Artikel

Sabtu, 04 Agustus 2012

“FILSAFAT EKSISTENSIALISME: JEAN PAUL SARTRE”


L'homme est condamné à être libre
(Jean Paul Sartre)

Foto Filsuf Jean Paul Sartre



Ditulis oleh: Nur Bintang*


Tentang ‘Jean Paul Sartre’
Jean Paul Sartre (1905-1980) merupakan pemikir besar Perancis pada abad 20 walaupun beliau bukan seorang tokoh dalam pemikiran sosiologi tetapi Sartre mempunyai kharisma dalam ranah kajian ilmu-ilmu sosial. Sartre dilahirkan di Kota Paris, Perancis. Masa kecil Sartre bisa dibilang suram karena selama masa kecilnya Sartre selalu menjadi bahan olok-olokan oleh kawan-kawannya karena kondisi keterbatasan fisik dan penyakit yang dideritanya. Jean Paul Sartre atau lebih biasa dipanggil “Sartre” sudah dikenal sebagai seorang filsuf, psikolog, aktivis politik, dan sastrawan. Sartre adalah seorang pemikir jenius serba bisa karena beliau ahli dalam berbagai bidang disiplin ilmu sosial dan kajian budaya seperti psikologi, filsafat, sastra, drama, politik bahkan Sartre sempat mamenangkan hadiah nobel sastra tahun 1964 namun beliau dengan bijaksana menolaknya dengan alasan ingin bebas lepas dari pengaruh gelar prestisius dan bergengsi tersebut. Sartre menderita penyakit mata 'strabismus' atau mata juling ketika berusia 4 tahun dan secara fisik tubuh Sartre tidak seperti fisik tubuh orang Eropa kebanyakan kala itu yang tinggi besar, Sartre tergolong pendek dengan tinggi 160 cm walaupun demikian sampai saat ini pemikiran Sartre sudah sangat mempengaruhi para ilmuwan social se-antero penjuru dunia. Sartre menempuh pendidikan di Universitas Sorbonne, Perancis dalam kajian bidang filsafat dengan hasil studi yang dibilang standart (biasa) saja namun tidak dipungkiri jika Sartre sangat berbakat dalam dunia menulis sastra dan drama. Dalam karier perjalanan akademisnya, Sartre tidak terlepas juga dari pengaruh pemikiran filsuf wanita yang merupakan teman semasa kuliahnya dulu yaitu ‘Simone de Beauvoir’. Mereka saling jatuh cinta namun tidak berjodoh dan kemudian menjadi sepasang sahabat hingga akhir usianya. Makam Jean Paul Sartre dan Simone de Beauvoir sampai saat ini diletakkan bersama dan saling berdampingan untuk mengenang keharmonisan mereka berdua dalam membangun tradisi pemikiran-pemikiran filsafat kepada dunia.

