Artikel

Kamis, 28 Juni 2012

Review Meaning of methodology Social research methods, Qualitative and Quantitative Approaches by: W. Lawrence Neuman.


Makna Metodologi




Pendahuluan
Banyak orang, termasuk profesional di luar ilmu pengetahuan sosial mempertanyakan: Apakah sosiologi dan ilmu sosial yang berhubungan dengannya merupakan ilmu pengetahuan yang sebenarnya? Mereka berpikir hanya ilmu pengetahuan alam (seperti: fisika, kimia, dan biologi). Pada bab ini, kita merevieuw makna ilmu pengetahuan di dalam ilmu pengetahuan sosial. Kita membangun ide mengenai komunitas ilmiah dan jenis-jenis riset dan teori sosial yang didiskusikan di tiga bab sebelumnya. Bab ini lebih memberi penekanan kepada metode penyelidikan-bagaimana kita tahu-daripada teknik spesifik untuk mengumpulkan dan mereviuw data. Ini seperti pertanyaan: Apakah yang peneliti coba lakukan saat mereka melakukan riset? 

Bagaimana caranya melakukan riset?

Pertanyaan “Di manakah posisi ilmu pengetahuan sosial dalam ilmu pengetahuan?” relevan untuk siapa saja yang berharap belajar mengenai metode riset sosial, karena jawabannya ditemukan pada metode yang digunakan oleh peneliti. Metodologi riset adalah yang membuat ilmu sosial ilmiah. Pertanyaan ini amat penting dan memiliki sebuah perdebatan panjang.  Ini berkali-kali ditanyakan semenjak ilmu sosial diciptakan. Ahli ilmu sosial klasik seperti Auguste Comte, Emile Durkheim, Karl Marx, John Stuard Mill, dan Max Weber ponderedmerenungkan pertanyaan ini. Setelah melalui diskusi dan debat sepanjang dua abad, pertanyaan ini masih menyertai kita hingga saat ini. Sesungguhnya ini tidak memiliki jawaban yang sederhana.

Sebuah pertanyaan yang memiliki jawaban ganda tidak berarti jika segalanya terjadi begitu saja; ini artinya peneliti sosial memilih dari pendekatan alternatif kepada ilmu pengetahuan. Tiap pendekatan memiliki sumsi dan prinsip sendiri dan cara bersikap untuk melakukan riset. Pendekatan ini jarang dideklarasikan secara eksplisit di laporan penelitian, dan banyak peneliti hanya memiliki kesadaran samar kepada mereka. Selain itu pendekatannya memainkan sebuah peran penting dan ditemukan sepanjang ilmu sosial dan wilayah aplikasi yang berkaitan dengannya.

Collin (1989:134) berargumen jika debat apakah ilmu sosial merupakan ilmu pengetahuan datang dari devinisi yang terlalalu kaku dari ilmu pengetahuan. Ia menandai, “ Filsafat modern dari ilmu pengetahuan tidak akan menghancurkan ilmu sosiologi; ini tidak menyebutkan jika ilmu pengetahuan itu mustahil tetapi memberikan gambaran yang lebih flexibel kepada kita apakan ilmu pengetahuan itu.” Pendekatan di dalam bab ini membantu meringkas isu dalam filsafat untuk mengkonkritkan teknik penelitian. Mereka mengharamkan apa yang terdapat dalam penelitian sosial yang bagus, membenarkan mengapa seseorang melakukan riset, menghubungkan nilai-nilai kepada riset, dan memandu sikap rasis.Mereka adalah acuan yang luas saat peneliti melakukan studi. Couch (1987:106) meringkas hal tersebut sebagai berikut:

Posisi ontologi dan epistemologi posisi dari riset berikut … tradisi riset menyediakan landasan salah satu dari pertengkaranh pahit dalam sosiologi kentemporer…. Tiap sisi mengklaim jika kerangka berpikir yang mereka promosikan menyediakan arti untuk memperoleh pengetahuan tentang ilmu sosial, dan tiap perhatian terhadap upaya yang lainnya merupakan kesesatan terbaik. … Mereka berselisih mengenai fenomena apa yang harus didatangi, bagaimana cara mendekati fenomena, dan bagaimana cara menganalisa fenomena.

Melalui akhir bab ini, anda harus memiliki tiga jawaban untuk pertanyaan: Apa yang ilmiah dari ilmu pengetahuan sosial? Satu jawaban akan muncul untuk masing-masing dari ketiga pendekatan untuk didiskusikan. Anda mungkin menemukan keberagaman pendekatan-pendekatan ini membingungkan awalnya, tetapi setelah mempelajarinya, anda akan menemukan jika aspek-aspek lain dari penelitian dan teori menjadi lebih jelas. Teknik penelitian khusus berdasarkan pendekatan umum yang didiskusikan dalam bab ini. Teknik (seperti pengamatan eksperimental dan partisipatif) akan lebih masuk akal untuk anda dan anda akan belajar lebih cepat jika waspada terhadap logika dan asumsi dimana mereka berdasar. Selain itu, pendekatan yang disampaikan disini akan membantu anda memahami perbedaan perspektif yang mungkin anda jumpai saat anda membaca studi penelitian sosial. Hampir sama pentingnya, tiga pendekatan tersebut memberi anda kesempatan untuk membuat pilihan informasi diantara berbagai jenis penelitian yang ingin anda lakukan. Anda mungkin merasa lebih nyaman dengan sebuah pendekatan daripada dengan yang lainnya.

TIGA PENDEKATAN
Kita perlu memulai dengan mengenali jika makna ilmu tidak tertulis di batu atau turun temurun sebagai teks suci; ini merupakan evolusi dari kreasi manusia. Sampai awal tahun 1800-an, hanya filsuf dan pelajar di sekolah agama yang terikat di bangku skolah berspekulasi atau menulis mengenai tingkah laku manusia. Teori klasik membuat sebuah kontrinbusi besar untuk peradaban modern ketika mereka berargumentasi jika dunia sosial, dikombinasikan dengan kehati-hatian dan berpikir logis dapat menyediakan sebuah pengetahuan yang baru dan berguna mengenai hubungan manusia. Di kehidupan modern, ilmu diterima sebagai cara mendapatkan pengetahuan.

Sekali ide mengenai ilmu dari dunia sosial mendapatkan penerimaan, isunya menjadi: seperti apakah ilmu tersebut terlihat, dan bagaimana hal tersebut dilakukan? Beberapa orang menuju ke ilmu pengetahuan alam yang sudah diterima (seperti fisika, biologi, dan kimia) dan mengkopi metode mereka. Argumen mereka sederhana: legitimasi dari ilmu pengetahuan alam berhenti pada metode ilmiah, jadi ilmuwan sosial harus mengadopsi pendekatan yang sama.

Banyak peneliti menerima jawaban tersebut, tapi hal ini memiliki banyak kesulitan. Pertama, ada sebuah debat mengenai apa arti ilmu , termasuk dalam ilmu pengetahuan alam. Metode ilmiah hanyalah seperangkat abstrak yang longgar, prinsip kabur yang hanya menyediakan sedikit petunjuk. Pelajar yang mengambil spesialisasi di sejarah dan filosofi ilmu telah mengekspolari bermacam cara untuk melakukan penelitian ilmiah dan menemukan jika ilmu menggunakan beberapa metode. Kedua, beberapa pelajar berkata jika manusia secara kualitatif berbeda dengan objek di ilmu pengetahuan alam (seperti bintang, batu, tanaman, dan komponen kimia). Manusia berpikir dan belajar, memiliki sebuah kesadaran mengenai diri mereka dan masa lalunya, juga memiliki motif dan alasan. Karakter unik manusia ini berarti ada sebuah ilmu pengetahuan khusus yang dibutuhkan untuk mempelajari kehidupan sosial manusia.

