Artikel

Jumat, 31 Januari 2014

“FILOSOFI JAZZ: MUSIK PERLAWANAN KULTURAL”




Ditulis oleh: Nur Bintang*

"Saya lebih suka menganggap jika musik jazz
adalah seni intelektual
(Nur Bintang, pengamat sosial dan budaya)
 


Savoy Saturday Nite, Gil Mayers, 1995

Pernahkah anda menonton film “THE TERMINAL” tahun 2004 yang disutradai Steven Spielberg dan dimainkan oleh aktor kawakan Hollywood yaitu Tom Hanks? Film ini sebenarnya terinspirasi dari sebuah kisah nyata yang menceritakan tentang kedatangan seorang pelancong yang bernama Viktor Navorski dari sebuah negeri di Eropa Timur di terminal airport John. F Kennedy, New York, Amerika Serikat. Cerita dalam film ini bermula ketika kedatangan Viktor Navorski harus dilarang dan ditolak masuk ke Amerika Serikat oleh pihak imigrasi karena pasportnya dianggap tidak berlaku dengan alasan negara asalnya sedang terjadi kudeta, peperangan dan kekosongan pemerintahan sehingga statusnya dianggap tidak legal. 

 
Film 'The Terminal' yang diperankan aktor Tom Hanks

Viktor Navorski yang diperankan oleh aktor Tom Hanks kemudian membuat beberapa cara agar dapat meraih simpati untuk bisa lolos masuk ke kota New York, Amerika Serikat walaupun harus menghadapi halangan-rintangan yang dibuat oleh kepala bandara John F. Kennedy. Film ini sangat menyentuh dan humanis karena Viktor Navorski datang ke Amerika Serikat hanya untuk melengkapi tanda tangan para musisi jazz dari sebuah grup band jazz favorit almarhum ayahnya. Melalui perjuangan dan dukungan kawan-kawan yang dikenalnya selama beberapa bulan di bandara akhirnya Viktor Navorski berhasil mendapatkan izin resmi masuk ke Kota New York, Amerika Serikat dengan tujuan untuk melengkapi seluruh tanda tangan dari seluruh personel grup band jazz tersebut yang sebenarnya hanya tinggal tersisa satu buah tanda tangan dari seorang personel keturunan Afro-America, pemain saksofon  yang masih bekerja pada sebuah klub malam di sudut Kota New York. Itulah sekelumit dari kekuatan dan daya tarik dari sebuah musik jazz. 

Saya sendiri mempunyai sedikit kesamaan dari tokoh utama yang diperankan Tom Hanks di film “THE TERMINAL” tersebut karena saya termasuk penggemar musik jazz. Saat saya berada di waktu santai dan rileks terkadang membaca buku sambil mendengarkan beberapa lagu smooth jazz dari musisi jazz kawakan seperti Nat 'King' Cole melalui beberapa lagu “L-O-V-E”, “Mona Lisa”, “Tenderly”, etc atau lagu-lagu dari The Cake hingga beberapa lagu jazz instrumental yang dimainkan oleh beberapa musisi jazz dunia seperti Louis Armstrong, Charlie Parker, Sidney Bechet, dan Dizzy Gillespie melalui suara merdu alat musik tiup trompet dan saksofon mereka. Entah apa yang membuat saya betah terhadap musik jenis ini, dalam prinsip estetika saya bahwa semakin rumit dan sulit sebuah lagu jazz untuk dipahami, didengarkan apalagi untuk dimainkan maka lagu jazz tersebut akan semakin bertambah sexy di gendang telinga saya tanpa memandang siapapun latar belakang komposer atau musisinya. Bagi saya musik jazz adalah musik kebebasan. Musik yang berani mendobrak dogma, aturan dan pakem-pakem budaya lama bahkan musisi jazz besar Amerika seperti Charlie Parker sempat mengatakan bahwa jazz adalah musik yang tidak bisa didefinisikan (JAZZ BE YOUR SELF!).

                                             Musisi jazz 'Louis Armstrong'

http://0.tqn.com/d/jazz/1/0/-/3/-/-/LouisArmstrongHip_ORecords.jpg

Musisi jazz 'Charlie Parker'

http://s3.amazonaws.com

Ketika membahas musik jazz saya jadi teringat sebuah buku “Jazz, Parfum dan Insiden” karya dari sastrawan besar Indonesia yaitu Seno Gumira Ajidarma bahwa jazz akan tetap hidup dan berkembang jika ia membuka dirinya. Jazz adalah soal bermain jazz, bukan soal lagu apa atau lagu siapa yang dimainkannya. Ada ulasan tulisan yang menarik dari Seno Gumira Aji Darma jika musik jazz bisa berubah menjadi sebuah gaya, trend setter walaupun orang tersebut tidak paham soal musik jazz yang penting nge-jazz untuk bergaya. Saya berpendapat hal tersebut bisa benar adanya karena musik jazz menurut pandangan saya secara konteks sosiologis terkini telah dianggap oleh masyarakat sebagai sebuah cita rasa seni, gaya hidup, seni multikultural, musik postmodern, musik alternatif (avant-garde). Sejarah jazz sebagai musik perlawanan yang berhasil menantang keangkuhan ‘budaya tinggi’ Eropa yaitu musik orchestra klasik, memang pantas untuk diapresiasi untuk semua kalangan penikmat musik.

