Artikel

Jumat, 27 Juli 2012

“WEBERIAN MINDSET AND THE CHICAGO SCHOOL”



Sosiolog klasik "Max Weber"

  
Ditulis Oleh: Nur Bintang*

Belajar ilmu sosiologi, sharing tukar pendapat dan pikiran dengan teman-teman diskusi di kampus dulu sangatlah mengasyikkan apalagi jika membahas pemikir besar dalam tradisi ilmu sosiologi yaitu Max Weber seorang Yahudi-Jerman (1864-1920) yang dulu sempat mengalami kondisi frustasi (tekanan kejiwaan) akibat konflik internal dengan ayahnya. Max Weber termasuk salah satu pendiri “German Sociological Society” pada tahun 1910 yang sangat terpengaruh tradisi filsafat Immanuel Kant (1724-1804) yang mengkritisi tradisi filsafat positivism dan berpikir pada pola sebab-akibat (kausalitas) dan mencetuskan paradigma "definisi sosial" dalam ilmu sosiologi mengenai tindakan sosial dalam interaksi manusia. Sampai saat ini, Max Weber dianggap sebagai ikon “Nabi Ilmu Sosial”, sosiolog besar dalam tradisi sosiologi klasik. Max Weber berhasil mematahkan tesis Karl Marx (1818-1883) mengenai teori kapitalisme dan perlawanan buruh terhadap segala bentuk eksploitasi penindasan yang dilakukan kapitalisme industry. Karl Marx memberi solusi jalan konflik dalam pemecahan masalahnya dengan melakukan ‘revolusi’ dan merebut alat-alat produksi secara paksa dari para pemilik modal. Max Weber tidak setuju dengan cara penyelesaian solusi jalan konflik yang ditawarkan oleh Karl Marx karena dianggap dapat menimbulkan pertumpahan darah dan jatuhnya banyak korban yang sia-sia. Max Weber tetap memberi solusi jalan melalui proses rasionalisasi sebagai ciri semangat kapitalisme modern masyarakat di Barat sebagai suatu hal yang alamiah dalam proses rasionalisasi kebudayaan yang tidak bisa dihindari. Antitesis Max Weber kemudian suatu saat terbukti dengan gagalnya revolusi proletariat di Eropa seperti apa yang dicita-citakan dalam teori Karl Marx. Kegagalan teori Karl Marx karena kelas buruh di Eropa Barat beranjak naik taraf hidupnya menjadi ‘kelas menengah’ yang dimana system kapitalisme dapat memenuhi kebutuhan material mereka lebih dari cukup dan hidup dalam suasana demokratis tanpa ada tekanan dan tidak seperti apa yang dirasakan kaum buruh di negara-negara sosialis di Eropa Timur yang hidup dalam suasana terror, tekanan penguasa totalitarian, dan ketakutan karena lebih suka mengedepankan konflik. Kaum buruh di Eropa Barat merasa tidak dieksploitasi dan tidak melihat eksploitasi yang dilakukan system kapitalisme seperti apa yang dikatakan oleh Karl Marx. Max Weber menganalisa dari perspektif lain mengenai proses rasionalisasi dari ‘spirit kapitalisme’ dengan menganalisa sosiologi ekonomi dan sosiologi agama dalam karyanya yang berjudul “The Protestant Ethic and Spirit of Capitalism” mengenai paham calvinisme-etika protestan yang sedang berkembang di Eropa waktu itu dan beranggapan bahwa wujud kapitalisme dengan menimbun kekayaan dan memutar modal keuangan dalam bentuk industri adalah bagian dari perintah agama untuk membantu orang-orang sekitar terutama bagi mereka yang tidak mempunyai pekerjaan agar memperoleh pekerjaan di pabrik industri sehingga dapat mencari nafkah penghidupan yang layak dan dapat membantu memenuhi kebutuhan keluarganya. Menurut pemahaman “Etika-Protestan” ini menjadi orang kaya dengan melakukan usaha kerja keras, melakukan amal kasih terhadap sesama adalah suatu keharusan agar para penganutnya memperoleh tempat surga di akhirat kelak (bukan hanya faktor materi yang mempengaruhi ide, namun ide juga mempengaruhi struktur ekonomi=antitesis dari Karl Marx). Walaupun teori Karl Marx terbukti gagal tetapi ada hal hikmah penting yang dapat diambil dari pemikiran Karl Marx yaitu soal perjuangan “keberpihakan” kepada yang lemah/ditindas dan pemikiran kritis yang harus dimiliki oleh seorang ilmuwan social.

Max Weber juga melihat dimensi ekonomi dalam stratifikasi social dengan mengkaji “status” sebagai dimensi cultural yang melibatkan pelapisan kelompok berdasarkan derajat prestise-nya. Max Weber juga termasuk pelopor pencetus tradisi penelitian pendekatan kualitatif dalam keilmuan sosiologi (analisa data melalui wawancara dengan masuk ke dalam dunia social obyek yang diteliti). Weber berusaha mengembangkan metodologi pemahaman/penafsiran analisis teks (hermeunetika) ke dalam pemahaman/penafsiran dunia social terutama interaksi social atau pemahaman interpretative terhadap tindakan social (verstehen). Weber juga berhasil mematahkan tradisi penelitian statistik sosial (kuantitatif) dalam wujud “Fisika Sosial” yang selama ini menjadi dominasi atas pemikiran Bapak Ilmu Sosiologi asal Perancis (1798-1857) yaitu Auguste Comte dalam ranah keilmuan sosiologi pada zaman itu. Dari berbagai literature buku yang saya baca mengenai Max Weber bahwa sesungguhnya Max Weber adalah seorang yang mempunyai pemikiran jenius dalam kajian tradisi ilmu social namun banyak kawan maupun kolega dari Max Weber sendiri menilai jika Max Weber sebenarnya bukan terlahir untuk menjadi seorang penulis yang baik melainkan ditakdirkan terlahir sebagai pemikir besar. Banyak karya-karya Weber yang sangat fenomenal dalam analisis sosialnya namun dinilai sangat sulit untuk dipahami karena penyampaian penulisan dari Max Weber dianggap buruk, tidak urut, dan sangat membingungkan pembaca. Weber dianggap tidak konsisten dalam pernyataan metodologisnya, tidak kritis, statis, dan tidak menawarkan alternatif.

Terus terang, pemikiran dari Max Weber selama ini sangat berpengaruh dalam proses membangun keilmuan saya untuk menjadi ‘Weberian’ dalam mengkaji dan memahami ilmu sosiologi. Selama saya dulu masih di universitas ketika dalam melakukan pembuatan karya tulis ilmiah (skripsi dan thesis) maka saya merasa nyaman dan cocok (menurut selera saya) jika menggunakan teori pemikiran Max Weber dalam acuan analisa sosialnya walaupun banyak teori-teori dalam sosiologi yang mungkin dapat dipakai selain dari teori Max Weber seperti pemikiran tokoh-tokoh sosiologi klasik yang lain, pemikiran tradisi Amerika dalam literatur sosiologi modern, bahkan hingga pemikiran sosiologi yang saat ini sedang lagi trend dan booming  dalam kajian ilmu sosiologi mengenai studi kebudayaan, analisis wacana kritis, semiotika, hermeunetika teks, dan dekonstruksi yaitu teori sosial postmodern. Saya sampai saat ini masih terus belajar dan mempelajari pemikiran besar dari Max Weber dengan membaca buku-buku mengenai pemikiran dari Max Weber itu sendiri. Dalam melakukan penelitian sebagai ilmuwan social maka saya selalu bersandar pada prinsip saya untuk 'tetap menjadi diri sendiri dan selalu berproses untuk mau belajar'. Proses belajar harus dilakukan seumur hidup karena perkembangan ilmu social sangat dinamis jika kita malas belajar dan jarang membaca untuk mengikutinya maka nanti justru akan semakin membuat kita tertinggal jauh. Menjadi ilmuwan social harus selalu senantiasa berproses dan menikmati proses tersebut dengan menggali dan mendistribusikan ilmu pengetahuan tersebut kepada khalayak. 


