Artikel

Sabtu, 24 November 2012

“JOGJA I’M IN LOVE”




Oleh: Nur Bintang*

Selama saya berada di Ibukota Jakarta saat ini maka ada hal yang selalu saya rindukan setiap malamnya yakni kota kelahiran saya yaitu Kota Purwokerto (kangen dengan ayah-ibu) dan kota sewaktu saya kuliah dulu yaitu Kota Yogyakarta (kangen dengan sodara dan sahabat-sahabat akrab saya selama menjadi bagian dari almameter UGM). Dalam diri ini saya selalu bersyukur kepada Allah SWT karena telah memberi kelimpahan rezeki terutama kepada orang tua saya yang selalu menjadi sumber inspirasi hidup saya dan juga kakak saya yang selalu memberi nasehat motivasi kepada diri saya untuk selalu bangkit dan terus maju. Saya salut dengan kedua orang tua saya yang selalu mengajarkan kepada anak-anaknya pentingnya akan pendidikan sekolah. Ayah dan ibu saya boleh sedikit berbangga karena semua anak-anaknya (saya dan kakak saya) berhasil menyelesaikan jenjang pendidikan sarjana tepat pada waktunya mulai dari jenjang S1  hingga S2 yang masuk dalam daftar perguruan tinggi negeri bergengsi di Indonesia yang dimana untuk diterima sebagai mahasiswa di universitas tersebut calon mahasiswa harus berjuang melalui proses ujian seleksi ketat dengan bersaing menyisihkan ratusan kandidat pelamar calon mahasiswa lain. Perjuangan yang tidak mudah memang terutama buat kedua orang tua saya yang bekerja sebagai PNS biasa untuk berusaha tetap menyekolahkan anak-anaknya. Ibu saya yang dengan selalu sabar dan senantiasa berdo’a setiap malam buat semua jejak langkah kesuksesan saya dan juga ayah saya sebagai ‘orang minang’ yang selalu mengajarkan kepada anak-anaknya untuk ‘merantau’ dengan menuntut ilmu yang bermanfaat untuk melatih mentalitas kemandirian, membuka mata cakrawala budaya dan dunia sosial sesungguhnya di daerah perantauan, serta membuat jaringan sosial teman persahabatan di daerah perantauan.

Kota Yogyakarta atau terkenal dengan sebutan “Jogja”. Tidak pernah terbesit dalam pikiran saya jika saya dulu sekitar tahun 2009 hingga tahun 2011 dapat mengenyam pendidikan di ‘kota pelajar’ ini. Dapat mengenyam bangku kuliah di Yogyakarta menurut saya dulu mempunyai kebanggaan tersendiri jika dibandingkan kuliah di kota-kota lain yang bisa dibilang termasuk dalam daftar barometer kota pendidikan di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Malang, Surabaya, dan Makasar namun bagiku Kota Yogyakarta punya kesan kenangan tersendiri yang tidak pernah akan saya lupakan. Yogyakarta adalah kota yang penuh dengan kenangan manis. Perjuangan hidup dalam meraih harapan dan cita-cita untuk maju dan sukses. Herannya, setiap saya mendengar lagu ciptaan penyanyi Katon Bagaskara (front man kelompok musik “Kla Project” yang berjudul ‘Yogyakarta’ makin menambah kerinduan diri saya terhadap kota tercinta ini). Bisa dibilang saya jatuh cinta dengan Kota Yogyakarta, cinta akan warung angkringan dengan khas minuman kopi joss-nya dan makanan khas gudeg-nya, cinta akan kebudayaan masyarakatnya, cinta akan suasana intelektualitas para mahasiswanya yang berasal dari lokal hingga mancanegara, cinta akan semuanya akan Kota Yogyakarta termasuk jalan Malioboro dan Sarkem-nya… hehehe… 

Foto saat pertama kali menginjakkan kaki di UGM tahun 2009

Universitas Gadjah Mada (UGM) di Yogyakarta sebagai universitas tertua di Indonesia yang berdiri pada tahun 1949. Menurut saya merupakan salah satu kampus prestisius di Indonesia bahkan pada tahun 2010 masuk dalam jajaran 500 universitas terbaik dunia dengan berada pada peringkat top ranking ke-250 dunia dari jumlah total 20.000 universitas di seluruh dunia yang berhasil disurvei oleh lembaga Times Higher Education yang berpusat di London (British), Pada awal tahun 2012, UGM kembali masuk dalam jajaran 100 perguruan tinggi terbaik di Asia dengan peringkat ranking ke-30 Asia oleh lembaga Webomatrics, Spanyol, dan pada tahun 2007 yang lalu berdasarkan hasil survei lembaga Times Higher Education, jurusan rumpun ilmu-ilmu sosial di UGM pernah berhasil masuk dalam jajaran Top 100 Social Science in The World dengan berada pada peringkat ranking 47 dunia dari 12.000 universitas yang berhasil disurvei, peringkat ranking UGM pada tahun itu berhasil mengalahkan beberapa universitas top dunia seperti University of Wisconsin (Amerika Serikat), Georgetown University (Amerika Serikat), Boston University (Amerika Serikat), Pennsylvania State University (Amerika Serikat), University of Illinois (Amerika Serikat), Johns Hopkins University (Amerika Serikat), Paris I-Phanteon Sorbonne (Perancis), Oslo University (Norwegia), Seoul National University (Korea Selatan), Bologna University (Italia), Sussex University (Inggris), Heidelberg University (Jerman), Keio University (Jepang), Kobe University (Jepang), Leiden Universiteit (Belanda), Universiti Malaya (Malaysia), Nanyang Technological University (Singapura), Tel Aviv University (Israel), University of Western Australia (Australia) dll. (Saya sebagai 'orang kecil' patut bersyukur bisa mendapatkan pendidikan di dalam negeri namun kualitasnya tidak kalah bersaing dengan universitas-universitas di luar negeri).

        Saya mungkin bisa dibilang sebagai 'orang kampung’ karena latar belakang saya hanya sebagai 'orang biasa’ saja yang datang dari sebuah kota kecil di Jawa Tengah. Saya sangat senang ketika dulu bisa kuliah dan menginjakkan kaki pertama kali di kampus bergengsi ini. Di UGM saya mendapat kualitas pengajaran yang terbaik dari kualitas dosen-dosennya yang banyak bergelar doktor hingga professor lulusan dalam dan luar negeri (Pengalaman paling unik adalah ketika saya bertemu seorang mahasiswi S2 asal Korea Selatan jurusan "sosiologi pembangunan" kelas sebelah di FISIPOL UGM yang ternyata dia cukup kaget melihat budaya jam karet yang ada di Indonesia terutama jam masuk kuliah yang selalu mundur dari jadwal semula.. hehehe... selain itu  pengalaman paling menantang adalah ketika saya berjuang untuk dapat lulus ujian wajib PAPs dan ujian wajib TOEFL sebagai syarat ujian sidang dan syarat wisuda, soalnya kalo gak lulus ujian wajib ini maka mahasiswa harus mengulang ikut ujian lagi sampai 'lulus' kalo 'belum lulus' maka tidak diperbolehkan mengikuti ujian sidang thesis dan tidak boleh ikut wisuda alias belum memperoleh ijazah resmi. Hal itu sangat terasa ketika banyaknya para calon wisudawan baik dari jenjang S2, maupun S3 yang belum bisa diwisuda apalagi mendapat ijazah kelulusan dari kampus kerena belum bisa lulus ujian TPA ataupun ujian TOEFL. Namun diluar semua itu, memang sieh sepadan dengan fasilitas dan kualitas yang diperoleh selama kuliah di UGM...). 

