Artikel

Senin, 26 Agustus 2013

“WRITING IS MY LIFE!”


Oleh: Nur Bintang*


Pada tanggal 21 Agustus 2013 yang lalu saya bersama tim menghadiri pelatihan penulisan yang difasilitasi perusahaan tempat kami bekerja dengan bertempat di Hotel Century yang terletak di kawasan Senayan, Jakarta Pusat. Pelatihan penulisan ini memang sangat penting di dalam pengembangan sumber daya manusia dari para penulis maupun para editor karena pelatihan ini melibatkan narasumber dari para tokoh akademisi yang sudah menyandang predikat gelar profesor dan ahli dalam spesialisasi kajian bidang disiplin ilmunya masing-masing dengan menjadi staf ahli di salah satu kementerian Republik Indonesia. Saya rasa apa yang disampaikan oleh para profesor sangat baik di dalam menambah wawasan keilmuan saya terutama yang berkaitan dengan materi penulisan yang disampaikan (walaupun ada beberapa hal yang menurut saya pribadi agak kurang sependapat) namun secara keseluruhan saya acungi jempol dan saya anggap sangat baik terhadap segala apa yang telah disampaikan oleh para profesor selaku pembicara di forum. Ada salah satu ungkapan pembicara dari salah satu profesor saat itu yang sempat berkata, “Tidak ada kebenaran mutlak, semua berhak menyatakan kebenaran yang didapatnya melalui data dan sumber rujukan yang jelas."  Itu termasuk salah satu point ilmu yang saya dapatkan dari salah satu profesor yang menjadi pembicara saat itu.

Acara kemudian berlanjut pada pemaparan materi dan kemudian berlanjut pada sesi istirahat yaitu makan siang. Makan siang di hotel pada saat itu sangat terasa istimewa, bagaimana tidak? Semua peserta yang hadir menurut pandangan saya adalah orang-orang yang berilmu (cerdik-pandai) mulai dari para dosen dan guru besar serta para penulis juga para editor yang berasal dari perwakilan beberapa perusahaan penerbitan baik skala besar maupun skala kecil di seluruh Indonesia. Pada saat acara makan siang tersebut saya banyak berkenalan dan menjalin relasi diantara sesama penulis buku dan para editor buku yang hadir pada acara tersebut. Ada hal yang unik ketika saat saya makan siang saat itu karena saya sempat berkenalan dengan salah satu penulis buku yang sangat produktif serta sudah menjalin kontrak kerjasama dengan salah satu penerbitan besar di Indonesia dan kita saling berbicara mengenai tema penulisan buku. Usia penulis itu sudah tua sekitar berumur 60-an tahun, seorang pensiunan guru yang berasal dari Kota Medan dan kemudian menetap di Kota Jakarta. Semangatnya dalam menulis mampu menampar harga diri serta rasa malu saya sebagai anak muda karena buku-buku yang berhasil ditulis oleh beliau sudah banyak menjadi buku best seller di Indonesia. Kami dengan cepat dapat akrab dan saling berbicara bertukar pikiran dan pengalaman. Namun ada nasehat dari beliau selaku orang tua yang lebih berpengalaman kepada saya selaku anak muda dengan berkata, Kamu sebagai seorang editor juga harus suatu saat menerbitkan karya buku yang kamu tulis sendiri karena selama bekerja, para editor sudah banyak membantu penulis di belakang layar dengan gaji yang bisa dibilang cukup terbatas dari pihak penerbit. Jika kamu tidak mencari tambahan penghasilan yang lain atau tidak menghasilkan tambahan uang dari ilmu yang kamu dapat dan kamu pelajari selama ini dengan menulis buku maka saya berani bertaruh  ada sesuatu yang salah dalam diri kamu. Apalagi kamu adalah seorang lulusan dari universitas terbaik di Indonesia? Hal tersebut menurut saya juga sudah merupakan modal awal dan point plus untuk menjadi seorang penulis besar disamping semangat dan tekad untuk menghasilkan sesuatu dari tulisan yang sudah kamu pelajari selama ini agar dapat berguna serta memberi manfaat bagi orang lain!.” Sungguh tersentak hati ini mendengar nasehat beliau yang sangat terdengar jelas logat bahasa Bataknya. Hati saya ini menjadi terasa tergugah dan sangat terpecut sambil seraya berkata dalam hati, Saya suatu saat harus bisa menerbitkan buku dari hasil pemikiran tulisan saya atau mungkin catatan tulisan saya selama ini bisa saya kumpulkan lagi untuk diedit menjadi sebuah buku? Saya optimis jika saya pasti akan menerbitkan buku sendiri. Motivasi bekerja sebagai editor adalah karena saya berusaha untuk mengetahui struktur anatomi buku sekaligus memahami seluk-beluk dunia penerbitan secara langsung seraya belajar  menulis buku secara baik dan benar. Kemudian seorang penulis buku yang kebetulan naskahnya sedang saya edit juga berkata kepada saya, Cobalah untuk menulis buku Mas Bintang, sayang kalo ilmu Mas Bintang yang lumayan banyak menumpuk di blog tidak dituangkan ke dalam sebuah buku. Awalnya memang susah menawarkan naskah kita ke beberapa penerbit karena pasti akan mengalami beberapa penolakan tapi jika ada salah satu naskah kita yang berhasil diterima oleh salah satu penerbit maka proses jalan ke depannya akan terasa lebih mudah untuk menjadi penulis buku profesional. Rasakan awal susahnya menulis buku. Saya dahulu butuh waktu sekitar 3 bulan untuk serius mengerjakan dan menulis buku yang menarik bagi pembaca. Sekarang saya sudah bisa memetik hasilnya." Saya dalam hati jadi merasa terpecut mendengar saran dan nasehat dari kedua penulis ini terhadap diri saya pada saat jam sesi makan siang di hotel saat itu. Benar juga pendapat mereka karena sehebat atau sepintar apapun seseorang jika dia enggan menulis maka dia akan cepat dilupakan oleh sejarah! Semua pemikir dan penulis besar dahulu pada awalnya bekerja sebagai seorang editor mulai dari  Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Karl Marx, Gus Dur dan masih banyak lagi yang akhirnya mereka dapat menerbitkan buku-buku karya fenomenal mereka sendiri. Saya optimis bisa menyusul mereka!

