Artikel

Minggu, 19 Januari 2014

COLOUR BLIND/BUTA WARNA: WUJUD KEKERASAN SIMBOLIK?




Ditulis oleh: Nur Bintang*

   

"Bahasa merupakan sarana perwujudan simbolik
dimana pihak yang berkuasa akan menguasai ruang komunikasinya"
(Pierre Bourdieu, filsuf sosial, sosiolog postmodern dari Perancis)      



httpmeetdoctor.comuploadstaxonomyshutterstock_65409730.jpg


Jika dahulu terdapat praktek apartheid atau bahkan rasisme (diskriminasi terhadap suatu ras suku bangsa) yang sangat ditentang karena dianggap melanggar batas hak-hak asasi manusia namun kini masih saja terdapat praktek kekerasan simbolik terhadap para penyandang cacat  mata ‘buta warna’ yang saya biasa menyebutkan melalui istilah sendiri dengan nama colour blindheid (diskriminasi terhadap penderita buta warna) atau mungkin penyandang disabilitas lain (menyangkut keterbatasan fisik yang dimiliki seseorang). Negara seharusnya dapat berbenah dan mengakui hak-hak asasi manusia dalam penghidupan ekonomi terutama dalam hal ‘mendapatkan pekerjaan’ bagi seluruh warga negaranya tanpa terkecuali yang dijamin oleh undang-undang. 

Namun perkembangan sosial masyarakat dewasa ini telah mengakibatkan banyak para penderita buta warna yang memiliki integritas, kecakapan, dan potensi terpaksa harus kalah bersaing terlebih dahulu dalam bursa pencarian kerja akibat adanya peraturan awal larangan rekruitmen (lowongan pekerjaan) di beberapa perusahaan hingga instansi pemerintah untuk tidak menerima para penderita buta warna terutama bagi para penderita buta warna total atau sebagian (parsial). Dalam pandangan saya, hal ini merupakan sebuah bentuk diskriminasi dan wujud praktek kekerasan simbolik! Maka tidak heran jika sosok Prof. Dr. Shinobu Ishihara dari Universitas Tokyo, Jepang penemu buku tes buta warna yang melegenda ini menjadi tokoh nomor satu yang paling banyak dibenci, dicaci bahkan dihujat oleh hampir semua penderita buta warna di seluruh dunia karena dianggap menemukan praktek diskriminasi baru terkait pembatasan hak sosial terhadap para penderita buta warna.


Prof. Dr. Shinobu Ishihara, penemu tes buta warna
Semua manusia dimanapun ia berada pasti menginginkan terlahir dalam kondisi fisik yang normal namun terkadang Tuhan berkata lain dengan memberikan kekurangan dan kelebihan dari setiap makhluk yang diciptakan-Nya. Buta warna sendiri pada umumnya bukanlah sejenis penyakit melainkan cacat mata yang berasal dari faktor genetis bawaan dari orang tua (biasanya berasal dari garis keturunan ibu atau dari garis keturunan ayah yang dibawa melalui kromosom X) yang diturunkan kepada anak atau kepada cucunya (bagi ayah penderita buta warna berpeluang besar menurunkan genetik buta warna kepada anak perempuannya dan bagi pihak ibu penderita buta warna berpeluang besar menurunkan genetik buta warna kepada anak laki-lakinya). Namun ada juga penderita buta warna yang disebabkan bukan berasal dari faktor genetis (keturunan) melainkan akibat dari faktor dari luar (kemungkinan kecil) seperti benturan kepala akibat mengalami kecelakaan, keracunan mata, kekurangan gizi, atau terkena sejenis virus yang menyerang sel mata pada janin ketika dahulu masih berada dalam kandungan dan lain sebagainya. Cacat mata ‘buta warna’ untuk saat ini belum dapat disembuhkan tetapi bisa dikurangi dampaknya melalui penggunaan lensa warna pada kacamata khusus.

Skema 'buta warna' yang diturunkan secara genetis
Jika sudah ada bawaan genetis cacat mata buta warna yang berasal dari orang tua biasanya seorang anak memiliki resiko besar untuk menjadi penderita buta warna (baik total maupun parsial). Kebanyakan penderita buta warna pada umumnya adalah berjenis kelamin laki-laki sebesar 98% dan berjenis kelamin perempuan sebesar 2% sebagai penderita atau pembawa genetis buta warna saja walaupun dirinya tidak menderita buta warna. Secara kasuistis kebanyakan dari penderita buta warna merupakan anak bungsu dalam keluarganya. Saat ini diperkirakan ada 40 juta orang pengidap buta warna di seluruh dunia dengan perbandingan rata-rata 1:12 dari setiap jenis kelamin laki-laki dan 1: 200 dari setiap jenis kelamin perempuan dari setiap populasi penduduk.