         Selama kuliah dulu kelas jurusan saya beberapa kali mendapat kunjungan dosen tamu dari luar negeri seperti kunjungan dosen sosiologi dari National University of Singapore  (NUS) yang ternyata adalah seorang warga negara Indonesia yang berkarier sebagai dosen di Singapore dan perkuliahan yang diadakan dosen Eropa dari Jerman yang juga mengajar di salah satu universitas di negara Jerman walau saat pertemuan kuliahnya menggunakan bahasa inggris sebagai bahasa pengantarnya yang justru menurut hemat saya makin membuat transfer ilmu pengetahuan para mahasiswa semakin bertambah luas, hampir setiap hari di UGM banyak seminar bertema nasional dan internasional yang diadakan di tiap-tiap fakultas juga sempat membuat saya tertarik untuk mengikutinya dan yang berkesan buat saya adalah ketika mendapatkan kesempatan langsung menghadiri kuliah umum dari mantan Presiden Republik Indonesia ke-3 yakni Bapak Prof. BJ. Habibie ketika berkunjung ke kampus UGM, dan kelengkapan jurnal ilmiah dan buku-buku di perpustakaan UGM yang kerap menjadi tempat referensi/rujukan bagi mahasiswa-mahasiswa universitas tempat lain di seluruh Indonesia bahkan peneliti dan mahasiswa asing dari luar negeri. Saya ketika menjadi mahasiswa di UGM dulu juga berkawan baik dengan teman-teman mahasiswa seluruh Indonesia dari Sabang hingga Merauke semuanya ada di UGM seolah-olah telah membuat UGM bagaikan ‘Taman Mini Indonesia di Kampus’

         Saya juga baru tahu ketika makan di kantin Fisipol UGM atau mampir maen ke fakultas ilmu budaya UGM di depan Fisipol UGM melihat ternyata begitu banyaknya mahasiswa-mahasiswa asing baik dari Malaysia, Thailand, Singapore, Timor Leste, India, Jepang, China, Korea, Afrika, Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Belanda, dan Australia yang melanjutkan studi di UGM dari yang berstatus sebagai mahasiswa UGM sampai yang menjadi mahasiswa kelas program kebudayaan pertukaran pelajar. UGM bisa dibilang menjadi salah satu barometer universitas berkelas dunia yang ada di Indonesia. Saya tidak menyia-nyiakan kesempatan saya selama menjadi mahasiswa di UGM dulu untuk bersosialisasi dan bergaul menambah network internasional dengan rekan mahasiswa-mahasiswa asing terutama mahasiswi asal Jepang. Saya bahkan sempat berkenalan dan berteman baik hingga bertukar cenderamata dengan salah seorang mahasiswi Jepang dari University of Tokyo yang sedang mendalami jurusan sastra Indonesia di fakultas ilmu budaya UGM.


Hujan abu letusan Gunung Merapi di kampus UGM, Yogyakarta tahun 2010
Bundaran UGM diselimuti pasir abu letusan Gunung Merapi tahun 2010

        Keunikan ketika saya berada di Kota Yogyakarta dulu adalah ketahanan budaya tradisional Yogyakarta yang masih sangat kental walaupun digempur arus budaya import dari luar. Eksistensi masyarakat Yogyakarta dalam mempertahankan kebudayaannya memang patut untuk diacungi jempol. Pengalaman saya yang membekas akan Kota Yogyakarta adalah ketika Yogyakarta terkena dampak bencana alam letusan dasyat Gunung Merapi pada bulan November tahun 2010 bahkan saya sempat membatalkan semua kegiatan penelitian saya dalam menyusun thesis ketika itu. Ketika itu suasana Kota Yogyakarta benar-benar dibuat kalang-kabut karena hujan abu vulkanik yang turun merata di seluruh kota Yogyakarta. Saya masih ingat ketika dulu saya terbangun dari tidur pada tengah malam karena kaget bukan kepalang melihat hujan abu debu pasir vulkanik disertai batu kerikil kecil yang turun diringi suara gemuruh letusan Gunung Merapi yang terdengar sampai daerah Sleman padahal jarak Gunung Merapi berada sekitar 20 km dari tempat saya kost menginap di rumah famili. Saya juga tidak melupakan moment tersebut dan mencatat penanggalannya yaitu tanggal 5 November 2010 untuk mengingat letusan paling dasyat Gunung Merapi dari sejarah erupsi Merapi selama ini menurut para ahli vulkanologi. 

         Letusan Gunung Merapi merupakan tragedi yang sangat memilukan bagi warga Yogyakarta karena telah meninggalkan banyak korban jiwa termasuk bintang iklan juru kunci Gunung Merapi yakni Mbah Maridjan yang ikut menjadi korban letusan Gunung Merapi hingga kerugian materi dan beban psikis yang cukup banyak dialami korban bencana alam letusan Gunung Merapi ketika itu. Akibat erupsi Gunung Merapi dulu maka beberapa fakultas di UGM sempat menjadi tempat penampungan pengungsi bencana alam dan banyak mahasiswa-mahasiswa dari berbagai universitas di seluruh Kota Yogyakarta dan seluruh Indonesia yang kemudian turun ke daerah bencana alam sebagai sukarelawan untuk membantu korban bencana alam letusan Gunung Merapi. Kota Yogyakarta saat itu benar-benar menjadi headline berita liputan berbagai media massa baik dari media lokal maupun media luar negeri yang selalu melaporkan berita pemantauan perkembangan terkini aktivitas vulkanik Gunung Merapi secara langsung dari Kota Yogyakarta. Semoga hal ini tidak terulang kembali untuk warga Kota Yogyakarta namun tragedi akan letusan Gunung Merapi di Yogyakarta dulu selalu membekas dalam ingatan saya.

Festival musik klasik dari musisi Belanda di kampus UGM

Ketika dulu saya masih menyandang status mahasiswa UGM ada hal yang selalu menarik untuk saya adalah pertunjukan musik orksestra klasik yang sering diadakan oleh lembaga kursus bahasa belanda yaitu 'Karta Pustaka' di Yogyakarta yang biasanya sering diadakan pada moment-moment tertentu menjelang malam akhir minggu bertempat di auditorium fakultas kedokteran UGM. Saya masih ingat untuk membeli karcis menonton orkestra klasik dulu sangat pas untuk ukuran kantong mahasiswa hanya Rp 5.000,- saja (pernah beberapa konser bertema jazz dan seni pertunjukan panggung theatre yang juga mendatangkan seniman-seniman dari Belanda malah diadakan gratis karena berada dalam lingkup misi kerjasama pendidikan dan kebudayaan). Pemain-pemain orkestra klasik biasanya adalah seniman langsung yang diterbangkan dari negeri Belanda. Pertama kali saya menonton orkestra klasik yang dimainkan langsung oleh seniman-seniman Belanda, saya sempat merasakan adanya lingkup atmosfer nuansa kebudayaan Eropa yang hidup selaras dengan seni budaya tradisional yang ada di Yogyakarta. It’s so amazing for me about culture in Yogyakarta!