PEMIKIRAN MAX WEBER:

Tindakan Sosial
Tindakan adalah perilaku manusia yang mempunyai maksud subjektif bagi dirinya sendiri. Tindakan social akan mempunyai makna arti subyektif jika berhubungan dengan individu-individu manusia yang lain (adanya stimulus dan respon atas suatu perilaku manusia). Max Weber sendiri menjelaskan “Tindakan Sosial” adalah tindakan individu yang dapat mempengaruhi individu-individu lainnya dalam masyarakat. Adapun jenis-jenis tindakan social menurut Max Weber adalah sebagai berikut:
-Tindakan Sosial Rasional (Instrumental) = Tindakan social yang dilakukan secara efisien dan sadar untuk mencapai tujuan yang sudah direncanakan ex: Belajar keras agar dapat lulus ujian.
-Tindakan Sosial Irrasional (Nilai) = Tindakan social yang berorientasi kepada suatu system nilai tertentu (agama, hukum, social) biasanya dilakukan karena dianggap tepat untuk dilakukan ex: Upacara-upacara keagamaan.
-Tindakan Sosial Tradisional = Tindakan social yang bersifat rasional dengan melihat dan mempertimbangkan dan menghargai nilai-nilai tradisi social turun-temurun yang sudah baku ex: sopan-santun, unggah-ungguh, tepo selira, hormat-menghormati.
-Tindakan Afeksional = Tindakan social yang dilakukan atas kondisi emosi dari actor ex: Menolong seseorang karena merasa kasihan atau iba.

Struktur Otoritas
Max Weber melakukan analisis mengenai otoritas dalam hakikat dan sifat dasar tindakan.
-Otoritas Legal-Rasional = Otoritas yang tumbuh dan berkembang dalam legitimasi sistem rasional-legal melalui mekanisme pemilihan dan memiliki aturan yang memiliki bentuk ragam structural terutama terkait dalam hal ‘birokrasi’ sebagai struktur rasional dan para birokrat sebagai posisi dalam struktur tersebut. Birokrasi menjadi hal yang tak mungkin terpisahkan dari kapitalisme modern termasuk di negara-negara penganut paham sosialis sekalipun.
-Otoritas Tradisional = Otoritas tradisional berdasarkan pernyataan pemimpin dan kepercayaan loyalitas dari pengikutnya bahwa terdapat kesucian aturan dan kekuasaan yang telah berusia tua. Pemimpin tradisional (penguasa personal) memikul beban tradisi yang selama ini dianutnya yang tidak memiliki ranah kompetensi secara jelas. Weber menganggap bahwa struktur otoritas tradisional dan cultural tradisional sebagai penghambat rasionalitas dan menutup peluang lahirnya kapitalisme modern.
-Otoritas Karismatik = Pemimpin memiliki aura karisma yang luar biasa dan memukau para pengikutnya. Pemimpin yang memiliki karisma ini terkadang juga diperlakukan istimewa beserta mitos-mitos yang menyertai seperti memiliki kekuatan supranatural, keturunan bangsawan/tokoh yang tidak dimiliki orang biasa kebanyakan. Karisma menurut Weber memiliki kekuatan revolusioner yang dapat melakukan perubahan terhadap pikiran para actor di sekelilingnya. Karisma mengarah kepada otoritas tradisional dan rasional-legal seperti menjadi semacam sebuah siklus. Peran rasionalitas terkadang jauh lebih penting ketimbang karisma itu sendiri.

Rasionalisasi
Max Weber berpendapat kapitalisme industri telah memunculkan lembaga-lembaga social secara rasional. Weber juga menilai bahwa rasionalisasi adalah proses perubahan kebudayaan akibat dari berkembangnya rasionalitas tersebut (proses rasionalisasi kebudayaan). Weber berpendapat bahwa actor dipaksa oleh kekuatan structural (negara) dan kekuatan budaya (rasionalisasi). Adapun Tipe-tipe rasionalitas menurut Max Weber adalah sebagai berikut:
-Rasionalitas Praktis = Berdasarkan kepentingan individu yang pragmatis dan egois.
-Rasionalitas Teoritis = Memahami dunia yang mengandung makna (dilakukan oleh filsuf dan ilmuwan).
-Rasionalitas Substansif =  Menyusun tindakan-tindakan metodis yang dianggap perlu untuk melakukan pemilihan sarana untuk mencapai tujuan dalam konteks sistem nilai berdasarkan rasa solidaritas social yang masih murni digunakan sebagai asas-asas nilai instrumentalnya.
-Rasionalitas Formal = Merujuk kepada aturan hukum dan regulasi yang berlaku secara universal. Kapitalisme industri di Barat menurut Weber merupakan bentuk rasionalitas formal yang terlembagakan yang bisa ditemukan pada institusi hukum, pendidikan, bahkan birokrasi yang saling mempengaruhi.

KARYA-KARYA MAX WEBER:

-Methodological Essays
-The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism
-Economy and Society
-Sociology of Religion

UNIVERSITY OF CHICAGO, USA







TRADISI WEBERIAN:

Pemikiran Max Weber banyak memberikan perkembangan mahzab baru di dalam ilmu sosiologi dengan mengadopsi dan mengembangkan pemikiran Max Weber secara lebih luas khususnya perkembangan Sosiologi Modern di Amerika yang dipelopori oleh Universitas Chicago (Amerika Serikat) yang mempunyai nama aliran The Chicago School dalam tradisi penelitian kualitatif yang kemudian lahir dari Universitas Chicago adalah sebuah organisasi American Sociological Association’ pada tahun 1959 sebagai wadah organisasi yang menaungi seluruh ilmuwan sosiologi di Amerika Serikat yang keberadaan wadah organisasi tersebut masih terus berdiri hingga sampai saat ini. Adapun perkembangan dari tradisi Weberian adalah sebagai berikut:
-Teori Interaksionisme Simbolik mengenai konteks behaviorisme psikologi sosial yang sebenarnya dipengaruhi oleh pemikiran sosiolog Jerman klasik George Simmel mengenai "sosiabilitas" artinya perilaku manusia dipengaruhi oleh lingkungan dimana manusia itu hidup. Interaksionisme Simbolik ini mengkaji tentang pemusatan perhatian pada aktor dan perilakunya dalam lingkungan sosialnya (interaksi individu dengan kelompoknya) yang kemudian dikembangkan oleh G.H. Mead termasuk Teori Dramaturgi tentang kehidupan front stageback stage, dan stigma yang dilakukan individu di dalam lingkungan dunia sosialnya yang dikembangkan oleh Erving Goffman melalui verstehen (pemahaman) mengenai tindakan sosial yang lebih banyak dipengaruhi oleh sosiolog klasik Jerman yaitu Max Weber.
-Teori Fenomenologi mengenai pemahaman terhadap kesadaran individu di dalam memaknai pengalaman-pengalaman dunia sosialnya. Fenomenologi dalam sosiologi dikembangkan oleh Alfred Schutz, Peter L. Berger, dan Thomas Luckman.
-Teori Ethnometodologi berusaha mengetahui dan meneliti aturan interaksi sosial sehari-hari (institusional) yang berdasarkan akal sehat serta biasanya dilakukan analisis percakapan dari bentuk hubungan relasi antar pribadi individu lainnya. Teori ini dikembangkan oleh Harold Garfingkle dan Jack Douglas.
-Teori Strukturasi adalah satu-satunya perkembangan tradisi Weberian saat ini yang terlepas dari pengaruh mahzab The Chicago School’ di Amerika Serikat karena dicetuskan di Inggris melalui pemikiran sosiolog Anthony Giddens, Rektor di London School of Economic’, Britain yang dulu juga sempat pernah menjabat sebagai penasehat perdana menteri Inggris, Tony Blair. Giddens memandang hubungan pelaku (‘tindakan’) dan struktur sebagai hubungan dualitas dan bukannya dualisme bahwa prinsip-prinsip struktural itu terdiri dari tiga hal yang sangat berkaitan antara satu dengan yang lain yakni:  struktur ‘signifikansi’ (signification) yang berkaitan dengan dimensi simbolik dan wacana, struktur ‘dominasi’ (domination) yang mencakup dimensi kekuasaan (politik) dan barang (ekonomi), struktur ‘legitimasi’ (legitimation) menyangkut peraturan normatif dalam tata hukum. Reproduksi sosial berlangsung melalui dualitas struktur dan praktik sosial. Teori Giddens masuk dalam ranah kritisisme modernitas dalam kajian ilmu sosial. (Mengenai pemikiran Giddens akan saya jelaskan nanti melalui postingan tersendiri!).