Penderita buta warna parsial (sebagian) ini biasanya masih bisa melihat warna secara normal namun hanya ada beberapa warna-warna tertentu yang dimana penderita ini tidak bisa membedakan jenis warnanya. Hal ini tentu sangat lain dengan penderita buta warna total yang hanya bisa melihat warna hitam dan putih saja. Namun untuk penderita buta warna total saat ini sudah sangat jarang ditemukan karena pada umumnya populasi penderita buta warna paling banyak ditemui saat ini di dunia adalah penderita buta warna sebagian (parsial). Adapun jenis-jenis buta warna tersebut adalah sebagai berikut:

1.  Trikromasi dimana mata penderita memiliki sensitivitas warna dari satu jenis atau lebih sel kerucut. Penderita yang lemah terhadap warna hijau (deutramali), penderita yang lemah terhadap warna merah (protranomali), dan penderita yang lemah terhadap warna biru (tritanomali).
2.  Dikromasi dimana penderita tidak memiliki salah satu sel kerucut pada retina mata. Penderita memiliki retina mata yang tidak memiliki sel kerucut yang peka terhadap warna hijau (deuteranopia), penderita memiliki retina mata yang tidak memiliki sel kerucut yang peka terhadap warna merah (protanopia), penderita memiliki retina mata yang tidak memiliki sel kerucut yang peka terhadap warna biru (tripanopia). 
3.  Monokromasi dimana penderita tidak memiliki sama sekali sel kerucut pada retina mata sehingga tidak bisa membedakan warna apapun sehingga menderita buta warna total  (akromatopsia) yang hanya bisa melihat warna hitam dan putih saja.

Bagi para penderita buta warna pada zaman sekarang ini mungkin benar-benar seperti merasa mengalami praktek diskriminasi, menjadi korban kekerasan simbolik, dan penolakan sosial terhadap akses hak pendidikan dan hak ekonomi (pekerjaan). Ada terdapat ribuan bahkan jutaan para penderita buta warna yang harus kecewa, menangis, sedih, rendah diri, frustasi, merasa tertekan karena cita-cita mereka untuk melanjutkan studi ke sebuah sekolah favorit, jurusan favorit di universitas, bahkan pekerjaan yang diimpikan selama ini pada perusahaan besar atau instansi pemerintah harus gagal hanya karena sebuah seleksi tes kesehatan (medical check up) terhadap mata yaitu Tes Ishihara! (melihat simbol angka, garis atau huruf dalam bentuk titik-titik warna yang dicampur). Untuk jurusan atau pekerjaan yang wajib berhubungan dengan penggunaan warna seperti kemiliteran, psikologi, biologi, kimia, kedokteran, ilmu gizi, farmasi, teknik, agronomi, geografi, elektro, pertanian, pelayaran dan lain-lain menurut pandangan saya pribadi masih bisa dimaklumi untuk menghindari human error karena pekerjaannya yang menyangkut resiko bahaya bagi keberlangsungan institusi dan orang lain di sekitarnya. Sayangnya, terkadang masih ada juga beberapa sekolah bahkan beberapa perusahaan maupun instansi pemerintah yang dimana dalam studi atau pekerjaan sehari-harinya tidak banyak bersinggungan dengan penggunaan warna namun tetap ‘MENOLAK MENERIMA’ murid, mahasiswa, atau karyawan/pegawai yang menderita ‘buta warna’ tanpa melihat kompetensi dan latar belakang dari para penderita buta warna tersebut. 


