Artikel

Jumat, 26 Desember 2014

JAKARTA PAGI INI! (SEBUAH DISTORSI, SEBUAH SIMFONI?)



Cerpen oleh: Nur Bintang*


Persetan dengan bantuanmu!teriak Presiden Soekarno kepada duta besar Amerika Serikat di depan publik lebih dari setengah abad yang lalu. Pembalasan yang kejam segera datang. Setelah kudeta yang disponsori oleh Amerika Serikat dan rezim fasis berkuasa hingga hari ini, Jakarta telah berubah  menjadi tempat dengan motto Persetan dengan rakyat! (Counter Punch, ”The Perfect Fascist City: Take a Train in Jakarta”, edisi 17-19 Februari 2012).


Sumber foto: http://www.bakesbangpoljakarta.com/galeri/All%20About%20Jakarta/d0015d6aa3cc328..jpg


Hari ini aku terbangun dari tidurku seraya berjalan tergopoh-gopoh menuju ke kamar mandi. Alasannya, hanya karena diriku mendengar alarm dari dering ponselku dengan alunan hits musik dangdut yang lagi booming  saat ini dengan judul “Sakitnya tuh di sini!”.  Iya… ini hari pertamaku masuk kerja di sebuah perkantoran elite kawasan Soedirman, Jakarta. Masih terngiang di ingatanku bagaimana ayah dan ibuku sepagi buta ini harus berangkat mengangkut barang dagangan sayur-mayur ke salah satu sudut pasar tradisional di kampungku. This is Jakarta bro.. ada yang bilang Jakarta itu lebih kejam dari ibu tiri, Jakarta itu kota sibuk selama 24 jam penuh (gak kalah sibuk dibandingkan dengan kota-kota besar di dunia seperti London, Berlin, Amsterdam, Paris, Seoul, Tokyo, hingga New York), Jakarta sering dicap sebagai tempat pusat segala tindak kejahatan (dari bajingan kelas coro, maling kelas teri bahkan penjahat kelas kakap berdasi ala ‘Bento’ konon katanya semua bisa dilihat di sini bahkan ada yang bangga jika diliput masuk televisi!), Jakarta sebagai pusat simbol gaya hidup modern masyarakat kelas atas di Indonesia (so pasti!), Jakarta sebagai pusat kebudayaan/trend setter sekaligus simbol peradaban Indonesia (masa sih?), Jakarta tidak memberikan fasilitas ruang-ruang publik bagi interaksi sosial masyarakatnya (banyak lahan di Jakarta yang kini disulap menjadi arena lapangan golf, areal gedung perkantoran, bahkan areal parkir), Jakarta sebagai pusat hiburan dengan menjamurnya tempat-tempat diskotek, cafĂ©, dan mall-mall (konon jumlah mall-mall di Jakarta jauh lebih banyak jika dibandingkan jumlah mall-mall di Singapore, really?), Jakarta sebagai pusat bisnis di Indonesia (dari bursa pasar saham, pasar gelap, pasar esek-esek, sampai pasar malam semua ada di sini!), Jakarta macet atau Jakarta kebanjiran? (itu sudah berita basi kalo tidak banjir dan macet itu bukan Jakarta namanya!).

Anehnya lagi bro dan sista, orang-orang di kampungku menganggap belum modern atau menjadi orang kota (urban) jika kalian belum berkunjung ke Jakarta. Tidak barang aneh ada prestise tersendiri jika pulang ke kampung halaman mengendarai kendaraan berpelat “B” rasanya sudah di atas angin entah itu milik pribadi atau harus menyewa sekalipun. Saat diriku berangkat ke Jakarta maka orang-orang di kampung langsung memanggilku sebagai “calon orang sukses”. Dalam batinku sudah serasa jadi orang penting ajah.. ya ada paradigma yang berbeda ketika kita mendengar kata “Jakarta” yang terkesan dan bermakna “high” atau tinggi jika dibandingkan dengan sebutan kota-kota kecil lainnya di Indonesia yang dianggap masih belum modern dan terbelakang. Sebenarnya apa yang mereka ketahui tentang Jakarta? Bukan maksud saya bersikap sinis kepada Jakarta melainkan bentuk kepedulianku kepada temanku, sekaligus sahabatku yang bernama Jakarta. Panas, penat, dan banyak nyamuk itu yang aku rasakan ketika aku memikirkan Jakarta.

