Artikel

Senin, 09 Desember 2013

"PENGALAMAN ADALAH SEKOLAH KEHIDUPAN"


By: Nur Bintang*






Karl Marx dan Sigmund Freud secara bersamaan pernah berkata, manusia baru dianggap sebagai manusia yang utuh secara sosial jika mereka sudah bekerja!namun pendapat kedua tokoh filsuf sosial tersebut perlu dikritisi dan dikoreksi untuk zaman saat ini. Pendapat kedua tokoh tersebut akan berbenturan jika disandingkan dengan pertanyaan dalam hati saya saat ini yakni bekerja untuk apa? dan bertujuan apa? Itulah hal esensi yang paling penting menurut saya di dalam melakukan suatu pekerjaan. Semua manusia tentu mempunyai alasan yang berbeda-beda (relative) dalam memaknai pekerjaan hidupnya karena semua kembali tergantung pada selera, pilihan, prinsip, dan keyakinan individu masing-masing yang harus kita hormati bersama.

“Saya ingin berkembang lebih jauh lagi dari dunia saya saat ini. Saya merasa dunia saya sekarang terasa masih sempit! Saya bekerja tidak hanya sekedar memikirkan nasib hari ini tetapi juga harus memikirkan nasib saya ke depan. Saya harus berbuat sesuatu yang lebih besar dari yang saya lakukan pada hari ini!”

Pengalaman hidup ini adalah suatu seni adaptasi psikologi diri yang tidak beraturan sepanjang hayat. Tantangan bagi saya ialah suatu labirin rumit permasalahan yang harus dipecahkan dan dikelola bersama-sama melalui pengertian yang baik di antara sesama team work dan pemangku kepentingan (stakeholders) melalui kematangan rancangan, eksekusi berdasarkan konsep pemikiran bersama dan dialog positif sehingga memunculkan ide kreativitas, motivasi, rasa saling menghargai untuk mencapai arah tujuan kepentingan bersama. Itulah gunanya tim! Inilah fungsi sosial! Ini hanya sekedar tafsir ulang saya dari beberapa buku ilmu manajemen kepemimpinan yang pernah saya baca dari tokoh kenamaan seperti Maxwell. 

“TERKADANG DALAM KESENDIRIAN, SAYA TERUS BERPIKIR BAHWA DIRI SAYA BUKANLAH ROBOT TETAPI SAYA ADALAH MANUSIA SEUTUHNYA. SAYA BERJUANG UNTUK TERUS  MEMAHAMI  NILAI ESENSI DARI DIRI SETIAP MANUSIA TERMASUK  DIRI SAYA SECARA PRIBADI..!!!”

Saya selalu teringat kata slogan dari salah satu raksasa perusahaan teknologi dunia yaitu Apple Inc. yang dipimpin oleh Steve Jobs, Think is different!” hingga pada akhirnya kata-kata ini menjadi semacam semboyan bagi spirit perusahaan Apple dalam menghasilkan produk-produk teknologinya yang berbeda, desain indah, inovatif, revolusioner dalam dunia teknologi. Walaupun saya tahu dalam dunia nyata bahwa Steve Jobs tidaklah begitu sempurna sebagaimana manusia biasa lainnya karena kesuksesan telah merubah sikap Steve Jobs yang dinilai oleh kebanyakan teman, sahabat dan kolega dekatnya menjadi sangat perfeksionis, arogan, banyak menuntut, temperamental, emosional dan sangat angkuh namun dalam kegigihan beliau dalam memperjuangkan suatu hal terobosan yang baru bagi kebaikan dirinya dan orang lain hal tersebut sangatlah patut untuk diapresiasi oleh banyak orang.

Pengalaman hidup yang bisa dipetik dari kisah ini ialah dinamisme berpikir tanpa batas dengan tetap berkreativitas melalui hati dan sepenuh hati. Yeah.. melalui kekuatan pikiran serta rasa hati maka dapat melahirkan karya-karya indah seperti lukisan dari Picasso dan  Raden Saleh, suara merdu orkestra klasik dari Mozart dan Beethoven. Saya juga sedikit belajar dari keberhasilan mentalitas dan spirit Steve Jobs mengenai kekuatan pikiran serta hati dengan memanfaatkan nilai-nilai sosial yang ada sehingga berhasil mendorong Steve Jobs untuk menciptakan berbagai inovasi produk unggulan Apple Inc. seperti Macintosh, Ipod maupun Ipad sehingga berhasil merevolusi semua industri teknologi di seluruh dunia. 

Keyakinan, fungsi sosial, seni, desain keindahan, berpikir berbeda dengan arah tujuan untuk merubah dunia, menyebarkan rasa perdamaian itulah esensi kuncinya. Dalam hal ini, teruslah berpikir sambil memelihara ‘keyakinan’. Rasa yakin membuat saya percaya bahwa Tuhan ada bersama saya dan mengiringi setiap langkah sukses saya. Saya percaya Tuhan selalu membimbing arah hidup saya ke arah yang lebih baik sehingga setiap tanggung jawab keputusan yang sudah saya ambil dengan akal sehat, tidak ada kata penyesalan kembali dari diri saya karena memang itulah jalan yang terbaik yang harus saya tempuh.

Pengalaman adalah sekolah kehidupan. Dalam hidup, saya tidak bisa menuntut segalanya harus terlihat sempurna namun saya tetaplah harus menjalani dan melakukan hal-hal yang terbaik yang saya bisa dan hanya kepada ‘Tuhan’ semua letak segala kesempurnaan itu berakhir. Use your mind but don’t forget your heart![]

*Catatan editor Nur Bintang mengenai makna sekolah kehidupan.

Senin, 26 Agustus 2013

“WRITING IS MY LIFE!”


Oleh: Nur Bintang*


Pada tanggal 21 Agustus 2013 yang lalu saya bersama tim menghadiri pelatihan penulisan yang difasilitasi perusahaan tempat kami bekerja dengan bertempat di Hotel Century yang terletak di kawasan Senayan, Jakarta Pusat. Pelatihan penulisan ini memang sangat penting di dalam pengembangan sumber daya manusia dari para penulis maupun para editor karena pelatihan ini melibatkan narasumber dari para tokoh akademisi yang sudah menyandang predikat gelar profesor dan ahli dalam spesialisasi kajian bidang disiplin ilmunya masing-masing dengan menjadi staf ahli di salah satu kementerian Republik Indonesia. Saya rasa apa yang disampaikan oleh para profesor sangat baik di dalam menambah wawasan keilmuan saya terutama yang berkaitan dengan materi penulisan yang disampaikan (walaupun ada beberapa hal yang menurut saya pribadi agak kurang sependapat) namun secara keseluruhan saya acungi jempol dan saya anggap sangat baik terhadap segala apa yang telah disampaikan oleh para profesor selaku pembicara di forum. Ada salah satu ungkapan pembicara dari salah satu profesor saat itu yang sempat berkata, “Tidak ada kebenaran mutlak, semua berhak menyatakan kebenaran yang didapatnya melalui data dan sumber rujukan yang jelas."  Itu termasuk salah satu point ilmu yang saya dapatkan dari salah satu profesor yang menjadi pembicara saat itu.