Menulis bagi saya sebenarnya adalah wujud proses refleksi intelektual dalam diri manusia. Para penulis ada kecenderungan memiliki bakat untuk menjadi seorang yang jenius dalam melakukan analisa menyampaikan gagasan tulisannya. Semua orang bisa menulis tetapi tidak semua orang bisa menjadi penulis. Penulis adalah bakat dan keterampilan yang terus diasah, penulis adalah seorang pembelajar yang baik yang bukan menjadi seorang yang serba tahu tetapi berusaha untuk mencari tahu dan menyebarkan pengetahuannya tersebut kepada khalayak. Penulis adalah pembaca buku sejati karena tidak mungkin seseorang bisa menulis dan memiliki banyak referensi materi tulisan jika tidak membaca banyak buku terlebih dahulu. Apa jadinya jika dunia tanpa penulis? Akibatnya mungkin semua sumber kebudayaan dan sumber peradaban bangsa kita akan hilang ditelan oleh zaman. Pernyataan ini saya dapatkan setelah membaca buku karya Seno Gumira Ajidarma yang berjudulIsi Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Berbicara terbitan Bentang Pustaka yang di dalam salah satu bab bukunya tersebut dengan judul Kehidupan Sastra di Dalam Pikiran menceritakan bagaimana nama seorang penulis dan karya tulisannya tidak akan pernah tenggelam di dalam panggung peradaban sejarah. Hal tersebut didapat dari kitab Nagara Kertagama’ yang ditulis pada tahun 1365 oleh pujangga Mpu Prapanca yang isinya mengkritik jalannya roda pemerintah Kerajaan Majapahit di Nusantara (Indonesia). Dalam ulasan tulisannya tersebut nampak jika sastrawan Seno Gumira Ajidarma berhasil mendapatkan point penting dari karya buku fenomenalnya dan menuliskan maksudnya jika ‘menulis’ menjadi bagian fakta pikiran manusia yang dapat dipertahankan dan diselamatkan dari zaman ke zaman dan tidak segan-segan untuk melakukan perlawanan terhadap konteks sejarah buatan penguasa jika dianggap menyimpang.