Contoh gambar Tes Ishihara untuk mengetahui status buta warna
 
Jika saya telisik menggunakan kacamata pemikiran filsuf sosial sekaligus sosiolog postmodern lulusan dari kampus École Normale Supérieure, Paris, Perancis yaitu Pierre Bourdieu yang melihat hubungan dominasi (relations of dominations) dalam medan sosial terhadap kepemilikan akses terhadap modal yang dimana bahwa istilah kata “colour blind” atau “buta warna” menjadi simbol pihak yang didominasi karena ada pihak-pihak yang memproduksi dan mempertinggi nilai simboliknya sendiri sebagai “orang sempurna tanpa cacat” dengan menggunakan strategi perbedaan (distinction) dengan berusaha membedakan diri dari pihak yang ada di bawahnya. Kelompok dominan berusaha memperbesar nilai simbolik yang dimilikinya sebagai manusia sempurna tanpa cacat tubuh yang dapat bekerja baik. Para penderita buta warna ditundukkan melalui regulasi (peraturan) resmi melalui pernyataan bahasa oleh pihak-pihak yang merasa tinggi dengan nilai simboliknya hanya untuk sekedar mempertahankan praktek dominasi. Hal ini dapat dilihat dari modal memiliki fisik sempurna melalui komunikasi dalam iklan penerimaan murid di sekolah hingga iklan lowongan pekerjaan seperti kalimat persyaratan ‘sehat jasmani dan rohani’ lebih menjurus terhadap persepsi ‘tidak cacat’ dan ‘bebas dari buta warna’ sehingga menimbulkan kesan berbeda dari yang lain nampaknya sudah menjadi basis dominasi dalam struktur sosial terhadap penyandang disabilitas termasuk penderita buta warna yang merasa dibatasi hak pendidikan dan ekonominya terutama dalam mendapatkan pekerjaan.

Pierre Bourdieu, sosiolog postmodern dari Perancis
Tanpa melepaskan dari analisa pemikiran Bourdieu jika ternyata praktek dominasi dan kekerasan simbolik ini menunjukkan ketidaksetaraan suatu kelompok yang dianggap tidak tinggi nilai simboliknya terhadap suatu akses seperti ekonomi, teknologi, atau bahkan budaya. Bagi Bourdieu kekerasan simbolik tidak dapat dilepaskan dari habitus, medan, dan praksis bahwa modal yang dimiliki suatu individu dalam medan sosial akan melahirkan praktik sosial. Akibatnya adalah relasi kekuasaan (power relations) sekelompok ‘orang sempurna’ sebagai mayoritas yang dapat leluasa melakukan tekanan sosial lebih besar terhadap sekelompok ‘orang yang tidak sempurna’ sebagai minoritas sehingga terpaksa merasa harus dipinggirkan. Khusus dalam pembahasan kali ini adalah para penderita buta warna atau bahkan penyandang disabilitas lain yang menjadi pihak yang didominasi dan didiskriminasi. Para penderita buta warna jika dikaji menggunakan teori sosial analisa Bourdieu ini seperti nampak tidak dapat melakukan perubahan struktur sosial karena tidak memiliki akses terhadap modal sosial dan budaya. Para penderita buta warna dalam hal ini mengalami praktek ketidaksetaraan relasi kuasa dalam medan sosial (social sphere).

Solusinya? pemerintah sudah seharusnya mulai berbenah dengan membuat kebijakan mengenai peraturan tenaga kerja yang lebih berpihak kepada hak sosial dari para penderita buta warna atau para penyandang disabilitas lain dalam mengakses pendidikan dan pekerjaan. Perlu adanya deteksi lebih dini (usia 4 tahun) terhadap anak-anak penderita buta warna agar dapat merancang masa depannya secara lebih baik seperti melalui sosialisasi pendidikan dan pekerjaan dari pihak sekolah atau pemerintah mengenai jurusan studi di sekolah atau universitas yang dapat dimasuki oleh para penderita buta warna sehingga setelah lulus nanti para penderita buta warna dapat mencari pekerjaan atau memutuskan mandiri menjadi pengusaha sesuai dengan bakat, keahlian dan kemampuan bidangnya masing-masing. Sekedar saran, sebaiknya para penderita buta warna untuk lebih memilih jurusan sosial atau IPS ketimbang jurusan eksak atau IPA karena dalam jurusan ilmu sosial pemahaman mengenai bidang studi atau bidang pekerjaan nantinya tidak banyak berkaitan langsung dengan hal-hal teknis penggunaan warna.