Foto di depan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat

Petualangan saya di Yogyakarta tidak berhenti disitu, kebetulan saya mempunyai sahabat dekat bernama Halim, teman satu angkatan mahasiswa pascasarjana sosiologi UGM dulu dan saya biasa memanggil beliau dengan sebutan ‘Bung Halim’. Bung Halim adalah seorang dosen sejarah di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta yang tahu banyak mengenai studi tentang kebudayaan Tiong Hoa di Yogyakarta. Berkat Bung Halim, saya yang hanya mahasiswa perantauan di Yogyakarta menjadi tahu dan hafal betul jalan-jalan di Yogyakarta karena sering diajak jalan-jalan berkeliling Yogyakarta berburu santapan kuliner khas Yogyakarta bersama Bung Halim. Bung Halim yang sudah lama di Yogyakarta juga banyak membantu saya ketika saya sedang melakukan survey lokasi penelitian untuk membuat thesis. Bersama kawan-kawan di UGM dulu saya biasanya mencari tempat tongkrongan favorit buat berumpul-kumpul selepas kepenatan aktivitas kuliah terutama pada malam hari berburu nasi kucing ke alun-alun kidul area komplek keraton kesultanan. Sebuah kenangan yang tidak mungkin terlupakan buat saya. 

Saya saat berjuang menyelesaikan tesis riset evaluasi

Penelitian thesis untuk meraih gelar master saya lakukan di daerah Sosrowijayan, Pasar Kembang (Sarkem) yang masih berada dalam wilayah Kota Yogyakarta. Alasan saya mengambil penelitian di tempat tersebut selain dekat sehingga saya bisa menghemat ongkos biaya penelitian, juga yang lebih penting adalah membunuh rasa penasaran saya untuk bisa melakukan penelitian thesis di daerah lokalisasi terbesar di Yogyakarta tersebut. Saya melakukan penelitian dengan menggunakan metode ethnografi sebagai pengumpulan datanya maka membuat saya terpaksa harus menyewa sebuah kamar kost yang letaknya bersebelahan dengan lokalisasi Sarkem yakni di International Village alias kampung turis untuk melakukan studi evaluasi, pengamatan, dan wawancara hingga sampai batas akhir penelitian thesis saya dapat selesai. 

         Selama saya di kampung turis, saya biasa makan nasi kucing di dalam komplek area kampung turis yang ternyata banyak juga turis-turis bule yang doyan makan nasi kucing. Fenomena yang bisa dibilang cukup aneh adalah banyaknya cinta lokasi antara pemandu wisata dari kampung turis dengan turis-turis bule disana bahkan banyak yang berakhir bahagia pada gerbang pintu pernikahan. Seorang pemandu wisata di sana pernah bercerita kepada saya jika ingin dapat pacar cewek bule yang utama adalah niat keberanian serta kemampuan bahasa inggris yang baik. Bisa dibilang turis-turis bule yang menginap di losmen penginapan kampung turis kebanyakan adalah para turis backpacker lain halnya dengan turis-turis bule gedongan yang lebih banyak menginap di hotel-hotel berbintang sepanjang jalan Malioboro. Aktivitas saya selama penelitian itu hanya bolak-balik dari kampung turis ke lokalisasi Sarkem. Saya melakukan pendekatan social dengan para tokoh di lokalisasi Sarkem dalam menyelesaikan penelitian. Cukup agak susah pada awalnya mereka untuk dapat menerima saya sebagai peneliti independen terutama terkait izin dari pihak keamanan lokal setempat namun seiring berjalannya waktu pada akhirnya saya dapat diterima baik oleh mereka terutama oleh para perempuan pekerja seks di sana dan saya juga melakukan kerjasama penjangkauan kesehatan dengan LSM yang aktif melakukan penjangkauan ke lokalisasi Sarkem dengan identitas saya sebagai mahasiswa UGM yang sedang menyusun tugas akhir membuat laporan penelitian.


Graduation
Penelitian di lokalisasi Sarkem, Yogyakarta yang sudah lama berdiri sejak zaman penjajahan kolonial Belanda ini makin membuka cakrawala saya perihal permasalahan kehidupan para perempuan pekerja seks di lokalisasi Sarkem, Yogyakarta. Penelitian saya mengangkat topik kesehatan mengenai evaluasi program penanggulangan HIV/AIDS yang dilakukan kelompok Bunga Seroja di Pasar Kembang. Saya berteman baik dengan para perempuan pekerja seks disana karena merekalah yang banyak membantu saya memberikan informasi dan data ketika saya sedang berjuang menyusun laporan penelitian thesis saya. Dosen pembimbing thesis saya yaitu Pak Prapto juga sangat banyak membantu saya selama dalam proses penyusunan laporan penelitian thesis dengan memberi saran dan masukan yang bersifat membangun. Alhamdulilah, puji syukur saya kepada Allah SWT pada akhirnya saya bisa menyelesaikan studi S2 saya kurang dari 2 tahun tepatnya yakni 1 tahun 11 bulan dengan nilai IPK di atas tiga disertai lampiran kewajiban syarat kelulusan ujian PAPs ( Tes Potensi Akademik Pascasarjana) min. score 500 dan syarat kelulusan ujian tes TOEFL min. score 450, yang berhasil saya selesaikan dengan baik, tepat pada waktunya hingga pada akhirnya pada hari bersejarah yaitu tanggal 26 Oktober 2011 maka saya resmi diwisuda sebagai alumnus UGM dan resmi berhak menggondol gelar S2 berlabel internasional yakni Master of Arts (M.A.). 

         Memang untuk lulus kuliah di UGM tidaklah mudah, saya merasakan hal itu melalui perjuangan berdarah-darah getirnya harus lulus ujian PAPs dan ujian TOEFL yang menurut saya tidak mudah, begitu juga dalam penyusunan thesis ada banyak cobaan dan rintangan ketika terjun ke lapangan (lokasi penelitian) terkait dengan interaksi sosial dengan informan/responden, serta permasalahan intensitas pertemuan konsultasi mahasiswa dengan dosen pembimbing serta dosen penguji yang terkadang juga menemui kendala teknis di lapangan bahkan ada beberapa mahasiswa yang merasa kesulitan karena terkait aktivitas penelitian, akhirnya memutuskan putus di tengah jalan atau menghilang kabar beritanya dari aktivitas kegiatan kampus entah mereka mengundurkan diri atau tidak sanggup menyelesaikan penelitiannya karena menemui kendala yang sangat berat di lokasi penelitian. Demikianlah lingkup pengalaman saya selama belajar di Kota Yogyakarta, semoga ilmu dan pengetahuan yang saya pelajari dapat menjadi berkah untuk bisa saya terapkan aplikasinya kepada masyarakat. Intinya, adalah semangat untuk tetap terus belajar karena hidup sebagai bagian dari proses pembelajaran dan selalu tetap rendah hati dan tidak sombong terhadap sesama. Dengan bekal ilmu yang saya dapatkan semoga akan semakin menunjang karier pekerjaan saya sekarang ini di masa depan. Amin. JOGJA NEVER ENDING ![] 