Jazz bisa meraih penghormatan seperti sekarang ini ternyata tidak terlepas dari banyaknya musisi jazz kulit hitam (Afro-America) dahulu yang harus berpuluh-puluh tahun berjuang, merebut singgasana terhormat musik orchestra klasik yang sempat mendominasi kebudayaan massa seluruh kawasan Eropa Barat terutama Amerika Serikat agar dapat berdiri sejajar dan setara dengan budaya mereka (sebelum tahun 1920-an). Musik jazz lahir dan berkembang dari peradaban kebudayaan kulit hitam di Amerika Serikat yang melalukan perlawanan kultural dengan membuat budaya tanding (counter culture) terhadap segala bentuk hasil kebudayaan bangsa kulit putih Eropa saat itu yang dianggap masih melakukan praktik diskriminasi, eksploitasi dan penindasan terhadap bangsa kulit hitam di masa lalu. Nampaknya keberadaan dan penampilan musisi jazz kulit hitam di Amerika Serikat pada masa itu memancarkan aura daya tarik alienasi seniman dan warna kulit.

Sosiolog Yahudi-Jerman sekaligus filsuf, musikolog, kritikus budaya aliran Mahzab Frankfurt yaitu Theodor Adorno pernah mengkritik musik jazz sebagai budaya rendah. Budaya rendah ini menurut Adorno karena menganggap musik jazz hanya mencetak individualisasi semu dimana industri label rekaman sebagai pihak kapitalis sudah membuat selera kebebasan individu dalam memilih musik pop menjadi non standarisasi dalam proses produksinya dan cenderung memanipulasi selera musik masyarakatnya. Akibatnya, musik jazz menurut pendapat Adorno telah menjadi sebatas komoditas musik hiburan produk industri untuk meraih keuntungan dari para konsumer seni. Namun saya secara pribadi menolak dan menentang gagasan Adorno atas kritiknya terhadap musik jazz. Anti-tesis pemikiran saya terhadap pemikiran Adorno bahwa musik jazz itu sendiri sebenarnya adalah musik berbudaya tinggi. Jazz adalah suara nada indah dari Tuhan yang diwahyukan kepada bangsa kulit hitam (Afro-America) untuk melawan segala bentuk diskriminasi rasial dan penindasan budaya bangsa kulit putih Eropa terhadap mereka di masa lalu. Klub malam dan rekaman musik nampaknya telah berubah menjadi rumah ibadah dan media khotbah bagi para musisi jazz kulit hitam saat itu untuk berkarya dan memberikan sentuhan hiburan bagi para imigran masyarakat kulit hitam lainnya yang dilarang memasuki dan menikmati tempat-tempat hiburan megah yang hanya boleh diperuntukkan kepada imigran bangsa kulit putih Eropa di Amerika. JAZZ IS POWER!


Musisi Jazz Afro-America
 
Musik jazz di masa lalu memang selalu dikonotasikan negatif sebagai wujud budaya rendah, kondisi pengangguran, pemberontakan, kecemburuan sosial, pelanggaran hukum dari kacamata persepsi bangsa kulit putih Eropa karena musik jazz saat itu banyak dimainkan di kawasan marjinal pemukiman kumuh Afro-America terutama di kota-kota besar semacam New Orleans, Los Angeles, Chicago, San Francisco, New York di Amerika Serikat. Apapun itu, Jazz memang lahir dan besar di segala tempat dalam kondisi tekanan sosial, konflik sosial dan kriminalitas tumbuh menjamur di kawasan Amerika Serikat di masa lalu seperti klub malam/bar yang menjadi arena tempat perjudian, prostitusi, transaksi narkotika dan segala stereotip negatif yang melekat terhadapnya. Namun saya tetap memandang jazz sebagai salah satu ritual seni tinggi bangsa kulit hitam (Afro-America) yang dilakukan melalui praktek seni kebudayaan yaitu permainan musik dalam usaha untuk merebut makna harga diri dan identitas sosial serta melawan segala bentuk budaya penindasan. Banyak musisi jazz kulit hitam dahulu yang bekerja di klub-klub malam melakukan jam session dengan bermain musik, mengimprovisasi banyak lagu untuk menghibur para pengunjung klub yang menari, berdansa, dan memesan minuman. Bisa dibilang keberadaan pub, klub malam, bar saat itu menjadi ruang eksistensi sosial bagi para musisi jazz kulit hitam untuk mengokohkan makna identitas sosial dan kulturalnya di tengah penolakan sosial mayoritas imigran bangsa kulit putih Eropa di Amerika Serikat terhadap kehadiran imigran bangsa kulit hitam Afro-America.