 Hidup di Jakarta itu ibarat laboratorium dimana segala macam masalah sosial bisa diuji cobakan kepada masyarakatnya untuk dipelajari. Seberapa kuat penduduk Jakarta dapat bertahan hidup..? menjadi bagian dari proses seleksi alam. Saya rasa banyak dari mereka yang belum memahaminya.. ini mungkin sangat paradoks ketika pernah saya berjalan di ujung jalan-jalan kawasan elite di Jakarta dengan hiasan gedung pencakar langit nan megah namun di kanan-kiri masih banyak gubug-gubug reot (slum) sebagai dampak potret kemiskinan arus urbanisasi.. Ini bukan salah Jakarta… ini salah masyarakat kita sendiri termasuk saya sendiri yang belum menyayangi temanku, Jakarta..!!! Pernah kalian dengar wisata kemiskinan? Itu hanya ada di Jakarta. Setiap bulan berbondong-bondong para pelancong dari luar negeri seperti turis asal Jepang dan turis asal Amerika Serikat melakukan tur wisata kemiskinan dengan mengunjungi pemukiman-pemukiman kumuh (slum) di sudut-sudut kota Jakarta (Jakarta hidden tour). Kebalikan dengan para pelancong Indonesia asal Jakarta yang berbondong-bondong berwisata ke luar negeri hanya untuk bertepuk tangan mengagumi kemegahan gedung-gedung tinggi bertingkat yang ada di negara mereka? 

Tak terasa waktu sudah menunjukkan jam 5 pagi. Di Jakarta ada istilah “time is money” itu sangat benar adanya, terutama bagi kita yang hendak memulai aktivitas pekerjaan di pagi hari. Jam 5 pagi di Jakarta akan mulai terasa detak jantungnya. Sepagi ini, di kampungku mungkin aku masih bisa asyik tertidur pulas sambil mendengar nyanyian ayam jantan berkokok karena diriku sudah terbiasa memulai aktivitas pada jam 6 pagi tetapi tidak untuk Jakarta! Jakarta itu ibarat jam pasir yang waktunya akan segera habis! Akibat celah sistem pemerintah yang korup dan masih kurang terawatnya sistem transportasi publik di Jakarta maka semua orang berlomba-lomba mencapai tujuan serta menghalalkan segala cara hanya alasan takut tidak mendapatkan kendaraan umum! Melihat orang-orang rela berdesak-desakan naik busway, berebut naik KRL, berebut naik angkot, berebut naik bus kota hingga keluhan macetnya jalanan saat menggunakan kendaraan pribadi adalah sebuah pemandangan yang sangat indah di seantero sudut Jakarta. Semua laju lampu diterabas, jalan trotoar khusus pejalan kakipun bisa disulap menjadi jalan raya bebas hambatan (jadi mirip suasana di jalan tol alternatif)..  lampu lalu-lintas ibarat pemanis simpul di perempatan jalan seperti dengan adanya aturan baru lampu dari rambu-rambu lalu-lintas yakni warna hijau jalan terus, warna kuning injak gas, warna merah langsung terobos, mana mereka peduli? mereka hanya ingin cepat sampai, masa bodoh dengan aturan. Aturan di Jakarta kebanyakan diciptakan untuk dilanggar bukan untuk ditaati.. really? Tapi hati-hati awas nanti kena tilang bapak polisi…!!! Saya tidak kaget jika masyarakat Jakarta akhir-akhir ini banyak terpengaruh menjadi para kumpulan individu eksistensialis atau homo eksistensialis!