Foto jadul narsis saya saat di kampus dulu


PENGALAMAN RESEARCHER SEBAGAI ‘WEBERIAN’:

Sedikit berbagi pengalaman, saya melakukan penelitian kualitatif dalam tesis yang saya kerjakan dengan menggunakan teori dari Max Weber sebagai acuan analisanya. Selama ini, Max Weber selalu mengamati proses rasionalitas dalam masyarakat agama, masyarakat industri, birokrasi dari lembaga-lembaga social lainnya namun dalam kajian tesis saya kali ini maka Ide Original saya dalam menyusun penelitian tugas akhir tesis adalah saya melakukan fokus pengamatan yang jauh berbeda dari Max Weber karena selama ini Max Weber hingga sampai akhir hayatnya bahkan belum melakukan fokus kajian mengenai pengamatan proses perubahan sosial (social change) dari rasionalitas yang ada di dalam kelompok komunitas perempuan pekerja seks di sebuah kawasan lokalisasi prostitusi. Saya beranggapan jika masyarakat di area lokalisasi prositusi saat ini termasuk ke dalam kategori masyarakat industri yakni industri seks yang memiliki rasionalitas. Saya melakukan kajian studi evaluasi kualitatif mengenai program penanggulangan HIV/AIDS oleh sebuah kelompok komunitas di lokalisasi dengan melakukan pengamatan dan riset terhadap mereka semua yang ada di sebuah lokalisasi besar dan cukup terkenal di Yogyakarta dengan menggunakan metode ethnografi yang biasa dipakai dalam kajian ilmu antropologi sebagai pengumpulan datanya. Saya kira perempuan pekerja seks itu unik untuk diteliti. Apriori masyarakat terhadap perempuan pekerja seks yang terdengar sumbang selama ini, dikucilkan dari masyarakat, menganggap mereka tidak berpendidikan, dan tidak memiliki rasionalitas ternyata justru salah besar! Para perempuan pekerja seks di lokalisasi tersebut ternyata memiliki pola rasionalitasnya sendiri yang sangat menarik untuk diteliti. Kritik, masukan, dan saran terhadap tesis saya dari beberapa dosen penguji telah dilontarkan untuk segera dilakukan “revisi minor” (1 bulan) dan beruntung terhindar dari “revisi mayor” (2 bulan) terhadap tesis saya kembali dengan penjabaran pokok-pokok lebih terperinci lagi terutama revisi dari para dosen penguji untuk menambahkan pemetaan konflik kepentingan dan relasi kekuasaan antar elemen kunci dalam komunitas perempuan pekerja seks dan para stake holder di lokalisasi tersebut serta memasukkan penjelasan secara mendetail tentang bagaimana mekanisme proses rasionalitas kelompok komunitas perempuan pekerja seks dalam pengorganisasian di lokalisasi dapat berjalan, penjelasan teknis di dalam evaluasi program harus didampingi dengan penjelasan teoritis yang mendalam serta bersifat eksplanatif (menjelaskan) terhadap fenomena sosial yang diteliti sebagai bagian dari ciri khas penelitian tesis itu sendiri. Proses rasionalitas telah terjadi di dalam komunitas perempuan pekerja seks tersebut dari Rasionalitas substansif kepemimpinan karismatik dalam kelompok komunitas yang berdasarkan nilai-nilai solidaritas social dengan adanya pembagian distribusi kondom gratis oleh kelompok komunitas dari kepengurusan anggota yang lama kemudian bergeser menjadi rasionalitas formal kepemimpinan legal-rasional (melalui pemilihan) dengan menumbuhkan 'semangat kapitalisme' untuk meraih keuntungan pemasukan dana kas kelompok komunitas dengan membuat peraturan kebijakan yang harus ditaati oleh  seluruh penghuni di lokalisasi (terutama perempuan pekerja seks) yaitu mewajibkan pemakaian kondom. Penjualan distribusi kondom oleh kelompok komunitas dilakukan kepengurusan anggota yang baru di dalam lokalisasi melalui keberadaan beberapa outlet yang khusus menjual kondom di dalam lokalisasi. Selain melakukan studi evaluasi program secara kualitatif, saya juga melakukan pengamatan psikologi sosial yakni melalui  interaksionisme simbolik mengenai peran dari kelompok komunitas ketika melaksanakan program di lokalisasi, saya juga mengamati jalannya pelaksanaan program (kelebihan dan kekurangan program) dengan melakukan perbandingan kondisi komunitas sebelum ada program dan setelah adanya program, dan kemudian melakukan perbandingan terhadap kelompok kontrol yang tidak diberi program untuk dapat melihat hasil dari evaluasi program penanggulangan HIV/AIDS di dalam lokalisasi tersebut oleh kelompok komunitas, dan yang terakhir membuat catatan kritis dalam tesis saya. Saya benar-benar memaknai proses belajar saya untuk menuju ke arah keilmuan yang lebih baik. Semoga dan akan selalu tetap terus untuk berproses.[]

*Nur Bintang adalah alumnus pascasarjana sosiologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Sumber Referensi:

-B. Herry Priyono. 2002. “Anthony Giddens Suatu Pengantar”. Jakarta. Penerbit: Gramedia bekerjasama dengan Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
-Bernard Raho,SVD. 2007. “Teori Sosiologi Modern”. Jakarta. Penerbit: Prestasi Pustaka.
-George Ritzer dan Douglas J. Goodman. 2009. “Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern”. Yogyakarta. Penerbit: Kreasi Wacana.
-Prof. Dr. Sunyoto Usman. 2004. “Sosiologi, Teori, dan Metodologi”. Yogyakarta. Penerbit: CIRED (Center for Indonesian Research and Development).
-Tim Sosiologi. 2002. “Panduan Belajar Sosiologi”. Jakarta. Penerbit: Yudhistira.