ANALYSIS JOB FOR SOCIOLOGY GRADUATED: Sosiologi adalah ilmu murni (pure science) seperti halnya ilmu filsafat yang belum menjadi ilmu terapan/profesi seperti halnya ilmu kedokteran, ilmu keperawatan, farmasi, ilmu hukum, dan ilmu psikologi. Mengambil jurusan sosiologi sebenarnya adalah minat dan kecintaan karena kebanyakan lulusan sosiologi bekerja mengabdi menjadi guru di sekolah atau dosen pengajar di universitas, lulusan sosiologi juga dibutuhkan di beberapa instansi birokrasi pemerintah (PNS) yang berkaitan dengan hubungan masyarakat (humas), penyuluh masyarakat pada lembaga instansi pemerintah seperti contoh: penyuluh KB di BKKBN, perumus program penanggulangan penyakit masyarakat di Dinas Sosial, dan perumus kebijakan sosial di Departemen Dalam Negeri. Kiprah lulusan sosiologi untuk bekerja di sektor swasta bisa di LSM dan NGo, wartawan media massa, peneliti statistik sosial atau peneliti etnomarket kualitatif pada perusahaan-perusahaan besar swasta atau di bank-bank pemerintah dan bank-bank swasta yang membutuhkan analis 'Market Research' pada divisi pemasaran, lulusan sosiologi juga sangat berperan dalam perumusan kebijakan CSR (Corporate Social Responsibility) pada perusahaan-perusahaan besar swasta, lulusan sosiologi juga dapat berkiprah sebagai editor penerbitan buku-buku sekolah untuk mata pelajaran sosiologi atau editor penerbitan buku-buku yang berkaitan dengan filsafat dan sosial-budaya atau bahkan menjadi penulis buku. Itu adalah beberapa kualifikasi lapangan kerja untuk lulusan sosiologi yang ingin mengaplikasikan ilmu sosiologi di pekerjaannya. Saya hanya bilang bahwa orang-orang yang mengambil jurusan sosiologi kebanyakan adalah orang-orang unik yang berlatar belakang memiliki idealisme kuat karena mencintai jurusan yang ditekuninya. Namun itu semua adalah usaha masing-masing dalam perjuangan meraih pekerjaan yang diimpikan selebihnya adalah kehendak tangan Tuhan yang menentukan dalam membagikan urusan rezeki kepada semua makhuk ciptaan-Nya. Sehebat apapun lulusan sarjana dari universitas ternama bila dia malas mau belajar dan mengembangkan dirinya maka dia akan kalah dalam kompetisi persaingan dunia kerja karena selebihnya semua kembali kepada diri masing-masing serta nasib keberuntungan. Semua orang berhak untuk maju meraih sukses tanpa ada diskriminasi latar belakang apapun. Jadi kalau dia memang berkompeten, Why not? Intinya, tetaplah berusaha dan senantiasa berdo'a kepada Tuhan karena hidup itu adalah perjuangan..!!!  

*Nur Bintang adalah alumnus pascasarjana sosiologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta yang kini merintis karier sebagai editor buku pada salah satu perusahaan penerbitan buku nasional di Jakarta.

Jumat, 23 November 2012

“LOGIC BASES : DASAR-DASAR LOGIKA"



Ditulis oleh: Nur Bintang*

Pengantar
Dalam penulisan kali ini saya akan membahas mengenai ilmu ‘dasar-dasar logika’ atau ‘ilmu penalaran’ sebagai bagian dari cara berpikir ilmiah dan logis. Mungkin pembahasan mengenai ilmu ‘dasar-dasar logika’ lebih cocok diterangkan oleh para sarjana jurusan filsafat but it’s okay karena kebetulan pembahasan mengenai ‘dasar-dasar logika’ dulu juga sudah menjadi mata kuliah wajib zaman kuliah S1 saya dulu. Saya dalam pembahasan kali ini hanya menjabarkan garis besarnya saja dalam mekanisme berpikir berdasarkan alur logika yang saya pelajari selama ini. Ujian tes mengenai ‘dasar-dasar logika’ juga saya ikuti ketika saat ujian PAPs (Tes Potensi Akademik Pascasarjana) Universitas Gadjah Mada baik yang diadakan oleh fakultas psikologi UGM maupun yang diadakan pihak OTO Bappenas Jakarta yang masing-masing terdiri dari Sub tes kemampuan verbal, kemampuan kuantitatif, dan kemampuan penalaran  sebagai syarat ujian sidang proposal tesis sekaligus syarat wajib kelulusan wisuda (ketika dulu saya masih kuliah mengambil gelar master S2 di UGM) dan kalau sekarang tes PAPs adalah syarat ujian masuk pascasarjana (S2 dan S3) di UGM selain kewajiban kelulusan tes TOEFL score 450 atau tes AcEPT score 210 untuk mahasiswa S2, dan TOEFL score 500 atau tes AcEPT score 250 untuk mahasiswa S3 (Alhamdulilah setelah perjuangan mengikuti tes dengan kode soal yang berbeda-beda hingga sampai empat kali, akhirnya saya dapat lulus dengan mendapatkan score 531 dari batas grade score kelulusan yang ditetapkan yakni score 500 bagi mahasiswa S2, score 550 bagi mahasiswa S3), ujian ‘dasar-dasar logika’ juga sering ditemui pada soal-soal psikotes ketika akan melamar pekerjaan baik ke perusahaan swasta atau bahkan saat mengikuti ujian masuk seleksi calon pegawai negeri. Mungkin bisa saja sewaktu-waktu grade kelulusan score baik itu TOEFL ataupun TPA ke depannya dapat berubah dengan tujuan untuk meningkatkan kompetensi mahasiswa yang bersangkutan selain syarat publikasi jurnal ilmiah kampus untuk skripsi (S1), jurnal ilmiah nasional untuk tesis (S2), dan jurnal ilmiah internasional untuk disertasi (S3) yang katanya akan segera diberlakukan oleh pemerintah dalam waktu dekat ini.