Menulis nampaknya bagi saya sudah menjadi kebutuhan. Saya sendiri selalu rajin menulis artikel di website blog pribadi saya ini. Pertimbangan saya menulis di blog adalah karena saya bisa leluasa mempertahankan idealisme saya dalam bentuk gagasan melalui tulisan dan daya jangkau tulisan di blog ini yang dapat dibaca dan dikunjungi oleh para pengunjung (visitors) dari seluruh sudut penjuru dunia melalui mesin pencari Google dan sejenisnya. Untuk berlatih menulis memang lebih enaknya jika belajar menulis di blog terlebih dahulu sebelum menulis serius ke tahap buku. Bisa dikatakan hidup saya tanpa menulis maka akan terasa hampa karena saya sudah menjadi seorang yang sangat adiktif untuk menulis dan berharap suatu saat nanti dapat menjadi seorang penulis buku profesional. Semoga bekal pengalaman saya sekarang ini dengan bekerja di salah satu penerbitan nasional di Jakarta sebagai seorang editor buku dapat menghasilkan manfaat dalam mempertajam skill penulisan saya ketika suatu saat nanti menulis sebuah buku. Semoga![]


*Nur Bintang merupakan alumnus pascasarjana sosiologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta yang kini merintis karier dari bawah sebagai editor buku ilmu-ilmu sosial di salah satu penerbitan nasional di Jakarta.

Selasa, 20 Agustus 2013

"DILEMA SEKS SEBAGAI SIMBOL PERADABAN"




Oleh: Nur Bintang*


“Logika manusia selalu dikalahkan oleh hasrat seksnya”
(Nur Bintang, pemerhati masalah sosial seksualitas)



Seks adalah satu kata yang penuh dengan berbagai penafsiran. Seks menurut salah satu filsuf Yahudi-Jerman yang bermukim di Amerika Serikat dalam tradisi Mahzab Frankfurt yakni Herbert Marcuse dalam bukunya ”Eros and Civilization’” mengungkap makna sosial-biologi mengenai perjuangan naluri manusia dan hati nurani manusia yang dianggap merasa tertindas karena berusaha mengikuti adat-istiadat dan norma yang berlaku dalam masyarakat (sejarah dipandang bukan sejarah perjuangan kelas melainkan melawan represif insting kita sebagai manusia karena sifat Eros yang membebaskan dan konstruktif). Keberadaan seks itu sendiri menurut hemat penulis memang sangat ‘dilematis’ bagaikan dua sisi mata pedang yang tajam bahwa seks di satu sisi dianggap sebagai bentuk kenikmatan ritual ajaran agama yang dijalankan dalam bentuk ikatan suci pernikahan namun di sisi lain kenikmatan seks juga dapat dianggap sebagai sumber dosa besar akibat dorongan nafsu yang tidak dapat dikendalikan oleh manusia apabila dalam prakteknya dianggap menyimpang dari bentuk ritual agama yang sudah ditetapkan. Namun begitulah jika setiap individu mau diajak berpikir kritis memaknai akan seksnya. Seorang filsuf psikoanalisis Yahudi-Austria yang bernama Sigmund Freud melalui pemikirannya yang cukup kontroversial telah jauh hari menyatakan jika sejak saat masih kecil setiap individu manusia sudah dibekali insting atau naluri akan kebutuhan seksnya. Hal inilah yang mengakibatkan adanya rasa inferior (rendah diri) yang dialami kebanyakan wanita pada masa kecilnya akibat pengaruh kuat budaya patriarkhi yang menganggap wanita itu merasa berbeda dari kebanyakan teman laki-lakinya akibat tidak memiliki alat kelamin yang seperti dimiliki kebanyakan anak laki-laki seusianya. Freud sendiri juga berpendapat jika seks merupakan dasar dari masalah peradaban karena menganggap setiap manusia sebagai makhluk penyimpang yang memiliki sejuta fantasi seks yang aneh dan beraneka ragam bahkan filsuf sekaligus sosiolog Post-Strukturalis asal Perancis yakni Michel Foucault menganggap jika seks sebagai wujud relasi kekuasaan yang harus dibebaskan dari segala bentuk praktek penindasan dominasi kekuasaan.

