Artikel

Jumat, 20 Juni 2014

“APA ITU HIV/AIDS…?”

Ditulis oleh: Nur Bintang*

PENGANTAR: Tulisan saya ini diambil dari ‘tinjauan pustaka’ dalam skripsi saya mengenai kajian sosiologi kesehatan yang berfokus pada perilaku sehat dan pencegahan penyakit HIV/AIDS di sebuah lokalisasi prostitusi. Saya rasa tinjauan pustaka dalam skripsi saya ini memuat beragam informasi yang sangat penting untuk disebarluaskan kepada khalayak masyarakat karena saya masih menilai banyak pemahaman masyarakat terhadap penyakit HIV/AIDS ini dinilai masih sangat kurang. Diharapkan setelah membaca sedikit ulasan tulisan dari skripsi saya ini maka dapat menambah pengetahuan masyarakat mengenai bahaya penyakit HIV/AIDS melalui situs blog pribadi saya ini. Selamat membaca!


Asal-Usul HIV/AIDS?
HIV (Human Immunodefiency Virus) yang sudah menyebar ke seluruh dunia ini merupakan virus penyebab AIDS yang merusak kekebalan tubuh manusia sehingga rentan terhadap berbagai serangan penyakit. AIDS (Acquired Immuno Defiency Syndrome) yang berarti kumpulan gejala menurunnya kekebalan tubuh yang diperoleh. AIDS melemahkan atau merusak sistem pertahanan tubuh sehingga tubuh rentan terserang berbagai jenis penyakit lain.[1] Virus HIV penyebab AIDS ini dapat mati pada suhu diatas 800C dan di luar tubuh manusia, virus HIV bisa bertahan hidup dalam sejumlah kecil darah pada jarum suntik sampai dengan tujuh hari lamanya.

Gambar virus HIV/AIDS
Sumber gambar: http://arisudev.files.wordpress.com/2014/01/struktur-luar-virus-hiv.jpg

Kasus AIDS pertama kali di dunia dilaporkan secara resmi pada tahun 1981 di Los Angeles, Amerika Serikat. Saat itu penyakit AIDS masih menjadi penyakit misterius yang belum diketahui asal penyebabnya. Sejarah nama virus HIV sendiri bermula dari penemuan virus oleh seorang ahli medis berkebangsaan Perancis pada tahun 1983 yaitu Dr. Luc Montagnier (Institut Pasteur Perancis) yang berhasil mengisolasi virus dari kelenjar getah bening pada tubuh pasiennya yang dinamakan Lymphadenopathy Associated Virus (LAV).  Sekitar bulan Juli tahun 1984, Dr. Robert Gallo dari Lembaga Kanker Nasional (NIC-Amerika) juga menemukan virus yang serupa dari sampel darah salah seorang pasiennya dan dinamakan Human T-Lymphocytic Virus tipe III (HTLV III). Ilmuwan lain, J. Levy juga menemukan virus penyebab AIDS yang kemudian dinamakan AIDS Related Virus (ARV). Akhirnya, pada bulan Mei 1986, Komisi Taksonomi Internasional sepakat untuk memberi nama virus penyebab AIDS dengan Human Immunodefiency Virus (HIV) yang kemudian nama virus ini menjadi nama internasional untuk virus penyebab penyakit AIDS.

 Konon sebelum ditemukannya kasus epidemi HIV/AIDS pada dekade tahun 1980-an di dunia pernah juga ditemukan sampel darah virus dari beberapa jenis kera hijau di Afrika yang sangat mirip dengan HIV bahkan para ahli kedokteran dunia saat ini berasumsi bahwa asal-usul HIV berasal dari infeksi silang-spesies oleh virus simian/simpanse di belantara Afrika. Mungkin karena kontak langsung manusia dengan darah primata yang terinfeksi. Bukti-bukti terkini adalah bahwa jenis  HIV-1 dan HIV-2  pada tubuh manusia diindikasikan berasal dari paparan SIV (Simian Immunodefiency Virus) yang berasal dari binatang kera. Pertengahan abad ke-20 telah memungkinkan infeksi virus ini untuk menyebar, menetap pada manusia, dan menjangkau proporsi epidemi.[2] WHO juga memproyeksikan pada tahun 2000 jumlah orang yang terinfeksi HIV akan mencapai 14 juta orang di seluruh dunia dan nampaknya jumlah ini akan terus bertambah untuk tiap tahun yang akan datang.[3]