Saya sempat membaca buku “Jazz 101 ; A Complete Going to Learning & Loving Jazz” karya Prof. John F. Szwed, seorang antropolog, musikolog ahli studi budaya Afrika dan budaya Afro-America dari Universitas Yale, Amerika Serikat bahwa sejarah jazz sendiri bermula dari sebuah rekaman pertama oleh seniman jazz kulit hitam pada tahun 1915 namun sebenarnya musik jazz sendiri berkembang di klub-klub bawah tanah di pinggiran Kota New Orleans (1900-1925) terutama di daerah sekitar pelabuhan dimana banyak pekerja kulit hitam yang menjadi pekerja (pengangkut barang) di kapal-kapal. Banyak ahli yang mengatakan jika akar dari musik jazz berasal dari musik blues yang dimelodikan dan dimainkan secara lebih serius seperti halnya musik klasik. Pada awalnya, musik jazz banyak dimainkan pada acara perkumpulan sosial (pesta/dansa), parade, pemakaman ataupun festival pada acara resmi di kota.

Memang tidaklah salah jika musik jazz berkembang di Kota New Orleans karena pada masa lalu banyak yang menganggap kota ini sebagai “The New of Athena” dimana kota yang terletak paling bawah di negara Amerika Serikat ini merupakan tempat terjadinya pertemuan kebudayaan yang beraneka ragam (budaya afrika - budaya eropa - budaya latin) sehingga menghasilkan kebudayaan seni indah termasuk musik jazz. Pada tahun 1917 terdapat grup musik yang bernama “Original Dixieland Jazz Band” dari New Orleans yang memainkan jenis musik yang dinamakan jazz seperti yang kita kenal seperti saat ini dan berhasil merekam beberapa lagunya di Kota New York. 

Kemunculan band jazz legenda lain seperti “King Oliver and Creole Jazz Band” yang dimana pemain trompet sekaligus musisi jazz dunia yakni Louis Armstrong ikut menggawanginya dengan banyak melakukan aksi solo melalui rhytem section yang menjadi ciri khas mereka dalam beberapa pertunjukan secara live TV dan radio di Amerika Serikat. Inti dari grup band jazz sendiri banyak mengadopsi dari marching band dimana kedudukan para pemain trompet, klarinet, bahkan saksofon mempunyai tempat yang penting dalam sebuah band yang terdiri dari drum, gitar, piano, dan bass. Jazz mendapat pengakuan sebagai bagian dari representasi budaya Amerika pada akhir abad 20 dan berpengaruh menghilangkan sekat batasan terhadap kelas sosial dan ras suku bangsa di Amerika. Berikut ini adalah kronologi perkembangan musik jazz yang diambil dari buku “Jazz 101 ; A Complete Going to Learning & Loving Jazz”:

-Pra Jazz (1875-1915)
-Jazz New Orleans (1910-1927)
-Swing (1928-1945)
-Bebop (1945-1953)
-Cool Jazz/West Coast Jazz (1949-1958)
-Hard Bop (1954-1965)
-Soul/Funk Jazz (1957-1959)
-Modal Jazz (1958-1964)
-Third-Stream Jazz (1957-1963)
-Free Jazz (1959-1974)
-Fusion dan Jazz Rock (1969-1979)
-Neo-Tradisionalisme (1980-……..)

Saya sendiri dahulu sebenarnya adalah seorang pemain bass (bassist) pada formasi grup band. Saya suka bermain bass dengan gaya funk memainkan beberapa teknik slap. Saya masih ingat dahulu bersama teman-teman band ketika zaman kelas 2 SMA berhasil masuk final 10 besar dalam ajang kompetisi festival band pelajar yang diselenggarakan oleh YAMAHA musik di Kota Purwokerto walaupun harus kalah dan bahkan tidak pernah menang juara sekalipun namun ada kepuasan tersendiri bagi saya dan kawan-kawan ketika itu bisa menyisihkan puluhan peserta grup band pelajar lainnya. Namun saat ini, saya memutuskan untuk berhenti bermain gitar bass lagi karena saya merasa jika dunia saya bukanlah di dunia musik dan selain itu, saya juga mengakui tidak mempunyai potensi bakat yang hebat dalam bermusik namun saya masih senang membaca biografi beberapa tokoh musisi jazz terutama pada pemain bass-nya. Bagi saya, musik jazz adalah musik hati, musik yang membebaskan jiwa. Berkembangnya musik jazz yang dimainkan para musisi kulit hitam telah menjadi wujud resistensi budaya Afro-America terhadap dominasi budaya Eropa di Amerika Serikat. Saya secara pribadi berpendapat jika musik jazz merupakan bentuk gerakan kebudayaan (cultural movement) dari bangsa kulit hitam (Afro-America) yang menuntut pengakuan hak-hak sosialnya di masa lalu. 