Dominasi kekuasaan seks dapat dilihat dari sistem yang ada di lokalisasi prostitusi. Prostitusi dianggap wujud praktek peradaban kuno zaman purba manusia yang tertua di dunia hingga sampai akhir zaman nanti. Praktek di beberapa tempat lokalisasi prostitusi yang pernah disinggahi oleh penulis nampaknya memberi gambaran mengenai bentuk-bentuk sistem pola relasi kekuasaan tersebut yang meminjam dari gagasan pemikiran filsuf sosial kritis Yahudi-Jerman yaitu Karl Marx yang dimana dalam kacamata kajian Marxian terdapat bentuk eksploitasi penindasan relasi kekuasaan induk semang selaku pengusaha (borjuis) terhadap wanita pekerja seks yang bekerja sebagai buruh (proletar) akibat ketimpangan distribusi pendapatan ekonomi dan kesempatan bekerja yang tidak merata dan tebatas sehingga pada akhirnya memaksa wanita atas penggunaan alat kelaminnya sebagai komoditas bisnis yang diperdagangkan dengan tujuan untuk menghasilkan keuntungan uang dalam usaha untuk bertahan hidup dari tuntutan kebutuhan hidup yang semakin mendesak. Hal ini nampaknya dianggap sebagai wujud jalan terakhir atas segala alternatif pilihan terakhir yang berat hati harus dipilih dari para pelakunya (wanita pekerja seks) yang mengalami ‘dilema’ dan trauma ketika menjalankan profesinya tersebut.

Pada masa saat ini, nampaknya telah terjadi pergeseran makna seks dari setiap individu baik laki-laki ataupun wanita yang menjadi sebuah tahap ‘dilema’ baru. Sosiolog besar Inggris yakni Anthony Giddens berpendapat pergeseran makna budaya seks yang konservatif dimana selama ini hanya dominasi laki-laki yang selalu berkuasa akan kebutuhan seksnya terhadap wanita namun kini justru berbalik karena fenomena sosial saat ini yang terjadi kebanyakan di Barat jika para wanita banyak yang menuntut kebutuhan seksnya terhadap laki-laki dan makin maraknya kasus unik mengenai pemerkosaan yang dilakukan oleh wanita terhadap laki-laki yang terjadi di beberapa daerah di Afrika. Sangat nampak jika posisi laki-laki saat ini lambat laun dapat berubah menjadi obyek sumber kebutuhan seks dari para wanita. Hal ini dapat dilihat dari keberadaan lokalisasi prostitusi laki-laki yang semakin semarak dan lambat laun mulai eksis menyaingi keberadaan lokalisasi prostitusi wanita yang selama ini selalu mendominasi di beberapa negara di Eropa (Barat). Pergeseran pameo dahulu bahwa pria menuntut cinta dalam bentuk seks dan wanita menganggap seks sebagai wujud cinta nampaknya kini sudah tidak relevan lagi untuk diungkapkan. Wajar jika fenomena sosial ini alangkah lebih baik disandingkan dengan pemikiran filsuf eksistensialisme Perancis yakni Jean Paul Sartre dalam bukunya “Seks dan Revolusi” bahwa pemaknaan seks secara bebas dan total hanya dapat dimaknai oleh kesadaran setiap individu manusia untuk mau menyatakan kemerdekaan diri atas orientasi seksualnya. Kebangkitan paham feminisme di Eropa mungkin salah satu bentuk contohnya yang melakukan resistensi terhadap penjajahan budaya patriarkhi dan memperjuangkan budaya matriarkhi yang nampaknya kini memberi celah terhadap pemetaan konflik dalam studi kebudayaan kontemporer.

Dilema seksualitas nampak dari adanya konflik kebudayaan matriarkhi versus kebudayaan patriarkhi yang sudah berlangsung sejak 6000 tahun yang lampau. Hal ini dapat ditelusuri dari pemikiran filsuf Yahudi-Jerman sekaligus seorang psikolog dan sosiolog dalam tradisi Mahzab Frankfurt yakni Erich Fromm mengenai hak ibu atas penciptaan laki-laki yang melakukan tafsir ulang atas pemikiran filsuf asal Swiss yakni Bachofen bahwa ikatan primordial dari manusia adalah ikatan terhadap ibu ketika mengasuh anak sejak kecil terutama terhadap anak laki-laki sebelum kelak anak laki-laki tersebut berubah menjadi dewasa dan mandiri hingga pada suatu saat akhirnya dapat merebut peran dan relasi sosialnya dari pengasuhan sang ibu. Paham feminisme saat ini, menurut penulis kebanyakan berusaha merebut kembali peran dan relasi sosial yang selama ini dianggap dominan hanya dimiliki oleh pihak laki-laki. Selain itu, Fromm juga berpendapat jika rasa cinta dan benci menjadi landasan karakter dasar dari hubungan laki-laki dan perempuan selain perbedaan fungsi peran seksual dari masing-masing jenis kelaminnya. Menurut Fromm, laki-laki dalam superioritasnya meletakkan seks sebagai simbol ego dan prestisenya yang hal ini sangat berbeda dengan wanita yang hanya meletakkan seks sebagai pemenuhan hasrat biologisnya.