Penelitian sosial tidak berhenti ketika para filsuf berdebat. Mempraktekan pengembangan penelitian cara melakukan riset berdasar gagasan informal ilmu. Haln ini dimasukkan dalam kesimpulan. Peneliti terkemuka menggunakan taknik untuk memperkenalkan penelitian sosial yang kadang menyimpang dari model ideal ilmu yang baik menurut filsuf.

Tiga pendekatan di bagian ini berasal dari evaluasi kembali besar dari ilu sosial yang dimulai pada tahun 1960 (2). Ketiga alternatif dari ilmu sosial merupakan ide dasar yang disaring dari banyak argumen spesifik. Pada prakteknya, sedikit peneliti sosial yang setuju dengan keseluruhan bagian dari sebuah pendekatan. Seringkali mereka memadukan elemen dari masing-masing pendekatan. Namun, pendekatan tersebut memperlihatkan perbedaan mendasar di pandangan dan asumsi alternatif mengenai penelitian ilmu sosial (3). Pendekatan-pendekatan tersebut merupakan cara yang berbeda untuk melihat dunia—cara untuk mengobservasi, mengukur, dan memahami realitas sosial. Mereka dimulai dari posisi yang berbeda, meski semuanya berakhir dengan melihat atau mengatakan hal yang sama.

Untuk menyederhanakan diskusi, saya menyusun asumsi dan ide dari pendekatan menuju jawaban dalam delapan pertanyaan ini:
  1. Kenapa seseorang harus melakukan penelitian ilmu sosial?
  2. Apa yang sifat alamiah mendasar dari realitas sosial? (pertanyan ontologis)
  3. Apa sifat alamiah manusia?
  4. Apa hubungan antara ilmu pengetahuan dan logika?
  5. Apa yang menjadi sebuah penjelasan atau teori dari realitas sosial?
  6. Bagaimana seseorang menentukan sebuah penjelasan itu benar atau salah?
  7. Bagaimana sebuah bukti yang baik atau informasi faktual terlihat?
  8. Dimana nilai-nilai sosiopolitik masuk dalam ilmu?
Tiga pendekatan tersebut adalah positivisme, ilmu pengetahuan sosial interpretatif, dan ilmu sosial kritis. Kebanyakan penelitian sosial berdasar pada dua yang pertama. Positivisme merupakan pendekatan yang tertua dan paling banyak digunakan. Miller (1987:4) seorang filsuf ilmu mengamati, “Positivisme merupakan pandangan filosofis paling umum dalam ilmu pengetahuan. Belum ada alternatif baru yang luasnya sebanding dengan hal tersebut.” Pendekatan interpretatif berdiri di posisi minoritas dalam debat sepanjang abad. Ilmu pengetahuan sosial kritis kurang umum dilihat di jurnal ilmiah. Ini termasuk untuk memberi Anda jarak penuh dari debat terhadap makna ilmu pengetahuan sosial dan karena kritiknya terhadap pendekatan lain dan mencoba untuk bergerak dibelakangnya.

Tiap pendekatan diasosiasikan dengan tradisi yang berbeda di teori sosial dan beragam teknik penelitian. Hubungan antara pendektan luas terhadap ilmu pengetahuan, teori sosial, dan teknik riset tidaklah ketat. Pendekatan tersebut mirip dengan program penelitian, tradisi penelitian dan paradigma ilmiah. Sebuah paradigma, ide yang diperkenalkan oleh Kuhn (1970), filsuf lain dalam ilmu pengetahuan, berarti orientasi dasar terhadap teori dan riset. Ada banyak definisi dari paradigma. Umumnya, sebuah paradigma ilmiah merupakan keseluruhan sistem berpikir. Hal tersebut termasuk asumsi dasar, pertanyaan penting untuk dijawab atau teka-teki untuk diselesaikan, teknik penelitian yang harus dipakai, dan contoh dari ilmu penelitian yang baik. Sebagai contoh, sosiologi menyebut sebuah multiparadigma ilmiah karena tidak ada paradigma tunggal yang berkuasa; selain, beberapa yang saling berkompetisi. (4)

ILMU PENGETAHUAN SOSIAL POSITIVISME
Ilmu pengetahuan positivisme digunakan secara luas, dan positivisme didefinisikan secara luas menjadi pendekatan ilmu pengetahuan alam. Faktanya, banyak orang tidak pernah mendengar pendekatan alternatif. Mereka berasumsi jika pendekatan positivisme adalah ilmu. Ada banyak versi dari positivisme dan hal tersebut memiliki sejarah panjang dari filosofi ilmu dan diantara para ilmuwan. (5) sampai saat ini untuk banyak peneliti hal tersebut menjadi label rendah untuk dihindari. Turner (1992: 1511) mengamati, “Positivisme tidak lagi memiliki reverensi jelas, tetapi ini membuktikan jika dalam beberapa hal menjadi positivis bukanlah hal yang baik.” Jawaban dari delapan pertanyaan memberi Anda gambaran mengenai apa itu pendekatan positivisme berdasarkan nama seperti empirisme logis, pandangan yang diterima atau konvensional, postpositivisme, naturalisme, model hukum, dan behaviorisme.

Positivisme berkembang dari sekolah pada abad 19 yang dipikirkan oleh orang Perancis yang menemukan sosiologi—Auguste Comte (1798-1857). Pekerjaan utama Comte dalam enam jilid, Course de Philosophie Positivistic (The Course of Positive Philosophy) masih digunakan hingga kini. Filsuf Inggris John Stuart Mill (1830-1873) mengelaborasikan dan memodifikasi sitem tersebut dalam karyanya A Sistem of Logic (1843). Sosiolog klasik Emile Durkheim (1858-1917) mengarisbawahi sebuah versi dari positivisme dalam Rules of The Sociological Metode (1895) ciptaannya yang kini menjadi teksbook kunci untuk para peneliti sosial positivis.

Positvisme diasosiasikan dengan banyak teori sosial spesifik. Yang paling terkenal adalah hubungan terhadap struktural-fungsional, pilihan rasional, dan pertukaran kerangka kerja teori. Peneliti positivis memilih data kualitatif yang tepat dan kadang menggunakan eksperimen, survey, dan statistik. Mereka mencari penelitian yang tepat, terperinci, dan “objektif”, dan mereka mengetes hipotesa dengan analisa yang hati-hati dari tindakan. Banyak peneliti aplikatif (administrator, kriminolog, peneliti pasar, analis kebijakan, evaluator program, dan perencana) merangkul positivisme. Kritikus menilai positivisme mengurangi orang dari angka dan kepeduliannya dengan hukum abstrak atau formula tidak relevan dengan hidup aktual manusia nyata.
Sebuah pendekatan positivisme mendominasi artikel dari jurnal sosiologi utama di Inggris, Kanda, Scandinavia, dan di Amerika Serikat sepanjang tahun 1960 dan 1970, hal tersebut menurun tajam di jurnal Eropa tetapi pendekatan tadi cukup dominan di jurnal-jurnal Amerika Utara (6).