         Musik jazz saat ini sudah mendunia terutama di Indonesia yang konon dahulu musik jazz diperkenalkan masuk ke Indonesia pada awal abad 20 oleh para musisi jazz dari Philipina yang banyak bermain dalam pertunjukkan musik jazz pada hotel-hotel berbintang sewaktu zaman penjajahan kolonial Belanda. Saya terkadang suka mendengarkan beberapa jenis musik perpaduan musik etnik tradisional dengan musik jazz seperti beberapa musik yang dimainkan grup dan beberapa musisi jazz kenamaan Indonesia seperti grup band Krakatau atau permainan musisi jazz dari Bali yaitu Balawan, musisi jazz dari Yogyakarta seperti Djadug Ferianto, musisi jazz Purwokerto yaitu Bayu Wirawan merupakan sosok pianist jazz Indonesia sebagai art tatum yang piawai memainkan beragam improvisasi jazz modern hingga tradisional. Nama-nama mereka kini bahkan sudah terkenal di belantika komunitas jazz internasional. 

JAZZ TASTE INDONESIA itu yang sebenarnya saya suka dari lagu dan gaya permainan musik jazz dari musisi Indonesia. Rasanya mendengarkan lagu-lagu jazz etnik tradisional yang diiringi alat-alat musik tradisional seperti: gamelan, angklung, kendang, seruling bamboo etc dari para musisi jazz Indonesia benar-benar mampu menunjukkan kekayaan seni dan budaya Indonesia kepada dunia dan jujur saya merasa ikut bangga atas hasil karya intelektualitas dari mereka. Jazz adalah fleksibilitas bermain musik dan keterbukaan terhadap semua ragam jenis alat musik terutama juga terhadap para pendengarnya. Kita sendiri dapat menikmati musik jazz dimana saja seperti menikmati pertunjukkan musik jazz di angkringan pinggir jalan dengan konsep sederhana dan merakyat seperti yang sering diadakan di Kota Yogyakarta atau pertunjukkan musik jazz mewah,ekslusif, elite dengan gemerlap lampu seperti yang sering diadakan di panggung-panggung teater di Kota Jakarta. Saya masih menganggap jika musik jazz rasa Indonesia saat ini termasuk musik jazz kelas dunia yang intelektual, kreatif, unik dan original.

Jazz dapat dikatakan sebagai seni pertunjukkan live yang berbeda dari musik rekaman produksi label. Penikmat musik jazz sangat haus terhadap bentuk improvisasi dan aransemen baru dari setiap penampilan live sebuah grup band jazz. Hal tersebut seperti apa yang pernah sastrawan Seno Gumira Aji Darma tuliskan dalam bukunya yang berjudul “Jazz, Parfum dan Insiden” yang menggambarkan seni instrument jazz pada bentuk bebop yang dimana setiap instrument alat musik tersebut akan bercakap-cakap, berbicara, spontan menggunakan alur bahasa musik menurut selera dari musisi sendiri. Bisa dikatakan bentuk bebop dalam musik jazz adalah sebagai bentuk dialog antar alat instrument musik dengan mempermainkan ketertiban seperti suara kacau, lepas-kendali, terpeleset, dibolak-balik, bersahut-sahutan yang tidak direncanakan sebelumnya namun tetap enjoy menjaga alur beat iramanya dengan selaras. Semakin kacau, berisik dan selaras maka gaya permainan bebop pada musik jazz akan semakin bertambah nilai artistiknya karena diperlukan penghayatan dan pemahaman tinggi atas kejeniusan improvisasi dan aransemen dari para komposer atau musisi jazz tersebut dalam berinteraksi terhadap para penontonnya.

Representasi musik jazz di zaman millennium kini berbeda dibandingkan kondisi pada zaman di masa lalu. Musik jazz saat ini identik sebagai keterbukaan, kebebasan, elite, prestise, toleransi, multikultural, universal dan intelektual. Jazz kini berubah wujud sebagai kebanggaan artistik dan kultural. Jazz menjadi wujud seni kebudayaan postmodern atas segala hal yang sudah pernah dilakukannya selama ini. Jazz telah berhasil dan mewujudkan toleransi dan menentang segala bentuk rasisme. Terlalu dangkal jika kita memahami musik jazz ini melalui bentuk dan segala simbol stereotip. Jazz adalah musik sosial dengan segala ciri organisasi sosial Afro-America dalam wujud praktik kebudayaannya yang kini berkembang luas melintasi dunia dan mempersatukan beragam religi, ras dan suku bangsa. Jazz berhasil mendobrak dogma lama pemikiran Barat selama ini dengan menghapus perbedaan peran para pemainnya dalam sebuah grup band. Setiap musisi jazz bisa leluasa luas berimprovisasi tanpa batas menurut selera aransemen dan intuisinya. Mungkin benar pendapat Prof. John F. Szwed jika musik jazz merupakan seni yang terdokumentasikan paling baik dalam panggung sejarah dunia.
*Nur Bintang adalah pengamat sosial dan budaya

ooo

Minggu, 19 Januari 2014

COLOUR BLIND/BUTA WARNA: WUJUD KEKERASAN SIMBOLIK?