Acara kemudian berlanjut pada pemaparan materi dan kemudian berlanjut pada sesi istirahat yaitu makan siang. Makan siang di hotel pada saat itu sangat terasa istimewa, bagaimana tidak? Semua peserta yang hadir menurut pandangan saya adalah orang-orang yang berilmu (cerdik-pandai) mulai dari para dosen dan guru besar serta para penulis juga para editor yang berasal dari perwakilan beberapa perusahaan penerbitan baik skala besar maupun skala kecil di seluruh Indonesia. Pada saat acara makan siang tersebut saya banyak berkenalan dan menjalin relasi diantara sesama penulis buku dan para editor buku yang hadir pada acara tersebut. Ada hal yang unik ketika saat saya makan siang saat itu karena saya sempat berkenalan dengan salah satu penulis buku yang sangat produktif serta sudah menjalin kontrak kerjasama dengan salah satu penerbitan besar di Indonesia dan kita saling berbicara mengenai tema penulisan buku. Usia penulis itu sudah tua sekitar berumur 60-an tahun, seorang pensiunan guru yang berasal dari Kota Medan dan kemudian menetap di Kota Jakarta. Semangatnya dalam menulis mampu menampar harga diri serta rasa malu saya sebagai anak muda karena buku-buku yang berhasil ditulis oleh beliau sudah banyak menjadi buku best seller di Indonesia. Kami dengan cepat dapat akrab dan saling berbicara bertukar pikiran dan pengalaman. Namun ada nasehat dari beliau selaku orang tua yang lebih berpengalaman kepada saya selaku anak muda dengan berkata, Kamu sebagai seorang editor juga harus suatu saat menerbitkan karya buku yang kamu tulis sendiri karena selama bekerja, para editor sudah banyak membantu penulis di belakang layar dengan gaji yang bisa dibilang cukup terbatas dari pihak penerbit. Jika kamu tidak mencari tambahan penghasilan yang lain atau tidak menghasilkan tambahan uang dari ilmu yang kamu dapat dan kamu pelajari selama ini dengan menulis buku maka saya berani bertaruh  ada sesuatu yang salah dalam diri kamu. Apalagi kamu adalah seorang lulusan dari universitas terbaik di Indonesia? Hal tersebut menurut saya juga sudah merupakan modal awal dan point plus untuk menjadi seorang penulis besar disamping semangat dan tekad untuk menghasilkan sesuatu dari tulisan yang sudah kamu pelajari selama ini agar dapat berguna serta memberi manfaat bagi orang lain!.” Sungguh tersentak hati ini mendengar nasehat beliau yang sangat terdengar jelas logat bahasa Bataknya. Hati saya ini menjadi terasa tergugah dan sangat terpecut sambil seraya berkata dalam hati, Saya suatu saat harus bisa menerbitkan buku dari hasil pemikiran tulisan saya atau mungkin catatan tulisan saya selama ini bisa saya kumpulkan lagi untuk diedit menjadi sebuah buku? Saya optimis jika saya pasti akan menerbitkan buku sendiri. Motivasi bekerja sebagai editor adalah karena saya berusaha untuk mengetahui struktur anatomi buku sekaligus memahami seluk-beluk dunia penerbitan secara langsung seraya belajar  menulis buku secara baik dan benar. Kemudian seorang penulis buku yang kebetulan naskahnya sedang saya edit juga berkata kepada saya, Cobalah untuk menulis buku Mas Bintang, sayang kalo ilmu Mas Bintang yang lumayan banyak menumpuk di blog tidak dituangkan ke dalam sebuah buku. Awalnya memang susah menawarkan naskah kita ke beberapa penerbit karena pasti akan mengalami beberapa penolakan tapi jika ada salah satu naskah kita yang berhasil diterima oleh salah satu penerbit maka proses jalan ke depannya akan terasa lebih mudah untuk menjadi penulis buku profesional. Rasakan awal susahnya menulis buku. Saya dahulu butuh waktu sekitar 3 bulan untuk serius mengerjakan dan menulis buku yang menarik bagi pembaca. Sekarang saya sudah bisa memetik hasilnya." Saya dalam hati jadi merasa terpecut mendengar saran dan nasehat dari kedua penulis ini terhadap diri saya pada saat jam sesi makan siang di hotel saat itu. Benar juga pendapat mereka karena sehebat atau sepintar apapun seseorang jika dia enggan menulis maka dia akan cepat dilupakan oleh sejarah! Semua pemikir dan penulis besar dahulu pada awalnya bekerja sebagai seorang editor mulai dari  Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Karl Marx, Gus Dur dan masih banyak lagi yang akhirnya mereka dapat menerbitkan buku-buku karya fenomenal mereka sendiri. Saya optimis bisa menyusul mereka!

Menulis bagi saya sebenarnya adalah wujud proses refleksi intelektual dalam diri manusia. Para penulis ada kecenderungan memiliki bakat untuk menjadi seorang yang jenius dalam melakukan analisa menyampaikan gagasan tulisannya. Semua orang bisa menulis tetapi tidak semua orang bisa menjadi penulis. Penulis adalah bakat dan keterampilan yang terus diasah, penulis adalah seorang pembelajar yang baik yang bukan menjadi seorang yang serba tahu tetapi berusaha untuk mencari tahu dan menyebarkan pengetahuannya tersebut kepada khalayak. Penulis adalah pembaca buku sejati karena tidak mungkin seseorang bisa menulis dan memiliki banyak referensi materi tulisan jika tidak membaca banyak buku terlebih dahulu. Apa jadinya jika dunia tanpa penulis? Akibatnya mungkin semua sumber kebudayaan dan sumber peradaban bangsa kita akan hilang ditelan oleh zaman. Pernyataan ini saya dapatkan setelah membaca buku karya Seno Gumira Ajidarma yang berjudulIsi Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Berbicara terbitan Bentang Pustaka yang di dalam salah satu bab bukunya tersebut dengan judul Kehidupan Sastra di Dalam Pikiran menceritakan bagaimana nama seorang penulis dan karya tulisannya tidak akan pernah tenggelam di dalam panggung peradaban sejarah. Hal tersebut didapat dari kitab Nagara Kertagama’ yang ditulis pada tahun 1365 oleh pujangga Mpu Prapanca yang isinya mengkritik jalannya roda pemerintah Kerajaan Majapahit di Nusantara (Indonesia). Dalam ulasan tulisannya tersebut nampak jika sastrawan Seno Gumira Ajidarma berhasil mendapatkan point penting dari karya buku fenomenalnya dan menuliskan maksudnya jika ‘menulis’ menjadi bagian fakta pikiran manusia yang dapat dipertahankan dan diselamatkan dari zaman ke zaman dan tidak segan-segan untuk melakukan perlawanan terhadap konteks sejarah buatan penguasa jika dianggap menyimpang.

Menulis nampaknya bagi saya sudah menjadi kebutuhan. Saya sendiri selalu rajin menulis artikel di website blog pribadi saya ini. Pertimbangan saya menulis di blog adalah karena saya bisa leluasa mempertahankan idealisme saya dalam bentuk gagasan melalui tulisan dan daya jangkau tulisan di blog ini yang dapat dibaca dan dikunjungi oleh para pengunjung (visitors) dari seluruh sudut penjuru dunia melalui mesin pencari Google dan sejenisnya. Untuk berlatih menulis memang lebih enaknya jika belajar menulis di blog terlebih dahulu sebelum menulis serius ke tahap buku. Bisa dikatakan hidup saya tanpa menulis maka akan terasa hampa karena saya sudah menjadi seorang yang sangat adiktif untuk menulis dan berharap suatu saat nanti dapat menjadi seorang penulis buku profesional. Semoga bekal pengalaman saya sekarang ini dengan bekerja di salah satu penerbitan nasional di Jakarta sebagai seorang editor buku dapat menghasilkan manfaat dalam mempertajam skill penulisan saya ketika suatu saat nanti menulis sebuah buku. Semoga![]


*Nur Bintang merupakan alumnus pascasarjana sosiologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta yang kini merintis karier dari bawah sebagai editor buku ilmu-ilmu sosial di salah satu penerbitan nasional di Jakarta.