Invansi Nazi-Jerman saat menduduki Perancis

Perjalanan Ranah Intelektual Sartre
Sartre sempat belajar mengenai filsafat fenomenologi yang sangat berpengaruh pada perkembangan ilmu psikologi dan ilmu sosiologi yaitu metode yang memperlihatkan ciri-ciri subjektif dari kesadaran dan struktur obyektifnya dan menghasilkan ‘deskripsi’ mengenai tindakan kesadaran yang dicetuskan oleh filsuf Edmund Husserl (Bapak Fenomenologi) di Berlin, Jerman yang hidup pada tahun 1859-1938. Sartre setelah menyelesaikan studi kemudian kembali ke Perancis dan memasukkan pemikiran fenomenologi ke dalam karya novel sastranya yang berjudul “Nausea” dan buku filsafat “The Psychology of the Imagination”, “Transcendence of The Ego”. Sartre sempat mengikuti wajib militer menjadi tentara Perancis ketika pemimpin fasis Nazi, Jerman yakni Adolf Hitler menyatakan perang kepada Perancis dan menginvansi Perancis pada Perang Dunia II. Perancis kalah perang dari Jerman bahkan tentara Nazi Jerman berhasil memasuki dan menduduki Kota Paris, Perancis hingga banyak tentara Perancis yang menyerah, melarikan diri, dan bahkan menjadi tawanan perang dan dimasukkan ke dalam kamp-kamp tahanan Nazi di Jerman. Pada saat menjadi tahanan Jerman, Sartre produktif menulis dan menghasilkan beberapa karya sastra novel “The Age of Reason” dan karya filsafat yang berjudul “Being and Nothingness”. Sartre berhasil melarikan diri dari kamp tahanan Nazi di Jerman ketika bulan Maret 1941 dan kembali ke Kota Paris kemudian bekerja sebagai dosen (guru besar) di Lycee Condorcet dan Lycee Pasteur di Kota Paris. Sartre setiba di Paris sering bergabung ke dalam kelompok intelektual Perancis yang sering nongkrong di café-café pinggiran Kota Paris bersama filsuf Simone de Beauvoir, sastrawan Albert Camus, dan seniman Pablo Picasso. Pemikiran Sartre pada akhir Perang Dunia II di saat kejatuhan dan kekalahan Nazi Jerman oleh sekutu mulai berkembang luas dan memperoleh perhatian dari publik di Perancis sendiri. Masyarakat Perancis berbondong-bondong membaca dan mempelajari buku-buku sastra dan filsafat yang ditulis oleh Sartre. Sartre sendiri akhirnya mencetuskan “Filsafat Eksistensialisme” dan menganggap dirinya sebagai penganut Atheis yang menolak keberadaan Tuhan. Pengakuan Sartre sebagai seorang penganut Atheis menimbulkan polemik dan kontroversial bagi publik di Perancis sendiri bahkan tokoh pemikir sosiolog Yahudi-Jerman tradisi Mahzab Frankfurt (Frankfurt School) yakni Max Horkheimer (1895-1973) menentang gagasan ‘eksistensialisme’ yang diusung Sartre karena menolak keberadaan Tuhan. Max Horkheimer sebagai seorang ilmuwan social yang religius tetap berpegangan bahwa Tuhan adalah jalan hidup pegangan manusia yang memegang makna dan moralitas mutlak. Sartre sendiri pada dasarnya tidak konsisten dengan tesis pemikirannya mengenai ‘filsafat eksistensialisme’ karena beralih ke paham ‘marxisme’ serta merapat ke partai komunis yang diusung Uni Soviet walau tidak begitu lama karena kekecewaan Sartre terhadap penindasan marxisme ortodoks Kremlin di Rusia (Otoritas Uni Soviet) kala itu yang menginvansi Chekoslovakia. Sartre selang tidak berapa lama kemudian menyatakan berhenti sebagai seorang Marxis kepada seluruh publik di Perancis.

Filsuf Sartre bersama tokoh revolusi Kuba yakni 'Che Guevara'. 
Sartre mengakui dalam memoarnya bahwa 'Che Guevara' merupakan
sosok inspirasi yang menjadi tokoh idolanya

