berpartisipasi membangun desa bahkan hingga kini konsep KKN dari UGM banyak diadopsi oleh seluruh perguruan tinggi di Indonesia). ‘Universitas Gadjah Mada’ memang dikenal di Indonesia bahkan di kancah dunia karena maju dan kuat dalam kajian ilmu sosial dan humaniora. Pada tahun 2007 bahkan ‘Universitas Gadjah Mada’ berhasil masuk dalam daftar 100 universitas terbaik dunia untuk kategori social science dengan peringkat ranking 47 dunia yang berhasil di survei oleh lembaga Times Higher Educations yang berpusat di London, British dan bahkan survey setiap tahun ‘Universitas Gadjah Mada’ selalu masuk ke dalam daftar 100 universitas terbaik Asia oleh berbagai lembaga survey pemeringkat ranking universitas di seluruh dunia (rilis survei terbaru 'Top 100 Universities and College in Asia' pada tahun 2013 dari lembaga 4International College and Universities, yakni sebuah lembaga penilai ranking yang menilai kualitas universitas di dunia dari 200 negara dan 11.000 perguruan tinggi telah berhasil menempatkan ‘Universitas Gadjah Mada’ sebagai universitas terbaik ranking 1 di Indonesia dan ranking 26 di Asia serta berhasil mengungguli beberapa universitas terbaik Asia dari Jepang, Korea Selatan, China, India, Israel, Thailand, Singapore, dan Malaysia). Prestasi membanggakan untuk Indonesia dan kita semua.

Pemaparan mata kuliah sosiologi di lingkup universitas/sekolah tinggi di Indonesia dulu pada awalnya memang selalu bergabung dengan kajian jurusan ilmu hukum sebelum Perang Dunia II tepatnya diajarkan pada ‘Sekolah Tinggi Hukum’ (Rechts Hogeschool) bentukan pemerintah kolonial Hindia-Belanda. Perkembangan sosiologi di Indonesia itu sendiri berawal dari kepulangan ilmuwan-ilmuwan social Indonesia yang sempat belajar mendalami ilmu sosiologi di berbagai perguruan tinggi di Eropa Barat dan Amerika Serikat karena ilmu sosiologi memang produk ilmu dari Barat. Akademisi yang memberi mata kuliah sosiologi pertama kali di Indonesia adalah Soenario Kolopaking yang mengajar di ‘Akademi Ilmu Politik’ di Yogyakarta pada tahun 1948 yang kemudian menjadi tonggak cikal bakal dari terbentuknya Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) di Universitas Gadjah Mada (UGM).

Kampus UGM pertama kali mengajarkan mata kuliah sosiologi di Indonesia


Kampus UGM di Keraton Yogyakarta tahun 1950-an


Para mahasiswa berangkat ke kampus UGM tahun 1950-an

Suasana pembangunan kampus UGM tahun 1956

Kuliah mahasiswa UGM di Keraton Yogyakarta tahun 1950-an

Suasana belajar mahasiswa UGM di Keraton Yogyakarta tahun 1950-an

Suasana Kota Yogyakarta di Jalan Malioboro tahun 1955

Pemandangan Gunung Merapi di kampus UGM tahun 1960-an

Kepulangan ilmuwan-ilmuwan social Indonesia setelah lama menempuh pendidikan di Eropa Barat (Belanda dan Inggris) serta Amerika Serikat pasca kemerdekaan Indonesia pada dekade tahun 1950-an telah memberi angin harapan baru bagi perkembangan ilmu sosiologi di Indonesia setelah sekian lama pemerintah kolonial Hindia-Belanda maupun pemerintah kolonial Dai Nippon Jepang melarang diajarkannya ilmu sosiologi secara meluas di sekolah-sekolah karena ketakutan pemerintah kolonial akan pemahaman masyarakat di negeri jajahan terhadap perkembangan dan kelemahan masyarakat negara penjajah di negeri Belanda maupun negeri Jepang. Ilmu sosiologi diajarkan di era zaman kolonial hanya untuk membantu pemerintah kolonial dalam menaklukan masyarakat di negeri jajahannya. 