Positivisme berkata jika “hanya ada satu logika ilmu, di mana banyak aktivitas intelektual bercita-cita tinggi terhadap judul ‘ilmu pengetahuan’ harus dikonfirmasi” (Keat dan Urry, 1975:25, memberi penekanan pada keaslian). Dengan demikian ilmu sosial dan ilmu pengetahuan alam harus menggunakan metode yang sama. Menurut pandangan ini, perbedaan antara ilmu sosial dan ilmu pengetahuan alam tergantung pada ketidak dewasaan atau usia muda dari ilmu sosial dan subyeknya. Meski demikian, segala ilmu, termasuk ilmu sosial, akan mirip ilmu paling awal, fisika. Perbedaan diantara ilmu tersebut mungkin ada pada subjek mereka (contohnya, geologi membutuhkan teknik yang berbeda dari astrofisik atau mikrobiologi karena perbedaan objek yang dipelajari), tapi semua ilmu pengetahuan membagikan peralatan umum dari prinsip-prinsip dan logika.

Positivisme melihat ilmu sosial sebagai sebuah metode yang terorganisir untuk mengombinasikan logika deduktif dengan pbservasi empiris yang teat dari kebiasaan individual dalam rangka untuk menemukan dan mengkonfirmasi sebuah peralatan dari hukum probabilitas yang dapat digunakan untuk memprediksi pola umum dari aktivitas manusia.    

Pertanyaan:

  1. Mengapa seseorang harus melakukan penelitian sosial ilmiah?
Tujuan utama penelitian adalah adalah penjelasan ilmiah—untuk menemukan dan mendokumantasikan hukum universal dari tingkah laku manusia. Jawaban penting lainnya adalah untuk mempelajari bagaimana dunia bekerja sehingga manusia dapat mengontrol atau memprediksikan suatu kejadian. Ide yang ada dibelakang ini kemudian disebut sebagai sebuah orientasi instrumental. Ini adalah sebuah ketertarikan teknis yang berasumsi pengetahuan dapat digunakan sebagai alat atau instrumen untuk memuaskan keinginan manusia dan mengontrol lingkungan fisik dan sosial. Sekali manusia menemukan hukum yang memerintah kehidupan manusia, kita dapat menggunakannya untuk mengubah relasi sosial, untuk meningkatkan bagaimana sesuatu terjadi, dan memprediksikan apa yang akan terjadi. Sebagai contoh, seorang positifis menggunakan sebuah teori mengenai bagaimana kita belajar mengidentifikasi faktor kunci dari sebuah sistem pendidikan (seperti ukuran kelas, kebiasaan lembaga pelajar, pendidikan guru dan lain-lain) yang memprediksi meningkatnya pembelajaran pelajar. Ia memperkenalkan sebuah studi dan ketepatan untuk mengukur faktor-faktor untuk memferifikasi hukum penyebab dalam teori. Positivis kemudian membangun pengetahuan yang digunakan untuk sebuahpendidikan resmi untuk mengubah lingkungan sekolah dengan cara yang mampu meningkatkan cara belajar murid. Pandangan ini dirangkum oleh Turner (1985: 39) seorang pembela pendekatan positifisme yang menyatakan jika “dunia sosial menerima pengembangan hukum abstrak yang dapat diuji melakui koleksi yang berhati-hati terhadap data.” Dan peneliti tersebut perlu untuk “membangun prinsip abstrak dan model mengenai properti konstan dan tidak lekang waktu dari dunia sosial.”

Positivis berkata jika ilmuwan terikat di pertanyaan tanpa henti untuk pengetahuan. Semakin banyak ia belajar, kompleksitas baru akan ditemukan sehingga masih harus belajar lagi. Versi awal dari postivisme menjaga jika manusia tidak akan pernah mengetahui segalanya karena hanya Tuhan yang memiliki pengetahuan tersebut: bagaimanapun juga, sebagai ciptaan yang ditempatkan di planet ini dengan kapasitas hebat untuk pengetahuan, manusia memiliki kewajiban untuk menemukan sebanyak mungkin yang ia bisa.

  1. Apa itu dasar alamiah dari realitas sosial?
Positivis modern memegang sebuah pandangan penting: realitas adalah nyata: ini ada “di luar sana” dan menunggu untuk ditemukan. Ide ini mencatat jika persepsi manusia dan intelektual mungkin cacat, dan realitas mungkin susah untuk dicocokkan tetapi hal ini nyata. Terlebih lagi, realitas sosial tidak acak, ini terpola dan memiliki urutan. Tanpa asumsi ini (contoh, jika dunia kalang-kabut dan tanpa keteraturan) logika dan prediksi adalah hal yang mustahil. Ilmu pengetahuan mengijinkan manusia menemukan urutan dan hukum alam. “Dasar hukum observational dari ilmu pengetahuan mempertimbangkan untuk menjadi nyata, pokok, dan pasti karena mereka tercipta dari pabrik dunia alam. Menemukan hukum ini seperti menemukan Amerika, dalam hal keduanya menunggu untuk terungkap” (Mulkay, 1979: 21).

Dua asumsi lain adalah jika pola dasar dari realitas sosial adalah stabil dan pengetahuan mengenai hal tersebut merupakan bahan tambahan. Regularitas dalam relitas sosial tidak barubah dimakan waktu, dan hukum yang ditemukan saat ini akan menunggu di masa yang akan datang. Kita dapat mempelajari banyak bagian dari realitas dalam satu waktu, kemudian menambahkan potongan-potongan secara bersama-sama untuk mendapat gambaran secara keseluruhan. Beberapa versi awal dari asumsi ini berkata jika keteraturan di alam ini diciptakan dan sebagai bukti keberadaan tuhan ataupun sang pencipta.

  1. Apakah dasar sifat manusia?
Dalam positivisme, manusia diasumsikan tertarik pada dirinya sendiri, pencari kepuasan, individu yang rasional. Manusia mengoperasikan dasar dari penyebab eksternal dengan penyebab yang sama bisa memiliki efek yang sama terhadap semua orang. Hal ini lebih penting daripada apa yang terjadi di realitas dalam dan subjektif. Kadangkala, hal ini disebut sebagai model mekanis dari manusia atau pendekatan behaviorisme. Ini berarti manusia bereaksi terhadap kekuatan luar yang senyata kekuatan fisik terhadap sebuah objek. Durkheim (1938: 27) menyatakan, “Realitas eksternal menyarankan jika peneliti mungkin tidak memeriksa motivas internal yang tidak terlihat dari perilaku seseorang.

Positifis berkata pada institusi manusia tidak terjadi akibat dari apa yang orang inginkan. Kegiatan manusia dapat diterangkan deferensi dari hukum penyebab, yang mendeskripsikan sebab dan mereka mengidentifikasi kekuatan yang menggerakan yang sifatnya sama seperti hukum alam di ilmu pengetahuan.  Hal ini menyarankan jika ide mengenai kehendak bebas sebagian besar adalah fiksi dan hanya mendeskripsikan aspek dari tingkah laku manusia yang belum terungkap oleh ilmu pengetahuan.