Filsafat Eksistensialisme ala Sartre
Eksistensialisme lebih dulu dipikirkan oleh filsuf asal Denmark yaitu Soren Kierkegaard (1813-1855), seorang radikal Kristen sebagai “Bapak Eksistensialisme” yang menganggap kepercayaan kepada Tuhan hanyalah menjadi sebuah kepercayaan yang tak akan pernah menjadi data logis secara ilmiah diantara manusia dengan Tuhannya. Eksistensialisme menurut Sartre memang berbeda dari pendahulunya karena Sartre beranggapan jika eksistensialisme adalah eksistensi lebih dulu ada dibanding esensi. Maksudnya “Tidak ada hakikat sesuatu karena tidak ada yang menciptakannya”. Eksistensialisme adalah “Manusia bagaimana menjadi dirinya sendiri” serta realitas manusia terlahir sebagai individu yang bebas, sebebas-bebasnya dalam melakukan tindakan serta menentukan hidupnya sendiri. Sartre beranggapan bahwa musuh sesungguhnya manusia bukanlah iblis, setan, atau neraka melainkan ‘sesama manusia’ dan menganggap awal kejatuhanku adalah eksistensi orang lain (Neraka adalah orang lain). Inti pemikiran filsafat eksistensialisme dari Sartre secara ekstrim adalah ‘kebebasan individual adalah total’ dan ‘kebebasan ditentukan dan dibatasi oleh keadaan’. Pemikiran kontroversial dari Sartre yang menimbulkan polemik yaitu menganggap eksistensi manusia akan hilang ketika manusia mempercayai Tuhan. Sartre pernah berkata, "Pada dasarnya manusia adalah keinginan untuk menjadi" (kebebasan yang sama atas yang pernah dicita-citakan oleh filosof Yunani yakni Aristoteles dahulu). Keinginan untuk menjadi ini berkaitan dengan bentuk-bentuk keinginan alami yang dimiliki manusia seperti: cinta, seks, nafsu, cemburu etc. Jadi kebebasan adalah sumber yang diperlukan manusia untuk menjadi dirinya sendiri. Eksistensialisme dalam pemikiran Sartre membahasa tentang keber-ADA-an manusia yang dihadirkan melalui bentuk kebebasan. Jika manusia ingin hidup bebas, merdeka lepas dari belenggu kungkungan maka menghilangkan eksistensi Tuhan harus bisa dilakukan karena kepercayaan terhadap Tuhan dianggap telah menghilangkan eksistensi keberadaan manusia yang sesungguhnya. Seorang eksistensialis menganggap universalitas manusia adalah kebebasan itu sendiri dan batasan kebebasan setiap manusia adalah kebebasan manusia yang lain. Inti penting dari filsafat eksistensialisme Sartre ialah membuat, memutuskan atas kemauan dan kesadaran diri sendiri, dan memiliki kesadaran untuk mau mengambil pilihan putusannya tersebut secara bertanggung jawab tanpa ada tekanan atau intervensi dari pihak lain. Contoh: Seorang anak yang baru lulus sekolah SMA memutuskan untuk melanjutkan studi ke universitas dengan mengambil jurusan ilmu sosiologi ketimbang mengambil jurusan ilmu tekhnik atau jurusan ilmu kedokteran karena keyakinan anak tersebut akan kemampuan dirinya sendiri bahwa jurusan ilmu sosiologi adalah yang cocok untuk bekal masa depannya walaupun orang tua terus menghimbau anaknya untuk memilih jurusan kedokteran tetapi anak tersebut tetap kokoh dengan pendiriannya untuk tetap memilih jurusan ilmu sosiologi sebagai studi lanjutnya di universitas.


V  for Vendetta..!


Aktivitas Politik ‘Jean Paul Sartre’
Sartre melakukan banyak kegiatan aktivitas politik selama di Perancis dan pada tahun 1968 mendukung demonstrasi-demonstrasi yang dilakukan mahasiswa untuk menentang otoritas pemerintah Perancis. Sartre mendukung perjuangan revolusi Kuba yang dilakukan Fidel Castro dan Che Guevara bahkan Sartre secara terang-terangan mendukung perjuangan revolusioner Aljazair untuk merdeka dan terlepas dari penjajahan Perancis. Akibat dukungannya terhadap Aljazair tentu sangat berdampak tidak menguntungkan bagi kehidupan Sartre sendiri selama hidup di Perancis. Sartre hidup dalam tekanan, ancaman pembunuhan, dan terror dari pihak-pihak yang menentang lepasnya Aljazair dari Perancis sebagai bagian koloni jajahan Perancis. Sartre menjelang akhir hidupnya melakukan pola gaya hidup tidak sehat dengan terlalu banyak mengkonsumsi minuman beralkohol, rokok, hingga obat-obatan terlarang. Sartre kemudian jatuh sakit parah hingga beberapa organ tubuhnya harus diamputasi ditambah lagi kondisi matanya yang mengalami kebutaan. Filsuf besar Perancis yakni Jean Paul Sartre kemudian menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 15 April 1980. Sekitar 50.000 pelayat memadati jalan-jalan di Kota Paris untuk memberi penghormatan terakhir kepada Sartre. Filsafat Eksistensialisme dari Sartre kemudian lambat laun pudar dengan marak hadirnya pemikiran Strukturalisme dan Post-Strukturalisme (Post-Modern) yang berkembang di Perancis yang diusung ilmuwan sosial Perancis yakni sosiolog "Michel Foucault", sosiolog "Pierre Bourdieu", dan filsuf Yahudi "Jacques Derrida" asal Aljazair yang bermukim di Perancis.