Karya Tulis Ilmiah (Tesis):
-Nur Bintang. 2011. “Peran Kelompok ‘Bunga Seroja’ dalam Sasaran Program Penanggulangan HIV/AIDS di Pasar Kembang, Yogyakarta”. Tesis. Program Pascasarjana Ilmu Sosiologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Senin, 23 Juli 2012

“FOUCAULT: HISTOIRE DE LA SEXUALITE"



(Sejarah Seksualitas)

Sosiolog Post-Strukturalis 'Michel Foucault'


Ditulis oleh: Nur Bintang*

Terus terang saya sebenarnya adalah pengagum pemikiran “gila” dari sosiolog besar Perancis, pemikir mahzab Post-Strukturalis/Post-Modern abad 20 yakni Michel Foucault (1926-1984) seorang ilmuwan sosial, dosen profesor yang mengajar di University of California, Berkeley (Amerika Serikat). Why? Mengapa saya harus bilang “gila”? karena pemikiran Michel Foucault sudah sangat jauh melampaui pemikiran para ilmuwan social modern zaman ini terlepas dari sisi privasi kehidupannya beliau yang cukup kontroversial sebagai seorang gay/homoseksual yang meninggal akibat tertular penyakit HIV/AIDS yang cukup lama dideritanya. Foucault mempelajari semua disiplin ilmu pengetahuan dari filsafat, sejarah, kedokteran, psikiatri, sastra, bahasa, sosiologi, politik sehingga sangat sulit menspesialisasikan keahlian Foucault hingga sampai saat ini dalam ranah kajian ilmu pengetahuan. Berbicara mengenai sejarah seksualitas karya Foucault maka saya pasti tidak melewatkan dari buku bacaan wajib karya Michel Foucault yang sudah diterjemahkan dengan sangat baik dari bahasa Perancis ke dalam bahasa Indonesia yang berjudul Ingin Tahu: Sejarah Seksualitas terbitan Yayasan Obor Indonesia bekerjasama dengan FIB Universitas Indonesia. Foucault dalam ranah dunia akademisnya memang tidak terlepas dari pengaruh pemikiran filsuf Jerman “Sang Pembunuh Tuhan” yakni Friedrich Nietzsche dan pengaruh pemikiran filsafat mahzab strukturalisme mengenai studi linguistik (bahasa) yang berasal dari pemikiran Ferdinand Saussure dan antropolog Claude Levi-Strauss hingga Foucault sendiri melakukan konstruksi baru dan revisi terhadap mahzab Strukturalisme hingga melahirkan mahzab baru dalam kajian filsafat yakni mahzab Post-Strukturalisme. Foucault bisa dibilang sangat ekstrem dalam setiap melakukan studi analisisnya maka Foucault akan selalu melibatkan dirinya dalam kajian fenomena social yang ditelitinya itu dari persoalan homoseksualitas, seksualitas, hingga mengenai studi kegilaan. Sebelum Foucault berbicara mengenai kegilaan, lahirnya klinik, panoptikon dalam sel penjara, relasi kekuasaan, arkeologi ilmu pengetahuan, hingga masalah seksualitas maka Foucault berpikir terlebih dahulu secara liar dan bebas melakukan analisisnya melalui studi sejarah dahulu.. ya sejarah… karena sejarahlah menurut Foucault yang telah menceritakan, menjelaskan, dan membentuk etika dan peradaban manusia hingga sampai saat ini. Foucault tidak berhenti pada pemahaman sejarah disitu saja tetapi juga melihat bagaimana pola relasi kekuasaan dalam sejarah (history) itu terbentuk dan mengkaji siapa aktor-aktor yang terlibat di dalam hierarkhi kekuasaan tersebut. Bukankan ada pameo yang mengatakan “Sejarah tidak ditulis oleh seorang pahlawan melainkan ditulis oleh seorang pemenang?”. Sejarah Seksualitas adalah sekelumit pemikiran Foucault dalam pemahamannya mengenai wacana seksualitas.

 Strata sosial memiliki simbol kekuasaan terhadap makna seksualitas

Puritanisme Victorian
Michel Foucault menganggap ‘seks’ sebagai bagian ciri manusia sebagai makhluk yang berhasrat (the desiring object). Seks merupakan kebutuhan pokok manusia yang seharusnya mendapat tempat dan penghormatan yang tertinggi. Seks ketika hidup pada zaman peradaban Yunani kuno mempunyai kedudukan yang sejajar dengan filsafat, ekonomi, serta kesehatan namun keadaan itu berbalik dan sangat kontras ketika zaman pemerintahan Ratu Victoria berkuasa pada era masa transisi abad kegelapan menuju tahap masa Renaissance di Eropa (abad 17) yang disertai dominasi kekuasaan absolut gereja yang membabi buta maka setiap bentuk ritual seks termasuk onanisme dan heteroseksual yang ditemukan pada zaman itu dianggap terlarang, tabu, dosa, dan tidak layak. Seks dianggap sebagai kajian ruang privat bukan bagian dari ruang publik tetapi anehnya para penguasa ketika itu memanfaatkan wacana “seks” untuk mengatur ruang privat masyarakatnya dan dilakukan administrasi untuk mengatur hal tersebut ke dalam undang-undang yang disahkan oleh pihak otoritas penguasa zaman itu. Ketika zaman itu semua orang dilarang berbicara, menonton, mempelajari hal apapun dari seksualitas. Masyarakat Eropa hidup dalam kondisi tertindas ketika hasrat-hasrat seks diatur sangat ketat dan represif sebegitu rupa. Zaman Victoria maka “seks” tidak hanya diadili melainkan juga untuk diatur. Seks harus diatur dan dikelola agar masyarakatnya terhindar dari dosa (tidak menyimpang) menurut ajaran dogma puritan keagamaan yang berlaku di Eropa kala itu. Lahirnya lembaga-lembaga sosial yang dibentuk oleh pihak-pihak otoritas di zaman itu yang bertugas untuk mengatur semua praktik kegiatan seksual di Eropa dan menangkap serta menghukum seberat-beratnya para pelaku seksual yang apabila ketahuan melanggar dogma agama. Wacana “seks” menurut Foucault digunakan untuk menertibkan dan mengatur perilaku masyarakat Eropa zaman abad pertengahan. Foucault menelaah lebih jauh jika lahirnya lembaga-lembaga sosial ini tidak terlepas dari motif kepentingan pihak otoritas (penguasa) saat itu yang berkaitan masalah politik dan ekonomi sebagai bagian “praktik pengendalian kelahiran” untuk melanggengkan kekuasaan. Praktik seksualitas yang sebenarnya menjadi daerah otonom individu seseorang telah tercabut hak kebebasannya dengan adanya intervensi negara yang mengatur fungsi dari organ genital warga negaranya tersebut atau dengan kata lain penafsiran saya terhadap pemikiran Foucault bahwa penis dan vagina milik masing-masing dari warga negara seolah-olah menjadi milik negara sehingga kenikmatan seksual masing-masing individu tidak akan bisa mencapai orgasme bahkan hilang untuk merasakan dan menikmati praktik seks ketika harus ada pihak-pihak luar yang melakukan kontrol pengawasan ketat sebagai perwakilan pihak otoritas yang berkuasa. Foucault menganggap bahwa masyarakat Victorian adalah wujud masyarakat yang munafik yang telah menindas peradaban. Masyarakat yang sebenarnya membutuhkan dan haus akan fantasi “seks” tetapi dalam praktiknya justru berlaku represif dan menindas “seks” itu sendiri atas nama dogma agama seakan-akan dengan mudah mengatur tubuh individu manusia. Distribusi kekuasaan dari penguasa diberikan kepada lembaga-lembaga social untuk mengendalikan insting naluri manusia itu sendiri yakni kebutuhan akan seks-nya. Anehnya, Foucault dalam pembahasan karyanya mengenai sejarah seksualitas, tidak pernah membahas mengenai masalah kelaki-lakian manusia. Foucault memberi analisa bahwa semua lembaga-lembaga social (lembaga sensor, lembaga pemasyarakatan dsb) yang ada di Eropa saat zaman Victorian dengan sangat leluasa mengatur seks warga negaranya yang seharusnya ‘seks’ itu sendiri menjadi daerah otonomi privat bagi warga negaranya sebenarnya tidak lain adalah wujud praktik kekuasaan (otoritas) saat itu dalam mengatur jumlah penduduk dan menekan tindak kriminalitas pelanggar peraturan yang dibuat oleh penguasa setempat tanpa terlepas dari wacana seksualitas.