Bisa dibilang untuk mengerjakan soal tes ‘dasar-dasar logika’ tidaklah mudah bahkan saya sendiri membutuhkan waktu belajar yang cukup lama untuk benar-benar bisa beradaptasi memahaminya bahkan ada beberapa kawan mahasiswa S2 saya dulu di UGM asal Sumatera, Papua, dan Maluku bahkan sampai mengikuti ujian tes PAPs hingga lebih dari lima kali untuk bisa lulus karena score yang belum mencapai  passing grade score 500 yang sudah ditentukan pihak universitas namun banyak juga kawan-kawan saya yang memang cukup pintar atau memang sedang kebetulan bernasib baik alias ‘beruntung’ dapat langsung lulus tes dengan score 500 hanya dengan ikut satu kali ujian tes saja. Anggap saja tantangan itu sebagai sebuah proses menuju keberhasilan! Intinya membentuk mentalitas diri positif ‘tahan banting’ dengan fokus, ketekunan, dan kemauan untuk belajar adalah spirit motivasi yang paling utama untuk dimiliki dalam meraih sukses! Saya sudah banyak membaca beberapa referensi buku mengenai ilmu ‘dasar-dasar logika’ tapi lupakan saja! karena buku-buku tersebut kebanyakan disampaikan dalam bahasa filsafat yang berat dan sukar untuk dicerna namun saya tidak lantas patah semangat untuk mempelajarinya, saya tetap terus belajar semampu saya bisa sampai suatu saat saya bisa menyederhanakan materi ilmu ‘dasar-dasar logika’ tersebut. Untuk itu saya akan menguraikan ilmu ‘dasar-dasar logika’ ke dalam bahasa yang paling sederhana untuk mempermudah kita semua di dalam membuat kesimpulan yang tepat dari suatu bentuk premis pernyataan-pernyataan. Semoga bermanfaat!

Silogisme
Silogisme adalah suatu penyimpulan dari dua putusan (premis) yang kemudian disimpulkan menjadi kesimpulan baru (konklusi). Silogisme sendiri dapat dibagi menjadi dua bagian yakni silogisme kategoris dan silogisme hipotetis. Namun yang saya jelaskan lebih banyak dalam pembahasan ini adalah silogisme kategoris yang lebih sering banyak keluar dalam soal-soal ujian psikotes hingga ujian Tes Potensi Akademik (TPA). Berikut adalah penjelasannya:

Silogisme Kategoris terdiri dari tiga buah term yakni term subyek (S), term predikat (P), dan term antara (M). Pernyataan pertama dalam silogisme dinamakan premis mayor, pernyataan kedua dalam silogisme dinamakan premis minor, dan pernyataan yang terakhir adalah konklusi/kesimpulan. Ilmu logika mengajarkan kita untuk menarik kesimpulan dari pernyataan masing-masing premis (baik premis mayor maupun premis minor). Term yang muncul dua kali pada putusan (premis) tidak muncul kembali dalam konklusi (kesimpulan).

Contoh:   Premis mayor/term subyek                = Setiap burung dapat terbang
               Premis minor/term predikat              = Elang adalah burung
               Konklusi/term antara                       = Elang dapat terbang
Syarat: premis mayor harus universal: setiap, seluruh, semua (dan) premis minor harus afirmatif : budi, dian, gajah, sebagian, sementara, beberapa, ada, mungkin semua, beberapa/tidak semua dengan minimal satu anggota (maka) konklusi/kesimpulan harus afirmatif.

Contoh:   Premis mayor           = Semua atlet petinju bisa memukul
               Premis minor            = Beberapa atlet sepak bola tidak bisa memukul
               Konklusi                   = Beberapa atlet sepak bola bukanlah atlet petinju
Syarat:  Jika premis minor dalam bentuk afirmatif negatif maka konklusi/kesimpulan harus dalam bentuk afirmatif negatif.

Contoh:   Premis mayor           = Sarjana adalah orang pintar
               Premis minor            = Ada sarjana yang menjadi penemu
               Konklusi  = Sebagian sarjana yang menjadi penemu adalah orang pintar
Syarat: Jika premis minor dalam bentuk afirmatif positif maka konklusi/kesimpulan harus bersifat afirmatif positif (sebagian).

Contoh: Premis mayor            = Tidak ada penjahat yang mau bertobat
              Premis minor             = Beberapa yang bertobat adalah orang baik
             Konklusi                    = Beberapa orang baik bukanlah penjahat
Syarat: Jika salah satu premis negatif dan salah satu premis afirmatif maka konklusi harus afirmatif negatif.

Hukum-hukum Silogisme:
Jumlah term/dalam silogisme harus selalu berjumlah 3 term yakni term subyek, term predikat, dan term antara.

Penarikan konklusi/kesimpulan harus dalam bentuk proposisi partikular/afirmatif/sebagian.

Jika kedua premis yakni premis mayor dan premis minor sama-sama berbentuk negatif, maka tidak dapat ditarik konklusi/kesimpulan.

Bentuk premis baik premis mayor maupun premis minor salah satu harus berbentuk universal dan tidak boleh berbentuk partikular keduanya.

Contoh bentuk:     Premis mayor           = Universal
                            Premis minor            = Partikular/Afirmatif
                            Konklusi                  = Partikular/Afirmatif
Contoh bentuk:    Premis mayor           = Universal
                           Premis minor            = Negative partikular/afirmatif
                           Konklusi                   = Negatif partikular/afirmatif

Silogisme Hipotesis adalah hipotesis yang terdiri dari satu premis atau lebih yang berupa proposisi hipotesis. Silogisme hipotesis terdiri dari silogisme hipotesis kondisional, silogisme hipotesis disjungtif, dan silogisme hipotesis konjungtif.

Silogisme hipotesis kondisional menggunakan bentuk premis persyaratan yang terdiri dari antecedens/hubungan lurus dan consequens/kesimpulan.

Contoh: Jika saya punya uang nanti (antecedens), maka saya akan membeli mobil (consequens).

silogisme hipotesis disjungtif adalah silogisme yang dimana putusan premis minor mengakui atau menyangkal putusan mayor sehingga ditarik konklusi kesimpulan yang lain baik dalam arti sempit (kemungkinan) maupun arti luas (adanya kemungkinan yang ketiga).

Contoh dalam arti sempit: Budi membolos atau Budi tidak membolos. (kemungkinan Budi berada di rumah atau kemungkinan Budi berada di sekolah).

Contoh dalam arti luas: Dia mencintai saya atau dia. (kemungkinan dia bisa saja mencintai saya, kemungkinan dia bisa saja mencintai dia, atau kemungkinan ketiga yang lain mungkin dia bisa saja mencintai kedua-duanya; saya dan dia).

silogisme hipotesis konjungtif adalah proposisi kesesuaian untuk predikat menyangkal satu subjek/ketidak mungkinan dalam bentuk kemungkinan afirmatif-negatif atau bentuk kemungkinan negatif-afirmatif serta dua pernyataan premis yang mendapat kata hubung ‘dan’.

Contoh: Andi (premis afirmatif) tidak mungkin membaca dan menulis (kesimpulan negatif)

Contoh: Tidak mungkin sekaligus (kesimpulan negatif) Andi dapat membaca dan menulis (premis afirmatif). Artinya, Andi tidak membaca melainkan menulis atau justru sebaliknya Andi tidak menulis melainkan membaca.


Foto narsis saya saat liburan di  'Oud Batavia'..  : )

Sekedar share berbagi pengalaman
Sebenarnya masih banyak lagi kajian dalam pemahaman ilmu penalaran ‘dasar-dasar logika’ tetapi saya dalam pembahasan kali ini hanya menguraikan garis pokok besarnya saja yang wajib untuk dikuasai ketika masuk ke dalam jenjang perguruan tinggi. Pembahasan lebih mendalam bisa ditanyakan kepada mahasiswa atau sarjana yang mengambil jurusan filsafat (saya bukan lulusan filsafat melainkan lulusan sosiologi, hehehe..) namun setidaknya pembahasan saya dapat membentuk dasar (basic) dalam proses berpikir ilmiah berdasarkan alur logika karena filsafat adalah induk segala ilmu pengetahuan baik ilmu alam maupun ilmu sosial. Point pentingnya adalah kemauan untuk belajar karena semua tidak ada yang serba ‘instant’ artinya nikmatilah segala proses menuju keberhasilan itu.