Tanggapan saya (Nur Bintang) atas tafsir filsafat eksistensialisme Sartre:


Walau pengaruh eksistensialisme agak mulai pudar di Perancis dengan hadirnya mahzab filsafat Post-Strukturalisme (Post-Modernisme) yang sangat berkembang di Perancis namun hal tersebut tidak melunturkan semangat eksistensialisme bagi masyarakat di Perancis itu sendiri. Hal ini dapat dilihat dari beberapa survei yang pernah dilakukan beberapa lembaga riset yang melakukan penelitian tentang religiusitas masyarakat di Eropa terutama di Perancis dengan mengambil sampel populasi yang hasilnya cukup mengejutkan bahwa semakin berkembangnya penduduk Eropa Barat terutama Perancis yang berpindah agama dengan memeluk Islam dan menjadi seorang muslim namun di sisi lain semakin banyak juga masyarakat di Eropa termasuk Perancis yang kini banyak menganut paham Atheis (tidak mempercayai Tuhan) dengan berpikir rasional bahkan hingga dengan hasil jumlah 95% dari jumlah responden yang dijadikan sampel penelitian (fenomena sosial di Perancis saat ini). Saya sebagai penulis menganggap jika filsafat eksistensialisme Sartre yang dulu sangat berpengaruh di Perancis kini masih terasa dampaknya di Perancis hingga sampai saat ini. Kondisi di Perancis saat ini tidak terlepas dari sejarah Eropa terutama di Perancis itu sendiri yang pernah mengalami masa transisi dari "Abad Kegelapan" menuju "Abad Renaissance" (abad 12-abad 17) ketika kekuasaan monarkhi kerajaan di Eropa berkongsi dengan otoritas gereja secara absolut hingga masalah-masalah ilmiah yang seharusnya diputuskan oleh ilmuwan-ilmuwan dan para filosof saat itu di Eropa justru berada di bawah tekanan dominasi kekuasaan gereja bahkan pihak otoritas gereja di Eropa kala itu dengan berani menghukum para cendekiawan yang pemikirannya dianggap bertentangan/berseberangan dengan ajaran-ajaran dogma agama yang telah menjadi pedoman garis dari pihak otoritas gereja saat itu. Contoh: Galileo (ilmuwan Italia) yang dihukum dan diasingkan seumur hidup oleh otoritas gereja pada masa itu yakni Paus Urbanus VIII karena mendukung teori Copernicus bahwa bumi mengelilingi matahari. Hal tersebut sangat ditentang pihak otoritas gereja saat itu yang menganggap bahwa matahari-lah yang mengelilingi bumi. Puncak kebencian masyarakat Perancis terhadap keserakahan kekuasaan bangsawan, raja dan penyalahgunaan wewenang pendeta atas nama dogma agama dalam bingkai otoritas gereja saat itu yang terkesan sangat absolut dan menindas rakyat maka timbul perlawanan rakyat Perancis melalui jalan "Revolusi Perancis" pada tanggal 14 Juli 1789 dengan menyerbu penjara Bastille, menyerang istana kerajaan, menangkapi semua para bangsawan dan Raja Perancis saat itu yakni Louis XVI beserta istrinya Marie Antoinette yang dianggap merugikan rakyat dengan bergaya hidup mewah di atas penderitaan rakyat dengan menghamburkan banyak keuangan negara, serta menyerang gereja dengan tujuan menjatuhkan serta mengakhiri semua kekuasaan feodalisme raja, bangsawan, dan kemunafikan pendeta yang gemar menumpuk kekayaan. Revolusi Perancis meletakkan kekuasaan atas nama rakyat di atas segala-galanya dengan menghapus sistem monarkhi kerajaan lalu menggantinya menjadi sistem pemerintahan republik di Perancis. Basic sejarah Perancis itu juga mempengaruhi Sartre untuk melepas pemikiran rasional filsafat dari pengaruh dogma-dogma agama, terlepas dari Tuhan yang dianggap telah mematikan eksistensi individu dalam berpikir secara luas dan bebas hingga mencetuskan "Filsafat eksistensialisme". Pada awalnya saya berpikir tidak setuju dengan thesis eksistensialisme Sartre lalu kemudian saya merenung jika alangkah baiknya jika manusia melakukan sintesis antara rasional filsafat dengan agama seperti apa yang dilakukan para filosof pendahulu kita yakni filosof besar Islam yakni Ibnu Rusyd yang melakukan sintesis rasionalitas filsafat Aristoteles dengan spirit dalam tradisi agama Islam dan juga filosof besar Yahudi di Andalusia (Spanyol) yaitu Moses Maimonides yang mensintesiskan rasionalitas filsafat Aristoteles dengan tradisi agama Judas, serta Thomas Aquinas seorang filsuf, teolog, pendeta Nasrani pada abad pertengahan di Eropa yang juga memasukkan sintesis rasionalitas filsafat Aristoteles ke dalam ajaran-ajaran agama Nasrani sehingga agama sebagai moralitas mutlak dapat berjalan berdampingan dengan etika rasionalitas dalam kajian filsafat sehingga pemikiran Thomas Aquinas mempunyai pengaruh besar dalam masa abad pencerahan (renaissance) di Eropa pada saat itu. Harapan penulis agar kita dapat berpikir secara logis dan rasional dari kajian ilmu filsafat dengan tetap menjadi seorang yang memiliki agama dan religius dan menepis anggapan bahwa untuk menjadi seorang berfikir rasional dan logis harus melepaskan atribut basis keagamaan itu sendiri seperti yang dilakukan Jean Paul Sartre yang menganggap dirinya sebagai seorang Atheis (menolak keberadaan Tuhan). Saya sebagai penulis menyerahkan eksistensialisme pembaca sendiri untuk tetap melakukan kemerdekaan berpikir secara logika dengan agama atau melakukan kemerdekaan berpikir secara logika dengan melepaskan agama. Semua pilihan tersebut adalah eksistensialisme dari pembaca sendiri. Semoga... []