Stigma HIV/AIDS sebagai penyakit kutukan dari Tuhan karena belum ditemukan obatnya ini lebih cenderung dianggap sebagai “penyakit orang bule” atau “penyakit orang Eropa” yang hal ini dikarenakan budaya perilaku seks bebas di kalangan mereka. Stigma ini tidaklah benar seutuhnya karena penyakit HIV/AIDS itu sendiri sebenarnya berasal dari Afrika bahkan juga pernah ditemukan sampel darah lama dari manusia yang berasal dari Afrika pada tahun 1950-an yang tampaknya sudah mengandung HIV. Pada tahun 1980-an media massa di Amerika selalu menghubungkan HIV/AIDS sebagai “penyakit orang Afrika[4] dan “penyakit kaum gay” atau homoseksual dengan sebutan GRID (Gay-Related Infectious Disease).  

HIV bisa ditularkan dari satu orang kepada lainnya melalui pertukaran cairan tubuh seperti darah, sperma, cairan vagina, dan air susu ibu. Peluang untuk tertular HIV melalui hubungan seks adalah 1%, melalui transfusi darah 90 %, melalui jarum suntik tidak steril 90 %, dan dari ibu hamil kepada bayinya 30 %. Meskipun penularan HIV melalui hubungan seks mempunyai peluang paling kecil, ternyata lebih dari 90 % kasus HIV/AIDS  yang ada sekarang ini terjadi karena hubungan seks.[5]

        Masa inkubasi HIV di dalam tubuh manusia pada umumnya hanya memerlukan waktu 3 bulan - 6 bulan dan bahkan pada beberapa kasus yang jarang ditemui masa inkubasi HIV pada tubuh seseorang bisa berlangsung hingga sampai selama satu tahun dengan gejala awal seperti penyakit flu biasa yang terjadi secara berulang-ulang kali dalam waktu beberapa minggu seperti demam tinggi, radang tenggorok, sakit kepala, sakit otot dan sendi, muntah, sakit perut, yang disertai pembengkakan kelenjar getah bening (leher, ketiak, lipatan paha) atau ruam pada kulit selama satu atau dua minggu setelah terpapar HIV dan gejala ini biasanya hilang tanpa perlu diobati. Setelah itu penderita HIV tampak terlihat sehat (tanpa gejala) selama 5 tahun - 10 tahun sebelum timbul infeksi oportunistik pada tahap AIDS.

         Hanya melalui tes uji sampel darah di laboratorium maka kita dapat mengetahui status HIV seseorang apapun hasilnya baik itu “positif” ataupun “negatif” yang dimana identitas dan status penyakit orang tersebut akan dijamin kerahasiaannya namun banyak juga orang yang beresiko tinggi tertular HIV/AIDS yang tidak mempunyai kesadaran untuk memeriksakan kesehatan dirinya dikarenakan “malu” sehingga hal ini dikhawatirkan, akan dapat menularkan penyakit HIV/AIDS kepada orang lain. Pada umumnya, penderita HIV tampak selalu sehat dan bahkan mungkin penderita tersebut tidak menyadari bila dirinya telah mengidap HIV “positif” sebelum akhirnya bertahap pada AIDS yang berujung kepada kematian. Adapun tanda-tanda atau gejala orang yang terinfeksi HIV yang  sudah mencapai pada tahap AIDS adalah sebagai berikut:
1.  Berat badan menurun drastis lebih dari 10% dalam waktu singkat.
2.  Demam tinggi berkepanjangan selama lebih dari satu bulan.
3.  Diare berkepanjangan selama lebih dari satu bulan.
4.  Batuk lebih dari satu bulan dan bertahap menjadi penyakit TBC Paru.
5.   Kandidiasis Orafaringeal (infeksi jamur pada mulut dan kerongkongan).[6]

Penyakit HIV/AIDS sampai saat ini belum ditemukan obatnya. Obat untuk penderita HIV/AIDS (ODHA) yang ada sekarang ini ialah pemakaian obat ARV (Anti Retro Viral) yang diminum seumur hidup oleh penderita HIV/AIDS (ODHA). Obat ARV ini hanya dapat mengendalikan jumlah HIV dalam tubuh dan meningkatkan daya tahan tubuh untuk memperpanjang usia hidup penderita HIV/AIDS (ODHA).