Ditulis oleh: Nur Bintang*

   

"Bahasa merupakan sarana perwujudan simbolik
dimana pihak yang berkuasa akan menguasai ruang komunikasinya"
(Pierre Bourdieu, filsuf sosial, sosiolog postmodern dari Perancis)      



httpmeetdoctor.comuploadstaxonomyshutterstock_65409730.jpg


Jika dahulu terdapat praktek apartheid atau bahkan rasisme (diskriminasi terhadap suatu ras suku bangsa) yang sangat ditentang karena dianggap melanggar batas hak-hak asasi manusia namun kini masih saja terdapat praktek kekerasan simbolik terhadap para penyandang cacat  mata ‘buta warna’ yang saya biasa menyebutkan melalui istilah sendiri dengan nama colour blindheid (diskriminasi terhadap penderita buta warna) atau mungkin penyandang disabilitas lain (menyangkut keterbatasan fisik yang dimiliki seseorang). Negara seharusnya dapat berbenah dan mengakui hak-hak asasi manusia dalam penghidupan ekonomi terutama dalam hal ‘mendapatkan pekerjaan’ bagi seluruh warga negaranya tanpa terkecuali yang dijamin oleh undang-undang. 

Namun perkembangan sosial masyarakat dewasa ini telah mengakibatkan banyak para penderita buta warna yang memiliki integritas, kecakapan, dan potensi terpaksa harus kalah bersaing terlebih dahulu dalam bursa pencarian kerja akibat adanya peraturan awal larangan rekruitmen (lowongan pekerjaan) di beberapa perusahaan hingga instansi pemerintah untuk tidak menerima para penderita buta warna terutama bagi para penderita buta warna total atau sebagian (parsial). Dalam pandangan saya, hal ini merupakan sebuah bentuk diskriminasi dan wujud praktek kekerasan simbolik! Maka tidak heran jika sosok Prof. Dr. Shinobu Ishihara dari Universitas Tokyo, Jepang penemu buku tes buta warna yang melegenda ini menjadi tokoh nomor satu yang paling banyak dibenci, dicaci bahkan dihujat oleh hampir semua penderita buta warna di seluruh dunia karena dianggap menemukan praktek diskriminasi baru terkait pembatasan hak sosial terhadap para penderita buta warna.


Prof. Dr. Shinobu Ishihara, penemu tes buta warna
Semua manusia dimanapun ia berada pasti menginginkan terlahir dalam kondisi fisik yang normal namun terkadang Tuhan berkata lain dengan memberikan kekurangan dan kelebihan dari setiap makhluk yang diciptakan-Nya. Buta warna sendiri pada umumnya bukanlah sejenis penyakit melainkan cacat mata yang berasal dari faktor genetis bawaan dari orang tua (biasanya berasal dari garis keturunan ibu atau dari garis keturunan ayah yang dibawa melalui kromosom X) yang diturunkan kepada anak atau kepada cucunya (bagi ayah penderita buta warna berpeluang besar menurunkan genetik buta warna kepada anak perempuannya dan bagi pihak ibu penderita buta warna berpeluang besar menurunkan genetik buta warna kepada anak laki-lakinya). Namun ada juga penderita buta warna yang disebabkan bukan berasal dari faktor genetis (keturunan) melainkan akibat dari faktor dari luar (kemungkinan kecil) seperti benturan kepala akibat mengalami kecelakaan, keracunan mata, kekurangan gizi, atau terkena sejenis virus yang menyerang sel mata pada janin ketika dahulu masih berada dalam kandungan dan lain sebagainya. Cacat mata ‘buta warna’ untuk saat ini belum dapat disembuhkan tetapi bisa dikurangi dampaknya melalui penggunaan lensa warna pada kacamata khusus.

Skema 'buta warna' yang diturunkan secara genetis
Jika sudah ada bawaan genetis cacat mata buta warna yang berasal dari orang tua biasanya seorang anak memiliki resiko besar untuk menjadi penderita buta warna (baik total maupun parsial). Kebanyakan penderita buta warna pada umumnya adalah berjenis kelamin laki-laki sebesar 98% dan berjenis kelamin perempuan sebesar 2% sebagai penderita atau pembawa genetis buta warna saja walaupun dirinya tidak menderita buta warna. Secara kasuistis kebanyakan dari penderita buta warna merupakan anak bungsu dalam keluarganya. Saat ini diperkirakan ada 40 juta orang pengidap buta warna di seluruh dunia dengan perbandingan rata-rata 1:12 dari setiap jenis kelamin laki-laki dan 1: 200 dari setiap jenis kelamin perempuan dari setiap populasi penduduk.