Scientia Sexualis
Foucault menganggap bahwa manusia di Barat di era zaman Victorian (abad 17-18) menjadi binatang pengaku. Pengakuan sendiri sebenarnya digunakan untuk membebaskan diri dari rasa bersalah kepada pihak otoritas yang memiliki kekuasaan merujuk terhadap “pangakuan dosa” sebagai bagian dogma agama yang bersifat absolut dan berlaku waktu itu yang dimana kebenarannya sudah dijamin pihak otoritas penguasa. Ilmu pengetahuan berperan dalam pengakuan. Pengakuan identik dengan pengetahuan ilmu klinis untuk berbicara melaui interogasi, kuesioner, bahkan hypnosis untuk mengungkapkan kejadian-kejadian di masa lalu yang dialami individu manusia dan masyarakat di Eropa kala itu. Menurut pengamatan saya tanpa  terlepas dari pemahaman Foucault bahwa praktik pengakuan dosa pada masyarakat Eropa kala itu yang telah menjadi perkembangan metode klinis pada abad 19 dalam perkembangan cabang filsafat fenomenologi dan psikoanalisis dalam kajian ilmu psikiatri. Foucault sendiri juga menganggap ritus pengakuan dosa yang berlaku pada masyarakat Victorian Eropa sebagai prosedur pengamatan yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Seks yang bersifat tersembunyi dalam setiap diri individu manusia harus dapat dikeluarkan melalui ritus pengakuan dosa melalui bimbingan rohani. Ritus tersebut lambat laun terlepas dari sakramen pengakuan dosa bergeser ke arah pendidikan, ilmu kedokteran, dan ilmu psikiatri. Dalam hal ini Michel Foucault melakukan analisa terhadap ritus praktek pengakuan dosa dan berpendapat bahwa pengakuan dosa menjadi hal ilmiah yang digunakan ilmu pengetahuan untuk mengetahui masalah seksualitas.

Sistem Seksualitas
Kekuasaan berhak menentukan hukum mengenai seks melalui wacana “halal” atau “haram”. Penguasaan seks dilakukan melalui tindak wacana (bahasa) dalam wujud aturan-aturan yuridis yang berkaitan dengan hukuman dan larangan agar memperoleh kepatuhan. Hukum digunakan sebagai senjata sosial oleh para raja-raja di dalam sistem negara monarkhi untuk mengamankan jalannya kekuasaan. Foucault berusaha membangun analitika melepaskan citra tentang kekuasaan yang tidak lagi memfokuskan hukum sebagai tanda kodenya dengan melakukan pengamatan lebih dekat kepada seluruh aspek bahan-bahan yang menjadi bagian sejarah (historis) itu sendiri. Foucault menganggap bahwa kekuasaan itu hadir dan ada dimana-mana dan beranggapan bahwa kekuasaan adalah nama yang diberikan kepada suatu situasi strategis yang rumit dalam masyarakat tertentu. Penolakan terhadap kekuasaan  itu hal yang wajar terjadi menurut Foucault dan menganggap setiap praktek kekuasaan akan menimbulkan pertentangan murni yang dilakukan kaum pemberontak revolusioner yang ingin melakukan “pembebasan” dan “perubahan” pada era zamannya. Setiap pemberontakan akan selalu tetap hadir di dalam lingkaran kekuasaan. Sekali lagi Foucault mengambil kesimpulan wacana otoritas penguasa dan ilmu pengetahuan saling berkaitan dengan menganggap seks tidak lain hanyalah peraturan dan larangan yang dibuat oleh kelas-kelas yang memiliki dominasi kekuasaan (disiplin, bio-politik pengendalian manusia). Ini adalah salah satu cara strategi bangsawan untuk mengokohkan kasta dan keturunannya dengan menganggap darah biru kebangsawanannya adalah bagian istimewa dari makna seksnya. Dengan demikian, Michel Foucault beranggapan jika seksualitas bukan persoalan tanda atau simbol melainkan ialah tujuan dan sasaran yang sesungguhnya.

*Nur Bintang adalah alumnus pascasarjana sosiologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.



Sumber Referensi:

-Lydia Alix Fillingham. (2001). “Foucault Untuk Pemula”. Terjemahan: A. Widyamartaya. Yogyakarta. Penerbit: Kanisius.
-Michel Foucault. (1976). “Ingin Tahu: Sejarah Seksualitas”. Jakarta. Penerbit: Yayasan Obor Indonesia bekerja sama dengan FIB Universitas Indonesia.
-A.Sudiarja, “Panseksualisme: Antara Kewajaran dan Kepanikan”. Basis. Seks Membuat Revolusi?. Edisi no. 09-10, Tahun ke-55, September-Oktober 2006.

Rabu, 18 Juli 2012

"THE HISTORY OF NEW-LEFT"



(Sejarah Kiri-Baru)

Ditulis oleh: Nur Bintang*


Gerakan “Kiri Baru” atau yang terkenal dengan “New Left” cukup terkenal luas di era zaman Perang Dingin antara Amerika Serikat yang didukung blok Negara-negara Eropa Barat melawan Uni Soviet yang didukung blok Negara-negara Eropa Timur. Era tahun 1960-1970 an merupakan puncak dari gerakan ini. Amerika Serikat mengusung idiologi kapitalisme sebagai panglima berusaha mati-matian membendung pengaruh idiologi sosialisme-komunisme yang dipelopori Uni Soviet di dunia terutama ketika terjadi perebutan kekuasaan pengaruh di kawasan Asia Tenggara oleh kedua Negara adidaya tersebut sebagai negara pemenang Perang Dunia II yang berhasil mengalahkan Nazi-Jerman. Lahirnya gerakan kiri baru tidak terlepas dari pengaruh budaya popular (pop culture) yang terjadi saat itu di Amerika bersamaan munculnya gerakan-gerakan flower generation, hippies yang melakukan budaya tanding (counter culture). New Left merupakan gerakan yang dipelopori oleh mahasiswa dan para aktivis social berhaluan Marxis saat itu di Amerika Serikat yang terkenal dengan sebutan SDS (Student for a Democratic Society). Para aktivis kiri baru (New Left) merasa tidak puas dengan idiologi Marxisme yang berkembang saat itu yang dianggap melahirkan kepemimpinan diktaktor totalitarian yang menindas dan menumpahkan darah rakyat atas nama revolusi kaum buruh pabrik industri di negara-negara penganut sosialisme-komunisme serta berusaha mengkritik sekaligus meluruskan teori Karl Marx yang dianggap sudah usang (ketinggalan zaman) dengan mengusung pemahaman Neo Marxis yang diadopsi dari “teori kritis” pemikiran para sosiolog, filosof, kritikus budaya Yahudi-Jerman, anggota Institute for Social Research yang berimigrasi dari Jerman ke New York (Amerika Serikat) pada tahun 1933 untuk menghindari terror rasisme anti-semit yang dilakukan pemimpin fasis Jerman yakni Adolf Hitler waktu itu. Ilmuwan social Jerman yang melarikan diri dari Jerman ini kemudian menamakan dirinya “Mahzab Frankfurt” yang kajiannya lebih luas tidak hanya membahas soal klasik hubungan krusial antara buruh pabrik industri dengan pemilik modal melainkan juga membahas persoalan media massa, budaya, kesetaraan gender, kesetaraan ras, orientasi seksual yang hal ini luput dan tidak dibahas di dalam teori-teori Marxisme-Tradisional. Antonio Gramschi seorang Neo Marxis asal Italia selalu diasosiasikan sebagai wujud kebangkitan “Kiri Baru” atau “Marxisme Modern” yang dimana pemikiran Gramschi sangat berpengaruh di dalam tradisi pemikiran Mahzab Frankfurt.