Selasa, 20 Agustus 2013

"DILEMA SEKS SEBAGAI SIMBOL PERADABAN"




Oleh: Nur Bintang*


“Logika manusia selalu dikalahkan oleh hasrat seksnya”
(Nur Bintang, pemerhati masalah sosial seksualitas)



Seks adalah satu kata yang penuh dengan berbagai penafsiran. Seks menurut salah satu filsuf Yahudi-Jerman yang bermukim di Amerika Serikat dalam tradisi Mahzab Frankfurt yakni Herbert Marcuse dalam bukunya ”Eros and Civilization’” mengungkap makna sosial-biologi mengenai perjuangan naluri manusia dan hati nurani manusia yang dianggap merasa tertindas karena berusaha mengikuti adat-istiadat dan norma yang berlaku dalam masyarakat (sejarah dipandang bukan sejarah perjuangan kelas melainkan melawan represif insting kita sebagai manusia karena sifat Eros yang membebaskan dan konstruktif). Keberadaan seks itu sendiri menurut hemat penulis memang sangat ‘dilematis’ bagaikan dua sisi mata pedang yang tajam bahwa seks di satu sisi dianggap sebagai bentuk kenikmatan ritual ajaran agama yang dijalankan dalam bentuk ikatan suci pernikahan namun di sisi lain kenikmatan seks juga dapat dianggap sebagai sumber dosa besar akibat dorongan nafsu yang tidak dapat dikendalikan oleh manusia apabila dalam prakteknya dianggap menyimpang dari bentuk ritual agama yang sudah ditetapkan. Namun begitulah jika setiap individu mau diajak berpikir kritis memaknai akan seksnya. Seorang filsuf psikoanalisis Yahudi-Austria yang bernama Sigmund Freud melalui pemikirannya yang cukup kontroversial telah jauh hari menyatakan jika sejak saat masih kecil setiap individu manusia sudah dibekali insting atau naluri akan kebutuhan seksnya. Hal inilah yang mengakibatkan adanya rasa inferior (rendah diri) yang dialami kebanyakan wanita pada masa kecilnya akibat pengaruh kuat budaya patriarkhi yang menganggap wanita itu merasa berbeda dari kebanyakan teman laki-lakinya akibat tidak memiliki alat kelamin yang seperti dimiliki kebanyakan anak laki-laki seusianya. Freud sendiri juga berpendapat jika seks merupakan dasar dari masalah peradaban karena menganggap setiap manusia sebagai makhluk penyimpang yang memiliki sejuta fantasi seks yang aneh dan beraneka ragam bahkan filsuf sekaligus sosiolog Post-Strukturalis asal Perancis yakni Michel Foucault menganggap jika seks sebagai wujud relasi kekuasaan yang harus dibebaskan dari segala bentuk praktek penindasan dominasi kekuasaan.

Dominasi kekuasaan seks dapat dilihat dari sistem yang ada di lokalisasi prostitusi. Prostitusi dianggap wujud praktek peradaban kuno zaman purba manusia yang tertua di dunia hingga sampai akhir zaman nanti. Praktek di beberapa tempat lokalisasi prostitusi yang pernah disinggahi oleh penulis nampaknya memberi gambaran mengenai bentuk-bentuk sistem pola relasi kekuasaan tersebut yang meminjam dari gagasan pemikiran filsuf sosial kritis Yahudi-Jerman yaitu Karl Marx yang dimana dalam kacamata kajian Marxian terdapat bentuk eksploitasi penindasan relasi kekuasaan induk semang selaku pengusaha (borjuis) terhadap wanita pekerja seks yang bekerja sebagai buruh (proletar) akibat ketimpangan distribusi pendapatan ekonomi dan kesempatan bekerja yang tidak merata dan tebatas sehingga pada akhirnya memaksa wanita atas penggunaan alat kelaminnya sebagai komoditas bisnis yang diperdagangkan dengan tujuan untuk menghasilkan keuntungan uang dalam usaha untuk bertahan hidup dari tuntutan kebutuhan hidup yang semakin mendesak. Hal ini nampaknya dianggap sebagai wujud jalan terakhir atas segala alternatif pilihan terakhir yang berat hati harus dipilih dari para pelakunya (wanita pekerja seks) yang mengalami ‘dilema’ dan trauma ketika menjalankan profesinya tersebut.

Pada masa saat ini, nampaknya telah terjadi pergeseran makna seks dari setiap individu baik laki-laki ataupun wanita yang menjadi sebuah tahap ‘dilema’ baru. Sosiolog besar Inggris yakni Anthony Giddens berpendapat pergeseran makna budaya seks yang konservatif dimana selama ini hanya dominasi laki-laki yang selalu berkuasa akan kebutuhan seksnya terhadap wanita namun kini justru berbalik karena fenomena sosial saat ini yang terjadi kebanyakan di Barat jika para wanita banyak yang menuntut kebutuhan seksnya terhadap laki-laki dan makin maraknya kasus unik mengenai pemerkosaan yang dilakukan oleh wanita terhadap laki-laki yang terjadi di beberapa daerah di Afrika. Sangat nampak jika posisi laki-laki saat ini lambat laun dapat berubah menjadi obyek sumber kebutuhan seks dari para wanita. Hal ini dapat dilihat dari keberadaan lokalisasi prostitusi laki-laki yang semakin semarak dan lambat laun mulai eksis menyaingi keberadaan lokalisasi prostitusi wanita yang selama ini selalu mendominasi di beberapa negara di Eropa (Barat). Pergeseran pameo dahulu bahwa pria menuntut cinta dalam bentuk seks dan wanita menganggap seks sebagai wujud cinta nampaknya kini sudah tidak relevan lagi untuk diungkapkan. Wajar jika fenomena sosial ini alangkah lebih baik disandingkan dengan pemikiran filsuf eksistensialisme Perancis yakni Jean Paul Sartre dalam bukunya “Seks dan Revolusi” bahwa pemaknaan seks secara bebas dan total hanya dapat dimaknai oleh kesadaran setiap individu manusia untuk mau menyatakan kemerdekaan diri atas orientasi seksualnya. Kebangkitan paham feminisme di Eropa mungkin salah satu bentuk contohnya yang melakukan resistensi terhadap penjajahan budaya patriarkhi dan memperjuangkan budaya matriarkhi yang nampaknya kini memberi celah terhadap pemetaan konflik dalam studi kebudayaan kontemporer.

Dilema seksualitas nampak dari adanya konflik kebudayaan matriarkhi versus kebudayaan patriarkhi yang sudah berlangsung sejak 6000 tahun yang lampau. Hal ini dapat ditelusuri dari pemikiran filsuf Yahudi-Jerman sekaligus seorang psikolog dan sosiolog dalam tradisi Mahzab Frankfurt yakni Erich Fromm mengenai hak ibu atas penciptaan laki-laki yang melakukan tafsir ulang atas pemikiran filsuf asal Swiss yakni Bachofen bahwa ikatan primordial dari manusia adalah ikatan terhadap ibu ketika mengasuh anak sejak kecil terutama terhadap anak laki-laki sebelum kelak anak laki-laki tersebut berubah menjadi dewasa dan mandiri hingga pada suatu saat akhirnya dapat merebut peran dan relasi sosialnya dari pengasuhan sang ibu. Paham feminisme saat ini, menurut penulis kebanyakan berusaha merebut kembali peran dan relasi sosial yang selama ini dianggap dominan hanya dimiliki oleh pihak laki-laki. Selain itu, Fromm juga berpendapat jika rasa cinta dan benci menjadi landasan karakter dasar dari hubungan laki-laki dan perempuan selain perbedaan fungsi peran seksual dari masing-masing jenis kelaminnya. Menurut Fromm, laki-laki dalam superioritasnya meletakkan seks sebagai simbol ego dan prestisenya yang hal ini sangat berbeda dengan wanita yang hanya meletakkan seks sebagai pemenuhan hasrat biologisnya.