Jika dilihat dari sistem kesempatan dan penerimaan tenaga kerja saat ini di Indonesia walaupun sudah ada kebijakan dari pemerintah mengenai pengaturan hak-hak penyandang disabilitas (terutama dalam hak pekerjaan) namun nampaknya masih belum menjadi skala prioritas dan perhatian bagi kebanyakan perusahaan maupun instansi pemerintah di Indonesia mengenai hal rekruitmen bagi calon karyawan atau calon pegawainya. Pemerintah di Indonesia seharusnya mulai berkaca, mencontoh dan mencoba membuat kontrol regulasi yang tepat mengenai perlakuan hak-hak asasi manusia bagi penyandang disabilitas seperti yang sudah diterapkan pada negara-negara maju di Eropa Barat yang saat ini dinilai cukup baik. 

Perusahaan dan instansi pemerintah yang memberikan peluang pekerjaan bagi para penyandang disabilitas terutama bagi penderita buta warna di Indonesia saat ini jumlahnya dianggap masih sangat minim karena penampilan fisik normal masih menjadi kebutuhan prioritas bagi rekruitmen calon karyawan atau calon pegawai di berbagai perusahaan atau instansi pemerintah saat ini. Sekedar saran, bila perlu pemerintah kini harus membuat aturan tegas untuk mencabut izin operasional suatu perusahaan atau memberikan peringatan tertulis atau sanksi kepada instansi pemerintah jika dianggap tidak memfasilitasi atau memberi kesempatan kerja terkait hak ekonomi bagi penyandang disabilitas termasuk para penderita buta warna yang dimana bidang pekerjaannya tidak menyangkut persoalan teknis penggunaan warna.

Saya pernah membaca sebuah koran berbahasa asing dari luar negeri jika ternyata perusahaan swasta dan instansi pemerintah negara-negara maju di Eropa Barat bahkan di Amerika Serikat pada abad 21 secara humanis sudah mulai menerapkan kebijakan memberikan peluang hak ekonomi (lowongan pekerjaan) secara merata kepada semua warga negaranya tanpa melihat perbedaan batasan umur (dewasa), ras/suku bangsa, agama, status/kelas sosial terutama bagi penyandang disabilitas termasuk para penderita buta warna (hingga sudah di atas angka 50% dari jumlah pekerjanya). Perusahaan-perusahaan dan instansi-instansi pemerintah di Eropa Barat saat ini kini sudah mulai memperhatikan dan memfasilitasi rekruitmen keberadaan terhadap calon karyawan yang berasal dari para penyandang disabilitas terutama bagi para penderita buta warna yang dinilai cocok oleh para tim psikolog untuk dapat bekerja pada bidang yang tidak berhubungan dengan penggunaan teknis warna yang biasanya terkait pada bidang-bidang sosial kemasyarakatan, analis, evaluator, hubungan masyarakat, jurnalis, penulis yang mewakili atas nama perusahaan atau instansi pemerintah.

Terkadang di lingkungan sosial sekitar (terutama di Indonesia), kita sering menemukan para penderita buta warna yang menjadi pelamar kerja ternyata lolos ujian tes tertulis psikotes dan lolos ujian wawancara kerja serta berhasil menyisihkan puluhan, ratusan bahkan ribuan kandidat pelamar kerja lain yang memiliki kondisi fisik normal di berbagai perusahaan besar atau instansi pemerintah namun harus menerima kenyataan pahit harus ‘gugur’ di tengah jalan karena dianggap gagal dalam tahap final seleksi tes kesehatan (medical check up) oleh dokter yang berwenang karena divonis menderita buta warna. Sangat diakui jika sebenarnya para penderita ‘buta warna’ itu sendiri kebanyakan adalah orang-orang yang terlahir memiliki intelegensi tinggi, pemikir, analitis, dan cenderung dapat menjadi seorang yang jenius bahkan konon pada zaman ‘Perang Dunia’ melanda Eropa dahulu banyak serdadu tentara penderita buta warna tertentu di Eropa yang diterjunkan secara khusus ke medan perang sebagai navigator pada malam hari karena dianggap memiliki penglihatan detail yang lebih baik dibandingkan penglihatan tentara biasa yang memiliki kondisi mata normal dengan tujuan untuk mengetahui pergerakan musuh. Tuhan memberikan para penderita ‘buta warna’ dengan kekurangan beserta kelebihan yang dimilikinya.