Antonio Gramschi (Original Thinker)


Para aktivis kiri baru (New Left) yang didukung seluruh universitas dan berbagai perguruan tinggi di Amerika Serikat kemudian terjun langsung ke berbagai organisasi sosial dan rutin berdemonstrasi merubah diri sebagai “intelektual organik” mengkritisi habis-habisan paham Marxisme Tradisional terutama Marxisme Orthodox (Leninisme dan Stalinisme) dan juga menentang berbagai kebijakan pemerintah Amerika Serikat mengenai persoalan rasisme, kesetaraan gender, orientasi seksual, kemiskinan, hak-hak sipil, dan pengiriman tentara sukarelawan perang (wajib militer) Amerika Serikat ke negara Vietnam di Asia Tenggara dengan dalih wacana membendung pengaruh komunisme. Herbert Marcuse, filsuf dan ilmuwan social Jerman dari Mahzab Frankfurt yang dulu sempat menjadi guru besar di Universitas Harvard waktu itu muncul sebagai tokoh ikon dari gerakan kiri baru di kalangan para mahasiswa di Amerika Serikat. Budaya konsumerisme Barat dan Kapitalisme telah menjerumuskan masyarakat Amerika kala itu ke dalam lembah hidup hedonis dan individualisme akut. Masyarakat Amerika banyak yang hanya mementingkan kepentingan diri sendiri dengan mengabaikan solidaritas sosial yang telah ada sehingga berbagai persoalan diskriminasi bermunculan melanda di Amerika Serikat. Gerakan hippie sebagai wujud gerakan budaya tanding (counter culture) atas budaya dominan saat itu kemudian melakukan gaya hidup nomaden sebagai bentuk ekspresi sosial subkultur masyarakat dari para pekerja kelas menengah di Amerika yang bergaya hidup bebas, merdeka, alcoholic, dan bersikap anti-diskriminasi dan anti-dominasi terhadap siapapun. 


Demonstrasi 'Flower Power' menentang Perang Vietnam di Washington, Amerika Serikat tahun 1967


Informasi mengenai gerakan hippie di Amerika Serikat banyak saya dapat dari membaca buku yang berjudul "Generasi MTV" karya Dadang Rusbiantoro terbitan Jalasutra, Yogyakarta tahun 2008 dan menonton film Hollywood tahun 1994 yang dibintangi aktor kawakan Tom Hanks yang berjudul "Forrest Gump" terutama berkaitan dengan gerakan new left yang melakukan strategi kebudayaan terhadap youth culture sebagai motor gerakan pemuda untuk menentang diskriminasi rasial (Black Liberation), memperjuangkan hak-hak sipil, menentang diskriminasi orientasi seksual (gay and lesbi liberation), menentang perang nuklir, menentang wajib militer perang Vietnam, dan berbagai penyakit social yang sedang melanda Amerika kala itu. Para mahasiswa yang berasal dari berbagai universitas-universitas di Amerika Serikat kala itu kabur dari rumah meninggalkan orang tua mereka, membolos kuliah untuk berkumpul bersatu memberontak melawan hegemoni negara, membelot dengan tidak patuh mengikuti perekrutan wajib militer ke Vietnam yang diadakan di semua lingkungan universitas, dan mengadakan rapat akbar memprotes kebijakan pemerintah Amerika Serikat di Central Park, New York bahkan sebagian demonstran mahasiswa menduduki beberapa universitas terkemuka di Amerika Serikat seperti Universitas Berkeley dan Universitas Columbia, sambil memprotes ketidakadilan social, memprotes diskriminasi ras dan menuntut untuk mengusut tuntas tragedi terbunuhnya tokoh aktivis afro-america Martin Luther King, dan menghujat “pelacuran akademik” yang dilakukan para akademisi/dosen di lingkungan universitas-universitas di Amerika yang dituduh telah melakukan penelitian dengan hasil riset sesuai permintaan politik pemerintah Amerika Serikat dengan tujuan strategi pemerintah Amerika untuk menggiring opini public rakyat di Amerika Serikat walaupun para mahasiswa dihadapkan oleh serbuan blokade aparat keamanan hingga terjadi bentrokan yang tak terhindarkan. Peristiwa di Amerika Serikat yang memanas kala itu menginspirasi John Lennon (vocalist) dan Paul Mc Cartney (bassist) bersama band-nya “The Beatles” yang sangat fenomenal di dunia saat itu untuk membuat lagu-lagu protes perdamaian yang berjudul ”Revolution”, “Hit The Rolling Stones”, “Street Fighting Man” dan lagu karya John Lennon sendiri yang berjudul “Give Peace a Chance” sebagai wujud dukungan terhadap gerakan hippie, flower generation (mengusung gaya hidup bebas, memberontak) dan gerakan mahasiswa intelektual kampus yakni gerakan kiri baru (New Left) di Amerika Serikat saat itu. John Lennon dan kekasihnya asal Jepang yakni Yoko Ono bahkan melakukan protes turun ke jalan-jalan bersama para aktivis sosial sambil meneriakkan yel-yel anti perang Vietnam dan menuliskan sebuah slogan “war is over!


'John Lennon' (frontman The Beatles Band) bersama kekasihnya asal Jepang, 'Yoko Ono' menentang kebijakan Amerika Serikat mengenai Perang Vietnam



Gerakan 'New Left' memperjuangkan perdamaian serta persamaan harkat, martabat, derajat ras yang sama di Amerika Serikat pada tahun 1960-an



Film "Forrest Gump" tahun 1994 yang dibintangi aktor Tom Hanks berhasil meraih Academy Awards karena menceritakan gerakan hippie di Amerika Serikat dan protes terhadap Perang Vietnam pada tahun 1960-an




Foto gambar sosiolog Herbert Marcuse, “Father of New Left :