Ambisi Presiden Soekarno mengenai ‘restorasi meiji’ di Indonesia


Kepulangan beberapa akademisi Indonesia dari Barat ini tidak lepas dari ambisi Presiden Soekarno pada dekade tahun 1950-1960-an yang sedikit meniru dari ‘restorasi meiji’ ala Jepang dengan mengirim ribuan putra-putri terbaik Indonesia untuk belajar sesuai keahlian bidang disiplin ilmu masing-masing ke belahan negara-negara maju di Eropa seperti Inggris, Belanda, Perancis, Jerman dan juga ke negara maju Asia seperti Tiongkok dan Jepang dan negara sahabat Indonesia saat itu yakni Uni Soviet (Rusia) di era Presiden Nikita Kruschev dan juga Amerika Serikat di era Presiden John F. Kennedy dengan harapan Indonesia bisa maju dan sejajar dengan bangsa-bangsa maju di dunia dan dapat mengolah sumber daya alam Indonesia sendiri yang sangat kaya. Spirit percaya diri kualitas manusia Indonesia digelorakan oleh Presiden Soekarno saat pembangunan gedung pusat UGM dimana arsitek gedung tersebut adalah insinyur Indonesia yang ditunjuk langsung oleh Presiden Soekarno. Namun cita-cita Presiden Soekarno ini gagal akibat kudeta merangkak dari Jenderal Soeharto dalam penumpasan tragedi pemberontakan G-30S/PKI pada tahun 1965-1966 dimana ribuan putra-putri terbaik Indonesia yang berstatus sebagai mahasiswa di luar negeri yang mendapatkan beasiswa dari Presiden Soekarno tidak bisa pulang membangun Indonesia bahkan hidup menggelandang tanpa tujuan yang pasti di negara perantauan karena dituduh cap sebagai orang-orang komunis yang pro-Soekarno. 

Keadaan krisis Indonesia era tahun 1960-an tersebut tidak terlepas dari kebijakan kontroversial Presiden Soekarno yang terlalu dekat dengan Blok Timur dan berkiblat pada pemahaman sosialisme dan anti kapitalisme Barat membuat para investor asing (industrialis Eropa Barat dan Amerika Serikat) hengkang keluar dari Indonesia membuat pemasukan pajak devisa Indonesia semakin berkurang dan memperbanyak jumlah pengangguran. Keadaan krisis ekonomi Indonesia semakin parah setelah pernyataan sikap politik konfrontasi dengan Malaysia yang dicanangkan oleh Presiden Soekarno semakin menguras kas keuangan negara bahkan berujung pada inflasi hingga maraknya kemiskinan dan kelaparan serta perang saudara yang terjadi akibat tragedi PKI tahun 1965-1966 di kalangan rakyat Indonesia. Hal tersebut yang mengakibatkan jatuhnya kekuasaan Presiden Soekarno yang kemudian digantikan oleh Presiden Jenderal Soeharto pada tahun 1967. 


Presiden Soeharto mengeluarkan kebijakan pro-investasi asing kepada negara-negara Blok Barat dengan menjual aset-aset sumber daya alam Indonesia untuk dikelola pihak asing terutama kepada investor dari Amerika Serikat agar membuat devisa Indonesia kembali pulih untuk sementara waktu. Presiden Soeharto melanjutkan perjuangan Presiden Soekarno mengenai 'restorasi meiji' di Indonesia walaupun sedikit berbeda haluan politik dengan mengirim ribuan putra-putri terbaik Indonesia melalui program beasiswa untuk belajar di luar negeri terutama di negara-negara Blok Barat yang berpaham kapitalisme seperti Eropa Barat dan terutama Amerika Serikat. Di zaman Presiden Soeharto, para akademisi Indonesia yang ahli dalam kajian ilmu ekonomi dan merupakan produk lulusan dari University of California, Berkeley, Amerika Serikat sengaja didatangkan dan ditunjuk langsung oleh Presiden Soeharto sebagai staf penasihat ekonomi presiden sekaligus konseptor program pembangunan di Indonesia pada dekade tahun 1970-an dengan meminjam paket bantuan modal hutang luar negeri dari negara-negara industri maju beserta persetujuan pengembalian bunganya. Kemajuan pesat ekonomi Indonesia pada rezim Soeharto sebenarnya dibangun di atas pondasi ekonomi yang sangat rapuh karena terlalu mengandalkan paket bantuan modal hutang dari luar negeri hingga berujung pada krisis ekonomi yang kembali dialami Indonesia pada tahun 1998 dan berakhir dengan jatuhnya kekuasaan Presiden Soeharto.