Insting dan naluri seksual manusia yang pada dasarnya liar ini kemudian menjadi ‘dilema berkelanjutan’ maka diperlukan adanya pembatas dan pengatur dalam hal adab berperilaku yaitu diturunkannya agama untuk mengatur kehidupan keberadaban manusia. Hal ini sangat beralasan karena perbedaan pemaknaan seks dari setiap individu manusia. Berdasarkan sedikit ulasan buku karya Jared Diamond, seorang profesor dalam kajian fisiologi dari University of California, Los Angeles yang berjudul “Why is Sex Fun? The Evolution of Human Sexuality” bahwa pada dasarnya manusia adalah termasuk jenis spesies mamalia yang memiliki bakat perilaku untuk menyimpang jika dibandingkan dengan jenis spesies mamalia lain yang hanya memiliki motif melakukan seks untuk melestarikan keturunan/berkembang biak. Hal ini justru dilakukan dengan pemaknaan berbeda dari spesies mamalia yang dilakukan manusia yang lebih banyak melakukan seks sekedar motif untuk pemenuhan ambisi ego dalam fantasi kesenangan dan kebutuhan untuk berekreasi. Saya selaku penulis yang sudah cukup lama melakukan riset mengenai studi seksualitas rasanya membenarkan pernyataan tersebut. Beberapa wawancara yang penulis lakukan selama dalam kegiatan penelitian dahulu terhadap beberapa informan mengindikasikan bahwa kunjungan beberapa informan ke tempat lokalisasi prostitusi salah satunya adalah kebutuhan akan kesenangan dan rekreasi. Selain itu, ada penelitian yang dilakukan oleh seorang peneliti dari Researchers at National Antonomous University of Mexico yang saya baca dari situs detik.com yang ternyata hasil penelitian ilmuwan tersebut cukup mengejutkan kita semua bahwa sebuah hubungan cinta dari sepasang kekasih suatu saat pasti akan menemui titik jenuh, bukan hanya karena faktor bosan semata melainkan karena kandungan zat kimia di otak yang menyatakan rasa cinta itu telah habis. Rasa cinta murni berdasarkan perasaan hanya tidak lebih dari 4 tahun. Jika cinta telah berumur lebih dari 4 tahun maka yang tersisa hanya dorongan seks semata dan bukan cinta yang murni lagi yang berdasarkan perasaan saling menyayangi. Dalam hal ini nampaknya peran keberadaan fungsi dari masing-masing ‘agama’ dapat dilakukan untuk melakukan kontrol atas pemahaman diri setiap individu manusia terhadap pemaknaan seksnya.

Seksualitas dalam lingkup kajian kebudayaan postmodern saat ini nampaknya tidak terlepaskan dari sorotan gaya hidup manusia. Seks menjadi sesuatu hal yang dibela namun terkadang juga dibenci, dicaci tetapi juga dirindukan, memberi kenikmatan sekaligus menyiksa bahkan filsuf sekaligus sosiolog Post-Modern asal Perancis yaitu Jean Baudrillard pernah berkata jika hasrat merupakan wujud menikmati permainan seksual dunia tanpa batas karena kebutuhan manusia untuk berupaya memenuhi kebutuhan hasrat dan ambisinya tidak akan pernah habis untuk bisa merasa puas. Manusia dalam hasrat seksnya mengalami kecemasan dan kehidupan dilematis karena pada dasarnya manusia cenderung serakah dan egois namun dituntut untuk dapat hidup bersosial secara normal dan beretika di masyarakat yang pada akhirnya melahirkan manusia-manusia munafik yang berusaha menutupi rahasia keburukan jati dirinya serapat mungkin yang lambat laun justru akan menciptakan masyarakat yang penuh resiko apabila tidak disikapi secara arif dan bijaksana. Penulis dalam hal ini tidak bersikap skeptis melainkan hanya mengamati kondisi fenomena sosial yang sedang berkembang dan terjadi di masyarakat saat ini dan seperti yang sudah-sudah jika logika manusia nampaknya selalu dikalahkan oleh ambisi hasrat seksnya walaupun dalam hati kecil penulis selalu berkata, “Kapan logika dapat mengalahkan hasrat seksnya ? ”[]


*Nur Bintang adalah alumnus pascasarjana sosiologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Kamis, 18 Juli 2013

"JEWISH INTELLIGENCE SECRETS"



  
Oleh: Nur Bintang*


”Tulisan kecil dan singkat dari saya kali ini menjelaskan tentang kebudayaan orang-orang Yahudi yang gemar dan cinta terhadap ilmu pengetahuan. Saya mengangkat tema posting ini karena kekaguman saya terhadap para tokoh ilmuwan sosiologi yang kebanyakan berasal dari Yahudi. Postingan saya kali ini, tidak akan membahas mengenai masalah politik ataupun agama karena hal itu adalah urusan hak persepsi dan hak pribadi masing-masing individu. Saya di sini hanya belajar menjelaskan mengenai aspek kebudayaan secara sosiologis dan antropologis terkait kecerdasan bangsa Yahudi. Jadi saya harap sikap bijak, kedewasaan dan toleransi dari para pembaca sekalian dalam menanggapi artikel tulisan saya kali ini!"


A. Mitos kejeniusan bangsa Yahudi
Bangsa Yahudi dahulu pernah dijajah oleh bangsa Mesir Kuno pada saat Raja Fir’aun berkuasa sebelum akhirnya dapat dibebaskan (dimerdekakan) oleh seorang utusan Tuhan yaitu Nabi Musa, bangsa Yahudi sempat tercerai-berai setelah terusir dari tanah yang dijanjikan akibat invansi dan penaklukan bangsa Romawi di Palestina akibatnya bangsa Yahudi kemudian hijrah/merantau menjadi bangsa pengembara (diaspora) dengan menjadi warga imigran ke beberapa negara di seluruh dunia terutama di Eropa dan jazirah Arab. Bangsa Yahudi juga sempat mengalami diskriminasi rasial pada saat diktaktor fasis nazi-Jerman, Adolf Hitler berkuasa di Jerman dengan melakukan tragedi pembantaian dan pengusiran terhadap seluruh warga Yahudi di seantero wilayah Eropa. Namun belakangan ini, bangsa Yahudi berhasil bangkit dari keterpurukan melalui etos kerja keras sehingga berhasil menguasai perdagangan dan perekonomian dunia saat ini bahkan sampai mendapat julukan mitos sebagai bangsa cerdas dan jenius, apakah benar demikian..?? 