Sedikit positivis yang mempercayai determinasi absolut, dimana manusia mirip seperti robot atau boneka yang harus merespon hal yang sama. Lebih lanjut, hukum penyebab memiliki kemungkinan. Hukum membutuhkan banyak kelompok orang atau terulang di banyak situasi. Peneliti dapat memperkirakan tingkah laku yang terprediksi. Dengan kata lain, hukum mengijinkan kita untuk membuat prediksi akurat mengenai seberapa sering tingkah laku sosial akan terlihat dalam sebuah grup yang besar. Hukum penyebab  tidak dapat memprediksi tingkah laku spesifik dari orang yang spesifik di tiap kesempatan. Bagaimanapun juga, mereka bisa berkata dalam kondisi X, Y, dan Z, ada 95% kemungkinan jika satu-setengah orang akan terikat dengan di sebuah tingkah laku spesifik. Sebagai contoh, peneliti tidak dapat memprediksikan bagaimana John Smith akan memilih di pemilu mendatang. Tetapi, setelah menganalisa berbagai fakta mengenai John Smith dan menggunakan hukum kebiasaan politik, peneliti dapat melihat secara akurat jika ada 85% kemungkinan jika ia (dan orang-orang seperti dirinya) akan menggunakan suaranya untuk kandidat C. ini bukan berarti Bapak Smith tidak bisa memilih siapa yang ia inginkan. Tetapi, tingkah laku memilihnya terpolakan dan terbentuk oleh kekuatan di luar dirinya.

       4. Apa hubungan antara ilmu pengetahuan dan nalar?

Positivis melihat pembagian yang jelas antara ilmu pengetahuan dan yang bukan ilmu pengetahuan. Dalam banyak cara untuk melihat kebenaran, ilmu pengetahuan sangat khusus—jalan “terbaik”. Ilmu pengetahuan lebih baik daripada dan akhirnya akan menggantikan cara yang lebih inferior dalam mendapatka pengetahuan (seperti sihir, agama, astrologi, pengalaman pribadi, dan tradisi). Ilmu pengetahuan membawa beberapa ide dari nalar, tapi ini menggantikan bagian dari nalar yang ceroboh, secara logika tidak konsisten, tidak sistematis, dan penuh bias. Komunitas ilmu pengetahuan—dengan norma spesial, tingkah laku ilmiah, dan tekniknya—dapat dengan berulangkali menghasilkan “Kebenaran,” dimana nalar tidak begitu jarang dan inkosisten.

Seorang peneliti yang bekerja di tradisi positivisme kadang menciptakan perbendaharaan kata yang sepenuhnya baru—sebuah peralatan ide ilmiah dan istilah terkait. Ia menginginkan untuk menggunakan ide yang lebih konsisten secara logika dan dengan hati-hati berpikir keluar dan memperbaiki jika ide dapat ditemukan di nalar harian. Peneliti positivis “harus memformulasikan konsep baru di permulaan dan tidak mengandalkan gagasan diam…. Ada pilihan untuk masing ketepatan yang dipercayai mungkin di sebuah bahasa yang berdasar pada disiplin daripada bahsa samar dan tidak tepat dalam hidup sehari-hari” (Blaikie, 1993: 206). Dalam Hukum Metodologi Sosiologi karyanya, Durkheim mengingatkan peneliti untuk “secara mantap menolak dirinya menggunakan konsep tersebut dibentuk diluar ilmu pengetahuan” dan untuk “membebaskan dirinya dari semua pengertian keliru yang menunggu digoyang oleh pikiran dari orang biasa” (dikutip dalam Gilbert, 1992: 4).

        5. Apa yang merupakan sebuah penjelasan atau teori dari realitas sosial?

Penjelasan ilmu pengetahuan positifis adalah nomothetic (nomos dalam Bahasa Yunani berarti hukum); ini berdasar pada sistem sebuah hukum keseluruhan. Ilmu pengetahuan menjelaskan kenapa kehidupan sosial adalah sebuah jalan yang sekarang ini menemukan hukum penyebab. Penjelasan memerlukan bentuk: Y itu disebabkan oleh X karena X dan Y merupakan jarak spesifik dari hukum penyebab. Dengan kata lain, sebuah penjelasan positivis menyatakan keumuman hukum penyebab yang diaplikasikan untuk atau menutupi observasi spesifik mengenai kehidupan sosial. Hal ini mengapa positivisme diklatakan menggunakan sebuah model  hukum meliputi dari penjelasan.

Positifisme berasumsi jika hukum berlaku sesuai alasan yang logis dan ketat. Peneliti menghubungkan hukum penyebab dan fakta spesifik yang diamati mengenai kehidupan sosial dengan logika deduktif. Positifis percaya jika akhirnya hukum dan teori mengenai ilmu sosial akan terlihat dalam sistem simbol formal, dengan aksioma, akibat wajar, dalil, dan teorema-teorema. Suatu hari, teori ilmu pengetahuan sosial akan terlihat sama dengan yang ada dalam matematika dan ilmu pengetahuan alam.

Hukum dari tingkah laku manusia seharusnya berlaku secara universal, termasuk didalamnya di segala masa dan semua budaya. Seperti tercatat sebelumnya, hukum tersebut tercantum dalam bentuk kemungkinan untuk keseluruhan orang. Sebagai contoh, sebuah penjelasan positifis dari kenaikan tingkat kejahatan di Toronto pada tahun 1990 menunjukkan faktor-faktor (seperti naiknya angka perceraian, berkurangnya komitmen terhadap nilai moral tradisional dan sebagainya) yang dapat ditemukan di mana saja dan kapan saja: di Buenos Aires pada tahun 1890, di Chicago pada 1940, atau di Singapura pada 2010. Faktor-faktor tersebut secara logika mengikuti sebuah hukum keseluruhan (seperti turunya tradisi moral akibat meningkatnya angka tingkah laku kriminal).

Pemenang penghargaan Nobel—Steven Weinberg (2001: 50) mengekspresikan tampilan nomotetis dalam positivisme dan bagaimana hal tersebut dihubungkan dengan pemikiran positifis ketika ia berkata:

Kami berharap jika di masa mendatang kita akan mendapatkan sebuah pemahaman dari semua regularitas yang kita lihat di alam berdasarkan pada beberapa prinsip sederhana, hukum alam, yang mana semua keteraturan bisa disimpulkan. Hukum ini akan menjelaskan prinsip apapun… dapat disimpulkan secara langsung darinya, dan hal tersebut prinsip menyimpulkan secara langsung tersebut dapat disimpulkan darinya, dan seterusnya… Mungkin harapan terbesar kami untuk sebuah penjelasan akhir adalah untuk menemukan seperangkat hukum alam terakhir dan memperlihatkan jika hal tersebut hanyalah konsistensi logis, teori yang kaya… Ini mungkin hanya terjadi dalam satu atau dua abad.  

       6. Bagaimana seseorang menentukan kapan sebuah pernyatan itu benar atau salah?

Positivisme berkembang selama masa Pencerahan (paska—Abad Pertengahan) era berpikir Barat (7). Ini termasuk sebuah ide Pencerahan penting: Manusia dapat mengenali kebenaran dan membedakan hal tersebut dari kebohongan dengan menerapkan alasan, dan dalam jangka panjang melewati abad, kondisi manusia dapat mempertajam pemikiran mulai penggunaan alasan dan perburuan kebenaran. Saat pengetahuan tumbuh dan ketidakpedulian menurun, kondisi akan membaik. Optimisme ini mempercayai jika pengetahuan yang menumpuk melalui waktu memainkan peran dalam bagaimana positivis memisahkan kebenaran dari penjelasan salah.