Ijazah DR (HC) Presiden Ir. Soekarno dari kampus UGM tahun 1951


Pribumisasi Sosiologi Indonesia
Para ilmuwan social Indonesia yang berjasa ikut membesarkan sosiologi di Indonesia diantaranya adalah: Djody Gondokusumo, Mayor Polak, Hassan Shadily, dan Selo Soemardjan yang biasa belakangan disebut sebagai ‘Bapak Sosiologi Indonesia’ setelah tahun 1959. Selo Soemardjan, sosiolog lulusan Cornell University, Amerika Serikat ini juga merupakan seorang abdi dalem Keraton Yogyakarta dan sangat berjasa karena ikut mendirikan Fakultas Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan di Universitas Indonesia sekaligus sebagai dekan pertama di fakultas tersebut yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Indonesia. Universitas Indonesia (UI) dulu bernama Universiteit van Indonesie (UVI) yang didirikan oleh NICA-Belanda di Jakarta pada tanggal 21 Maret 1947 namun setelah berhasil direbut oleh para pejuang kemerdekaan Indonesia kini berubah nama menjadi 'Universitas Indonesia' dan  resmi melakukan kegiatan perkuliahan pada tanggal 2 Februari 1950 yang saat ini juga menjadi salah satu barometer kiblat pendidikan tinggi di Indonesia selain UGM dan ITB. Universitas Indonesia dulu juga mempunyai pendekar sosiologi yang sangat terkenal di Indonesia diantaranya adalah Soerjono Soekanto seorang akademisi ilmu hukum, ahli dalam kajian sosiologi hukum adat yang juga merupakan alumnus University of California, Berkeley, Amerika Serikat dan Robert M.Z. Lawang seorang sosiolog lulusan Leiden Universiteit, Belanda dan juga kini ada Paulus Wirotomo, Imam B. Prasodjo, Iwan Gardono SudjatmikoThamrin Amal Tomagola, Hanneman Samuel, Mely G. Tan, dan lain-lain. Saya sampai saat ini masih berharap bahwa para ilmuwan sosiolog dari beberapa universitas besar di Indonesia seperti ‘Universitas Gadjah Mada’ dan ‘Universitas Indonesia’ saat inilah yang dianggap mampu dan berperan besar mewujudkan indigenous sociologist khas Indonesia atau mungkin bahkan universitas-universitas lain di belahan bumi seluruh Indonesia seperti Universitas Andalas (UNAND) di Padang yang memiliki sosiolog yang ahli dalam studi kebudayaan Minangkabau yaitu Mochtar Naim serta Institut Pertanian Bogor (IPB) yang memiliki Prof. Sajogyo, sosiolog besar Indonesia yang mendapat julukan sebagai "Bapak Sosiologi Pedesaan Indonesia."