Istilah “New Left” berasal dari tulisan sosiolog Amerika C. Wright Mills pada tahun 1960 yang merujuk pada gerakan aktivis marxis yang merevisi dan meluruskan pemikiran Marx tradisional. Herbert Marcuse, tokoh sosiolog Yahudi-Jerman anggota Mahzab Frankfurt dicetuskan sebagai “Father of New Left” karena ikut memimpin, turun ke jalan, dan terjun langsung bersama mahasiswa-mahasiswa berbagai perguruan tinggi di Amerika Serikat untuk melakukan protes sosial dan menentang segala bentuk diskriminasi yang dianggap sebagai bagian kebijakan politik yang ditempuh oleh pemerintah Amerika Serikat. Marcuse juga mengkritik penggunaan media massa baik televisi maupun koran oleh Pemerintah Serikat dalam melakukan kampanye propaganda untuk menentang idiologi sosialisme-komunisme dengan membujuk para pemuda Amerika untuk ikut serta bergabung dalam wajib militer dan melancarkan perang terhadap  negara Vietnam yang saat itu dianggap sebagai basis komunisme di Asia Tenggara. Reformasi social yang dilakukan gerakan kiri baru atau new left berusaha melakukan reformasi secara lebih beradab menghindari revolusi agar tidak terjadi pertumpahan darah yang selama ini identik dengan jalan revolusi yang dilakukan oleh kaum Marxis tradisional. Hal ini memang bagian dari strategi para aktivis gerakan kiri baru dengan melakukan gerakan protes yang dimulai dari lingkungan universitas sebagai agen perubahan social dan mendistribusikan pemikiran gerakan protes tersebut ke se-antero Amerika. New Left  kehilangan pamornya setelah berakhirnya Perang Vietnam dan seiring membaiknya stabilitas moneter ekonomi Amerika pasca Perang Vietnam di tahun 1970-an. Tekanan politik dan tekanan sosial dalam negeri di Amerika Serikat untuk menentang Perang Vietnam yang dipelopori para kaum hippie, flower generation, para mahasiswa, dan aktivis gerakan kiri baru (New Left) di berbagai universitas dan perguruan tinggi Amerika Serikat kala itu telah memaksa Presiden Amerika Serikat, Richard Nixon untuk mengumumkan kesepakatan 'damai' antara Amerika Serikat dengan Vietnam pada tanggal 23 Januari 1973. Hasilnya Amerika Serikat menjadi pihak yang menderita kekalahan dalam Perang Vietnam dengan jatuh korban tentara di kubu Amerika Serikat yang sangat banyak. Gerakan “New Left” ini pada akhirnya terpecah menjadi beberapa bagian dengan muncul gerakan-gerakan baru seperti ada yang mengikuti gerakan new left radikalisme yang diusung Fidel Castro dan Che Guevara dalam revolusi Kuba yang kemudian sangat berpengaruh dalam iklim politik di Amerika Latin hingga dewasa ini seperti neo-sosialisme yang diusung oleh Hugo Chavez dan Teologi Pembebasan yang diusung oleh pendeta Dom H. Camara, serta ajaran "Maoisme" di Tiongkok di bawah kepemimpinan rezim Mao Zedong di Tiongkok dengan melakukan revolusi sosialisme-komunisme yang pada awal sejarah 'revolusi kebudayaan' berusaha untuk menghancurkan dan menangkapi semua kaum intelektual Tiongkok yang masih mempertahankan ajaran filsafat dari konfusius namun ternyata seiring berjalannya waktu usaha Mao Zedong justru sia-sia karena ajaran konfusianisme tidak bisa dilepaskan dari sejarah budaya Tiongkok itu sendiri maka terjadilah perpaduan sosialisme-komunisme Tiongkok bersamaan dengan semangat ajaran neo-konfusianisme yang marak di Tiongkok hingga sampai detik ini dengan tetap memperjuangkan masyarakat berbasis buruh tani, dan beberapa lainnya ada yang melakukan gerakan new left berjuang dengan menyuarakan aspirasi keadilan negara-negara Dunia Ketiga (berkembang) dari eksploitasi dan dominasi yang dilakukan oleh negara-negara industri maju. Kesimpulannya gerakan "New Left" itu sendiri sebenarnya merupakan bagian wujud bentuk dari keresahan moral.[]

----------------------------------------
*Nur Bintang adalah alumnus pascasarjana sosiologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Sumber Referensi:
-Ahimsa Marquez. (2009). “John Lennon: Biografi Singkat 1940-1980”. Yogyakarta. Penerbit: A* Plus Book.
-Dadang Rusbiantoro. (2008). “Generasi MTV”. Yogyakarta. Penerbit: Jalasutra.
-Michael Newman. (2006). “Sosialisme Abad 21: Jalan Alternatif atas Neoliberalisme”. Terjemahan: Eko Prasetyo Dharmawan. Yogyakarta. Penerbit: Resist Book.
-Rupert Woodfin dan Oscar Zarate. (2008). “Marxisme Untuk Pemula”. Yogyakarta. Penerbit: Resist Book.
-Stuart sim dan Borin van loon.  (2008). “Memahami Teori Kritis”. Yogyakarta. Penerbit: Resist Book.

Selasa, 17 Juli 2012

THE POWER OF DOCTOR



(Relasi Kekuasaan antara Dokter dan Pasien)

Ditulis oleh: Nur Bintang*

“Dokter adalah bapak yang bijaksana dan memiliki otoritas”
(Sigmund Schlomo Freud; Filsuf, Psikoanalisis Yahudi-Austria)



Saya sangat senang mengikuti alur cerita film fiksi ilmiah yang menjadi film favorit saya ketika  masih duduk di bangku kuliah dulu di Kota Jogja yakni film Shutter Island sambil saya sedikit coba melakukan dekonstruksi (membongkar) wacana dominan termasuk pengetahuan dan menangkap makna pesan apa yang terkandung di dalam film misteri tersebut sekaligus mencoba melihat dan mencocokkan kondisi fenomena social yang ada pada saat ini  secara nyata. Semoga tulisan saya ini dapat sedikit mencerahkan..!!! Coba kita pahami penggalan petikan dialog dalam film thriller psychological “Shutter Island” produksi Paramount Pictures Present tahun 2010 yang dibintangi aktor kawakan Hollywood ‘Leonardo Dicaprio’ di bawah ini:

Rachel Solando (dokter psikiatri):Orang selalu mengatakan Anda gila dan protes sebaliknya. Membenarkan apa yang mereka katakan. Setelah anda divonis “gila” oleh dokter maka apapun yang anda lakukan disebut ‘bagian dari kegilaan’. Anda protes wajar atau penolakan berlaku ketakutan paranoia.

Daniels (Marshall): Naluri bertahan, mekanisme pertahanan..”



Film Shutter Island

Dialog diatas menunjukkan hubungan relasi kekuasaan dokter terhadap pasien. Tokoh sosiologi Post Strukturalis/Post Modern dari Perancis yaitu Michel Foucault pernah menyatakan bahwa “kekuasaan ada dimana-mana”. Michel Foucault sendiri menyatakan bahwa kita mempunyai pengetahuan tentang kebenaran mutlak dan pengetahuan hanyalah apa yang disimpulkan dan diputuskan benar oleh sekelompok orang. Pengetahuan adalah kekuasaan! Knowledge is Power!. Petikan dialog di atas menunjukkan kekuasaan pengetahuan yang dimiliki dokter psikiatri dalam melakukan psikoanalisa, mengambil kesimpulan klinis, bahkan memvonis pasien yang dianggap gila. Foucault adalah penganut filsafat Nietzschean yang menentang adanya bentuk logosentrisme di dalam ilmu pengetahuan dan tidak mempercayai adanya kebenaran yang absolut. Foucault sangat benci istilah “intelektual” yang menganggap dirinya sebagai otoritas dalam menentukan segala sesuatu hal dengan menganggap keilmiahan dianggap obyektif dalam menilai suatu subyek padahal vonis (keputusan) dari orang yang memiliki pengetahuan sebenarnya adalah bagian dari strategi kekuasaan.