Dalam positivisme, untuk diperhatikan secara serius, penjelasan harus menemui dua kondisi: mereka harus (1) tidak memiliki kontradiksi logis dan (2) harus konsisten dengan fakta yang diamati. Sebelumnya, ini tidak cukup. Pengulangan juga dibutuhkan (8). Beberapa peneliti dapat mengulang atau membuat ulang hasil dari penelitian sebelumnya. Hal ini meletakkan sebuah pemeriksaan dalam keseluruhan sistem untuk menciptakan pengetahuan. Ini menjamin kejujuran karena ini secara berulang diuji oleh penjelasan melalui fakta yang keras dan obyektif. Sebuah kompetisi terbuka ada diantara penjelasan yang berlawanan, hukum pembagian digunakan, fakta netral secara akurat diobservasi, dan logika setepatnya diikuti. Melampaui waktu, ilmu pengetahuan ilmiah menumpuk sebagai penelitian yang berbeda berlaku tes merdeka dari sebuah teori dan tambahan temuan. Sebagai contoh, seorang peneliti menemukan jika kanaikan pengangguran berkaitan dengan meningkatnya kekerasan terhadap anak di San Diego, California. Sebuah hubungan sebab akibat diantara kekerasan anak dan pengangguran ini tidak hanya ditunjukkan oleh sebuah studi. Mengkonfirmasi sebuah hukum penyebab tergantung pada cara menemukan hubungan yang sama di kota lain dengan peneliti lain menggunakan tes mandiri mengenai keterkaitan antara pengangguran dan kekerasan terhadap anak.

       7. Seperti apakah bukti yang baik dan informasi faktual terlihat?

Positivisme adalah dualisme: ini mengasumsikan jika fakta yang dingin dan dapat diamati secara fundamental dipisahkan dari ide, nilai, dan teori. Fakta empiris berdiri terpisah dari ide personal atau pemikiran. Kita dapat mengobservasi mereka menggunakan organ perasaan kita (penglihatan, bau, dan sentuhan) atau instrumen spesial yang memperpanjang perasaan (seperti teleskop, mikroskop, dan peralatan Geiger). Beberapa peneliti memperlihatkan ide ini sebagai bahasa dari fakta empiris dan sebuah bahasa dari teori abstrak. Jika manusia tidak setuju terhadap fakta, ini harus menunjuk pada kegunaan tidak penting dari instrumen yang terkait atau untuk observasi yang ceroboh atau tidak memadai. “Penjelasan ilmiah melibatkan akurasi dan ketepatan keterikatan dari fenomena” (Derksen dan Gartrell, 1992: 1714). Pengetahuan dari mengamati realitas yang ada menggunakan perasaan kita lebih superior daripada pengetahuan lain (seperti intitusi, perasaan emosional, dll): hal ini mengijinkan kita untuk memisahkan kebenaran dari ide keliru mengenai kehidupan sosial.

Positivis mengombinasikan ide dari status istimewa dari observasi empiris dengan asumsi jika pemahaman subjektif dari dunia empiris dibagikan. Pengetahuan faktual ini tidak hanya berdasar pada observasi dan alasan dari satu orang. Ini harus bisa dikomunikasikan dan dibagikan kepada yang lain. Manusia rasional yang secara mandiri mengamati fakta akan setuju dengannya. Hal ini disebut intersubyektivitas, atau pembagian pengetahuan subyektif dari fakta-fakta. Banyak positivis menerima sebuah versi doktrin pemalsuan yang diungkap oleh filsuf Anglo-Australian Sir Karl Popper (1902-1991) dalam The Logic of Scientific Discovery (1934). Proper berargumen jika klaim jika ilmu pengetahuan “tidak dapat dibuktikan dan dijustifikasi secara utuh, mereka hanya bisa ditolak (Phillips, 1987: 3). Bukti yang bagus untuk sebuah hukum sebab-akibat melibatkan lebih dari mengelupas fakta pendukung; ini melibatkan pencarian bukti yang kontradiktif dengan hukum sebab-akibat. Dalam contoh klasik, jika saya ingin mengetes klaim mengenai seluruh angsa berwarna putih dan saya menemukan seribu angsa putih, saya tidak secara keseluruhan mengkonfirmasi sebuah hukum sebab-akibat atau sebuah pola. Semuanya hanya perlu menaruh sebuah angsa hitam untuk menolak klaim saya—sekeping bukti negatif. Hal ini berarti peneliti mencari bukti yang tidak dikonfirmasi, dengan demikian hal terbaik yang bsia mereka katakan adalah, “Sejauh ini, aku tidak mampu menunjukkan beberapa sehingga klaimnya mungkin benar.”
  1. Di mana nilai sosiopolitik memasuki ilmu pengetahuan?
Positivis berargumen untuk sebuah ilmu pengetahuan yang bebas nilai yang objektif. Ada dua makna mengenai istilah objektif: observernya menyetujui apa yang mereka lihat dan ilmu pengetahuan  tersebut tidak berdasar pada nilai-nilai, opini, sikap, atau kepercayaan. (9) positivis melihat ilmu pengetahuan sebagai bagian yang sepesial dan terpisah dari masyarakat yang bebas dari nilai-nilai personal, politik dan keagamaan. Hal ini berlaku merdeka dari kekuatan sosial dan kultural yang mempengaruhi aktivitas lain manusia. Ini melibatkan penerapan cara berpikir rasional yang ketat dan pengamatan sistematis dalam kebiasan yang transcent prasangka personal, bias, dan nilai. Peneliti menerima dan menginternalisasikan norma sebagai bagian dari keanggotaan mereka dalam komunitas ilmiah. Komunitas ilmiah memiliki sebuah sistem elaborasi dari pemeriksaan dan keseimbangan untuk menjaga dari bias nilai. Seorang tugas utama peneliti menjadi sebuah “peneliti tanpa ketertarikan” (10) cara pandang positivis terhadap nilai telah memiliki dampak besar dalam bagaimana manusia melihat isu etnik dan pengetahuan:

Untuk tingkatan jika sebuah teori positivisme dari sebuah pengetahuan ilmiah menjadi kriteria dari segala pengetahuan, pemahaman moral, dan komitmen politis telah dilegitimasi sebagai hal yang irasional dan mereduksi inclination subyektif. Prasangka ethnical saat ini terpikir sebagai opini personal. (Brown, 1989: 37).

Rangkuman
Anda mungkin menemukan akrab dengan beberapa asumsi positivis karena pendekatan positivis diajarkan secara luas sama seperti ilmu pengetahuan. Sedikit orang berhati-hati dari asal asumsi positivis. Sebuah aspek keagamaan awal berada dalam beberapa asumsi karena pelajar yang mengembangkannya di Eropa Barat sepanjang abad 18 dan 19 memiliki pelatihan keagamaan dan hidup dalam sebuah latar budaya historis yang berasumsi mengenai kepercayaan spesifik. Banyak asumsi dari positivis akan muncul kembali saat Anda membaca teknik riset kualitatif dan keterkaitan di bagian berikut. Sebuah pendekatan positivis mengimplikasikan jika seorang peneliti memulai dengan sebuah hubungan sebab-akibat general yang ia turunkan secara logis dari sebuah hukum sebab-akibat dari teori umum. Ia secara logis menghubungkan ide abstrak mengenai hubungan terhadap keberkaitan yang tapat dari dunia sosial. Peneliti mempertimbangkan netralitas dan obyektivitas sebagaimana ia terikat dengan aspek dari kehidupan sosial, menentukan bukti dan replikasi dari penelitian orang lain. Proses ini menggiring kepada sebuah tes empiris dan sebagai konfirmasi dari hukum kehidupan sosial seperti digarisbawahi dalam teori.