                                     
Mark Zuckerberg, pembuat situs fenomenal jejaring sosial "facebook" merupakan penderita buta warna parsial yang kini sukses menjadi pengusaha top dunia

Neil Harbisson, seniman penderita buta warna total  pendiri yayasan nirlaba 'Cyborg Foundations'


Tentara navigator malam pada Perang Dunia ke-2 kebanyakan diambil dari penderita buta warna

Kita perlu mengenal sosok tokoh-tokoh besar dunia yang ternyata adalah seorang penderita buta warna diantaranya adalah ilmuwan penemu berat atom asal Inggris yaitu John Dalton; mantan Presiden Amerika Serikat yaitu Bill Clinton; Pangeran William dari Kerajaan Inggris; seniman yang menderita buta warna total (akromatopsia) yang mendirikan Cyborg Foundations, yayasan nirlaba yang mambantu manusia menjadi cyborg (manusia robot) terutama bagi para penyandang disabilitas yaitu Neil Harbisson; CEO & founder situs jejaring sosial ‘facebook’ yaitu Mark Zuckerberg; pencipta krayon senior yaitu Emerson Moser, artis-artis ternama dunia seperti Mark Twain, Paul Newman, Rutger Hauer, Bing Crosby, Meat Loaf, Keanu Reeves, Fred Rogers, Jack Nicklaus, Matt Lauer dan Bob Dole. Kisah perjuangan hidup para tokoh dunia sebagai penderita buta warna namun kini sukses dan berhasil mengubah dunia dapat menjadi acuan referensi bagi kita sebagai umat manusia untuk dapat terus melangkah maju. Semoga kesuksesan selalu menyertai langkah kita semua tanpa kecuali karena sukses adalah hak setiap manusia. Amin![] STOP DISKRIMINASI, STOP KEKERASAN SIMBOLIK…!!!

*Nur Bintang adalah pengamat sosial dan budaya

OOO

21 komentar:

  1. Balasan
    1. Makasih Mas Danny sudah mampir di blog saya.. :)

      Hapus
    2. Keren jadi semangat kita mas. Makasih yah

      Hapus
  2. Saya juga penderita buta warna parsial
    selalu gagal dlm medical chek up pdhal tinggal slangkah lagi
    Kira" klo jdi seorang chef (juru masak) buta warna ngaruh ga ya ??

    BalasHapus
    Balasan
    1. mudah2an cita-cita bisa terkabul ya mas.. menjadi seorang chef.. yang penting punya jiwa seni mengolah taste rasa nikmat masakan.. saya rasa tidak begitu berpengaruh.. maju terus jangan patah semangat.. ;)

      Hapus
  3. Assalamu Alaikum wr-wb, perkenalkan nama saya ibu Rosnida zainab asal Kalimantan Timur, saya ingin mempublikasikan KISAH KESUKSESAN saya menjadi seorang PNS. saya ingin berbagi kesuksesan keseluruh pegawai honorer di instansi pemerintahan manapun, saya mengabdikan diri sebagai guru disebuah desa terpencil, dan disini daerah tempat saya mengajar hanya dialiri listrik tenaga surya, saya melakukan ini demi kepentingan anak murid saya yang ingin menggapai cita-cita, Sudah 9 tahun saya jadi tenaga honor belum diangkat jadi PNS Bahkan saya sudah 4 kali mengikuti ujian, dan membayar 70 jt namun hailnya nol uang pun tidak kembali, bahkan saya sempat putus asah, pada suatu hari sekolah tempat saya mengajar mendapat tamu istimewa dari salah seorang pejabat tinggi dari kantor BKN pusat karena saya sendiri mendapat penghargaan pengawai honorer teladan, disinilah awal perkenalan saya dengan beliau, dan secara kebetulan beliau menitipkan nomor hp pribadinya dan 3 bln kemudian saya pun coba menghubungi beliau dan beliau menyuruh saya mengirim berkas saya melalui email, Satu minggu kemudian saya sudah ada panggilan ke jakarta untuk ujian, alhamdulillah berkat bantuan beliau saya pun bisa lulus dan SK saya akhirnya bisa keluar,dan saya sangat berterimah kasih ke pada beliau dan sudah mau membantu saya, itu adalah kisah nyata dari saya, jika anda ingin seperti saya, anda bisa Hubungi Bpk Drs Tauhid SH Msi No Hp 0853-1144-2258. siapa tau beliau masih bisa membantu anda, Wassalamu Alaikum Wr Wr ..