Setelah mandi, merapikan baju, dan memasukkan berkas-berkas file kerja, laptop ke dalam tas dan koper maka aku segera bergegas berangkat menuju kantor sembari memanggil tukang ojek motor yang mangkalnya tidak jauh dari tempat kostku. Apakah kalian semua tahu..? barusan tukang ojek motor tadi bercerita kepadaku jika para pelanggan setia ojek motornya adalah para eksekutif mulai dari direktur, direksi, manager, ekspatriat pekerja asing yang biasa bermarkas kantor di kawasan perkantoran elite Segitiga Emas Jakarta sebagai central business district mulai dari jalan Soedirman, Gatot Soebroto, Thamrin, Rasuna Said, Kuningan.. Wow amazing! orang-orang sukses seperti mereka sangat menghargai waktu.. waktu ibarat uang dollar.. saya tahu persis seberapa besar penghasilan mereka setiap bulan tentulah sangat mudah bagi mereka-mereka untuk bertamasya ke luar negeri, itu merupakan hal yang sangat sepele bagi mereka, apartemen dan rumah mereka saja ibarat bak hotel bintang lima karena semua fasilitas sudah tersedia, berderet mobil mewah sport  seperti Ferrari, Lamborghini, Porsche hingga mobil sedan keluaran terbaru ternyata hanya menjadi besi hiasan di rumah yang teronggok di dalam bagasi karena alasan mereka menghindari macet,, ya harga waktu sangat mahal di Jakarta karena waktu di Jakarta tidak bisa dibeli dengan uang melainkan dengan reputasi..!!! bayangkan deadline, bertemu relasi bisnis jika semua buyar karena keterlambatan? berapa kerugian yang harus ditanggung? Kalo saja waktu bisa diisi ulang menggunakan kartu pra atau pascabayar?

Akhirnya diriku sudah sampai di tempat kerja tepat jam 8 pagi setelah banyak menerobos lampu merah berkat tukang ojek motor langgananku yang kemampuan bermotornya tak kalah hebat dengan para pembalap Moto GP di televisi. Lihat kantorku.. gedung megah.. kerja berdasi, masuk kantor ber-AC. Kedatanganku di lobi gedung langsung disambut senyum manis dari pekerja resepsionis yang terlihat sangat cantik. This is Jakarta bro (gak ada yang serba gratis bahkan kencing di toiletpun harus membayar).. senyuman mereka itu semua hanya sandiwara.. senyum gadis resepsionis itu adalah bagian dari pekerjaan mereka.. mereka menyambut setiap tamu yang datang ke gedung kantor dengan lips service-nya itu juga bagian dari strategi marketing bisnis perusahaan. Selama aku di Jakarta jarang sekali aku menemukan senyuman tulus yang berasal dari hati selama berada di lingkungan kantor. Mereka tersenyum ketika ada kepentingan setelah itu mereka acuh dan pergi. Bagi kebanyakan dari mereka hidup di kota metropolitan sekelas Jakarta cuma hanya ada “urusan lhoe.. ya lhoe..!” dan “urusan gue.. ya gue..!” atau bila dianggap melanggar aturan privacy maka bisa-bisa mereka berkata,“hubungan lhoe dan gue end.”  Aku rindu senyum tulus dari ayah dan ibuku di kampungku.. senyuman kebaikan yang datang dan tulus datang dari hati..

Kemana perginya senyum itu…?

Kata orang, Jakarta itu banyak serigala!

Ah lagi-lagi soal Jakarta.. pusing aku dibuatnya..

Namun aku masih percaya, jika Tuhan pernah singgah di Jakarta.

                          Parijs van Java, 26 Desember 2014. 00:48:48



Nur Bintang adalah pemerhati masalah sosial dan budaya.