Kapan dan kenapa ilmu pengetahuan positivis menjadi dominan? Sejarahnya panjang dan kompleks. Sebagian besar saat ini merupakan kemajuan yang tidak dapat terelakkan dari ilmu pengetahuan umum. Ilmu pengetahuan positivis berkembang pesat karena adanya perubahan di konteks sosio politis yang lebih luas. Positivisme menghasilkan dominasi di Amerika Serikat dan menjadi model untuk penelitian sosial di banyak negara paska Perang Dunia II, sekali Amerika Serikat menjadi pemimpin untuk kekuatan dunia. Sebuah kepercayaa terhadap obyektivisme—sebuah versi kuat mengenai positivisme—terbangun di sosiologi AS selama tahun 1920. Obyektivisme tumbuh saaat peneliti bergeser dari studi berorientasi reformasi sosial dengan lebih sedikit teknik ketepatan dan formal menuju teknik teliti dalam sebuah model kebiasaan “bebas nilai” pada ilmu pengetahuan alam. Mereka menciptakan keteraturan yang berhati-hati dari tingkah laku eksternal dari individu untuk menciptakan data kualitatif yang dapat menjadi subyek untuk analisis statistik. Obyektivisme terlantar secara lokal berdasar studi dimana aksi berorientasi dan secara luas kualitatif. Ini tumbuh karena kompetisi diantara para peneliti untuk gengsi dan status berkombinasi dengan tekanan lain termasuk dana dari lambaga pribadi (seperti Ford Foundation, Rockefeller Foundation, dll), administrator universitas yang ingin menghindari politik tidak konvensional, sebuah keinginan oleh peneliti untuk tampilan publik dari profesionalisme serius, dan informasi yang dibutuhkan untuk mengembangkan birokrasi pemerintah dan perusahaan. Takanan ini berkombinasi untuk mendefinisikan ulang penelitian sosial. Dengan pengurangan teknis, studi lokal aplikatif yang diperkenalkan oleh reformer sosial (umumnya perempuan) sering dibayang-bayangi secara berlebihan oleh penelitian kualitatif apolitik, dan tepat oleh seorang profesor laki-laki dari sebuah departemen di universitas (11)

ILMU SOSIAL INTERPRETATIF
Ilmu sosial interpretatif bisa menitis pada sosiolog Jerman Max Weber (1864-1920) dan filsuf Jerman Wilhem Dilthey (1833-1911). Dalam pekerjaan utamanya, Einlaitung in Die Geisteswissensshaften (Introduction to the Human Sciences) (1883), Dilthey berargumen jika ada dua jenis ilmu pengetahuan yang secara fundamental: Naturwisenschaft dan larung, atau penjelasan abstrak. Yang terakhir berakar pada sebuah pemahaman empatik, atau versehen, dari pengalaman keseharian hidup manusia di latar sejarah spesifik. Weber berargumen jika ilmu sosial diperlukan untuk mempelajari aksi sosial yang bermakna, atau aksi sosial dengan tujuan. Ia memeluk Verstehen dan merasa jika kita harus belajar mengenai alasan personal atau motif yang membentuk perasaan internal seseorang dan mendorong pengambilan keputusan untuk melakukan sebuah aksi dengan cara tertentu.

Kita harus mengatakan “aksi sosial” dimana aksi manusia itu secara subyektif berhubungan dalam makna dengan tingkah laku yang lainnya. Tabrakan yang tidak disengaja antara dua siklus sebagai contoh, tidak harus disebut aksi sosial. Tapi kita akan mendefinisikan sebagai sebuah kemungkinan usaha sebelumnya menjauhi satu sama lain… Aksi sosial adalah bukan satu-satunya aksi signifikan untuk penjelasan akibat sosiologis, tapi hal ini merupakan obyek primer untuk sebuah “sosiologi interpretatif.” (Weber, 1981: 159)

Ilmu sosial interpretatif berkaitan dengan hermeneutik, sebuah teori mengenai makna yang berasal dari abad 19. Istilah tersebut datang dari dewa dalam mitologi Yunani, Hermes, yang memiliki tugas mengkomunikasikan hasrat para dewa pada kefanaan. Hal ini “secara literer bermakna membuat kesederhanaan kabur” (Blaikie, 1993: 28). Hermeneutik secara luas ditemukan dalam kemanusiaan (filosofi, sejarah seni, studi keagamaan, linguistik, dan kritik literer). Ini memberi penekanan pada sebuah pembacaan detail atau pemeriksaan dari sebuah teks, yang mana dapat menunjuk pada sebuah percakapan, kata tertulis, atau gambar. Seorang peneliti memperkenalkan “pembacaan” untuk menemukan makna yang menempel pada teks. Tiap pembaca membawa pengalaman subyektifnya terhadap sebuah teks. Ketika mempelajari teks, si peneliti/ pembaca mencoba untuk menyerap atau menyelami cara pandang yang disajikan secara keseluruhan dan kemudian mengembangkan sebuah pemahaman dalam dari bagaimana bagian ini berhubungan dengan keseluruhan. Dengan kata lain, makna sejati jarang sederhana dan terlihat jelas di permukaan; seseorang bisa mendapatkannya melalui sebuah studi detail dari teks, mengkontemplasikan banyak pesan didalamnya dan melihat hubungan antar bagiannya.

Ada beberapa varietas dari ilmu sosial interpretatif (ISS): hermeunitik, konstruksionisnisme, etnometodologi, kognitif, idealis, fenomenologis, subyektif, dan sosiologi kualitatif. (12) Sebuah pendekatan interpretatif berasosiasi dengan simbol interaksi, atau sekolah sosiologi dari tahun 1920-1930. Hal ini kadang disebut sebagai metode penelitian kualitatif.

Peneliti interpretatif sering menggunakan observasi partisipatif dan penelitian lapangan. Teknik-teknik ini membutuhkan peneliti menghabiskan banyak waktu untuk melakukan kontak langsung dengan yang dipelajarinya. Peneliti lain ISS menganalisa transkrip dari percakapan atau mempelajari rekaman video tingkahlaku secara mendetail, mencari kemungkinan mengenai komunikasi nonverbal, untuk mengerti detail dari interaksi dalam konteks mereka. Seorang peneliti positivis akan mengaitkan secara tepat detail kualitatif mengenai ribuan orang dan menggunakan statistik, sedangkan seorang peneliti interpretatif mungkin hidup setahun bersama selusin orang untuk mengumpulkan detail data kualitatif yang luas untuk memperoleh pemahaman mendalam mengenai bagaimana mereka menciptakan makna dalam kehidupan nyata.

Berlawanan dengan orientasi instrumental positivisme, pendekatan interpretatif mengadopsi sebuah orientasi praktis. Hal ini berhubungan dengan bagaimana manusia biasa memanajemen affair praktisnya dalam hidup sehari-hari, atau bagaimana mereka mendapatkan sesuatu terjadi. Ilmu sosial interpretatif peduli dengan bagaimana orang berinteraksi dan bergaul satu sama lain. Secara umum, pendekatan interpretatif ini adalah analisa sistematis dari aksi makna sosial melalui detail observasi langsung terhadap manusia dalam seting alamiahnya dalam rangka untuk datang pada pemahaman dan interpretasi terhadap bagaimana manusia menciptakan dan menjaga dunia sosialnya.