    BalasHapus
  4. Untuk jurusan atau pekerjaan yang
    wajib berhubungan dengan
    penggunaan warna seperti kemiliteran,
    psikologi, biologi, kimia, kedokteran,
    ilmu gizi, farmasi, teknik, agronomi,
    geografi, elektro, pertanian, pelayaran
    dan lain- lain menurut pandangan
    saya pribadi masih bisa dimaklumi
    untuk menghindari human error
    karena pekerjaannya yang
    menyangkut resiko bahaya bagi
    keberlangsungan institusi dan orang
    lain di sekitarnya. Seharusnya si
    diadakan polling/ pnelitian lbih jauh Om.. jangan
    langsung menjudge profesi yg
    dsebutkn itu gabisa dilakukan orang2
    yg punya kekurangan bw Parsial.. sy
    yakiin ada &mungkin banyak orang2
    bw parsial yg bkrja di salah satu
    bidang yg dsbutkan tsb.. sy brtahun2 krja disalh satu bidang yg dsbut diatas ga prnah ada kndala ga prnah mbuat orang lain celaka/ membuat orang lain mati terbunuh oleh kekurangan sy ini... wlpun sy harus sllu mnymbunyikan kekurangan sy

    BalasHapus
    Balasan
    1. yah saya setuju dengan pendapat om... penderita buta warna memiliki kelebihan yang mungkin belum diketahui oleh orang2 yang dinilai normal.. intinya tetap berjuang dan pantang menyerah ya om.. hehehe... keep semangat! :)

      Hapus
  5. Bagus kang artikelnya.. Kalau pembuatan sim apa seharusnya jg diganti syarat2ny..sperti tidak perlu menyertakan Surat kesehatan tidak buta warna.. Sepengalaman saya selama 15thn dgn 4 kali membuat sim tidak terkendala apapun di jalan raya saat mengendarai kendaraan meskipun saya menderita buta warna...yahh mudah2an pemerintah membaca artikel anda ini.. Dan peraturan bisa berubah.. Aminn

    BalasHapus
  6. Bagus kang artikelnya.. Kalau pembuatan sim apa seharusnya jg diganti syarat2ny..sperti tidak perlu menyertakan Surat kesehatan tidak buta warna.. Sepengalaman saya selama 15thn dgn 4 kali membuat sim tidak terkendala apapun di jalan raya saat mengendarai kendaraan meskipun saya menderita buta warna...yahh mudah2an pemerintah membaca artikel anda ini.. Dan peraturan bisa berubah.. Aminn

    BalasHapus
  7. subhanallah..artikelnya keren skli mas

    BalasHapus
  8. Baguss mass saya juga baru menyadari klo saya mengidap buta warna parsial dan akhirnya yaa begini lahh haruss pupus harapan karna ini

    BalasHapus
  9. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  10. Sekedar sharing, saya ada grup line bagi penderita buta warna parsial, masih belum banyak membernya, tapi semoga bisa saling share dan membantu :) linknya: http://line.me/ti/g/ZUg1OxZiK2

    BalasHapus
  11. Artikel sangat bagus. Sy sendiri terjebak di jurusan teknik. Beberapa Kali gugur di mcu. Sempat kerja di bagian multimedia tidak masalah. Namun bullying masih kuat antar sesama karyawan walaupun hanya candaan kadang membuat drop n minder. Untuk BW harus punya mental kuat n tetep semngat teman2.

    BalasHapus
  12. Artikel sangat bagus. Sy sendiri terjebak di jurusan teknik. Beberapa Kali gugur di mcu. Sempat kerja di bagian multimedia tidak masalah. Namun bullying masih kuat antar sesama karyawan walaupun hanya candaan kadang membuat drop n minder. Untuk BW harus punya mental kuat n tetep semngat teman2.

    BalasHapus
  13. mungkin sangat bnyak penderita BW di indonesia. terlahir untuk mencari keadilan di negeri sendiri

    terusin artikel selanjutnya bang.

    BalasHapus
  14. Terimakasih mas.... tulisan ini memotivasi saya..

    BalasHapus
  15. Tulisan yang sangat memotivasi.. Saya ingin bertanya apakah Buta Warna Parsial masuk dalam kategori Penyandang Disabilitas dan apakah bisa mendaftarkan diri ke CPNS yang pada penerimaan kali ini ada kategori Penyandang Disabilitas.. Trimakasih dan Mohon Infonya... 🙏🙏🙏

    BalasHapus