Penderita buta warna parsial (sebagian) ini biasanya masih bisa melihat warna secara normal namun hanya ada beberapa warna-warna tertentu yang dimana penderita ini tidak bisa membedakan jenis warnanya. Hal ini tentu sangat lain dengan penderita buta warna total yang hanya bisa melihat warna hitam dan putih saja. Namun untuk penderita buta warna total saat ini sudah sangat jarang ditemukan karena pada umumnya populasi penderita buta warna paling banyak ditemui saat ini di dunia adalah penderita buta warna sebagian (parsial). Adapun jenis-jenis buta warna tersebut adalah sebagai berikut:

1.  Trikromasi dimana mata penderita memiliki sensitivitas warna dari satu jenis atau lebih sel kerucut. Penderita yang lemah terhadap warna hijau (deutramali), penderita yang lemah terhadap warna merah (protranomali), dan penderita yang lemah terhadap warna biru (tritanomali).
2.  Dikromasi dimana penderita tidak memiliki salah satu sel kerucut pada retina mata. Penderita memiliki retina mata yang tidak memiliki sel kerucut yang peka terhadap warna hijau (deuteranopia), penderita memiliki retina mata yang tidak memiliki sel kerucut yang peka terhadap warna merah (protanopia), penderita memiliki retina mata yang tidak memiliki sel kerucut yang peka terhadap warna biru (tripanopia). 
3.  Monokromasi dimana penderita tidak memiliki sama sekali sel kerucut pada retina mata sehingga tidak bisa membedakan warna apapun sehingga menderita buta warna total  (akromatopsia) yang hanya bisa melihat warna hitam dan putih saja.

Bagi para penderita buta warna pada zaman sekarang ini mungkin benar-benar seperti merasa mengalami praktek diskriminasi, menjadi korban kekerasan simbolik, dan penolakan sosial terhadap akses hak pendidikan dan hak ekonomi (pekerjaan). Ada terdapat ribuan bahkan jutaan para penderita buta warna yang harus kecewa, menangis, sedih, rendah diri, frustasi, merasa tertekan karena cita-cita mereka untuk melanjutkan studi ke sebuah sekolah favorit, jurusan favorit di universitas, bahkan pekerjaan yang diimpikan selama ini pada perusahaan besar atau instansi pemerintah harus gagal hanya karena sebuah seleksi tes kesehatan (medical check up) terhadap mata yaitu Tes Ishihara! (melihat simbol angka, garis atau huruf dalam bentuk titik-titik warna yang dicampur). Untuk jurusan atau pekerjaan yang wajib berhubungan dengan penggunaan warna seperti kemiliteran, psikologi, biologi, kimia, kedokteran, ilmu gizi, farmasi, teknik, agronomi, geografi, elektro, pertanian, pelayaran dan lain-lain menurut pandangan saya pribadi masih bisa dimaklumi untuk menghindari human error karena pekerjaannya yang menyangkut resiko bahaya bagi keberlangsungan institusi dan orang lain di sekitarnya. Sayangnya, terkadang masih ada juga beberapa sekolah bahkan beberapa perusahaan maupun instansi pemerintah yang dimana dalam studi atau pekerjaan sehari-harinya tidak banyak bersinggungan dengan penggunaan warna namun tetap ‘MENOLAK MENERIMA’ murid, mahasiswa, atau karyawan/pegawai yang menderita ‘buta warna’ tanpa melihat kompetensi dan latar belakang dari para penderita buta warna tersebut. 


Contoh gambar Tes Ishihara untuk mengetahui status buta warna
 
Jika saya telisik menggunakan kacamata pemikiran filsuf sosial sekaligus sosiolog postmodern lulusan dari kampus École Normale Supérieure, Paris, Perancis yaitu Pierre Bourdieu yang melihat hubungan dominasi (relations of dominations) dalam medan sosial terhadap kepemilikan akses terhadap modal yang dimana bahwa istilah kata “colour blind” atau “buta warna” menjadi simbol pihak yang didominasi karena ada pihak-pihak yang memproduksi dan mempertinggi nilai simboliknya sendiri sebagai “orang sempurna tanpa cacat” dengan menggunakan strategi perbedaan (distinction) dengan berusaha membedakan diri dari pihak yang ada di bawahnya. Kelompok dominan berusaha memperbesar nilai simbolik yang dimilikinya sebagai manusia sempurna tanpa cacat tubuh yang dapat bekerja baik. Para penderita buta warna ditundukkan melalui regulasi (peraturan) resmi melalui pernyataan bahasa oleh pihak-pihak yang merasa tinggi dengan nilai simboliknya hanya untuk sekedar mempertahankan praktek dominasi. Hal ini dapat dilihat dari modal memiliki fisik sempurna melalui komunikasi dalam iklan penerimaan murid di sekolah hingga iklan lowongan pekerjaan seperti kalimat persyaratan ‘sehat jasmani dan rohani’ lebih menjurus terhadap persepsi ‘tidak cacat’ dan ‘bebas dari buta warna’ sehingga menimbulkan kesan berbeda dari yang lain nampaknya sudah menjadi basis dominasi dalam struktur sosial terhadap penyandang disabilitas termasuk penderita buta warna yang merasa dibatasi hak pendidikan dan ekonominya terutama dalam mendapatkan pekerjaan.