Pertanyaan:
  1. Kenapa seseorang sebaiknya melakukan penelitian ilmiah sosial?
Untuk penelitian interpretative, tujuan penelitian sosial adalah untuk membangun pemahaman kehidupan sosial dan menemukan bagaimana manusia membangun makna di hidup alaminya. Seorang peneliti interpretative ingin belajar mengenai apa yang berarti atau berkaitan dengan orang yang dipelajari, atau bagaimana seseorang mengalami hidup sehari-harinya. Peneliti melakukan ini dengan mencari tahu sebuah latar sosial khusus dan melihatnya dari sudut pandang orang yang berada didalamnya. Peneliti membagikan perasaan dan interpretasi terhadap orang yang ia pelajari dari sudut pandang objeknya. Meringkas tujuan dari 10 tahun ia mempelajari Willie, seorang pemilik toko reparasi di daerah pedesaan, Harper—seorang peneliti interpretative (1987: 12) berkata, “Tujuan penelitian ini untuk berbagi perspektif Willie.”

Peneliti interpretative mempelajari makna aksi sosial, tidak hanya pengamatan kebiasaan atau lahiriah dari masyarakat. Aksi sosial adalah aksi terhadap orang yang terikat makna subjektif, ini adalah sebuah aktivitas yang memiliki tujuan atau maksud. Spesies bukan manusia kurang berbudaya dan alasan untuk merencanakan sesuatu serta tujuan untuk tingkah laku mereka; lebih lanjut, ilmuan sosial sebaknya mempelajari keunikan tingkah laku manusia. Sebagai contoh, sebuah reflek fisik seperti kedipan mata merupakan tingkah laku manusia yang jarang dimasukkan sebagai aksi sosial yang disengaja (ada sebuah alas an atau motivasi manusia dibaliknya), namun pada situasi tertentu, ini bisa menjadi aksi sesial (seperti mengedip). Aktivitas-aktivitas dari aktor sosial membutuhkan lebih dari sekadar tujuan sederhana, mereka harus memasyarakat dan “untuk aksi dianggap sebagai sosial dan untuk menjadi ketertarikan ilmuwan sosial, si actor harus mengaitkan makna subjektif kepadanya dan ini harus ditujukan terhadap aktivitas ke kelompok lain (Blaikie, 1993: 37).    

Pendekatan interpretative menandai jika aksi manusia memiliki sedikit makna yang melekat. Ini mengakuisisi makna yang mengijinkan mereka untuk menginterpretasikan aksi sebagai tanda sosial yang relevan atau tanda. Sebagai contoh, mengacungkan satu jari pada sebuah situasi dengan orang lain mengekspresikan makna sosial (contoh, sebuah petunjuk, sebuah ekspressi persahabatan, sebuah tanda vulgar) tergantung sistem makna kultural dimana aktor sosial tersebut berbagi.
  1. Apa dasar sifat realitas sosial
Pendekatan interpretative melihat kehidupan sosial manusia sebagai prestasi. Ini tercipta secara intensif keluar dari aksi bertujuan mahluk sosial. Berlawanan dengan ide realistik (dibagikan oleh ilmu positivisme dan ilmu sosial kritis) dimana kehidupan masyarakat “diluar sana ”, merdeka dari kesadaran manusia, ISS berkata realitas sosial tidak menunggu untuk ditemukan. Selain itu, dunia sosial sebagian besar merupakan apa yang orang lihat. Kehidupan sosial ada sebagaimana manusia mengalami dan memberinya makna. Hal tersebut cair dan rapuh. Orang mengkonstruksikan hal tersebut melalui interaksi dengan orang lain di perjalanan proses dari komunikasi dan negosiasi. Mereka beroperasi berdasar asumsi-asumsi yang belum teruji dan diterima begitu saja sebagai pengetahuan mengenai manusia dan peristiwa disekelilingnya.

Pendekatan interpretative menjaga jika kehidupan sosial ini bergantung pada interaksi sosial dan secara sosial dikonstruksikan oleh sistem makna. Orang memiliki sebuah perasaan terhadap realitas pengalaman internal. Perasaan subjektif terhadap realitas ini penting untuk memegang kehidupan sosial manusia. Di ISS, “Akses ke kehidupan lain manusia itu memungkinkan, bagaimanapun juga hanya oleh makna tidak langsung: apa yang kita alami awalnya adalah gerak, suara, dan aksi dan hanya pada proses memahami apakah kita mengambil langkah dari tanda luar yang mendasari kehidupan batin” (Bleicher, 1980:9).

Untuk peneliti interpretative, realitas sosial berdasar pada definisi manusia terhadapnya. Definisi seseorang terhadap sebuah situasi memberi tahu ia bagaimana cara untuk menentukan makna di kondisi yang terus-menerus berubah. Sebagai contoh, realitas sosial saya termasuk cara bereaksi terhadap seorang perempuan yang disebut ibu. Saya memeluknya, memberikan ia hadiah saat ulangtahunnya, dan menceritakan isi hati kepadanya. Saya belajar melakukan hal ini melalui harapan aturan budaya dan pengalaman bertahun-tahun dalam relasi sosial yang dekat. Hingga kini, realitas sosial dari relasi bukanlah hal yang tetap. Definisi mengenai sebuah situasi bisa berubah secara dramatis. Realitas sosial akan hancur, sebagai contoh, jika perempuan yang sama menjadi hilang ingatan, tidak mengenali saya, dan secara institusional dinyatakan gila.

Positivis berasumsi jika tiap orang berbagi sistem makna yang sama dan kita semua mengalami dunia dengan cara yang sama. Pendekatan interpretative berkata jika orang mungkin atau tidak mungkin mengalami realitas sosial dan fisik dengan cara yang sama. Pertanyaan kunci untuk seorang peneliti interpretative adalah: Bagaimana manusia mengalami dunia? Apakah mereka menciptakan dan berbagi makna? Ilmu sosial interpretative menunjuk kepada beberapa contoh dimana beberapa orang melihat, mendengar, bahkan menyentuk objek fisik yang sama namun memperlihatkan perbedaan makna dan interpretasi terhadap hal tersebut. Peneliti interpretative berargumen jika positivis menghindari pertanyaan penting dan memaksakan satu cara untuk mengalami dunia orang lain. Sebaliknya, ISS berasumsi jika multi interpretasi dari pengalaman atau realitas manusia adalah mungkin. Jika dijumlah, pendekatan ISS yang mengkonstruksi makna dan menciptakan realita melalui interaksi dalam kehidupan sosial harian mereka.
  1. Apakah dasar dari sifat alami manusia?
Manusia biasa terlibat dalam proses menciptakan sistem yang fleksibel dari makna melalui interaksi sosial. Mereka kemudian menggunakan makna tersebut untuk menginterpretasikan kehidupan sosial mereka dan membuat rasa dari kehidupan mereka. Tingkah laku manusia mungkin memiliki pola dan teratur, tapi ini tidak tergantung pada hukum yang sudah ada menunggu untuk ditemukan. Pola tercipta diluar dari sistem makna yang berkembang atau konvensi sosial yang digeneralisir manusia sebagai interaksi sosialnya. Pertanyaan penting untuk peneliti interpretative adalah: apa yang orang percaya benar? Apakah yang mereka pegang relevan? Bagaimana mereka mendefinisikan yang mereka lakukan?

