Artikel

Senin, 23 Juli 2012

“FOUCAULT: HISTOIRE DE LA SEXUALITE"



(Sejarah Seksualitas)

Sosiolog Post-Strukturalis 'Michel Foucault'


Ditulis oleh: Nur Bintang*

Terus terang saya sebenarnya adalah pengagum pemikiran “gila” dari sosiolog besar Perancis, pemikir mahzab Post-Strukturalis/Post-Modern abad 20 yakni Michel Foucault (1926-1984) seorang ilmuwan sosial, dosen profesor yang mengajar di University of California, Berkeley (Amerika Serikat). Why? Mengapa saya harus bilang “gila”? karena pemikiran Michel Foucault sudah sangat jauh melampaui pemikiran para ilmuwan social modern zaman ini terlepas dari sisi privasi kehidupannya beliau yang cukup kontroversial sebagai seorang gay/homoseksual yang meninggal akibat tertular penyakit HIV/AIDS yang cukup lama dideritanya. Foucault mempelajari semua disiplin ilmu pengetahuan dari filsafat, sejarah, kedokteran, psikiatri, sastra, bahasa, sosiologi, politik sehingga sangat sulit menspesialisasikan keahlian Foucault hingga sampai saat ini dalam ranah kajian ilmu pengetahuan. Berbicara mengenai sejarah seksualitas karya Foucault maka saya pasti tidak melewatkan dari buku bacaan wajib karya Michel Foucault yang sudah diterjemahkan dengan sangat baik dari bahasa Perancis ke dalam bahasa Indonesia yang berjudul Ingin Tahu: Sejarah Seksualitas terbitan Yayasan Obor Indonesia bekerjasama dengan FIB Universitas Indonesia. Foucault dalam ranah dunia akademisnya memang tidak terlepas dari pengaruh pemikiran filsuf Jerman “Sang Pembunuh Tuhan” yakni Friedrich Nietzsche dan pengaruh pemikiran filsafat mahzab strukturalisme mengenai studi linguistik (bahasa) yang berasal dari pemikiran Ferdinand Saussure dan antropolog Claude Levi-Strauss hingga Foucault sendiri melakukan konstruksi baru dan revisi terhadap mahzab Strukturalisme hingga melahirkan mahzab baru dalam kajian filsafat yakni mahzab Post-Strukturalisme. Foucault bisa dibilang sangat ekstrem dalam setiap melakukan studi analisisnya maka Foucault akan selalu melibatkan dirinya dalam kajian fenomena social yang ditelitinya itu dari persoalan homoseksualitas, seksualitas, hingga mengenai studi kegilaan. Sebelum Foucault berbicara mengenai kegilaan, lahirnya klinik, panoptikon dalam sel penjara, relasi kekuasaan, arkeologi ilmu pengetahuan, hingga masalah seksualitas maka Foucault berpikir terlebih dahulu secara liar dan bebas melakukan analisisnya melalui studi sejarah dahulu.. ya sejarah… karena sejarahlah menurut Foucault yang telah menceritakan, menjelaskan, dan membentuk etika dan peradaban manusia hingga sampai saat ini. Foucault tidak berhenti pada pemahaman sejarah disitu saja tetapi juga melihat bagaimana pola relasi kekuasaan dalam sejarah (history) itu terbentuk dan mengkaji siapa aktor-aktor yang terlibat di dalam hierarkhi kekuasaan tersebut. Bukankan ada pameo yang mengatakan “Sejarah tidak ditulis oleh seorang pahlawan melainkan ditulis oleh seorang pemenang?”. Sejarah Seksualitas adalah sekelumit pemikiran Foucault dalam pemahamannya mengenai wacana seksualitas.

 Strata sosial memiliki simbol kekuasaan terhadap makna seksualitas

Puritanisme Victorian
Michel Foucault menganggap ‘seks’ sebagai bagian ciri manusia sebagai makhluk yang berhasrat (the desiring object). Seks merupakan kebutuhan pokok manusia yang seharusnya mendapat tempat dan penghormatan yang tertinggi. Seks ketika hidup pada zaman peradaban Yunani kuno mempunyai kedudukan yang sejajar dengan filsafat, ekonomi, serta kesehatan namun keadaan itu berbalik dan sangat kontras ketika zaman pemerintahan Ratu Victoria berkuasa pada era masa transisi abad kegelapan menuju tahap masa Renaissance di Eropa (abad 17) yang disertai dominasi kekuasaan absolut gereja yang membabi buta maka setiap bentuk ritual seks termasuk onanisme dan heteroseksual yang ditemukan pada zaman itu dianggap terlarang, tabu, dosa, dan tidak layak. Seks dianggap sebagai kajian ruang privat bukan bagian dari ruang publik tetapi anehnya para penguasa ketika itu memanfaatkan wacana “seks” untuk mengatur ruang privat masyarakatnya dan dilakukan administrasi untuk mengatur hal tersebut ke dalam undang-undang yang disahkan oleh pihak otoritas penguasa zaman itu. Ketika zaman itu semua orang dilarang berbicara, menonton, mempelajari hal apapun dari seksualitas. Masyarakat Eropa hidup dalam kondisi tertindas ketika hasrat-hasrat seks diatur sangat ketat dan represif sebegitu rupa. Zaman Victoria maka “seks” tidak hanya diadili melainkan juga untuk diatur. Seks harus diatur dan dikelola agar masyarakatnya terhindar dari dosa (tidak menyimpang) menurut ajaran dogma puritan keagamaan yang berlaku di Eropa kala itu. Lahirnya lembaga-lembaga sosial yang dibentuk oleh pihak-pihak otoritas di zaman itu yang bertugas untuk mengatur semua praktik kegiatan seksual di Eropa dan menangkap serta menghukum seberat-beratnya para pelaku seksual yang apabila ketahuan melanggar dogma agama. Wacana “seks” menurut Foucault digunakan untuk menertibkan dan mengatur perilaku masyarakat Eropa zaman abad pertengahan. Foucault menelaah lebih jauh jika lahirnya lembaga-lembaga sosial ini tidak terlepas dari motif kepentingan pihak otoritas (penguasa) saat itu yang berkaitan masalah politik dan ekonomi sebagai bagian “praktik pengendalian kelahiran” untuk melanggengkan kekuasaan. Praktik seksualitas yang sebenarnya menjadi daerah otonom individu seseorang telah tercabut hak kebebasannya dengan adanya intervensi negara yang mengatur fungsi dari organ genital warga negaranya tersebut atau dengan kata lain penafsiran saya terhadap pemikiran Foucault bahwa penis dan vagina milik masing-masing dari warga negara seolah-olah menjadi milik negara sehingga kenikmatan seksual masing-masing individu tidak akan bisa mencapai orgasme bahkan hilang untuk merasakan dan menikmati praktik seks ketika harus ada pihak-pihak luar yang melakukan kontrol pengawasan ketat sebagai perwakilan pihak otoritas yang berkuasa. Foucault menganggap bahwa masyarakat Victorian adalah wujud masyarakat yang munafik yang telah menindas peradaban. Masyarakat yang sebenarnya membutuhkan dan haus akan fantasi “seks” tetapi dalam praktiknya justru berlaku represif dan menindas “seks” itu sendiri atas nama dogma agama seakan-akan dengan mudah mengatur tubuh individu manusia. Distribusi kekuasaan dari penguasa diberikan kepada lembaga-lembaga social untuk mengendalikan insting naluri manusia itu sendiri yakni kebutuhan akan seks-nya. Anehnya, Foucault dalam pembahasan karyanya mengenai sejarah seksualitas, tidak pernah membahas mengenai masalah kelaki-lakian manusia. Foucault memberi analisa bahwa semua lembaga-lembaga social (lembaga sensor, lembaga pemasyarakatan dsb) yang ada di Eropa saat zaman Victorian dengan sangat leluasa mengatur seks warga negaranya yang seharusnya ‘seks’ itu sendiri menjadi daerah otonomi privat bagi warga negaranya sebenarnya tidak lain adalah wujud praktik kekuasaan (otoritas) saat itu dalam mengatur jumlah penduduk dan menekan tindak kriminalitas pelanggar peraturan yang dibuat oleh penguasa setempat tanpa terlepas dari wacana seksualitas.

Scientia Sexualis
Foucault menganggap bahwa manusia di Barat di era zaman Victorian (abad 17-18) menjadi binatang pengaku. Pengakuan sendiri sebenarnya digunakan untuk membebaskan diri dari rasa bersalah kepada pihak otoritas yang memiliki kekuasaan merujuk terhadap “pangakuan dosa” sebagai bagian dogma agama yang bersifat absolut dan berlaku waktu itu yang dimana kebenarannya sudah dijamin pihak otoritas penguasa. Ilmu pengetahuan berperan dalam pengakuan. Pengakuan identik dengan pengetahuan ilmu klinis untuk berbicara melaui interogasi, kuesioner, bahkan hypnosis untuk mengungkapkan kejadian-kejadian di masa lalu yang dialami individu manusia dan masyarakat di Eropa kala itu. Menurut pengamatan saya tanpa  terlepas dari pemahaman Foucault bahwa praktik pengakuan dosa pada masyarakat Eropa kala itu yang telah menjadi perkembangan metode klinis pada abad 19 dalam perkembangan cabang filsafat fenomenologi dan psikoanalisis dalam kajian ilmu psikiatri. Foucault sendiri juga menganggap ritus pengakuan dosa yang berlaku pada masyarakat Victorian Eropa sebagai prosedur pengamatan yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Seks yang bersifat tersembunyi dalam setiap diri individu manusia harus dapat dikeluarkan melalui ritus pengakuan dosa melalui bimbingan rohani. Ritus tersebut lambat laun terlepas dari sakramen pengakuan dosa bergeser ke arah pendidikan, ilmu kedokteran, dan ilmu psikiatri. Dalam hal ini Michel Foucault melakukan analisa terhadap ritus praktek pengakuan dosa dan berpendapat bahwa pengakuan dosa menjadi hal ilmiah yang digunakan ilmu pengetahuan untuk mengetahui masalah seksualitas.

Sistem Seksualitas
Kekuasaan berhak menentukan hukum mengenai seks melalui wacana “halal” atau “haram”. Penguasaan seks dilakukan melalui tindak wacana (bahasa) dalam wujud aturan-aturan yuridis yang berkaitan dengan hukuman dan larangan agar memperoleh kepatuhan. Hukum digunakan sebagai senjata sosial oleh para raja-raja di dalam sistem negara monarkhi untuk mengamankan jalannya kekuasaan. Foucault berusaha membangun analitika melepaskan citra tentang kekuasaan yang tidak lagi memfokuskan hukum sebagai tanda kodenya dengan melakukan pengamatan lebih dekat kepada seluruh aspek bahan-bahan yang menjadi bagian sejarah (historis) itu sendiri. Foucault menganggap bahwa kekuasaan itu hadir dan ada dimana-mana dan beranggapan bahwa kekuasaan adalah nama yang diberikan kepada suatu situasi strategis yang rumit dalam masyarakat tertentu. Penolakan terhadap kekuasaan  itu hal yang wajar terjadi menurut Foucault dan menganggap setiap praktek kekuasaan akan menimbulkan pertentangan murni yang dilakukan kaum pemberontak revolusioner yang ingin melakukan “pembebasan” dan “perubahan” pada era zamannya. Setiap pemberontakan akan selalu tetap hadir di dalam lingkaran kekuasaan. Sekali lagi Foucault mengambil kesimpulan wacana otoritas penguasa dan ilmu pengetahuan saling berkaitan dengan menganggap seks tidak lain hanyalah peraturan dan larangan yang dibuat oleh kelas-kelas yang memiliki dominasi kekuasaan (disiplin, bio-politik pengendalian manusia). Ini adalah salah satu cara strategi bangsawan untuk mengokohkan kasta dan keturunannya dengan menganggap darah biru kebangsawanannya adalah bagian istimewa dari makna seksnya. Dengan demikian, Michel Foucault beranggapan jika seksualitas bukan persoalan tanda atau simbol melainkan ialah tujuan dan sasaran yang sesungguhnya.

*Nur Bintang adalah alumnus pascasarjana sosiologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.



Sumber Referensi:

-Lydia Alix Fillingham. (2001). “Foucault Untuk Pemula”. Terjemahan: A. Widyamartaya. Yogyakarta. Penerbit: Kanisius.
-Michel Foucault. (1976). “Ingin Tahu: Sejarah Seksualitas”. Jakarta. Penerbit: Yayasan Obor Indonesia bekerja sama dengan FIB Universitas Indonesia.
-A.Sudiarja, “Panseksualisme: Antara Kewajaran dan Kepanikan”. Basis. Seks Membuat Revolusi?. Edisi no. 09-10, Tahun ke-55, September-Oktober 2006.

3 komentar:

  1. wah...benar sekali. sanagt inspiratif setelah saya membaca tulisan ini. trimksh atas gagasan bagus yang lahir dari pemikir besar.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah terima kasih sudah mampir.. saya juga masih harus banyak belajar lagi dari para tokoh pemikir-pemikir besar.. sukses selalu.. amin...

      Hapus
  2. Assalamu Alaikum wr-wb, perkenalkan nama saya ibu Rosnida zainab asal Kalimantan Timur, saya ingin mempublikasikan KISAH KESUKSESAN saya menjadi seorang PNS. saya ingin berbagi kesuksesan keseluruh pegawai honorer di instansi pemerintahan manapun, saya mengabdikan diri sebagai guru disebuah desa terpencil, dan disini daerah tempat saya mengajar hanya dialiri listrik tenaga surya, saya melakukan ini demi kepentingan anak murid saya yang ingin menggapai cita-cita, Sudah 9 tahun saya jadi tenaga honor belum diangkat jadi PNS Bahkan saya sudah 4 kali mengikuti ujian, dan membayar 70 jt namun hailnya nol uang pun tidak kembali, bahkan saya sempat putus asah, pada suatu hari sekolah tempat saya mengajar mendapat tamu istimewa dari salah seorang pejabat tinggi dari kantor BKN pusat karena saya sendiri mendapat penghargaan pengawai honorer teladan, disinilah awal perkenalan saya dengan beliau, dan secara kebetulan beliau menitipkan nomor hp pribadinya dan 3 bln kemudian saya pun coba menghubungi beliau dan beliau menyuruh saya mengirim berkas saya melalui email, Satu minggu kemudian saya sudah ada panggilan ke jakarta untuk ujian, alhamdulillah berkat bantuan beliau saya pun bisa lulus dan SK saya akhirnya bisa keluar,dan saya sangat berterimah kasih ke pada beliau dan sudah mau membantu saya, itu adalah kisah nyata dari saya, jika anda ingin seperti saya, anda bisa Hubungi Bpk Drs Tauhid SH Msi No Hp 0853-1144-2258. siapa tau beliau masih bisa membantu anda, Wassalamu Alaikum Wr Wr ..

    BalasHapus