Pencegahan HIV/AIDS di Lokalisasi
Pencegahan HIV/AIDS yang biasa di lakukan di kawasan lokalisasi prostitusi adalah dengan melalui program pemakaian kondom 100% dalam mengatasi Infeksi Menular Seksual (IMS), khususnya penularan HIV/AIDS. Namun seiring kemajuan ilmu pengetahuan di bidang kesehatan ternyata pemakaian kondom tidak terbukti 100% efektif dalam pencegahan HIV/AIDS.

Gambar aneka kondom
Sumber gambar: http://us.images.detik.com/content/2014/02/27/1390/160435_kondom5ts.jpg

Berdasarkan pernyataan dari Dadang Hawari[7] pada bulan September 2007 yang menyimpulkan fakta medis yang benar bahwa kondom memang dapat mencegah masuknya sperma, tetapi tidak dapat mencegah masuknya virus HIV/AIDS yang lebih kecil. Pernyataan-pernyataan keraguan akan efektifitas kondom juga disampaikan oleh beberapa peneliti yang melakukan penelitian terhadap efektifitas kondom dalam mencegah HIV/AIDS yang diantaranya sebagai berikut:
1.  Pernyataan J. Mann (1995) dari Harvard AIDS Institute, USA, yang menyatakan tingkat keamanan kondom hanya 70%. Penelitian yang dilakukan Carrey (1992) dari Division of Pshysical Sciences, Rockville, Marryland, USA, menemukan bahwa virus HIV dapat menembus kondom.
2.  Dalam konferensi AIDS Asia Pacific di Chiang Mai, Thailand (1995) bahwa pada kondom yang terbuat dari bahan latex terdapat pori-pori dengan diameter 1/60 mikron dalam keadaan tidak meregang, sedangkan bila dalam keadaan meregang lebar pori-pori tersebut mencapai 10 kali. Sementara virus HIV berdiameter 1/250 mikron. Dengan demikian jelas bahwa virus HIV dapat leluasa menembus pori-pori kondom.
3.  Hasil penelitian Biran Affandi (2000): Tingkat kegagalan kondom dalam KB di Indonesia mencapai 20 %, apalagi kondom khusus untuk mencegah virus HIV. Padahal perbandingan ukuran sperma dan virus HIV adalah 450  banding 1. [8]

           Sampai sejauh ini, alat yang digunakan dalam pencegahan penularan HIV/AIDS melalui hubungan seks adalah kondom khusus yang permukaan luarnya menggunakan bahan pelicin yang mengandung nonoxynol-9 yang berfungsi untuk  membunuh sperma, virus, dan bakteri yang masuk ketika sedang melakukan hubungan seks. Banyak juga jenis kondom yang beredar di pasaran saat ini sebenarnya hanya diperuntukkan sebagai alat pencegah kehamilan dan bukan sebagai alat pencegah penularan HIV/AIDS karena bahan pelicin yang ada hanya mengandung spermasida yang digunakan hanya untuk membunuh sperma tetapi tidak untuk membunuh virus ataupun bakteri. Keutuhan kondom dalam pemakaian juga sangat perlu untuk diperhatikan karena kondom bisa rusak atau mudah robek bila sudah lama atau terkena panas. Periksa selalu tanggal kadaluarsa pemakaian kondom di setiap kemasan.