Pierre Bourdieu, sosiolog postmodern dari Perancis
Tanpa melepaskan dari analisa pemikiran Bourdieu jika ternyata praktek dominasi dan kekerasan simbolik ini menunjukkan ketidaksetaraan suatu kelompok yang dianggap tidak tinggi nilai simboliknya terhadap suatu akses seperti ekonomi, teknologi, atau bahkan budaya. Bagi Bourdieu kekerasan simbolik tidak dapat dilepaskan dari habitus, medan, dan praksis bahwa modal yang dimiliki suatu individu dalam medan sosial akan melahirkan praktik sosial. Akibatnya adalah relasi kekuasaan (power relations) sekelompok ‘orang sempurna’ sebagai mayoritas yang dapat leluasa melakukan tekanan sosial lebih besar terhadap sekelompok ‘orang yang tidak sempurna’ sebagai minoritas sehingga terpaksa merasa harus dipinggirkan. Khusus dalam pembahasan kali ini adalah para penderita buta warna atau bahkan penyandang disabilitas lain yang menjadi pihak yang didominasi dan didiskriminasi. Para penderita buta warna jika dikaji menggunakan teori sosial analisa Bourdieu ini seperti nampak tidak dapat melakukan perubahan struktur sosial karena tidak memiliki akses terhadap modal sosial dan budaya. Para penderita buta warna dalam hal ini mengalami praktek ketidaksetaraan relasi kuasa dalam medan sosial (social sphere).

Solusinya? pemerintah sudah seharusnya mulai berbenah dengan membuat kebijakan mengenai peraturan tenaga kerja yang lebih berpihak kepada hak sosial dari para penderita buta warna atau para penyandang disabilitas lain dalam mengakses pendidikan dan pekerjaan. Perlu adanya deteksi lebih dini (usia 4 tahun) terhadap anak-anak penderita buta warna agar dapat merancang masa depannya secara lebih baik seperti melalui sosialisasi pendidikan dan pekerjaan dari pihak sekolah atau pemerintah mengenai jurusan studi di sekolah atau universitas yang dapat dimasuki oleh para penderita buta warna sehingga setelah lulus nanti para penderita buta warna dapat mencari pekerjaan atau memutuskan mandiri menjadi pengusaha sesuai dengan bakat, keahlian dan kemampuan bidangnya masing-masing. Sekedar saran, sebaiknya para penderita buta warna untuk lebih memilih jurusan sosial atau IPS ketimbang jurusan eksak atau IPA karena dalam jurusan ilmu sosial pemahaman mengenai bidang studi atau bidang pekerjaan nantinya tidak banyak berkaitan langsung dengan hal-hal teknis penggunaan warna.

Jika dilihat dari sistem kesempatan dan penerimaan tenaga kerja saat ini di Indonesia walaupun sudah ada kebijakan dari pemerintah mengenai pengaturan hak-hak penyandang disabilitas (terutama dalam hak pekerjaan) namun nampaknya masih belum menjadi skala prioritas dan perhatian bagi kebanyakan perusahaan maupun instansi pemerintah di Indonesia mengenai hal rekruitmen bagi calon karyawan atau calon pegawainya. Pemerintah di Indonesia seharusnya mulai berkaca, mencontoh dan mencoba membuat kontrol regulasi yang tepat mengenai perlakuan hak-hak asasi manusia bagi penyandang disabilitas seperti yang sudah diterapkan pada negara-negara maju di Eropa Barat yang saat ini dinilai cukup baik. 

Perusahaan dan instansi pemerintah yang memberikan peluang pekerjaan bagi para penyandang disabilitas terutama bagi penderita buta warna di Indonesia saat ini jumlahnya dianggap masih sangat minim karena penampilan fisik normal masih menjadi kebutuhan prioritas bagi rekruitmen calon karyawan atau calon pegawai di berbagai perusahaan atau instansi pemerintah saat ini. Sekedar saran, bila perlu pemerintah kini harus membuat aturan tegas untuk mencabut izin operasional suatu perusahaan atau memberikan peringatan tertulis atau sanksi kepada instansi pemerintah jika dianggap tidak memfasilitasi atau memberi kesempatan kerja terkait hak ekonomi bagi penyandang disabilitas termasuk para penderita buta warna yang dimana bidang pekerjaannya tidak menyangkut persoalan teknis penggunaan warna.