         Banyak ilmuwan Yahudi yang menjadi peraih nobel sebagai ”penemu” di berbagai cabang disiplin ilmu pengetahuan di dunia ini bahkan konsep bank sentral, kapitalisme (Adam Smith), sosialis-komunisme (Karl Marx), revolusioner Rusia (Lenin-Stalin-Troutsky), Revolusioner Prancis (Voltaire), Nabi ilmu sosiologi (Emile Durkheim, Max Weber, George Simmel), tokoh Mahzab Frankfurt dalam tradisi filsafat sosial dan budaya (Jurgen Habermas, Theodor Adorno, Herbert Marcuse, Max Horkheimer, Walter Benjamin, Erich Fromm), kedokteran (Louis Pasteur), antropologi (Levis Strauss), poststrukturalisme (Jacques Derrida), filsafat politik (Hannah Arendt), CEO facebook (Mark Zuckerberg), biologi, teori evolusi (Charles Darwin), fisika, teori relativitas (Albert Einstein), psikologi, teori psikoanalisis (Sigmund Freud), sutradara jenius Hollywood (Steven Spielberg), Microsoft (Bill Gates), BlackBerry (Mike Lazaridis) adalah orang-orang Yahudi yang hebat dalam spesialisasi bidang ilmunya masing-masing. Perusahaan-perusahaan besar milik Yahudi dapat menjadi besar bahkan mendunia hingga sampai saat ini diantaranya adalah Google, Yahoo, Walt Disney, facebook, Miramax, Warner Bros, Nokia dan masih banyak lagi. Kemajuan bangsa Yahudi nampaknya benar-benar didapatkan melalui usaha kerja keras dan semangat pantang menyerah dengan membangkitkan semangat harga diri untuk menebus sejarah suram mereka di masa lalu.

Setiap manusia bisa terlahir cerdas apapun suku bangsa dan latar belakang orang tersebut. Buktinya, hampir setiap tahun anak-anak Indonesia selalu menjadi juara bertahan (walau tidak mencakup jumlah semua populasi) dari setiap penyelenggaraan Olympiade Sains International di tingkat dunia baik dalam bidang ilmu biologi, fisika, matematika, geografi, astronomi, komputer, robotika, bahasa, dan lain-lain dengan berhasil mengalahkan perwakilan anak-anak jenius dari semua negara-negara maju di seluruh dunia. Kalau berpijak dari pandangan saya jika ketidakseriusan di Indonesia nampak dari sistem kebijakan dan kemauan pemerintah negara itu sendiri yang tidak dapat merangkul dan memfasilitasi anak-anak jenius dari Indonesia ini agar mau berkarya di dalam negeri. Minimnya fasilitas dan penghargaan terhadap anak-anak jenius di Indonesia ini yang menyebabkan kebanyakan dari mereka (anak-anak jenius) namun tidak semuanya untuk memutuskan hijrah/merantau dan berkarya di luar negeri. Hal itu dirasa sangat wajar karena mereka mempunyai keahlian dan memiliki standar hidup layak untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka sendiri. Jadi, kecerdasan adalah hak semua manusia bangsa di dunia tanpa terkecuali.

Dasar-dasar kecerdasan dan kepintaran Yahudi selama ini apabila dikaji secara mendalam lebih banyak berasal dari aspek sosiologis dan antropologis yang dimana berasal dari tradisi budaya, keluarga, agama, sejarah, dan tidak selalu mutlak berasal dari darah keturunan, DNA, ataupun percampuran gen. Asal-usul kepintaran ini dapat dilihat secara aspek sosiologis maupun antropologis yang dapat dilihat dari pola hidup budaya masyarakat dari suatu bangsa itu sendiri. Budaya kebanyakan orang Yahudi sangat cinta pada dunia pendidikan yang berkaitan dengan tulis-menulis ide/gagasan dan selalu menikmati kebebasan intelektual. Budaya membaca, berdiskusi, dan belajar menjadi kehidupan keseharian orang-orang Yahudi. Di Amerika Serikat mayoritas dunia penerbitan pers baik cetak maupun elektronik lebih banyak dikuasai oleh orang-orang Yahudi semisal dari koran New York Times, The Washington Post, CNN, TIME magazine, dan lain-lain yang jika dilihat dari latar belakang redaktur, reporter, jurnalis, bahkan editor itu sendiri, justru kebanyakan dari mereka semua adalah orang-orang Yahudi yang suka menulis dan menyampaikan ide/gagasan. Hanya ada 14 juta orang Yahudi di seluruh dunia tetapi mereka saat ini yang menguasai dunia baik ekonomi, jaringan komunikasi, militer, dan bisnis.

B. Menelisik dan menyelusuri jejak keturunan Yahudi di Indonesia
Adanya keturunan orang-orang Yahudi di Indonesia menurut catatan beberapa antropolog Belanda pada masa penjajahan kolonial Hindia-Belanda paling banyak ada di Kota Jakarta, Kota Bandung, Kota Surabaya, dan Kota Manado. Hal ini dapat dilihat dari beberapa “sinagog” atau tempat ibadah orang Yahudi yang berdiri di beberapa kota tersebut yang sudah ada sejak zaman penjajahan pemerintah kolonial Hindia-Belanda di Indonesia. Saat zaman masa perang revolusi kemerdekaan di Indonesia maka banyak orang-orang Yahudi yang berasal dari Eropa terutama yang berasal dari negara Belanda memutuskan untuk meninggalkan Indonesia namun ada juga beberapa sanak-keluarga dari mereka yang masih tetap bertahan di Indonesia bahkan ikut berjuang bersama para pejuang republik kemerdekaan di Indonesia melawan penjajahan kolonial Belanda dan menjadi warga negara Indonesia setelah Indonesia merdeka. Orang keturunan Yahudi di Indonesia lebih plural ada yang beragama asli Yahudi (Judas), ada yang beragama Islam, dan juga ada yang beragama Nasrani tetapi mereka mempunyai rasa toleransi dan ikatan persaudaraan yang sangat kuat. 

       Keturunan orang-orang Yahudi di benua Eropa pada zaman dahulu umumnya dapat dengan mudah untuk dikenali. Hal tersebut bisa terlihat karena kebanyakan orang Yahudi di Eropa memiliki perbedaan fisik mendasar dari kebanyakan orang Eropa yang umumnya berambut pirang, berkulit putih dan bermata biru seperti memiliki warna dasar kulit putih pucat, memiliki rambut berwarna hitam, dan memiliki bola mata berwarna dasar hitam dengan ditambah dilihat dari bentuk fisik bentuk khas hidung mereka yang sangat mancung (betet) dan agak cengkok pada titik dahi dan hidungnya yang membentuk sudut kerucut segitiga (mirip bentuk paruh burung beo). Perbedaan fisik ini nampak jauh berbeda dari bentuk struktur tubuh serupa yang dimiliki oleh kebanyakan orang-orang dari bangsa Arab, bangsa India, maupun bangsa Eropa. 

       Keturunan Yahudi di seluruh dunia pada saat ini sudah sangat sulit untuk dibedakan karena kebanyakan dari mereka kini hidup dalam kehidupan budaya masyarakat yang heterogen/majemuk. Kesimpulannya, kini banyak keturunan Yahudi di seluruh dunia yang memiliki kulit putih, sawo matang, bahkan kuning langsat, berambut hitam, pirang, keriting, bola mata berwarna hitam, biru, maupun coklat. Terkadang sulit, untuk menentukan Yahudi Eropa, Yahudi Afrika, maupun Yahudi Asia karena pengaruh arus globalisasi dan perkawinan antar suku bangsa yang terjadi saat ini. Garis keturunan Yahudi akan nampak berbeda untuk zaman saat ini hanya dapat dilihat dari pola sistem kebudayaan dan kepercayaan religi saja. Dari beberapa literatur buku yang saya baca bahwa penganut Yahudi ortodoks masih menganut sistem sosial/kekerabatan matrilineal artinya hanya orang yang lahir dari rahim seorang ibu Yahudi saja yang layak disebut “orang Yahudi tulen” namun hal ini juga masih menjadi bahan perdebatan di kalangan ahli kajian budaya Yahudi terutama dari kalangan Yahudi nonortodoks yang menyatakan pendapat jika bangsa Yahudi menganut sistem sosial/kekerabatan patrilineal atau garis keturunan ayah bahkan Reformasi Judaisme di Amerika Serikat tahun 1983 justru mempunyai kebijakannya tersendiri dengan mengadopsi sistem sosial/kekerabatan bilineal yang artinya jika anak terlahir dari salah satu orang tua yang masih berdarah Yahudi baik itu laki-laki atau perempuan serta tumbuh besar dalam tradisi lingkungan budaya keluarga Yahudi akan dianggap sebagai keturunan Yahudi. 