Kita amati secara seksama dalam hal ini adalah saat seorang sosiolog yang mengkaji fenomena social mengenai sosiologi kedokteran/sosiologi kesehatan dengan melakukan observasi berkunjung ke sebuah Rumah Sakit Jiwa (RSJ) yang ada di dekat kotanya lalu sosiolog itu mengamati dengan seksama apa yang ada di sekeliling rumah sakit tersebut mulai dari interaksi social diantara dokter, pasien, dan perawat. Fokus pertama yang dilihat adalah keberadaan pasien itu sendiri di tengah lingkungan social rumah sakit jiwa sebagai pihak yang terkena dominasi kekuasaan dari pihak otoritas di rumah sakit jiwa. Bila kita menganggap bahwa pasien rumah sakit jiwa semuanya gila, menderita skizofrenia, dan mengalami ‘mental disorder’ akut seperti apa yang diwacanakan dokter psikiatri berdasarkan hasil psikoanalisa dan kesimpulan klinis dari mereka secara tidak langsung kita sudah bersikap apriori, men-judge (menghakimi), dan bahkan melakukan dominasi secara tidak langsung terhadap pasien yang divonis mengalami kegilaan itu. Mungkin saja kita sendiri dianggap sebagai orang yang terlalu awam serta tidak tahu apa-apa bahkan justru dianggap “lebih gila” oleh pasien rumah sakit jiwa tersebut karena belum bisa memahami jalan pikiran kegilaan dari pasien yang divonis ‘gila’ tersebut dari dokter psikiatri.




Kegilaan sebagai wujud dari abnormalitas menurut Foucault adalah bentuk konkret penolakan terhadap rasionalitas atau kekuasaan ilmu pengetahuan atau menurut dalam pandangan saya bahwa kegilaan sebenarnya adalah bentuk rasionalitas alami yang muncul ketika melakukan perlawanan dominasi rasionalitas kebenaran absolut yang diyakini secara universal (menyeluruh) oleh kebanyakan orang (dengan mengikuti tradisi akar filsafat dari Nietzsche). Dokter psikiatri yang memiliki kekuasaan ilmu pengetahuan di bidang ilmu kedokteran itu lalu berusaha mendisiplinkan pasien-pasien yang ada di rumah sakit jiwa tersebut. Bagaimanakah bentuk-bentuk disiplin yang dilakukan itu? Disiplin sebagai bentuk bagian praktek dari kekuasaan yang dalam kasus (case) ini berada di rumah sakit jiwa dengan melakukan pengawasan kontrol terhadap pasien dan mengeluarkan aturan, sanksi, semua kebijakan di rumah sakit. Kedokteran klasik yang dulu mengkaji anatomi tubuh secara ilmiah kini bertahap merubah wujud menjadi kedokteran social melalui bentuk pengawasan di rumah sakit. Pengawasan dapat dilakukan dari uniform (pakaian seragam). Adanya perbedaan pakaian seragam yang dikenakan dokter, perawat, dan pasien telah menunjukkan bentuk distribusi kekuasaan di dalam rumah sakit. Keberadaan pasien sebagai obyek dari pemegang kebijakan otoritas di rumah sakit perlu didisiplinkan dengan memberinya pakaian seragam khusus untuk mempermudah pengawasan (control social). Pasien di dalam rumah sakit jiwa yang dianggap melanggar aturan kebijakan dari rumah sakit dengan melakukan perlawanan biasanya akan menerima hukuman dengan ditempatkan pada ruangan khusus, terpisah dari bangsal-bangsal rumah sakit dari keberadaan banyak pasien lain karena dianggap ‘membahayakan’. Namun tidak selamanya kekuasaan akan berjalan langgeng selamanya. Foucault  berpendapat bahwa di dalam setiap kekuasaan pasti akan lahir pemberontakan/pembebasan untuk melawan lingkaran kekuasaan itu sendiri dan segala praktik-praktik yang menciptakan norma kemudian direproduksi dan dilegitimasi oleh dokter (sebagai bagian dari bentuk profesi yang paham dan mendalami kajian bidang ilmu psikiatri dan biomedis pada bidang kedokteran). Kekuasaan berubah menjadi pengetahuan tetapi malah kemudian pengetahuan tersebut pada akhirnya melahirkan kekuasaan atau mungkin juga seragam ‘jas putih’ yang digunakan para dokter selama ini telah melenceng kegunaannya dan berubah sebagai alat perlindungan ego? Saya berharap semoga hal ini tidak terjadi karena masyarakat social saat ini masih percaya bahwa profesi dokter adalah sebuah profesi yang sangat mulia dan terhormat. Apakah anda yakin? Ilmu-ilmu kedokteran dianggap sebagai bidang kajian ilmu yang sangat sukar untuk dipelajari dan dipahami. Benarkah demikian? Pendapat Ivan Illich dalam bukunya “Medical Nemesis” dengan tidak terlepas dari pemahaman relasi kekuasaan antara dokter dan pasien dari Michel Foucault mungkin dapat menjadi sebuah bahan renungan bersama, kritik sosial, atau mungkin jawaban yang isinya mengajak orang-orang awam untuk berani merebut hak sehatnya dari kungkungan kaum dokter. Orang-orang awam yang dianggap tidak memiliki pengetahuan kesehatan seperti dokter telah kehilangan hak atas kesehatannya. Orang dinyatakan ‘sehat’ atau ‘sakit’ harus berdasarkan kesimpulan klinis dari dokter dan akhirnya terjadi hegemoni kekuasaan tentang makna sehat dari dokter. Kekuasaan dari para dokterlah yang dapat menentukan orang itu ‘sehat’ atau ‘sakit’; “waras” atau “tidak waras”. Namun rasanya terdengar sangat utopis (tidak realistis) jika orang-orang awam tersebut mampu merebut hak sehat itu sendiri tanpa mau belajar dan memahami pengetahuan kesehatan.

Fenomena social di dalam masyarakat seiring berjalannya waktu akhirnya terjawabkan dengan maraknya kehadiran tabib, shingshe, teraphist, dukun tiban yang dianggap memiliki mitos kesaktian atau daya linuwih/supranatural tinggi di dalam mengobati orang sakit. Kehadiran mereka di tengah-tengah masyarakat dianggap memiliki pengetahuan akan kesehatan secara alternative dan non-formal walaupun terkadang sulit untuk diterima secara logika dan sangat berbeda dari lulusan mahasiswa kedokteran dari sebuah universitas yang memiliki ijazah profesi dokter. Bagi masyarakat awam selama ini secara tidak langsung kini mulai menyadari bahwa kesimpulan klinis yang harus dipercaya tidak selalu berasal dari hasil klinis analisa dokter saja melainkan orang-orang yang memiliki daya pengetahuan akan kesehatan walaupun sosok orang tersebut bukanlah seorang dokter. Kiranya benar pendapat Foucault bahwa kekuasaan itu tersebar dan ada dimana-mana dan wujud kekuasaan adalah berasal dari ilmu pengetahuan itu sendiri. Kondisi budaya lingkungan social masyarakat baik yang berasal dari lingkungan masyarakat modern ataupun lingkungan masyarakat tradisional barang tentu akan sangat berpengaruh terhadap nalar/pola pikirnya. Sekarang tinggal anda pilih yang mana? melawan rasionalitas absolut dominasi kekuasaan dokter psikiatri dengan menjadi orang gila? melawan hegemoni kekuasaan dokter mengenai hak sehat kita dengan berkunjung kepada pengobatan alternative? atau malah tetap setia bertahan menjadi pasien dari bagian praktik dokter? Pilihan dijawab hanya cukup di dalam hati anda.. Anda sendiri yang berhak menentukan pilihan rasionalnya… []
*Nur Bintang adalah alumnus pascasarjana sosiologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Sumber Referensi:
-Andre Syahreza. (2006). “The Innocent Rebel: Sisi Aneh Orang Jakarta”. Jakarta. Penerbit: Gagas Media.
-Lydia Alix Fillingham. (2001). “Foucault untuk Pemula”. Terjemahan dari: A. Widyamartaya. Yogyakarta. Penerbit: Kanisius.
-Edisi Foucault: Konfrontasi Foucault dan Marx. Basis edisi No.01-02, Tahun ke 51, Januari-Februari 2002.