Saya pernah membaca sebuah koran berbahasa asing dari luar negeri jika ternyata perusahaan swasta dan instansi pemerintah negara-negara maju di Eropa Barat bahkan di Amerika Serikat pada abad 21 secara humanis sudah mulai menerapkan kebijakan memberikan peluang hak ekonomi (lowongan pekerjaan) secara merata kepada semua warga negaranya tanpa melihat perbedaan batasan umur (dewasa), ras/suku bangsa, agama, status/kelas sosial terutama bagi penyandang disabilitas termasuk para penderita buta warna (hingga sudah di atas angka 50% dari jumlah pekerjanya). Perusahaan-perusahaan dan instansi-instansi pemerintah di Eropa Barat saat ini kini sudah mulai memperhatikan dan memfasilitasi rekruitmen keberadaan terhadap calon karyawan yang berasal dari para penyandang disabilitas terutama bagi para penderita buta warna yang dinilai cocok oleh para tim psikolog untuk dapat bekerja pada bidang yang tidak berhubungan dengan penggunaan teknis warna yang biasanya terkait pada bidang-bidang sosial kemasyarakatan, analis, evaluator, hubungan masyarakat, jurnalis, penulis yang mewakili atas nama perusahaan atau instansi pemerintah.

Terkadang di lingkungan sosial sekitar (terutama di Indonesia), kita sering menemukan para penderita buta warna yang menjadi pelamar kerja ternyata lolos ujian tes tertulis psikotes dan lolos ujian wawancara kerja serta berhasil menyisihkan puluhan, ratusan bahkan ribuan kandidat pelamar kerja lain yang memiliki kondisi fisik normal di berbagai perusahaan besar atau instansi pemerintah namun harus menerima kenyataan pahit harus ‘gugur’ di tengah jalan karena dianggap gagal dalam tahap final seleksi tes kesehatan (medical check up) oleh dokter yang berwenang karena divonis menderita buta warna. Sangat diakui jika sebenarnya para penderita ‘buta warna’ itu sendiri kebanyakan adalah orang-orang yang terlahir memiliki intelegensi tinggi, pemikir, analitis, dan cenderung dapat menjadi seorang yang jenius bahkan konon pada zaman ‘Perang Dunia’ melanda Eropa dahulu banyak serdadu tentara penderita buta warna tertentu di Eropa yang diterjunkan secara khusus ke medan perang sebagai navigator pada malam hari karena dianggap memiliki penglihatan detail yang lebih baik dibandingkan penglihatan tentara biasa yang memiliki kondisi mata normal dengan tujuan untuk mengetahui pergerakan musuh. Tuhan memberikan para penderita ‘buta warna’ dengan kekurangan beserta kelebihan yang dimilikinya.

                                     
Mark Zuckerberg, pembuat situs fenomenal jejaring sosial "facebook" merupakan penderita buta warna parsial yang kini sukses menjadi pengusaha top dunia

Neil Harbisson, seniman penderita buta warna total  pendiri yayasan nirlaba 'Cyborg Foundations'


Tentara navigator malam pada Perang Dunia ke-2 kebanyakan diambil dari penderita buta warna

Kita perlu mengenal sosok tokoh-tokoh besar dunia yang ternyata adalah seorang penderita buta warna diantaranya adalah ilmuwan penemu berat atom asal Inggris yaitu John Dalton; mantan Presiden Amerika Serikat yaitu Bill Clinton; Pangeran William dari Kerajaan Inggris; seniman yang menderita buta warna total (akromatopsia) yang mendirikan Cyborg Foundations, yayasan nirlaba yang mambantu manusia menjadi cyborg (manusia robot) terutama bagi para penyandang disabilitas yaitu Neil Harbisson; CEO & founder situs jejaring sosial ‘facebook’ yaitu Mark Zuckerberg; pencipta krayon senior yaitu Emerson Moser, artis-artis ternama dunia seperti Mark Twain, Paul Newman, Rutger Hauer, Bing Crosby, Meat Loaf, Keanu Reeves, Fred Rogers, Jack Nicklaus, Matt Lauer dan Bob Dole. Kisah perjuangan hidup para tokoh dunia sebagai penderita buta warna namun kini sukses dan berhasil mengubah dunia dapat menjadi acuan referensi bagi kita sebagai umat manusia untuk dapat terus melangkah maju. Semoga kesuksesan selalu menyertai langkah kita semua tanpa kecuali karena sukses adalah hak setiap manusia. Amin![] STOP DISKRIMINASI, STOP KEKERASAN SIMBOLIK…!!!

*Nur Bintang adalah pengamat sosial dan budaya

OOO