C. Rahasia mengapa anak-anak Yahudi terlahir pintar dari aspek sosiologis, aspek antropologis, dan aspek kebudayaan :

  1. Menurut perempuan Yahudi yang sedang mengandung bahwa mengonsumsi protein dan omega 3 sangat baik bagi perkembangan otak janin bayi dan pantangan bagi para perempuan Yahudi yang sedang mengandung untuk mengonsumsi kepala ikan yang dianggap berbahaya karena dianggap banyak mengandung zat-zat kimia yang dapat berakibat merusak perkembangan dan menghambat pertumbuhan sel-sel otak pada janin selama masih di dalam kandungan. Ini adalah adat perempuan-perempuan Yahudi ketika sedang mengandung dan nampaknya sudah menjadi semacam tradisi. Para perempuan Yahudi yang sedang mengandung pada umumnya juga akan selalu rutin mengonsumsi pil minyak ikan sambil berlatih mengerjakan beberapa soal matematika dan bermain piano. Terkadang perempuan Yahudi suka mendengarkan lagu-lagu orkestra klasik indah supaya dapat menstabilkan emosi ibu dan janin bayi yang dikandungnya seperti Beethoven dan Mozart di sela-sela kesehariannya. Dalam dunia medis kedokteran memang banyak yang memberi pendapat jika gen kecerdasan itu sebagian besar berasal dari ibu artinya seorang ibu yang memiliki pola gaya hidup sehat dan mempraktekkan kebudayaan yang mendukung kecerdasan melalui pola pengasuhan anak yang tepat dan dekat dengan lingkup budaya ilmu pengetahuan maka akan mempunyai peluang besar untuk melahirkan dan mencetak keturunan anak-anak yang cerdas dan jenius pula.
  2. Anak-anak Yahudi sangat cerdas. Sejak kecil (usia 5 tahun) mereka telah dilatih untuk belajar menembak, bermain musik terutama piano dan biola serta pada usia sekolah dasar diwajibkan mahir belajar matematika berbasis perniagaan/perdagangan. Ini adalah sebuah kewajiban. Menurut mereka bermain musik dan memahami not dapat meningkatkan IQ pada usia dini anak dan belajar matematika pada usia sekolah dasar bisa merangsang kinerja sel motorik di otak.
  3. Para pelajar Yahudi sejak zaman dahulu suka belajar, menulis sastra, menghafal di tepi kolam atau sungai yang sepi, menurut mereka suara gemericik air kolam atau sungai dapat memberi efek psikologis kenyamanan dan meningkatkan daya ingat konsentrasi otak ketika sedang belajar dan meningkatkan fokus, dalam memberi kemudahan untuk memahami pelajaran.
  4. Para pelajar Yahudi di Israel dan Amerika Serikat saat jam sekolah biasanya makan pada saat lapar saja dan makan tidak berlebihan saat di sekolah karena hal itu bisa menganggu konsentrasi belajar disebabkan oleh rasa kantuk sehabis makan.
  5. Anak-anak Yahudi sangat memperhatikan makanan awal terutama makan buah-buahan, kacang-kacangan, ikan tuna, ikan sarden dan terkadang selalu menelan pil minyak ikan sebagai asupan gizi otak yang konon sudah dipercaya sejak zaman dahulu oleh nenek moyang bangsa Yahudi.
  6. Para lelaki Yahudi yang menjadi seorang ayah sangat memperhatikan kesehatan bayi yang dikandung istrinya dengan puasa merokok/tidak merokok selama berada di samping istrinya ketika berada di dalam rumah. Penelitian yang dilakukan oleh sekelompok ilmuwan kedokteran Yahudi di Tel Aviv University menunjukkan nikotin dari asap rokok yang terhirup dapat berakibat merusakkan sel utama pada otak manusia bahkan untuk contoh kasus yang lebih berat bagi para perokok adiktif adalah memiliki kualitas sperma/ovum yang jelek akibat terkontaminasi zat-zat racun di dalam tubuh akibat pengaruh dari asap nikotin rokok yang dikonsumsinya. Artinya, keturunan perokok adiktif berpeluang resiko besar membawa gen generasi keturunan yang dapat merusak otak.

Suasana belajar dari para pelajar Yahudi


Dari uraian singkat tulisan saya di atas dapat kita simpulkan bahwa bangsa Yahudi adalah bangsa yang gemar membaca, gemar berdiskusi, bermain musik dan mencintai ilmu pengetahuan. Kebanyakan anak-anak Yahudi di negara Israel mempunyai hobi membaca buku ilmu pengetahuan (ensiklopedia) dan buku tentang kebudayaan bahkan setiap satu anak di Israel pada umumnya dapat dipastikan memiliki minimal satu buku bacaan atau lebih yang dapat menjadi sumber buku ilmu pengetahuan.

Mungkin ada benarnya jika kita harus memahami ucapan seorang filsuf linguistik Yahudi-Austria yang bernama Ludwig Wittgeinstein yang pernah berkata, ”Batas bahasaku adalah batas duniaku!”. Memang pada dasarnya, semua ilmu pengetahuan di dunia ini berawal mula dari ilmu bahasa bahkan Nabi Adam sendiri dahulu, ketika berada di surga mendapat pelajaran ilmu pengetahuan pertama kali yang diajarkan oleh Tuhan (Allah SWT) adalah tentang ilmu bahasa untuk dapat menamakan benda-benda alam di sekitarnya sebelum Nabi Adam melaksanakan perintah tugas diturunkan ke dunia menjadi khalifah (wakil Tuhan).

Saya tidak heran, jika setiap masing-masing anak Yahudi di Israel diwajibkan untuk menguasai selain bahasa ibu mereka sendiri yakni ’bahasa Ibrani’ agar dapat menyerap segala ilmu pengetahuan dari berbagai penjuru dunia. Umumnya satu orang Yahudi di Israel menguasai tiga sampai empat bahasa yaitu bahasa Ibrani, bahasa Arab, bahasa Inggris, dan sisanya adalah bahasa lain yang ada di belahan dunia. Budaya diplomasi sangat kuat dalam tradisi bangsa Yahudi. Hal ini karena sejak kecil anak-anak Yahudi sudah ditanamkan dan diajarkan akan pentingnya mengemukakan pendapat melalui pertanyaan dan diskusi di dalam forum serta belajar menguasai beberapa ilmu bahasa sebagai kunci sukses dalam dunia sosial. Kesimpulan dari tulisan saya ini bahwa semua manusia bisa terlahir cerdas dan pintar apabila mau melakukan gaya hidup sehat (healthy habit) dan menyukai kebudayaan yang dekat dengan ilmu pengetahuan tanpa memandang latar belakang ras, etnis, atau suku bangsa apapun. Semua manusia di dunia ini diciptakan mempunyai derajat yang sama di mata Tuhan. Oleh karena itu, semua manusia (tanpa terkecuali) mempunyai hak yang sama untuk bisa maju dan berkembang dalam dunia ilmu pengetahuan yang tanpa batas. Sedikit tambahan dari kesimpulan saya, kepintaran manusia dalam hal ini perlu digarisbawahi akan dapat berjalan lebih baik jika diimbangi dengan IQ, EQ, dan SQ secara seimbang. Karena kecerdasan intelektual sebagai anugerah besar dari Tuhan jika diimbangi dengan kecerdasan emosional serta ditambah kecerdasan spiritual ketika menjalankan ibadah kebaikan atas dasar ajaran agama masing-masing maka pada akhirnya akan menciptakan manusia-manusia unggul yang dapat bermanfaat bagi sesama.