         Walaupun pemakaian kondom tidak terbukti 100% efektif dalam pencegahan HIV/AIDS namun paling tidak, dapat mengurangi dampak resiko tinggi penularan HIV/AIDS itu sendiri. Penggunaan kondom tetaplah harus dilakukan secara “benar” dan “konsisten” untuk menghindari gesekan luka pada alat kelamin yang dapat menjadi jalur penularan HIV/AIDS ketika sedang melakukan hubungan seks. Pengurangan dampak resiko tinggi penularan HIV/AIDS melalui penggunaan kondom dapat terlihat dari contoh promosi penggunaan kondom yang gencar dilakukan oleh pemerintah Thailand pada tahun 2000 kepada kalangan pekerja seks komersial di negara tersebut dan berhasil menurunkan angka laju kasus Infeksi Menular Seksual (IMS) termasuk HIV/AIDS dari 13% menjadi 0,3%.

Stiker pemakaian wajib kondom 100% di salah satu lokalisasi prostitusi
Sumber gambar: dokumentasi penulis

          Penemuan kondom khusus wanita dalam mencegah penularan HIV/AIDS selain kondom pria saat ini dianggap dapat menjadi metode penghalang baru dalam melindungi diri dan pasangan seks. Kondom khusus wanita ini bentuknya silinder, dengan ujung terbukanya berbentuk cincin, dan ujung lainnya tertutup dan diberi spons untuk menyerap sperma.

         Kondom wanita ini memiliki panjang 17 cm dan diameter 6 cm hingga 7 cm. Pemakaian kondom wanita sama seperti kondom pria yaitu hanya sekali pakai dan tidak bisa dipakai berkali-kali. Kondom pria dan kondom wanita tidak bisa digunakan secara bersamaan karena gesekan antara bahan latex pada kondom dapat menghasilkan kedua produk menjadi robek dan gagal  berfungsi sebagai pelindung.

Gambar kondom wanita
Sumber gambar: http://majalahkesehatan.com/wp-content/uploads/2011/01/kondom-wanita.jpg

         Dengan hadirnya kondom wanita saat ini diharapkan dapat membuat pihak pria jadi lebih leluasa menikmati aktivitas seksnya.  Hal ini disebabkan karena banyaknya studi riset tentang rendahnya kesadaran penggunaan kondom khusus pria dikalangan kaum pria itu sendiri dengan alasan pemakaian kondom khusus pria menyebabkan tidak ada gesekan langsung dengan vagina sehingga kenikmatannya tidak terasa dan pemakaian kondom khusus pria cenderung dianggap terlalu merepotkan sehingga hal tersebut dapat meningkatkan resiko tinggi terkena penularan HIV/AIDS.[9]

         Untuk itu diperlukan pemahaman yang lebih baik dalam pencegahan penularan HIV/AIDS. Pengetahuan tentang HIV/AIDS dapat menjadi cara ampuh dalam pencegahan dini terhadap penularan virus mematikan ini. Adapun rumus ABCDE yang digunakan dalam pencegahan HIV/AIDS adalah:
1.  Abstinen yaitu tidak melakukan seks bebas
2.  Be Faithful yaitu setia pada pasangan
3.  Condom yaitu gunakan kondom
4.  Drugs yaitu hindari penggunaan narkoba suntik
5.  Equipment Sterile yaitu menggunakan peralatan yang steril[10]

      Penyakit HIV/AIDS sampai sejauh ini penularannya selalu berasal dari cairan vagina, cairan sperma, darah, dan air susu ibu (virus HIV hidup di dalam sel tubuh manusia). Penyakit HIV/AIDS tidak menular melalui:
                 1.  Keringat, air mata, dahak dari penderita positif HIV
                 2.  Mandi bersama 
                 3.  Berjabat tangan (bersalaman)
                 4. Gigitan nyamuk
                 5. Air urine atau tinja dari penderita positif“ HIV
                 6. Air minum 

Lokalisasi Prostitusi
         Kata prostitusi sendiri berasal dari bahasa latin yaitu prostutuere atau pro-staure yang berarti membiarkan diri berbuat zina.[11] Prostitusi oleh kebanyakan masyarakat masih dianggap sebagai suatu bentuk perbudakan modern karena pekerja seks komersial berada di bawah kontrol para induk semang.