Soal psikotes terutama TPA tidaklah mudah bagi kebanyakan orang karena masing-masing sub tes yang diujikan berbeda-beda menurut kategori penilaiannya bila ujian sub tes kemampuan verbal lebih dibanyak menuntut pengetahuan kosa kata dan istilah baru seperti sinonim dan antonim, solusinya untuk rajin membuka dan membaca kamus; sub tes kemampuan kuantitatif lebih memproritaskan kemampuan berhitung, ketelitian, dan kecepatan maka solusinya rajin mengerjakan soal matematika dari deret ukur, aljabar, bangun ruang, penjumlahan pecahan dan desimal, perhitungan jarak dan waktu dsb; sub tes penalaran maka harus rajin berlatih soal-soal spasial bangun ruang dan 'dasar-dasar logika' yang kebetulan contoh soal 'dasar-dasar logika' dalam pembahasan posting kali ini sengaja saya ambil yang termudah untuk mempermudah transfer ilmu pengetahuan dan sebetulnya ada soal-soal ‘dasar-dasar logika’ yang jauh lebih sulit dari contoh yang saya bahas kali ini. Pengalaman perjuangan saya mengerjakan soal PAPs pada akhirnya memperoleh masing-masing sub tes dengan nilai score yang sangat memuaskan dari sub tes kemampuan verbal memperoleh score 573, kemampuan kuantitatif memperoleh score 531, dan kemampuan penalaran memperoleh score 500 dengan jumlah nilai rata-rata total keseluruhan adalah mendapat score 531. Untuk dapat lulus dari ujian PAPs atau TPA maka soal yang berjumlah total 250 soal harus dapat dikerjakan dalam waktu 40-60 detik per soal artinya dalam ujian PAPs atau TPA dituntut pengetahuan, kecepatan, dan ketelitian agar dapat selesai tepat waktu dari batas waktu ujian yang telah ditentukan. Selain itu saya sarankan fisik anda harus sehat saat mengikuti tes ini dengan istirahat yang cukup, minum vitamin dan makan makanan bergizi yang mengandung banyak protein seperti telur, daging ayam, daging ikan yang berguna meningkatkan kinerja sel otak. Berdo'a dan yakin kepada Tuhan bisa mengerjakan soal-soal tes PAPs atau TPA dengan baik. Mental psikis yang baik dan fisik yang prima juga sangat menentukan ketika mengikuti tes PAPs atau TPA ini. 

          Lulus ujian TOEFL atau ujian AcEPT ditambah dengan ujian PAPs adalah syarat wajib kelulusan di UGM dengan tidak memandang seberapa pintar nilai tinggi IPK mahasiswa saat berada di kampus. Apabila ada mahasiswa yang memang belum dapat menyelesaikan ujian wajib ini maka jangan harap mahasiswa yang bersangkutan bisa lulus mendapatkan ijazah resmi. Hal ini saya rasakan ketika dulu kuliah di UGM melihat dari banyaknya mahasiswa calon kandidat master (S2) dan mahasiswa calon kandidat doktor (S3) baik dari Indonesia maupun asing dari luar negeri yang belum mendapatkan ijazah resmi apalagi berhasil diwisuda karena mahasiswa yang bersangkutan belum dapat menyelesaikan ujian wajib ini. Selain itu, apabila mahasiswa pascasarjana selama jeda batas waktu kelayakan program studi belum juga dapat menyelesaikan masa studinya, apalagi juga belum berhasil lulus dari ujian wajib ini (TOEFL/AcEPT dan PAPs) maka mahasiswa yang bersangkutan dapat dikenai sanksi untuk mengundurkan diri sebagai mahasiswa. Banyak masyarakat di luar selama ini yang mengatakan jika dosen-dosen di UGM memang terkenal 'killer' terhadap para mahasiswanya. Pernyataan dari masyarakat itu memang benar adanya namun tidak semuanya berlaku demikian karena itulah dinamika kehidupan dunia akademik di kampus.

         Tulisan artikel kecil ini terinspirasi dari petikan ucapan sastrawan besar Indonesia yang sempat masuk dalam calon kandidat peraih nobel dalam bidang sastra yaitu Pramoedya Ananta Toer yang dahulu beliau pernah berkata, "Aku tidak ingin mati bersama dengan ilmu yang masih melekat di dalam tubuhku agar dapat memberi manfaat bagi orang lain yang masih hidup." Caranya? yaitu dengan jalan 'menulis'. Begitu juga dengan saya yang hanyalah seorang yang masih baru tahap proses belajar maka jelas tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan pengalaman dan keilmuan beliau. Saya secara pribadi juga memiliki keinginan untuk terus berbagi ilmu bermanfaat kepada rekan-rekan semuanya melalui tulisan di blog saya ini karena ajaran agama juga mengajarkan bahwa amalan yang terus mengalir bagi seorang hamba-Nya adalah ilmu yang bermanfaat. Semoga tulisan saya dalam pembahasan kali ini dapat mencerahkan…!!![]

*Nur Bintang adalah pengamat sosial-budaya dan pernah menjadi seorang editor buku ilmu-ilmu sosial di salah satu penerbitan nasional, Jakarta.

Sumber Referensi:

-Azis Saefudin. (2010). Jaminan Score Tinggi TPA: Tes Potensi Akademik Pascasarjana. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.
-Tim redaksi bangkit. (2009). Tes Bakat Skolastik dan Psikotes untuk CPNS. Yogyakarta: Penerbit Bangkit.


Rabu, 21 November 2012

"CORRUPT AGAIN... CORRUPT AGAIN...???"



Oleh: Nur Bintang*



 Korupsi peradaban kebudayaan kuno nusantara

       Ketika saya membaca buku saku korupsi yang disusun lembaga KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) mengenai ranking korupsi Indonesia yang pada tahun 2005 mencapai puncak prestasi sebagai negara terkorup rangking 1 Asia menurut data Pacific Economic and Risk Consultancy, membuat saya langsung tersentak kaget dan heran walaupun kini ranking korupsi Indonesia berangsur-angsur makin turun menjadi peringkat ketiga di Asia Pasifik namun tidak melepas Indonesia masuk ke dalam kategori daftar peringkat 10 besar negara terkorup di Asia Pasifik bahkan dunia. Kurangnya pemahaman pejabat pemerintah/negara akan praktek korupsi semakin memperluas kebudayaan korupsi di Indonesia dari menerima hadiah jasa (suap) dari sebuah pelayanan biasanya terkait izin usaha perusahaan milik pengusaha yang diberikan kepada oknum pejabat daerah, penggelapan pajak seperti yang dilakukan mafia pajak ‘Gayus Tambunan’, pelarian dana nasabah dari para bankir-bankir nakal, pemotongan anggaran dana bantuan pemerintah tanpa sepengetahuan negara dan masih banyak lagi praktek-praktek pungutan liar yang masuk dalam kategori korupsi yang menyebabkan kerugian keuangan negara. Menurut Litbang KOMPAS edisi november 2012 bahwa di mata publik penyelewengan anggaran negara melibatkan oknum kader parpol di DPR, oknum pejabat tinggi di kementerian, juga kalangan swasta yang menjadi rekanan proyek yang bersifat langsung.