Insting dan naluri seksual manusia yang pada dasarnya liar ini kemudian menjadi ‘dilema berkelanjutan’ maka diperlukan adanya pembatas dan pengatur dalam hal adab berperilaku yaitu diturunkannya agama untuk mengatur kehidupan keberadaban manusia. Hal ini sangat beralasan karena perbedaan pemaknaan seks dari setiap individu manusia. Berdasarkan sedikit ulasan buku karya Jared Diamond, seorang profesor dalam kajian fisiologi dari University of California, Los Angeles yang berjudul “Why is Sex Fun? The Evolution of Human Sexuality” bahwa pada dasarnya manusia adalah termasuk jenis spesies mamalia yang memiliki bakat perilaku untuk menyimpang jika dibandingkan dengan jenis spesies mamalia lain yang hanya memiliki motif melakukan seks untuk melestarikan keturunan/berkembang biak. Hal ini justru dilakukan dengan pemaknaan berbeda dari spesies mamalia yang dilakukan manusia yang lebih banyak melakukan seks sekedar motif untuk pemenuhan ambisi ego dalam fantasi kesenangan dan kebutuhan untuk berekreasi. Saya selaku penulis yang sudah cukup lama melakukan riset mengenai studi seksualitas rasanya membenarkan pernyataan tersebut. Beberapa wawancara yang penulis lakukan selama dalam kegiatan penelitian dahulu terhadap beberapa informan mengindikasikan bahwa kunjungan beberapa informan ke tempat lokalisasi prostitusi salah satunya adalah kebutuhan akan kesenangan dan rekreasi. Selain itu, ada penelitian yang dilakukan oleh seorang peneliti dari Researchers at National Antonomous University of Mexico yang saya baca dari situs detik.com yang ternyata hasil penelitian ilmuwan tersebut cukup mengejutkan kita semua bahwa sebuah hubungan cinta dari sepasang kekasih suatu saat pasti akan menemui titik jenuh, bukan hanya karena faktor bosan semata melainkan karena kandungan zat kimia di otak yang menyatakan rasa cinta itu telah habis. Rasa cinta murni berdasarkan perasaan hanya tidak lebih dari 4 tahun. Jika cinta telah berumur lebih dari 4 tahun maka yang tersisa hanya dorongan seks semata dan bukan cinta yang murni lagi yang berdasarkan perasaan saling menyayangi. Dalam hal ini nampaknya peran keberadaan fungsi dari masing-masing ‘agama’ dapat dilakukan untuk melakukan kontrol atas pemahaman diri setiap individu manusia terhadap pemaknaan seksnya.

Seksualitas dalam lingkup kajian kebudayaan postmodern saat ini nampaknya tidak terlepaskan dari sorotan gaya hidup manusia. Seks menjadi sesuatu hal yang dibela namun terkadang juga dibenci, dicaci tetapi juga dirindukan, memberi kenikmatan sekaligus menyiksa bahkan filsuf sekaligus sosiolog Post-Modern asal Perancis yaitu Jean Baudrillard pernah berkata jika hasrat merupakan wujud menikmati permainan seksual dunia tanpa batas karena kebutuhan manusia untuk berupaya memenuhi kebutuhan hasrat dan ambisinya tidak akan pernah habis untuk bisa merasa puas. Manusia dalam hasrat seksnya mengalami kecemasan dan kehidupan dilematis karena pada dasarnya manusia cenderung serakah dan egois namun dituntut untuk dapat hidup bersosial secara normal dan beretika di masyarakat yang pada akhirnya melahirkan manusia-manusia munafik yang berusaha menutupi rahasia keburukan jati dirinya serapat mungkin yang lambat laun justru akan menciptakan masyarakat yang penuh resiko apabila tidak disikapi secara arif dan bijaksana. Penulis dalam hal ini tidak bersikap skeptis melainkan hanya mengamati kondisi fenomena sosial yang sedang berkembang dan terjadi di masyarakat saat ini dan seperti yang sudah-sudah jika logika manusia nampaknya selalu dikalahkan oleh ambisi hasrat seksnya walaupun dalam hati kecil penulis selalu berkata, “Kapan logika dapat mengalahkan hasrat seksnya ? ”[]


*Nur Bintang adalah alumnus pascasarjana sosiologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.