*Nur Bintang adalah alumnus pascasarjana sosiologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Sumber Referensi:
-Donal D. Palmer. (2003). “Sartre Untuk Pemula”. Yogyakarta. Penerbit: Kanisius.
-Jean Paul Sartre. (2002). “Seks dan Revolusi”. Yogyakarta. Penerbit: Yayasan Bentang Budaya.
-Korrie Layun Rampan. (2005). “Tokoh-Tokoh Cerita Pendek Dunia”. Jakarta. Penerbit: PT. Grasindo.

1 komentar:

  1. Assalamu Alaikum wr-wb, perkenalkan nama saya ibu Rosnida zainab asal Kalimantan Timur, saya ingin mempublikasikan KISAH KESUKSESAN saya menjadi seorang PNS. saya ingin berbagi kesuksesan keseluruh pegawai honorer di instansi pemerintahan manapun, saya mengabdikan diri sebagai guru disebuah desa terpencil, dan disini daerah tempat saya mengajar hanya dialiri listrik tenaga surya, saya melakukan ini demi kepentingan anak murid saya yang ingin menggapai cita-cita, Sudah 9 tahun saya jadi tenaga honor belum diangkat jadi PNS Bahkan saya sudah 4 kali mengikuti ujian, dan membayar 70 jt namun hailnya nol uang pun tidak kembali, bahkan saya sempat putus asah, pada suatu hari sekolah tempat saya mengajar mendapat tamu istimewa dari salah seorang pejabat tinggi dari kantor BKN pusat karena saya sendiri mendapat penghargaan pengawai honorer teladan, disinilah awal perkenalan saya dengan beliau, dan secara kebetulan beliau menitipkan nomor hp pribadinya dan 3 bln kemudian saya pun coba menghubungi beliau dan beliau menyuruh saya mengirim berkas saya melalui email, Satu minggu kemudian saya sudah ada panggilan ke jakarta untuk ujian, alhamdulillah berkat bantuan beliau saya pun bisa lulus dan SK saya akhirnya bisa keluar,dan saya sangat berterimah kasih ke pada beliau dan sudah mau membantu saya, itu adalah kisah nyata dari saya, jika anda ingin seperti saya, anda bisa Hubungi Bpk Drs Tauhid SH Msi No Hp 0853-1144-2258. siapa tau beliau masih bisa membantu anda, Wassalamu Alaikum Wr Wr ..

    BalasHapus