Peradaban Indonesia saat ini nampaknya tidak terlepas dari budaya “KORUPSI”,, mengapa demikian…??? Katanya bangsa Indonesia adalah negara beragama yang pancasilais, makmur dan kaya akan sumber daya alam tetapi mengapa Indonesia sampai detik ini masih terpuruk akan kemiskinan dan semakin menjamurnya budaya korupsi? Itulah banyak pertanyaan yang selalu menghantui masyarakat dewasa ini. Dalam masalah penyakit sosial ini maka saya sebagai pemerhati sosial (sociologist) akan melakukan analisa sosial kebudayaan mengapa bangsa Indonesia kini makin terpuruk dan cenderung dikenal akan budaya korupsi yang semakin menggila ini. Fenomena budaya korupsi bila kita telisik lebih jauh dari berbagai literature yang sudah saya baca bahwa ternyata budaya korupsi sudah mengakar kuat pada tradisi budaya kuno nusantara jauh sebelum kedatangan penjajah perusahaan Belanda VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) di nusantara pada abad ke 16. Pada masa kerajaan-kerajaan di nusantara setiap menjelang akhir tahun biasanya rakyat diminta membayar upeti/pajak kepada negara atas nama penghormatan kepada raja/sultan. Upeti yang diberikan raja terlebih dahulu dikumpulkan di setiap wilayah administrasi perangkat kepala desa sebelum diberikan kepada bupati yang nanti akan langsung dikirim ke ibu kota kerajaan. Namun yang menjadi problem permasalahan adalah adanya oknum-oknum pejabat di daerah yang mengurangi takaran isi upeti kepada raja/sultan. Isi upeti ini bisa bermacam-macam ada yang berupa hasil bumi pertanian, hasil tangkapan ikan nelayan hingga emas, intan, permata yang khusus diberikan kaum saudagar kaya dan para bangsawan yang diberikan untuk menghormati kewibawaan raja/sultan. Para pembangkang ini biasanya adalah golongan elite bangsawan yang membawahi urusan pengiriman upeti kepada raja/sultan di ibu kota kerajaan dengan mengambil sedikit isi upeti hingga mengurangi sedikit isi takaran upeti untuk menumpuk kekayaannya tanpa sepengetahuan raja/sultan. Nampaknya budaya “mengutil” atau suka mencuri ini diwariskan dari generasi pendahulu kepada generasi saat ini di Indonesia.

Saya adalah termasuk orang yang khawatir akan perkembangan budaya korupsi di Indonesia akhir-akhir ini. Korupsi menggerogoti sektor segala lini dan membuat kebocoran uang negara serta pelakunya tidak lain adalah aparat pejabat negara yang mendapat amanah kepercayaan dari rakyat. Berita di media massa saat ini yang membuat heboh adalah banyaknya pejabat PNS (Pegawai Negeri Sipil) di Indonesia yang tersandung masalah korupsi yang parahnya mereka masih leluasa berangkat ke kantor instansi pemerintah dengan status “bekas narapidana korupsi” terutama pejabat PNS di daerah dengan alasan pemerintah daerah tidak bisa memecat mereka karena oknum pejabat PNS daerah tersebut adalah tim sukses dari bupati atau gubernur daerah setempat yang saat ini masih menjabat. Hal ini belum ditambah dengan sistem perekrutan pegawai CPNS yang masih sarat akan nuansa KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) di beberapa daerah (walaupun tidak semua daerah demikian). Hasil dari sistem perekrutan CPNS yang sarat nuansa KKN pada akhirnya hanya akan melahirkan mentalitas birokrat yang gemar akan korupsi dan praktek suap. ALANGKAH LUCUNYA NEGERIKU.. INDONESIA..!!! Sudah jelas oknum koruptor pejabat PNS itu adalah pengkhianat negara anehnya dengan bebas leluasanya masih menjabat pejabat plus dapat gaji serta tunjangan PNS lainnya masih jalan terus. Kabar dari mendagri di bulan November 2012 untuk menonaktifkan PNS yang tersandung masalah korupsi dari pemecatan hingga permohonan pengunduran diri patut kita apresiasi dan kita dukung dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

Budaya korupsi Indonesia pada masa ini sudah tidak mengherankan lagi bahkan pada zaman dahulu di era pemerintahan kolonial Inggris di nusantara pada masa pemerintahan gubernur jenderal Sir Thomas Stamford Raffles (gubernur Jenderal asal Inggris yang menguasai wilayah Bengkulu (Sumatera) dan Jawa sebagai wilayah eks kolonial Hindia-Belanda dari tahun 1811-1816 sekaligus pendiri koloni Singapura) ketika berkunjung ke nusantara terutama di wilayah Jawa saat itu heran bukan main melihat golongan elite bangsawan pribumi dan pejabat pribumi kerajaan di Jawa saat itu yang gemar akan praktek korupsi dan suap, kongkalikong antara pejabat pribumi/bangsawan pribumi dengan pengusaha asing, serta gemar melakukan pungutan-pungutan liar yang tidak resmi kepada rakyat. Analisa budaya korupsi pejabat pribumi secara anthropologis dan sosiologis dilakukan oleh Raffles untuk melihat akar budaya orang-orang pribumi ketika itu serta dituangkan ke dalam karangan sebuah buku fenomenalnya yang berjudul  The History of Java pada tahun 1817. Budaya korupsi di kalangan bangsawan dan pejabat pribumi semakin bertambah canggih karena adanya “knowledge transfer” dari pegawai-pegawai Belanda dari perusahaan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) yang sudah maju sebagai perusahaan multinasional pertama di dunia yang melakukan monopoli perdagangan di nusantara pada abad 16-abad 17 dengan sistem pembagian saham sebelum pergantian era kekuasaan kolonialis Inggris di nusantara pada abad 18. Pegawai-pegawai VOC Belanda banyak memberi contoh kepada orang-orang pribumi di dalam melakukan praktek korupsi dan suap dari mencuri uang pajak, mencuri persediaan hasil bumi pada gudang-gudang penyimpanan perusahaan VOC, praktek suap sehingga birokrat pribumi banyak terkena racun virus korupsi yang diajarkan oleh para pegawai Belanda di perusahaan VOC hingga pada akhirnya perusahaan VOC mengalami kebangkrutan dan kerugian besar pada tanggal 31 Desember 1799 akibat dari moralitas para pegawainya yang suka berkorupsi sehingga perusahaan VOC memiliki hutang sebesar 136,7 juta gulden kepada negara asalnya yaitu “Hollanda” alias “Belanda” atas permintaan tambahan utang modal yang tidak bisa dibayarnya. Kemudian pada masanya perusahaan VOC diambil alih atas nama kerajaan Belanda dengan demikian Indonesia mengalami awal babak baru penjajahan yang bermula dari penjajahan perusahaan Belanda kemudian beralih kepada penjajahan kerajaan Belanda.