Semoga bermanfaat...!!! respect, peace, love, and tolerance...

Nur Bintang* adalah alumnus pascasarjana sosiologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.


Sumber Referensi:

-Abdul Waid. 2011. Menguak Rahasia Cara Belajar Orang Yahudi. Yogyakarta: Diva Press.

-A.Maheswara. 2007. Rahasia Kecerdasan Yahudi. Yogyakarta: Pinus Book.

-Eran Katz. 2009. Jerome Become A Genius. Jakarta: Ufuk Publishing House.

-http://en.wikipedia.org/wiki/Matrilineality_in_Judaism








Rabu, 17 Juli 2013

"DIALOGUE WITH GUS DUR: HUMANISM RELIGION"





Kata Pengantar: Nur Bintang*

Hari ini adalah tulisan postingan pertama saya di bulan suci Ramadhan di tahun 2013. Karena masih berkaitan dengan suasana ibadah puasa di bulan suci Ramadhan maka pada edisi posting saya kali ini akan membahas tentang sosok tokoh penting dunia pesantren dari Jawa Timur yaitu Alm. KH. Abdurrahman Wahid (1940-2009) atau yang biasa dikenal dengan panggilan Gus Dur. Menurut kacamata saya, negara Indonesia hingga sampai detik ini hanya pernah dipimpin oleh tiga presiden yang memiliki latar belakang akademisi dengan pengaruh tradisi intelektual yang begitu kuat, yakni Ir. Soekarno, Prof. BJ. Habibie, dan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Saya selaku karyawan yang bekerja sebagai seorang editor buku terus terang mengakui jika saya juga ikut belajar dan menimba ilmu dari pemikiran Gus Dur, terutama yang berkaitan mengenai aspek filsafat, sosiologi agama, pluralitas, demokrasi, dan rasa toleransi kerukunan antarumat beragama.

Awal karier pekerjaan Gus Dur pada tahun 1970-an, sebelum beliau diangkat menjadi seorang guru di madrasah dan seorang dosen pengajar di universitas ialah melakukan segala bentuk aktivitas intelektualitas yang tidak pernah terlepas dari dunia tulis-menulis. Pengalaman Gus Dur terlebih dahulu yaitu pernah bekerja sebagai seorang jurnalis dan kontributor pada majalah “Prisma” yang didirikan oleh LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan, Penerangan, Ekonomi dan Sosial). Saya sendiri pernah membaca beberapa buku yang dimana Gus Dur ikut berperan sebagai seorang editor dari beberapa buku yang diterbitkan dan saya akui jika hasil editing naskah dari penulis yang dilakukan oleh Gus Dur  di dalam buku tersebut sangat menarik, enak dibaca, dan mudah untuk dipahami oleh pembaca karena menggunakan bahasa yang sederhana namun tetap berbobot. Gus Dur menurut sepengetahuan saya juga sempat memberikan tulisan pada kata sambutan di dalam sebuah buku pengantar mengenai pemikiran tokoh sosiologi pendidikan kritis Amerika Latin asal Brasil yakni Paulo Freire dan beberapa buku yang bernafaskan Islam. Latar belakang keilmuan akademis Gus Dur memang tidak diragukan lagi karena pengalaman beliau yang dulu sempat menuntut ilmu di beberapa negara di Timur-Tengah seperti di Universitas Al-Azhar, Kairo di Mesir dan Universitas Baghdad di Irak bahkan Gus Dur juga sempat singgah mencari ilmu ke beberapa negara maju di benua Eropa seperti Belanda, Jerman, dan Perancis.

Menurut hemat saya, pemikiran Gus Dur dianggap cukup berhasil memberikan nafas dan perspektif baru dalam kajian agama Islam terutama yang berkaitan dengan aspek filsafat agama dan aspek sosiologi agama yang dimana dalam kedua bidang tersebut nampak kedalaman pemahaman keilmuan Gus Dur. Saya hanya bisa mengatakan jika Gus Dur sebagai “Guru Bangsa” layak untuk menjadi salah satu tokoh sosiologi modern dari Indonesia. Gus Dur bisa memahami dan mendalami kajian permasalahan sosiologis secara original khas dari sudut pandang budaya Indonesia dan bukan dari sudut pandang budaya Eropa yang selama ini selalu menjadi kiblat alat pisau analisa bagi kebanyakan para akademisi dan ilmuwan sosiolog di Indonesia. Gus Dur juga dianggap cukup berhasil mempraktekkan beberapa kebijakan sosiologisnya secara nyata dengan penuh semangat solidaritas sosial dan penuh rasa toleransi selama dahulu beliau duduk menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia yang ke-4 yang dimana salah satu diantara kebijakannya yang sangat populer ketika itu ialah menghidupkan kembali unsur-unsur pelaksanaan maupun perayaan kebudayaan Tiongkok di Indonesia yang dahulu sempat vacuum dan dilarang keras selama 32 tahun ketika rezim Orde Baru berkuasa di bawah pemerintahan otoriter Jenderal Soeharto.

Di bawah ini adalah petikan dialog Gus Dur bersama santrinya dahulu yang saya ambil dari fans page Kongkow Bareng Gus Dur pada media sosial facebook. Saya rasa petikan dialog Gus Dur dengan santrinya ini sangat berbobot dan penuh pemahaman dan penghayatan filosofi keagamaan yang cukup mendalam untuk dihayati sehingga dapat memberikan pelajaran berharga dalam sudut pandangan yang lebih baru ketika mempelajari filsafat agama dan sosiologi agama. Petikan dialog Gus Dur bersama santrinya yang sangat haus mencari pencerahan ilmu dapat kita simak di bawah ini sebagai berikut.

Santri : "Ini semua gara-gara Nabi Adam, ya Gus!"

Gus Dur : "Loh, kok tiba-tiba menyalahkan Nabi Adam, kenapa Kang?"

Santri : "Lah iya, Gus. Gara-gara Nabi Adam dulu makan buah terlarang, kita sekarang merana. Kalau Nabi Adam dulu enggak tergoda Iblis maka kita sebagai anak cucunya ini tetap tinggal di surga. Enggak kayak sekarang, sudah tinggal di bumi, eh ditakdirkan hidup di Negara terkorup, sudah begitu jadi orang miskin pula. Emang seenak apa sih rasanya buah itu, Gus?"

Gus Dur : "Ya tidak tahulah, saya khan juga belum pernah nyicip. Tapi ini sih bukan soal rasa. Ini soal khasiatnya."

Santri : "Kayak obat kuat aja pake khasiat segala. Emang Iblis bilang khasiatnya apa sih, Gus? Kok Nabi Adam bisa sampai tergoda?"

Gus Dur : "Iblis bilang, kalau makan buah itu katanya bisa menjadikan Nabi Adam abadi." 

Santri : "Anti-aging begitu, Gus?"

Gus Dur : "Iya. Pokoknya kekal."