Bapak Sosiologi Indonesia: Prof. Dr. Selo Soemardjan

Beberapa sosiolog Indonesia ada juga yang mempunyai karier internasional dengan mengajar di beberapa universitas luar negeri diantaranya adalah Vedi R. Hadiz, Ph.D, sosiolog lulusan Murdoch University, Australia yang dulu juga pernah menjadi anggota Dewan Redaksi di majalah Prisma (LP3ES) di Jakarta dan kini menjadi dosen tetap di National University of Singapore (NUS) yang sangat produktif dalam menerbitkan buku dan jurnal yang berskala internasional. Saya sempat bertemu dengan beliau ketika beliau menjadi dosen tamu di jurusan sosiologi pascasarjana S2 dan S3 di ‘Universitas Gadjah Mada’ dimana beliau memaparkan materi penulisan karya ilmiah menuju publikasi jurnal nasional dan jurnal internasional, George Junus Aditjondro adalah sosiolog kritis kontroversial dari Indonesia yang merupakan jebolan lulusan Cornell University, Amerika Serikat yang kini menjadi dosen di University of Newcastle, Australia. Beliau juga menjadi dosen tamu di beberapa universitas di Indonesia, Arif Budiman (Soe Hok Djin) adalah kakak dari mendiang legenda demonstran Indonesia yaitu Soe Hok Gie merupakan sosiolog Indonesia lulusan dari Harvard University, Amerika Serikat yang dulu juga sempat mengajar di UKSW (Universitas Kristen Satya Wacana) di Salatiga yang kini mengajar di University of Melbourne, Australia. Selain itu, Indonesia juga mempunyai sosiolog lepas di luar kampus yang sangat aktif dan produktif dalam menerbitkan buku dan pernah bekerja sebagai editor buku di dunia penerbitan buku yang ber-genre budaya, filsafat, dan sosial yaitu Ignas Kleden yang merupakan jebolan dari salah satu universitas terkemuka dari Jerman yaitu Universitat Bielefeld. Mungkin masih banyak lagi pendekar sosiologi Indonesia yang belum saya sebutkan satu-persatu. Intinya, harapan kita semua jika sosiolog Indonesia suatu saat nanti mampu untuk mandiri mengembangkan teori sosiologi khas Indonesia sendiri tanpa harus bergantung dan berkiblat dari kontribusi perkembangan teori ilmu sosiologi dari para sosiolog di Barat (Eropa dan Amerika Serikat). 

‘Universitas Gadjah Mada’ juga sempat melahirkan legenda pendekar sakti ilmu social khususnya sosiologi pada era zaman pembangunan di Indonesia diantaranya adalah Nasikun, sosiolog lulusan Michigan State University, Amerika Serikat dan Umar Kayam yang juga sebagai sosiolog sekaligus seorang sastrawan dan budayawan lulusan dari New York University, Amerika Serikat dan Cornell University, Amerika Serikat. Ketika saya masih menempuh studi di jurusan ilmu sosiologi, Universitas Gadjah Mada dulu maka saya masih bisa bersyukur bisa belajar langsung dari para pendekar sosiologi Indonesia diantaranya: Prof. Sunyoto Usman, Prof. Heru Nugroho, Prof. Tadjuddin Noer Effendi, Prof. Susetiawan, dan beberapa kolega lain civitas Universitas Gadjah Mada yang reputasi mereka di dunia akademik internasional sudah tidak diragukan lagi karena beberapa dari mereka merupakan anggota dari International Sociological Association (ISA). Untuk mencapai cita-cita indigenous sociologist memang tidaklah semudah membalikan telapak tangan diantaranya adalah regenerasi ilmuwan sosiologi sekarang harus produktif menulis dan menerbitkan buku atau menyampaikan ide gagasannya melalui jalur indie lewat media social semacam Blog atau Wordpress agar tulisan idealisme pemikiran serta ide-ide mereka dapat dibaca oleh khalayak umum (digital society). Ide-ide orisinil juga harus diterbitkan oleh para sosiolog di Indonesia agar dapat menjadi acuan referensi bagi ilmuwan social yang lain yang menurut hemat saya bisa dilakukan melalui tiga cara model pendekatan filsafat Hegel yaitu: melakukan penelitian social dengan mungubah sudut pandang baru dari penelitian sebelumnya yang sudah ada sehingga dapat menghasilkan tesis baru yang berbeda dari kebanyakan tesis sebelumnya, melakukan penelitian social dengan mensintesiskan teori yang sudah ada sehingga membentuk teori baru, melakukan penelitian social dengan mengkritik kelemahan teori yang sudah ada dan menawarkan jalan solusi alternatif teori baru atau biasa disebut dengan istilah antitesis.