 Koruptor wujud topeng kemunafikan penguasa

Upaya pemberantasan korupsi sudah dilakukan silih berganti dari berbagai masa Presiden di Indonesia dari era Presiden Soekarno, Presiden Soeharto, Presiden BJ. Habibie, Presiden Abdurrahman Wahid, Presiden Megawati, hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui gebrakan institusi KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang dibenahinya setelah masa kepemimpinan Presiden Megawati namun nyatanya korupsi yang dulu dilakukan sembunyi di bawah meja kini dengan berani banyak dilakukan secara terang-terangan di atas meja akibat arus deras euphoria reformasi. Nilai suci demokrasi telah dikotori dengan praktek tindakan korupsi dengan makin banyaknya oknum elite partai politik yang menjadi anggota DPR/MPR yang menggunakan ‘topeng kemunafikan’ membela aspirasi rakyat sesuai jargon janji-janji kampanye di masa lalu tetapi malah justru tersandung kasus korupsi dan mengkhianati amanat kepercayaan rakyat. Hal ini nampaknya telah menjalar hingga ke seluruh daerah dengan makin banyaknya oknum elite partai politik di daerah yang menjabat anggota DPRD yang tersandung pada masalah yang sama yaitu kasus korupsi. KPK kini nampaknya harus bekerja keras memberantas korupsi di Indonesia dan saya adalah termasuk simpatisan yang mendukung atas upaya yang dilakukan oleh KPK selama ini dalam memberantas korupsi di Indonesia terutama pada sektor lingkaran kekuasaan yang memang perlu untuk dibenahi.

Pemberantas korupsi alangkah lebih bijak jika kita hanya tidak mengandalkan pendekatan 'aspek hukum' saja tetapi juga melalui 'aspek jalur sosiologis' untuk menjerat dan menyadarkan moralitas semua pelaku korupsi di Indonesia yang banyak dilakukan oleh golongan elite yang berada pada tataran lingkaran kekuasaan. Hal tersebut dapat dilakukan melalui upaya pembangunan kebudayaan dalam wujud pendidikan dan aturan sosial. Budaya harus dilawan dengan budaya..!!! Budaya Korupsi harus dilawan dengan budaya Anti-Korupsi..!!! Pembangunan mentalitas dapat dilakukan melalui wujud transfer ilmu pengetahuan pembangunan budaya anti-korupsi melalui tindakan yang diwujudkan dalam aturan, aturan merupakan bentuk kesepakatan kebudayaan social masyarakat terutama kepada semua aparatur penyelenggara pemerintah/negara yang rawan akan praktek tindakan korupsi serta perlu diadakannya diklat seminar anti-korupsi untuk mengikis budaya korupsi yang sudah semakin menjamur di tataran mentalitas birokrasi, kalau bisa semua aparatur penyelenggara pemerintah/negara harus terlebih dahulu “lulus” serta ‘wajib” mengikuti ujian seminar pendidikan anti-korupsi yang diselenggarakan untuk menyeleksi calon kandidat PNS atau aparatur penyelenggara pemerintah/negara yang bersih, berkualitas, dan bermoral baik serta bila mereka ternyata dinyatakan “tidak lulus” bisa dipecat atau diganti dengan kompetitor lain yang lebih professional dan dapat bertanggung jawab kepada rakyat serta yang terpenting harus “lulus” dari diklat pendidikan anti-korupsi yang diselenggarakan untuk membentuk mentalitas birokrasi yang anti-korupsi dengan melayani rakyat sepenuh hati dan bukan minta dilayani oleh rakyat. Setelah perubahan melalui pendekatan kebudayaan ini berhasil maka perlu ditambah aturan “punishment” (hukuman) yang memberatkan bagi semua pelaku korupsi dengan cara memiskinkan para pelaku korupsi hingga ancaman hukuman penjara seumur hidup untuk menekan praktek tindak korupsi di Indonesia. 

Jika dibandingkan dengan negara Tiongkok maka bisa kita lihat bahwa hukuman bagi para koruptor di Indonesia terlihat jauh lebih ringan jika dibandingkan dengan negara Tiongkok. (Tiongkok dahulu juga masuk kategori negara terkorup di dunia namun kini usaha pemerintah Tiongkok dalam upaya memberantas korupsi di negaranya tersebut membuahkan hasil). Saya pernah melihat tayangan liputan berita pada sebuah stasiun TV asing melalui TV kabel ketika Presiden Tiongkok kala itu Hu Jintao (menjabat sejak tahun 2003-2012) secara fenomenal mengirim 1000 peti mati kepada semua jajaran PNS di pemerintahannya sebagai peringatan bahwa pelaku tindakan korupsi di negara Tiongkok adalah hukuman mati. Presiden Hu Jintao mengingatkan PNS jajarannya untuk bersih dan terhindar dari segala praktek suap dan korupsi. Menurut hemat saya, langkah Presiden Tiongkok Hu Jintao kala itu sebagai sebuah langkah terobosan besar dan komitmen pemerintah Tiongkok dalam memerangi korupsi. Tiongkok menganggap korupsi sebagai pelanggaran hukum berat terhadap negara bahkan pejabat negara yang terbukti menjadi pelaku korupsi di negara Tiongkok kerap mendapat ‘hukuman mati’ karena ketegasan penegak hukum di negara tersebut di dalam memberantas korupsi hingga mencapai ke akar-akarnya. Hal yang patut dipertanyakan saat ini di Indonesia adalah ketegasan para penegak hukum di Indonesia sendiri dalam memberantas korupsi yang terkesan masih belum tegas. Masa hukuman koruptor di Indonesia dinilai masih jauh lebih ringan jika dibandingkan dengan hukuman pencuri hewan ternak dan hukuman pencuri sepeda motor. Hal ini belum ditambah lagi dari adanya pembayaran uang jaminan dari pengacara yang disewa para koruptor yang lebih mengedepankan ‘asas praduga tidak bersalah’ sebelum adanya putusan resmi dari majelis hakim di pengadilan serta keberadaan remisi hukuman (pengurangan masa tahanan) yang diperoleh oleh koruptor di Indonesia dari pemerintah sebagai hak tahanan narapidana di saat merayakan hari-hari besar keagamaan dan hari kemerdekaan Indonesia. Nampaknya keseriusan ketegasan para penegak hukum di Indonesia masih menuai jalan yang berliku karena nampaknya semua masih membutuhkan nafas proses yang panjang. KPK sebagai lembaga pemberantasan korupsi diharapkan dapat menjalankan peran, fungsi, dan tugasnya dengan baik dalam upaya memberantas semua praktek tindakan korupsi di Indonesia. Kita tunggu saja apa gebrakan KPK selanjutnya di dalam melakukan upaya pemberantasan korupsi di negeri Indonesia yang kita cintai ini![]

*Nur Bintang adalah alumnus pascasarjana sosiologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Referensi:
KPK. 2006. “Memahami untuk Membasmi: Buku Panduan untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi”. Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi.

Litbang Kompas. "Kongkalikong akibat Mentalitas Birokrasi", Koran KOMPAS edisi Senin 26 November 2012.