Santri : "Terus Nabi Adam percaya, Gus? Sayang, iblis kok dipercaya."

Gus Dur : "Lho, Iblis itu khan seniornya Nabi Adam."

Santri : "Maksudnya senior apa itu, Gus?"

Gusdur : "Iblis khan lebih dulu tinggal di surga daripada Nabi Adam dan Siti Hawa."

Santri : "Iblis tinggal di surga? Masak sih, Gus?"

Gus Dur :  "Iblis itu dulunya juga penghuni surga, terus di usir, lantas untuk menggoda Nabi Adam, iblis menyelundup naik ke surga lagi dengan berserupa ular dan mengelabui merak sang burung surga, jadi iblis lalu bisa membisik dan menggoda Nabi Adam."

Santri :  "Oh iya, ya. Tapi, walaupun Iblis yang bisikin, tetap saja Nabi Adam yang salah. Akibatnya, aku jadi miskin kayak gini."

Gus Dur : "Kamu salah lagi, Kang. Manusia itu tidak diciptakan untuk menjadi penduduk surga. Baca surat Al-Baqarah : 30. Sejak awal sebelum Nabi Adam lahir… eh, sebelum Nabi Adam diciptakan, Tuhan sudah berfirman kepada para malaikat kalo Dia mau menciptakan manusia yang menjadi khalifah (wakil Tuhan) di bumi."

Santri : "Lah, tapi khan Nabi Adam dan Siti Hawa tinggal di surga?"

Gus Dur : "Iya, sempat, tapi itu cuma transit. Makan buah terlarang atau tidak, cepat atau lambat, Nabi Adam pasti juga akan diturunkan ke bumi untuk menjalankan tugas dari-Nya, yaitu memakmurkan bumi. Di surga itu masa persiapan, penggemblengan. Di sana Tuhan mengajari Nabi Adam ilmu bahasa, kasih tahu semua nama benda. (lihat Al- Baqarah : 31).

Santri :  "Jadi di surga itu cuma sekolah gitu, Gus?"

Gus Dur : "Kurang lebihnya seperti itu. Waktu di surga, Nabi Adam justru belum jadi khalifah. Jadi khalifah itu baru setelah beliau diturunkan ke bumi."

Santri :  "Aneh."

Gus Dur : "Kok aneh? Apanya yang aneh?"

Santri : "Ya aneh, menyandang tugas wakil Tuhan kok setelah Nabi Adam gagal, setelah tidak lulus ujian, termakan godaan Iblis? Pendosa kok jadi wakil Tuhan."

Gus Dur : "Lho, justru itu intinya. Kemuliaan manusia itu tidak diukur dari apakah dia bersih dari kesalahan atau tidak. Yang penting itu bukan melakukan kesalahan atau tidak melakukannya. Tetapi bagaimana bereaksi terhadap kesalahan yang kita lakukan. Manusia itu pasti pernah keliru dan salah, Tuhan tahu itu. Namun meski demikian nyatanya Allah memilih Nabi Adam, bukan malaikat."

Santri : "Jadi, tidak apa-apa kita bikin kesalahan, gitu ya, Gus?"

Gus Dur : "Ya tidak seperti itu juga. Kita tidak bisa meminta orang untuk tidak melakukan kesalahan. Kita hanya bisa meminta mereka untuk berusaha tidak melakukan kesalahan. Namanya usaha, kadang berhasil, kadang tidak."

Santri : "Lalu Nabi Adam berhasil atau tidak, Gus?"

Gus Dur : "Dua-duanya."

Santri : "Kok dua-duanya?"

Gus Dur : "Nabi Adam dan Siti Hawa melanggar aturan, itu artinya gagal. Tapi mereka berdua kemudian menyesal dan minta ampun. Penyesalan dan mau mengakui kesalahan, serta menerima konsekuensinya (dilempar dari surga), adalah keberhasilan."

Santri : "Ya kalo cuma begitu semua orang bisa. Sesal kemudian tidak berguna, Gus."

Gus Dur : "Siapa bilang? Tentu saja berguna dong. Karena menyesal, Nabi Adam dan Siti Hawa dapat pertobatan dari Tuhan dan dijadikan khalifah (lihat Al-Baqarah: 37). Bandingkan dengan Iblis, meski sama-sama diusir dari surga, tapi karena tidak bertobat, akhirnya dia terkutuk sampai  hari kiamat."

Santri : "Ooh..."

Gus Dur : "Jadi intinya begitulah. Melakukan kesalahan itu manusiawi. Yang tidak manusiawi, ya seperti iblis itu yang sudah salah tapi tidak mau mengakui kesalahannya justru malah merasa paling benar sendiri, sehingga menjadi sombong."

Santri : "Jadi kesalahan terbesar Iblis itu apa, Gus? Tidak mengakui Tuhan?"

Gus Dur : "Iblis bukan atheis, dia justru monotheis. Percaya Tuhan yang satu."

Santri :  "Masa sih, Gus?"

Gus Dur : "Lho, khan dia pernah bertemu dengan Tuhan, pernah dialog segala kok."

Santri : "Terus, kesalahan terbesar dia apa?"

Gus Dur : "Sombong, menyepelekan orang lain dan memonopoli kebenaran."

Santri : "Wah, persis cucunya Nabi Adam juga tuh."

Gus Dur : "Siapa? Ente?

Santri : "Bukan. Cucu Nabi Adam yang lain, Gus. Mereka mengaku yang paling bener, paling sunnah, paling ahli surga. Kalo ada orang lain berbeda pendapat akan mereka serang. Mereka tuduh kafir, ahli bid'ah, ahli neraka. Orang lain disepelekan. Mereka mau orang lain menghormati mereka, tapi mereka tidak mau menghormati orang lain. Kalau sudah marah nih, Gus. Orang-orang ditonjokin, barang-barang orang lain dirusak. Setelah itu, mereka bilang kalau mereka pejuang kebenaran. Bahkan ada yang sampe ngebom segala loh."

Gus Dur : "Wah, persis Iblis tuh."

Santri : "Tapi mereka siap mati, Gus. Karena kalo mereka mati nanti masuk surga katanya."

Gus Dur : "Siap mati, tapi tidak siap hidup."

Santri : "Bedanya apa, Gus?"

Gus Dur : "Orang yang tidak siap hidup itu berarti tidak siap menjalankan agama."

Santri : "Lho, kok begitu?"

Gus Dur :  "Nabi Adam dikasih agama oleh Tuhan khan waktu beliau diturunkan ke bumi (lihat Al- Baqarah: 37). Bukan waktu di surga."

Santri : "Jadi, artinya, agama itu untuk bekal hidup, bukan bekal mati?"

Gus Dur : "Pinter kamu, Kang!"

Santri : "Santrinya siapa dulu dong? Gus Dur."

Silahkan tafsirkan sendiri dialog antara Gus Dur dengan santri di atas dan renungkan makna filosofis yang terkandung dalam dialog tersebut. Penafsiran saya terhadap dialog di atas sangat menyentuh hati saya karena memang pada dasarnya semua agama diciptakan oleh Tuhan sebagai pedoman hidup manusia di dunia dengan tujuan untuk melakukan kebaikan terhadap sesama. Hikmah yang saya dapat dari dialog di atas mengajarkan bahwa pada dasarnya manusia adalah tempatnya lupa dan salah namun sebaik-baik manusia adalah manusia yang mau sadar dan merubah dirinya secara lebih baik dengan selalu berbuat kebaikan serta memberi manfaat kepada sesama manusia. 


*Nur Bintang adalah alumnus pascasarjana sosiologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.