         Namun ada pendapat dari kajian antropologi sosial tentang pelacuran yang dilakukan oleh Alison J. Murray.[12] Menurut Murray pelacuran adalah suatu tindakan pilihan rasional dan bukanlah perbudakan atau patologi, yang memberikan pemasukan ekonomi dan kebebasan dari kekangan-kekangan sosial terhadap perempuan kelas bawah. Dalam kompleks (lokalisasi) sekalipun, perempuan memperoleh pendapatan jauh lebih banyak daripada pekerja-pekerja kelas bawah lainnya.[13]

Gambar suasana lokalisasi prostitusi
Sumber gambar: http://assets.kompas.com/data/photo/2014/06/16/1855284GangDollySurabaya161402919087-preview780x390.jpg

       Nampaknya kemiskinan yang melanda di negara-negara berkembang termasuk Indonesia sangat berdampak pada tingginya tindak kejahatan dan masalah prostitusi. Pelacuran yang rawan resiko tinggi penularan HIV/AIDS ini dianggap sebagai jalan pintas bagi kebanyakan kaum wanita yang terhimpit tuntutan kebutuhan hidup yang semakin berat. Lokalisasi dianggap sebagai suatu tempat yang pantas bagi para pekerja seks komersial dalam menjalankan profesinya secara aman dan nyaman.[14]
*Nur Bintang adalah seorang pengamat sosial dan budaya.

000

Sumber Pustaka:

Bintang,  Nur, “Seks Aman di Lokalisasi (Kajian Tentang Persepsi, Sikap, Peran Induk Semang dalam Pencegahan HIV/AIDS di “Gang Sadar” Baturraden Purwokerto), Skripsi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, Tahun 2009.






[1]   Lihat Danny Irawan Yatim, Dialog Seputar AIDS (Jakarta: PT Grasindo, 2006) hal. 1-3.
[2]  Lihat Geo. F. Brooks, et.al, Mikrobiologi Kedokteran. Terjemahan dr. Nani Widorini (Jakarta: Salemba Medika, 2005) hal. 297.
[3]   Danny Irawan Yatim., op.cit. hal. 27.
[4]  Pada tahun 1980-an di Amerika Serikat ada anggapan bahwa HIV berasal dari pekerja migran  Afrika Tengah yang pergi ke Haiti, yang kemudian menyebarkannya kepada orang-orang Amerika yang berlibur di sana. Ada anggapan bahwa AIDS terjadi karena perilaku seks bebas orang kulit hitam. Saat ini epidemi HIV/AIDS sudah menyebar ke seluruh dunia, sehingga semua orang baik itu orang Asia, Eropa, dan Afrika dapat terkena HIV/AIDS tanpa terkecuali jika memang perilakunya dianggap beresiko.
[5]  Ibid., hal. 38-39.
[6]  Ibid., hal. 10.
[7]  Prof. Dadang Hawari adalah pakar ahli jiwa sekaligus Guru Besar Tetap di Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia.
[8] Dadang Hawari, ”Efektifitas Kondom Diragukan?”.http://mediaindonesia.com/berita.asp? id=144457. Diakses tanggal  8 Maret 2008. 
[9]  LPPSLH, ”Kondom Wanita ? Kenapa Nggak...!!”, Waras, Edisi 2, Maret 2007.
[10]  Ibid., hal. 10.
[11]  Kartini Kartono, Pathologi Sosial (Jakarta: Rajawali, 1992) hal. 199.
[12] Alison  J. Murray, Ph.D. adalah seorang pakar antropologi sosial sekaligus seorang dosen di University of Sydney (Australia) yang biasa membahas masalah pelacuran. Murray juga menulis beberapa buku yang khusus membahas masalah tentang pelacuran di negara-negara Asia Tenggara yang salah satunya adalah buku dengan judul No money, No honey: A Study of Street Traders and Prostitutes in Jakarta (1991). Saat ini Murray menjadi konsultan pada lembaga Indonesia AIDS Project.
[13]  James J. Spilane., op. cit.
[14]  Reno Bachtiar dan Edy Purnomo, op. cit., hal 74.