Gambar Kampus FISIPOL UGM sekarang

Kesimpulan saya sangat sederhana saja bahwa untuk menjadi seorang ilmuwan yang  berkualitas tidaklah harus selalu menuntut ilmu ke luar negeri. Hal ini bisa dilihat dari spirit bangsa Jepang yang dimana banyak ilmuwan Jepang yang belajar di berbagai universitas dalam negerinya sendiri namun hasil karya orisinil akademis mereka dapat paten diakui oleh para akademisi di dunia internasional. Perkembangan internet dan teknologi membuat kesetaraan dalam hal distribusi ilmu pengetahuan serta publikasi riset di seluruh dunia menjadi jauh lebih cepat sehingga semua universitas di dunia mempunyai kesempatan yang sama untuk bergerak maju dan terus untuk berkembang. Hal ini tentu jauh berbeda dengan zaman sebelum era internet dulu yang harus memungkinkan para ilmuwan di Indonesia untuk belajar terbang langsung ke Eropa atau Amerika Serikat hanya untuk mengikuti perkembangan dunia ilmu pengetahuan di dunia Barat yang sudah jauh lebih maju.
 
Sudah saatnya ilmuwan di Indonesia percaya diri dengan kemampuan dirinya untuk mampu bersaing secara global. Intinya adalah mempunyai ide-ide orisinil yang siap untuk diterbitkan! Hal ini bisa saya lihat dari liputan VOA Indonesia-Amerika yang meliput keberhasilan beberapa orang Indonesia yang notabene hanya produk lulusan universitas dalam negeri yang menempuh pendidikan S1, S2, S3 di Indonesia namun kini dapat berkarier menjadi dosen pengajar tetap di beberapa universitas terkemuka di Amerika Serikat. Ini adalah bukti jika kualitas diri ada di dalam diri sendiri bukan ditentukan dari label produk lulusan universitas luar negeri tertentu. Saya berpendapat bahwa sekolah hingga merantau ke luar negeri mempunyai nilai yang sangat positif karena seseorang pasti akan mendapatkan pengalaman jaringan link internasional secara global serta dapat menambah wawasan pengetahuan luas dengan belajar kebudayaan bangsa lain dimana seseorang itu belajar dan tinggal namun semua kualitas ada di dalam diri sendiri dan jangan lantas menjadikan sekolah ke luar negeri adalah kiblat kemajuan seseorang karena kemajuan seseorang terletak pada spirit motivasi diri sendiri untuk terus berkarya menghasilkan ide-ide orisinil dan mau melangkah terus untuk maju! 

Era teknologi dan internet telah merubah zaman. Bila zaman dulu Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, "Tuntutlah ilmu hingga sampai ke negeri China" tetapi bila di zaman ini maka saya hanya bisa berkata, "Tuntutlah ilmu dengan internet lalu berselancarlah hingga sampai ke negeri China". Zaman era masyarakat digital maka semua orang mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh distribusi ilmu pengetahuan untuk melangkah lebih maju dengan makin banyaknya penyedia download PDF buku di internet yang menyediakan buku-buku pengetahuan dari luar negeri. Era masyarakat digital telah menghilangkan batasan sekat lingkup antar negara dan telah menghubungkan seluruh manusia di planet bumi ini. Jadi, akademisi produk lulusan dalam negeri maupun lulusan luar negeri di zaman era teknologi internet sekarang bagi saya tidak ada bedanya karena hanya kualitas output seseorang yang nanti akan menjawab semuanya![]

*Nur Bintang adalah alumnus pascasarjana sosiologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta yang kini merintis karier sebagai editor buku di salah satu perusahaan penerbitan nasional di Jakarta.

Sumber Referensi:
-Fritz H.S. Damanik. 2012. Sosiologi SMA/MA Kelas X. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
-Prof. Drs. Heru Nugroho, S.U.,Ph.D. 2012. Negara, Universitas, dan Banalitas Intelektual: Sebuah Refleksi Kritis dari Dalam. Pidato pengukuhan jabatan guru besar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada.