Artikel

Minggu, 10 Maret 2013

“KOSMOS versus KHAOS: Case Study about Violence Culture”



By: Nur Bintang, M.A.*

Fenomena aksi demonstrasi yang berujung menjadi tragedi bentrokan 

Situasi sosial di Indonesia saat ini, bila saya perhatikan sebagai analis dan pengamat sosial maka bisa dikatakan kondisi sosial masyarakat di Indonesia sedang mengalami “sakit”. Penyakit-penyakit sosial yang sering melanda masyarakat di Indonesia serasa tidak pernah kunjung habis dan terus silih-berganti. Analisa saya saat ini lebih focus terhadap masalah budaya kekerasan yang semakin akut di kalangan masyarakat di Indonesia. Masih segar di pikiran kita ketika marak pemberitaan media massa di Indonesia mengenai perang antar suku di beberapa daerah di Indonesia, kasus demonstrasi buruh atau demonstrasi mahasiswa yang berujung pada tragedi bentrokan dan kerusuhan, kasus perkelahian (tawuran) diantara para supporter kesebelasan sepak bola di Indonesia, kasus perkelahian (tawuran) yang dilakukan antar oknum mahasiswa berbagai universitas di Indonesia, kasus perkelahian (tawuran) para siswa antar sekolah SMA yang marak terjadi di Indonesia hingga sampai menimbulkan jatuhnya korban jiwa, budaya kekerasan pada beberapa institusi pendidikan di Indonesia terkait hubungan relasi kekuasaan diantara siswa senior dan siswa junior di sekolah, kasus kejahatan geng motor, dan berita paling terkini di media massa terkait bentrokan perseteruan konflik horizontal masyarakat yang mengatasnamakan kelompok, suku, bahkan agama yang justru malah melanggar nilai-nilai kemanusiaan yang diajarkan oleh  agama itu sendiri, hingga maraknya tindakan premanisme yang dilakukan para gangster di kota-kota besar. Dari berbagai fenomena kasuistis di atas nampaknya ada sesuatu yang salah pada masyarakat kita (something wrong in my society?) maka dalam pembahasan posting kali ini saya akan membahas mengenai konsonan “kekerasan” (violence) secara obyektif tanpa harus bersikap skeptis terhadap perubahan yang ada.

Budaya kekerasan pada masyarakat kita tidak terlepas dari perasaan “benci” atau dalam bahasa Inggris biasa disebut dengan “hate”. Jauh sebelum ada kajian secara spesifik mengenai budaya kekerasan telah terlebih dulu ada kajian mengenai “kebencian” dan “percintaan” dari seorang filsuf Yunani kuno pada masa pra-Sokratik yang masuk dalam kategori filsuf pluralis yaitu Empedokles yang lahir pada awal abad ke-5 SM. Filsuf Empedokles memberi kajian mengenai perubahan alam semesta yang terdiri dari “Cinta” (philotes) dan “Benci” (neikos). “Cinta” menurutnya adalah penguat unsur terbentuknya “kosmos” (keteraturan dunia) sedangkan “benci” adalah penguat unsur terbentuknya “khaos”(ketidakteraturan dunia). Dunia alam semesta ini menurut filsuf Empedokles bagaikan sebuah alur siklus yang dimana setiap zaman akan menceritakan unsur kejadiannya tersendiri. Empedokles menjelaskan bahwa pada zaman pertama bahwa semua unsur alam semesta termasuk makhluk hidup yang ada di dalamnya akan hidup dalam kedamaian dan keteraturan berlandaskan rasa cinta; zaman kedua bahwa perlahan timbul rasa benci yang berangsur-angsur mulai bangkit dan merusak hubungan antar unsur-unsur yang berlandaskan rasa cinta tersebut; zaman ketiga bahwa perasaan benci menjadi perasaan dominan yang melandasi hubungan setiap unsur sehingga mengakibat khaos (ketidakteraturan); zaman keempat bahwa perasaan cinta berangsur-angsur menjadi dominan dan akhirnya mengikis perasaan benci hingga akhirnya membentuk harmoni kosmos (keteraturan) di semua unsur lalu kemudian seiring berjalannya waktu secara berangsur-angsur maka rasa cinta terkikis kembali oleh rasa benci dan akhirnya berulang menjadi pada zaman kedua yang dialami oleh alam semesta dan seterusnya.

Seiring perkembangan zaman, kajian mengenai kekerasan juga dibahas dalam kajian ilmu-ilmu social seperti psikologi, antropologi dan sosiologi di masa zaman modern seperti sekarang ini. Budaya dan perilaku kekerasan manusia dan masyarakat tidak terlepas dari awal mula dari kelahiran sejarah peradaban manusia itu sendiri. Mitos kepercayaan yang salah pada masyarakat pagan zaman kuno di masa lalu ialah menganggap “kekerasan sebagai karunia dari Para Dewa” maksudnya masyarakat pagan pada zaman kuno sangat percaya bahwa dewa-dewa sangat mengasihi kekerasan karena jiwa kekerasan sudah ada dalam diri kita (manusia) masing-masing tanpa terkecuali. Masyarakat zaman kuno sangat memuliakan kekerasan dan menganggap bahwa perang dengan merampok dan melakukan penjarahan terhadap apa yang mereka miliki dan harus dikuasai karena para dewa memberi manusia jiwa kekerasan sebagai bentuk landasan upah untuk menyembah dan memuja-Nya. Sebagai bentuk contoh kecilnya yaitu adanya pertunjukkan pertarungan gladiator pada era zaman Kerajaan Romawi dulu di Eropa dengan tujuan untuk menghormati kemuliaan Dewa Saturnus. Kepercayaan moral pada masyarakat pagan zaman kuno ialah beribadah kepada Dewa dengan melalui kejayaan penjajahan, penaklukan (ekspansi) melalui jalur kekerasan/peperangan dan kemudian melakukan ritual sesembahan di atas penderitaan korban manusia. Selama masa awal peradaban manusia dari awal zaman purba (pra-sejarah) hingga sampai zaman modern millennium sekarang ini dari selama masa proses evolusi dan perkembangan insting manusia dalam berjuang bertahan hidup maka bisa saya simpulkan bahwa manusia hidup sebagai bagian dari insting purba kekerasan. Manusia dan kekerasan adalah bentuk dari suatu hal kejadian yang tidak dapat dipisahkan! Tugas kita sebagai wujud keberadaan (eksistensi) dari wujud keberadaban manusia adalah mengendalikan rasio kesadaran dari pengaruh dan pengulangan insting alami kekerasan yang terbentuk dari pengaruh evolusi di zaman lalu! 

Pembahasan dalam posting saya kali ini bukan bermaksud mencampuri perbaikan akhlak para pembaca melainkan mengajak para pembaca semua sekalian untuk berpikir kritis secara bersama-sama memahami mengenai arti dari “kekerasan” (violence) tersebut. Tanpa harus menjelaskan dari aspek sudut pandang gender bisa dibilang mayoritas perbuatan kekerasan kebanyakan secara dominan dilakukan oleh pihak laki-laki (man of violence) dengan tidak menafikan bahwa kekerasan juga ada yang dilakukan oleh perempuan namun secara mayoritas aspek kasuistis bahwa kekerasan dari awal sejarahnya hingga sampai detik ini nampaknya kekerasan lebih banyak melekat pada pihak laki-laki yang tidak telepas dari konflik fisik. Secara aspek sosiologis bahwa kekerasan juga dapat dianalisis sebagai wujud keputusan akhir yang disepakati bersama secara kolektif oleh sekelompok manusia tertentu dalam upaya untuk mencapai ambisi ego dan hasrat kekuasaannya dengan melakukan tindakan-tindakan anarkhis secara tidak teratur (khaos) dan cenderung merusak! Selama ini kekerasan yang dilakukan oleh kelompok manusia di dalam masyarakat masih menjadi pertanyaan misteri di kalangan ahli psikologi dan ahli sosiologi tentang bagaimana aturan kesepakatan hukum dan norma-norma social dalam wujud keteraturan (kosmos) di dalam masyarakat dapat dilanggar dengan mudah melalui kesepakatan kolektif bersama diantara kelompok-kelompok manusia dalam wujud perilaku merusak melalui kekerasan yang tidak teratur (khaos).


Psikolog Yahudi-Austria: Sigmund Freud


Para ahli psikologi dengan menggunakan kacamata psikoanalisa yang dicetuskan oleh Psikolog Yahudi-Austria yaitu Sigmund Freud berusaha untuk menganalisa sistem mekanisme pertahanan diri dari setiap individu pelaku kekerasan untuk merumuskan konflik tidak sadar sekaligus memeriksa daya tahan psikis individu di dalam melakukan reaksi perilaku menyimpang (dalam hal ini kekerasan). Para individu pelaku kekerasan kebanyakan akan selalu membenarkan tindakan kekerasannya tersebut sebagai bagian dari bentuk pertahanan dirinya dalam melawan realita (kenyataan) social yang ada di luar dirinya sehingga menimbulkan kecemasan dan ketegangan yang dialami diri sendiri dengan bertindak destruktif (merusak) melawan tatanan aturan, nilai-nilai, serta hukum yang telah disepakati bersama oleh masyarakat.


Kemarahan sekelompok manusia yang menjalar dan berakhir menjadi kerusuhan

Kerumunan orang-orang (crowded) sangat mempunyai dampak pengaruh terhadap psikologi manusia di dalam suatu kelompok. Kalau saya (sebagai analis sosiologi) lebih suka menyebutnya sebagai “psikologi massa” dalam melakukan penjelasan secara aspek sosiologis mengenai kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok manusia di dalam masyarakat. Identitas kemanusiaan dan logika individu manusia bisa melebur atau bahkan hilang jika setiap individu manusia terjebak bergabung dengan kerumunan manusia (massa) yang cenderung melakukan tindakan destruktif  (merusak) dengan bangkitnya insting alami kekerasan manusia secara berkelompok. Massa seolah menjadi segerombolan manusia buas pada zaman purba yang tidak memiliki rasio dan logika yang mudah untuk dihasut dan disulut emosinya oleh issue-issue sensitif yang belum diketahui kebenarannya. Pandangan saya dengan berusaha melihat wujud relasi kekuasaan diantara individu-individu manusia yang bergabung dalam kelompok massa ini yang sangat unik untuk dikaji dan diteliti secara ilmiah tentang bagaimana semangat perbuatan untuk merusak dan tidak teratur (khaos) itu disepakati secara kolektif bersama-sama di dalam suatu kelompok tertentu sebagai wujud “rasionalitas semu” yang dianggap sebagai wujud pembenaran tindakan sosial yang pantas untuk dilakukan oleh sekelompok manusia (massa) tertentu tersebut di dalam mencapai tujuan dan kepentingannya yang bagi mereka mungkin sulit untuk dicapai/diperjuangkan. Tarik menarik relasi kekuasaan diantara struktur dan sekumpulan individu nampaknya memberi dampak pengaruh besar bagi penyimpangan (anomali) di dalam kerumunan manusia (massa) tersebut!

Dari penjelasan di atas, maka saya dapat mengambil kesimpulan sederhana bahwa jika ada pihak yang berkata bahwa kosmos dan khaos sebagai bentuk dari siklus perubahan zaman, maka itu adalah pendapat ahli pada zaman masa lalu; jika ada pihak yang menganggap kosmos dan khaos adalah wujud dari antithesis (pertentangan) di dalam perkembangan masyarakat kontemporer (saat ini), maka itu adalah pendapat ahli pada zaman masa sekarang; namun jika ada pendapat ahli yang menganggap jika kosmos dan khaos sebagai bentuk simbiosis mutualisme yang saling menguntungkan, maka bisa saya bilang ini adalah pendapat dari para ahli pada zaman masa yang akan datang! (this is about future conflict). Karena saya beranggapan jika khaos (ketidakteraturan) adalah sebagai bentuk resistensi (perlawanan) sekaligus koreksi terhadap kosmos (keteraturan) yang enggan melakukan perubahan perbaikan diri terhadap kondisi struktur yang sesuai dengan arus perkembangan zaman dengan menganggap "reformasi struktur" sebagai bentuk keberadaban khaos ketimbang pergerakan "revolusi" melalui jalan kekerasan yang justru mengakibatkan kerugian besar dengan jatuhnya korban jiwa dan pertumpahan darah yang sangat sia-sia dan melahirkan kebiadaban di luar batas nilai-nilai kemanusiaan. Selain itu, kosmos (keteraturan) juga membutuhkan khaos (ketidakteraturan) untuk merubah sistem (change the system) dengan memberi penekanan untuk membenahi struktur sosial yang lama kaitannya dalam lingkup individu dan masyarakat yang selalu ingat, mendambakan kehadiran dan perlindungan dari kosmos (keteraturan)! Perkara terbentuknya khaos (ketidakteraturan) yang terjadi secara alamiah atau sengaja dibentuk melalui rekayasa sosial (social engineering) bisa saya katakan itu masih menjadi “social mistery” karena insting purba kekerasan dapat dipicu oleh pengaruh tekanan-tekanan aspek psikologi dalam diri seseorang dan tekanan sosial dari luar diri seseorang yaitu lingkungan masyarakat sekitar.   

Kekerasan dapat dikendalikan dengan tatanan norma dan seperangkat peraturan yang tegas yang sesuai dengan wujud kesepakatan masyarakat di lingkungan sosialnya serta bersifat mengikat tanpa kecuali. Selain itu, perlunya penyebaran stand konsultasi psikologi dan sosiologi seperti di sekolah, kantor atau tempat-tempat umum agar setiap bibit pelaku tindak kekerasan dapat mengenali dirinya sendiri, mengenali orang lain dan memahami lingkungan sosial masyarakat disekitarnya dan sudah menjadi hak pendapat dan hak persepsi dari para pembaca sekalian masing-masing untuk menganalisisnya sendiri bahwa kekerasan sengaja diciptakan atau kekerasan menciptakan dirinya sendiri ? Coba pikirkan dan renungkan..[]
*Nur Bintang, M.A. adalah alumnus pascasarjana ilmu sosiologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Sumber Referensi:
-Fritz H.S. Damanik. (2012). Sosiologi SMA/MA Kelas X. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
-Prof. Dr. K. Bertens. (1999). Sejarah Filsafat Yunani : Dari Thales ke Aristoteles. Yogyakarta: Penebit Kanisius.

Sabtu, 23 Februari 2013

“KNOWLEDGE TRANSFER: SEDEKAH ILMU ITU IBADAH”



SEDEKAH ILMU ITU IBADAH

 

Oleh: Nur Bintang

Ikatlah ilmu dengan tulisan
(Ali bin Abi Thalib)


Beberapa waktu yang lalu ada seorang kawan kuliah saya dulu yang sekedar mampir berkunjung  untuk membaca tulisan kumpulan postingan di blog saya. Dia cukup heran dengan tema-tema postingan saya yang isinya dianggap berat, tulisan yang menembus nalar logika manusia, dan sangat filosofis dengan kajian-kajian filsafat social yang banyak saya bahas di setiap postingan saya. Kawan saya yang juga salah seorang dosen pengajar di salah satu universitas swasta tersebut kemudian menyarankan saya untuk segera melamar mengajar menjadi dosen pengajar di salah satu universitas swasta di Indonesia dimana kini kawan saya juga aktif mengajar di sana (Saya kemudian hanya bisa tersenyum saja karena untuk sementara ini, saya lebih merasa nyaman menjadi editor buku bergenre social-budaya agar dapat meneruskan kebiasaan hobi menulis saya ke dalam dunia pekerjaan). Sesuatu yang mengherankan buat kawan saya adalah kebaikan hati saya yang mau meluangkan waktu untuk sekedar membaca apalagi menulis, dan mau berbagi menyebarkan ilmu yang saya dapatkan selama ini dengan susah payah belajar kepada para pengunjung internet secara gratis dengan mengakses website blog saya melalui mesin pencari “Google”. Setahu kawan saya yang kini menjadi seorang dosen biasanya orang yang sudah dianggap berilmu kebanyakan sangat enggan untuk mau membagikan seluruh ilmunya kepada orang lain dalam usaha untuk memenangkan kompetisi di setiap persaingan. 

Saya terkadang suka menganggap diri sebagai orang bodoh yang mempunyai tekad untuk belajar sungguh-sungguh dan sepenuh hati. Bagi saya belajar adalah proses, semua proses harus saya lalui dari tingkatan yang paling bawah menuju ke arah tingkatan yang paling atas. Jujur, dari lubuk hati saya yang paling dalam sangat bersyukur dan senang apabila selama saya hidup bisa memberikan kebaikan dan manfaat bagi sesama manusia. Saya mungkin dianggap seorang ‘kutu buku’ yang bekerja sebagai ‘editor buku’ yang bergenre kajian sosial-budaya di sebuah perusahaan penerbitan buku berskala nasional di Jakarta namun itu saya anggap sebagai kecintaan dan kesenangan saya dalam dunia tulis-menulis apalagi kini blog saya yang belum genap berumur satu tahun (baru beberapa bulan saja) ketika saya pantau dari data statistik pengunjung melalui akun blog pribadi saya maka kini “Sociology Thinker: Nur Bintang’s Blog” sudah banyak dikunjungi lebih dari 3.628 visitors dari beberapa negara seperti Indonesia, Amerika Serikat (United States), Rusia, Jerman (Germany), Belanda (Netherland), Inggris (Britain), Korea Selatan, Malaysia, Australia, India, Kanada, Perancis (France), Filiphina, Swiss, Panama, Jepang (Japan), Timor Leste, dan Ukraina melalui berbagai macam browser dan sistem operasi seperti Windows, Linux, Android, BlackBerry, iPhone, iPad, Macintosh, dan Nokia. Saat ini pengunjung terbesar yang mengakses website blog saya dari luar negeri adalah pengunjung dari Amerika Serikat (United States) yang berjumlah 657 visitors dan jumlah ini semakin bertambah setiap harinya beserta pengunjung blog dari beberapa negara lain termasuk negara saya tercinta yaitu Indonesia dengan jumlah paling banyak sebesar 2.492 visitors sampai tulisan ini dibuat. Alhamdulilah.. "Sociology Thinker: Nur Bintang's Blog" juga sudah dibagikan (share) oleh para pengunjung pemilik akun Google+ dari beberapa negara sebanyak 80.935 kali namun jumlah angka share pemilik akun Google+ ini cenderung semakin menurun. Hal ini mungkin karena beberapa postingan saya di blog ini tidak menjadi trending topic lagi di "Google". Namun tetap ada kesempatan bagi saya untuk menulis artikel posting yang dapat kembali menjadi trending topic di mesin pencari situs yakni "Google". Semoga! Walaupun tulisan di blog ini sebagian besar menggunakan bahasa Indonesia tapi dengan hadirnya Google Translate ataupun  transtool yang dapat melakukan kebenaran penerjemahan bahasa hingga mencapai 80% dianggap dapat sangat membantu bagi para visitors dari luar negeri yang berkunjung ke blog pribadi saya. (Mengingat makin banyak visitors dari luar negeri yang berkunjung ke blog saya maka untuk jeda waktu ke depan saya berencana akan menambah postingan artikel dalam bahasa Inggris).

  Soekarno ketika memberikan ilmu kepada rakyat Indonesia


Teringat saya dengan pesan sahabat sekaligus menantu dari Nabi Muhammad SAW yaitu Ali bin Abi Thalib yang gemar sekali membaca dan menuntut ilmu. Ali bin Abi Thalib pernah berkata “Ikatlah ilmu dengan tulisan” dan sebenarnya jujur, lewat dari kata-kata beliaulah yang akhirnya memotivasi saya untuk terus menulis dan menilisik perjuangan Soekarno, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir (The Founding Fathers of Indonesia) dalam memajukan pendidikan ilmu di Indonesia ketika zaman penjajahan kolonial hingga sampai Indonesia merdeka. Saya bukanlah orang pintar atau pandai, saya hanyalah seorang yang mempunyai tekad untuk mau belajar kepada siapapun yang dapat memberikan pencerahan ilmu bermanfaat kepada diri saya. Sekedar flashback ke masa lalu, ketika saya pernah mengalami masa-masa sulit ketika zaman duduk di bangku kuliah dulu. Sebagai seorang pelajar perantauan untuk dapat membeli sebuah buku setelah mendapat kiriman uang dari orang tua di kampung bagi diri saya saat itu sudah sesuatu barang yang sangat mewah dan sangat istimewa sekali bagi diri saya secara pribadi walaupun pihak perpustakaan di kampus menyediakan buku-buku wajib pinjaman lengkap namun menurut hemat saya, buku pinjaman yang mendapatkannya harus melalui proses antrian ini termasuk dalam kategori buku-buku lawas/lama yang sudah tidak cocok dengan kondisi zaman saat ini. Untuk mencari buku-buku baru edisi revisi maka mau tidak mau saya harus membelinya ke beberapa toko buku.

Di tengah keterbatasan melalui referensi buku itu, maka saya jadi selalu rajin untuk membuka internet melalui mesin pencari “Google” hanya untuk sekedar mendapatkan pencerahan dari para penulis blog yang notabene adalah orang-orang pintar secara akademis yang berbaik hati mau berbagi dan menyumbangkan ilmunya kepada mahasiswa perantauan seperti saya ini yang sedang mengalami kondisi kesulitan saat hendak membeli sebuah buku dan mengejar pemahaman materi pendalaman. Barawal dari itulah maka saya mendapat inspirasi untuk mau berbagi dan bersedekah melalui ilmu yang bermanfaat yang saya dapatkan selama ini dalam wujud kumpulan artikel tulisan di blog saya dengan memanfaatkan media social yang dimana semua artikel tulisan saya ini setelah diterbitkan melalui akun blog pribadi saya maka dapat dibaca oleh semua manusia di seluruh penjuru dunia melalui akses mesin pencari “Google”. Menyedekahkan ilmu bermanfaat itu merupakan bagian dari ibadah”. Sebagai seorang yang mendalami ilmu sosiologi maka saya selalu belajar mengenai indahnya perbedaan dan kebersamaan dalam membentuk hubungan social yang harmonis di tengah zaman era globalisasi dan kemajuan teknologi seperti sekarang ini.

Saya berharap dengan kumpulan tulisan saya ini dapat memberi manfaat bagi para mahasiswa-mahasiswi atau pengunjung dari kalangan umum yang tertarik mengkaji ilmu sosiologi dan antropologi (sosiologi mikro). Tulisan saya di blog ini akan saya selalu sederhanakan dengan tujuan untuk memudahkan pemahaman kepada para pembaca sekalian di blog saya. Saya menulis di blog ini bukan menganggap diri sebagai orang pintar atau jenius, bukan itu maksud saya… Kondisi saya sama dengan para pembaca sekalian sebagai orang yang masih menunutut ilmu sampai akhir hayat dan keinginan utama saya adalah berbagi ilmu dan menyedekahkan ilmu bermanfaat yang saya pelajari selama ini guna membantu sesama serta mengajak para pembaca semuanya untuk belajar bersama–sama (Saya belajar kepada anda dan anda belajar kepada saya). Jadi, saat ini sedekah menurut hemat saya tidak lagi harus berwujud materi seperti uang dan harta benda namun kini ilmu yang berwujud abstrak juga dapat masuk menjadi kategori sedekah yang sangat bermanfaat bagi sesama manusia.[]

*Nur Bintang adalah alumnus pascasarjana sosiologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta yang kini merintis karier sebagai editor buku di salah satu perusahaan penerbitan nasional di Jakarta.

Jumat, 15 Februari 2013

“QUALITATIVE RESEARCH: DESCRIPTIVE AND ANALYTICAL”




Ditulis Oleh: Nur Bintang*


This posting tell about social research in qualitative tradition. Sebagai seorang pembelajar dan masih terus untuk belajar maka dalam postingan kali ini saya akan membahas mengenai tradisi penelitian dalam metodologi kualitatif  yang dalam kajian keilmuan sosiologi sebenarnya metode penelitian ini masih tergolong baru setelah selama beberapa dekade yang lampau terkungkung dalam tradisi positivisme penelitian kuantitatif  yang kaku dan hanya selalu mengandalkan perhitungan angka statistik di dalam penjelasan fenomena social. Pada masa lalu penelitian sosiologi selalu berkiblat pada perhitungan angka statistik (kuantitatif) berbeda dengan penelitian antropologi yang selalu berkiblat pada penelitian kualitatif deskriptif melalui pendekatan etnografi berdasarkan observasi langsung hasil data wawancara kepada informan. Namun saat ini, penelitian kualitatif sudah masuk ke dalam ranah kajian ilmu sosiologi seiring perkembangan ilmu sosiologi yang kini juga membahas permasalahan kebudayaan (cultural studies). 

Jadi bisa dibilang kajian sosiologi dan antropologi kini hanya berbeda seperti benang tipis saja seiring majunya ilmu pengetahuan sosial. Adapun perbedaan yang sangat menyolok di dalam kajian penelitian kualitatif ini karena perhitungan data angka statistik deskriptif  bisa diikutsertakan sekedar untuk melengkapi data pokok wawancara yang menjadi ciri khas dari penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang paling fleksibel (bebas) menurut hemat saya bahkan sewaktu mengikuti workshop metodologi penelitian dulu dosen saya pernah berkata, ”Penelitian kualitatif yang baik adalah penelitian yang ketika kita membaca penelitian itu serasa seperti membaca sebuah novel”. Ya.. sangat unik dan menarik. Jadi siapkah anda membuat novel ilmiah ini..?? tapi bukan sembarang tulisan novel karena di dalam metodologi kualitatif tidak hanya sekedar menulis dan bercerita secara deskriptif tetapi juga harus menganalisa mengapa fenomena social itu dapat terjadi. Penjelasan fenomena social itu harus bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya oleh sang peneliti itu sendiri. Berikut adalah tulisan lama saya yang saya rangkum dari banyak buku mengenai penelitian kualitatif karena posisi saya masih di Jakarta sedangkan buku-buku saya banyak yang tertinggal di kampung maka saya belum sempat mencantumkan referensi bukunya tapi hal tersebut tidak mengurangi keinginan saya untuk terus berbagi ilmu kepada pembaca sekalian. Semoga bermanfaat!

- Qualitative Mapping/Pemetaan alur penelitian kualitatif
Saya akan mengambil contoh judul penelitian kualitatif di bawah ini:

Demam K-Pop Remaja Sekolahan (Studi kasus tentang Persepsi dan Sikap Siswa Sekolah "A" terhadap Kebudayaan Pop Korea di Indonesia)

-Latar belakang masalah yang menjelaskan mengapa fenomena social tersebut menarik dan perlu untuk diteliti serta hal apakah yang membedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yang sudah lebih dulu ada.

-Perumusan masalah eksplanatoris yang mengandung paling sedikit dua variabel yaitu variabel X dan variabel Y. Masing-masing variabel yakni 'persepsi' dan 'sikap' perlu dibuat tabel indikator secara lebih spesifik.
Cth:  -Bagaimanakah persepsi siswa sekolah "A" terhadap kehadiran budaya K-Pop di Indonesia?
        -Bagaimanakah sikap siswa sekolah "A" terhadap kehadiran budaya K-Pop di Indonesia?

-Contoh teori yang bisa digunakan sebagai pisau analisa masalah:
Teori fenomenologi dari Alred Schultz dengan cara memahami kesadaran hidup orang lain atau Teori interaksionisme simbolik dari G.H. Mead dengan melihat pada konteks behaviorisme psikologi social dengan memusatkan pada aktor dan perilakunya dalam lingkungan sosialnya (interaksi individu dengan kelompoknya).

-Penelitian yang cocok membahas penelitian di atas:
Studi kasus: Mengeksplorasi masalah dengan batasan terperinci, memiliki pengambilan data yang mendalam, dan menyertakan berbagai sumber informasi. Penelitian ini dibatasi oleh waktu dan tempat, dan kasus yang dipelajari bisa berupa jalannya kegiatan program, peristiwa, aktivitas, atau individu.

-Saya akan memberi contoh beberapa jenis penelitian yang sering digunakan dalam disiplin ilmu sosiologi beserta rumusan masalahnya untuk memberi gambaran lebih jelas mengenai penelitian kualitatif sebagai berikut:

Studi Kasus
Judul penelitian:
Model Partisipasif  Program Pemberdayaan Masyarakat (Studi Kasus di Desa “A”, Kecamatan “B”, Kabupaten “C”).
Rumusan Masalah:
Bagaimanakah model partisipasif program pemberdayaan masyarakat di Desa "A" diselenggarakan?

Etnometodologi:
Judul penelitian:
Dilarang Menikah! (Kajian Etnometodologi Tentang Larangan Adat Menikah Lintas Desa antara Desa “A” dan Desa “B”).
Rumusan Masalah:
Bagaimanakah masyarakat desa memandang dan menjelaskan aturan adat larangan menikah lintas desa diantara kedua desa tersebut?

Fenomenologi
Judul Penelitian:
Pemahaman Perempuan Pekerja Seks Tentang Kesehatan Reproduksi (Kajian Fenomenologi Perempuan Pekerja Seks di Lokalisasi “A”).
Rumusan Masalah:
Bagaimanakah para perempuan pekerja seks memahami makna dari kesehatan reproduksi?

-Pelaksanaan penelitian dengan menggunakan metode kualitatif :
Etnometodologi: Metode penelitian yang dilaksanakan dengan mengamati perilaku indvidu atau masyarakat dalam mengambil tindakan yang disadarinya dan cara mengambil tindakannya.
Fenomenologi: Metode penelitian yang dilakukan menggambarkan arti dari sebuah pengalaman hidup dari beberapa orang tentang sebuah konsep atau fenomena.
Studi Kasus: Metode penelitian yang dilaksanakan dengan mengeksplorasi suatu masalah dengan batasan terperinci, pengambilan data yang mendalam. Penelitian ini dibatasi oleh waktu dan tempat, dan kasus yang dipelajari berupa program, peristiwa, aktivitas, atau individu.
Etnografi: Metode penelitian dengan cara mendeskripsikan kehidupan budaya sehari-hari masyarakat atau suku-suku di pedalaman dengan cara partisipatif yang mengharuskan peneliti untuk tinggal bersama dengan mereka selama jeda beberapa waktu tertentu (biasanya para antropolog  membutuhkan waktu paling sedikit minimal satu tahun untuk memilih penelitian jenis ini hingga waktu yang tidak terbatas sesuai dengan kebutuhan peneliti sendiri ketika dalam proses mengumpulkan data). Penelitian etnografi sekarang juga sudah mulai diadopsi sosiologi dari kajian ilmu antropologi.
Interaksionisme Simbolik: Metode penelitian yang berusaha menafsirkan dan menjelaskan tindakan individu dalam kaitan hubungan interaksi individu sebagai aktor dengan lingkungan sosialnya. Kajian ini biasa digunakan dalam tema-tema psikologi social.
Grounded Research: Penelitian yang dilakukan untuk mengembangkan teori terkait dengan hubungan interaksi di dalam fenomena sosial yang bergerak secara empirik hingga ke teoritik. Penelitian ini biasanya dilakukan peneliti tanpa ada praduga teori ketika berada di lokasi penelitian. Analisa teori mengikuti temuan perkembangan fenomena sosial di lokasi penelitian agar menghasilkan penemuan teori yang tepat.

CULTURAL STUDIES (Kajian Ilmu Budaya):

Apa itu CDA?
Discourse berhubungan dengan POWER atau KEKUASAAN dari idiologi, gender, kelas social, etnisitas, golongan usia dll.  Bila merujuk pada pemikiran Post-Strukturalis dari Perancis yakni Michel Foucault bahwa kekuasaan itu tersebar dimana-mana. Relasi kekuasaan dapat dilihat dari “dominasi” dan “hegemoni” dari sebuah teks tulisan (maksud tulisan), gambar (maksud gambar), atau film (arah sorot kamera) terhadap objek sesuatu. Kajian Cultural Studies menggunakan pendekatan interdisipliner (berbagai disiplin ilmu) seperti sosiologi, sastra, sejarah, sosiolinguistik, komunikasi, analisis media, antropologi, kajian multikultural dll. Lazimnya penelitian ini menggunakan metode Analisis Wacana Kritis (Critical Discourse Analysis) yang biasa disingkat dengan CDA dalam bentuk analisis teks maupun analisis gambar/film seperti halnya dalam penelitian semiotika dan hermeunetika.

CDA (Critical Discourse Analysis) adalah suatu perspektif yang masuk ke dalam ranah studi “Postmodern” dan bermahzab konstruksionis dalam kaitan bentuk kajian yang bertemakan Post-Strukturalis dan Post-Kolonial dalam menafsirkan hubungan relasi kekuasaan yang terdapat di dalam simbol atau bahasa. Konsep pemikiran CDA berakar dari pengaruh tradisi Marxian (Mahzab Frankfurt) yang melihat segala suatu fenomena social secara kritis dan penuh kecurigaan maka CDA tidak menyibukkan diri untuk mencari kebenaran dari suatu fakta dan realita yang terjadi. CDA lebih memandang fakta  (berbentuk gambar, tulisan, graffiti, maupun percakapan) sebagai suatu teks yang terkonstruksi berdasarkan kompleksitas konteks dan kepentingan yang melatar belakanginya. Teks memiliki mekanismenya sendiri ketika diproduksi, dikonsumsi, dan didistribusikan dengan maksud kepentingan tujuan tertentu. Dalam hal ini teks merupakan sesuatu yang selalu dipengaruhi dan juga mempengaruhi teks yang lain meskipun secara metodologi CDA belum terstandardisasi dengan baik lain halnya seperti positivisme (statistik social) ataupun fenomenologi yang sudah kokoh standardisasi metodologinya namun penggunaan CDA saat ini di ranah kajian ilmu-ilmu social sudah semakin dianggap penting keberadaannya seiring kemajuan teknologi media massa yang semakin berkembang.

Karakter dan Metode CDA:
-Wacana selalu muncul dalam hubungan kekuasaan yang perinsip dasarnya adalah: tindakan, konteks, historis, kekuasaan, dan idiologi.
-Bahasa adalah manifestasi dari konteks (lisan atau tulis), situasi diluar konteks yang mempengaruhi pemakaian bahasa dan wacana (keseluruhan antara teks dan konteks yang saling menyatu).

Contoh CDA:
Penayangan iklan sabun di televisi yang selalu memakai model wanita cantik berkulit  putih alami. Analisis wacana kritisnya bahwa wanita cantik tidak selalu identik dengan berkulit putih, akibat kapitalisasi produk kecantikan lewat media massa di televisi. Warna kulit hitam juga bisa dikatakan cantik apabila mempunyai karakter  inner beauty” yang kuat karena memiliki intelegensi kepintaran, sopan-santun, dan anggun. Jadi konstruksi media yang selalu mewacanakan wanita cantik itu harus berkulit putih bisa dibantah/dipatahkan kebenarannya.

Level Mikro dan Level Makro dalam penelitian CDA:
-Level Mikro CDA: Penggunaan bahasa, wacana, interaksi verbal, dan komunikasi.
-Level Makro CDA: Relasi kekuasaan (power), dominasi/hegemoni, ketidakadilan kelompok social (kaum marginal), idiologi simbol, identitas budaya atau identitas sosial.

---------------------------
*Nur Bintang adalah alumnus pascasarjana sosiologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.