Peneliti interpretative ingin menemukan aksi apa yang berarti untuk orang yang terlibat dengannya. Ini membuat sedikit rasa untuk mencoba  menyimpulkan kehidupan sosial dari , teori logis yang mungkin tidak berkaitan terhadap perasaan dan pengalaman dari manusia biasa. Manusia memiliki alasan tersendiri untuk aksi mereka, dan peneliti butuh mempelajari alasan yang digunakan manusia. Motif pribadi penting untuk diperhatikan meski kadang mereka tidak rasional, sangat emosional, dan membawa fakta yang salah dan prasangka.

Beberapa peneliti interpretative berkata jika hukum yang dicari oleh positivis mungkin ditemukan hanya jika komunitas ilmiah memahami bagaimana manusia menciptakan dan menggunakan sistem makna, bagaimana perasaan biasanya dibangun, dan bagaimana manusia menerapkan perasaan umumnya terhadap sebuah situasi. Peneliti interpretative yang lain mengatakan tidak ada hukum seperti itu dalam kehidupan sosial manusia sehingga pencarian tersebut sia-sia. Catat Schwandt (1994: 130). “Interpretatif kontemporer dan konstruktivis kemungkinan tidak menunggu jika ada beberapa dasar yang tidak dapat dipertanyakan untuk beberapa interpretasi” (ditekankan pada keaslian). Dengan kata lain, penciptaan makna dan rasa dari realitas hanyalah apa yang manusia pikirkan mengenai hal tersebut, dan tidak membuat makna lebih baik atau superior terhadap lainnya. Sebagai contoh, seorang peneliti interpretative melihat hasrat untuk menemukan hukum dari tingkah laku dimana seorang pengangguran menyebabkan penganiayaan terhadap anak sebagai hal yang terlalu dini dan berbahaya pada saat yang buruk. Di sisi lain, ia ingin memahami bagaimana pengalaman subyektif seorang pengangguran dan apa makna kehilangan pekerjaan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Demikian pula, peneliti interpretatif ingin mempelajari bagaimana si pelaku kekerasan terhadap anak menjelaskan aksi mereka, alasan apa yang mereka berikan untuk penyiksaan, dan apa yang mereka rasakan mengenai menyiksa anak? Ia mengeksplorasi makna menjadi pengangguran dan alasan untuk menyiksa anak dalam rangka memahami orang-orang yang terlibat langsung. 

  1. Apa hubungan antara ilmu pengetahuan dan nalar?
Positivis melihat nalar inferior jika dibandingkan dengan ilmu pengetahuan. Sebaliknya, peneliti interpretatif berargumen jika manusia biasa menggunakan nalar untuk membimbing mereka dalam kehidupan sehari-hari; olehkarena itu, sebelumnya seseorang harus menggenggam nalar. Manusia menggunakan nalar sepanjang waktu. Ini merupakan timbunan teori tiap hari yang digunakan manusia untuk mengorganisir dan menerangkan peristiwa di dunia. Ini merupakan hal kritis untuk memahami nalar karena hal tersebut mengandung makna yang manusia gunakan jika mereka terikat dalam interaksi sosial yang rutin.

Sebuah pendekatan interperetatif berkata jika nalar dan hukum positifis merupakan cara alternatif untuk menafsirkan dunia; yang mana, mereka memiliki sistem makna yang berbeda. Nalar maupun hukum ilmiah tidaklah memiliki semua jawaban. Tidak juga inferior ataupun superior satu sama lain. Di sisi lain, peneliti interpretatif melihat masing-masing sama penting dalam domainnya masing-masing; masing-masing diciptakan dalam cara yang berbeda untuk tujuan yang berbeda.

Manusia biasa tidak dapat berfungsi dalam kehidupan sehari-hari jika mereka mendasarkan aksi mereka hanya pada ilmu pengetahuan. Sebagai contoh, untuk merebus telur, manusia mewnggunakan pengalaman yang tidak sistematis, kebiasaan, dan dugaan. Aplikasi ketat dari ilmu pengetahuan alam akan membuat seseorang membutuhkan hukum fisika untuk menentukan memanaskan air dan hukum kimia untuk membangun perubahan dalam perubahan internal komposisi telur. Meski ilmuwan alamiah terbiasa menggunakan nalar saat mereka tidak sedang “melakukan hal ilmiah” dalam wilayah kemampuan mereka.

Pendekatan interpretatif berkata jika nalar adalah sumber vital dari informasi untuk memahami manusia. Nalar seseorang dan rasa dai realitas muncul dari sebuah orientasi pragmatis dan seperangkat asumsi mengenai dunia. Manusia tidak tahu apakah nalar tersebut benar, tami mereka harus berasumsi jika hal tersebut benar dalam rangka untuk mendapatkan segala hal selesai. Filsuf interpretatif, Alferd Schutz (1899-1959), menyebut hal ini sebagai sikap alamiah. Ini berdasarkan asumsi jika dunia ada sebelum dirimu datang dan dunia akan terus berlanjut setelah kamu pergi. Orang membangun cara untuk menjaga atau mereproduksi sebuah rasa dari realitas berdasar dari sistem makna yang mereka ciptakan dalam berlatih interaksi sosial dengan orang lain.
  1. Apa yang merupakan sebuah penjelasan atau teori dari realitas sosial?
Positivis percaya jika teori sosial seharusnya mirip dengan ilmu pengetahuan alam dengan aksioma deduktif, teorema-teorema, dan hukum kausal. Selain dari sebuah labirin hukum keterikatan dan rencana, teori untuk ISS menceritakan kisah. Teori ilmu sosial interpretatif mendeskripsikan dan menginterpretasikan bagaimana seseorang melakukan kehidupan sehari-hari mereka. Hal tersebut termasuk konsep dan generalisasi terbatas, tapi hal tersebut tidak terpisah secara dramatis dari pengalaman dan realitas dalam dari orang yang dipelajari.
Pendekatan interpretatif idiografis dan induktif. Idiografis berarti pendekatan tersebut menyediakan sebuah representasi simbol atau deskripsi “tipis” dari hal yang lain. Seorang peneliti interpretatif melaporkan mungkin membaca lebih banyak novel atau sebuah biografi daripada sebuah bukti matematis. Hal tersebut kaya dalam deskripsi detail dan kurang dalam abstraksi. Seorang analis interpretatif dari sebuah latar sosial, seperti interpretasi dari sebuah karya seni, memiliki koherensi internal dan hal ini berdasar pada teks, yang di sana merujuk pada makna pengalaman harian orang yang dipelajari.

Teori interpretatif memberi pembaca sebuah rasa untuk realitas sosial orang lain. Teori melakukan hal ini dengan mengungkapkan makna, nilai, skema interpretatif, dan aturan hidup yang digunakan orang dalam hidup kesehariannya. Sebagai contoh, hal tersebut mungkin mendeskripsikan tipikal utama yang digunakan orang dalam latar untuk mengenali dan menginterpretasikan pengalaman mereka. Sebuah tipikalisasi adalah sebuah informal model, skema, atau seperangkat kepercayaan yang manusia gunakan untuk mengkategorikan dan mengorganisisr aliran peristiwa harian yang mereka alami.

Selain itu, teori interpretatif menyerupai sebuah peta yang menggaris bawahi sebuah dunia sosial atau buku panduan turis yang mendeskripsikan kebiasaan lokal dan noma tidak resmi. Sebagai contoh, sebuah laporan interpretatif terhadap pejudi profesional memberitahu pembaca mengenai karir dan kepedulian harian orang tersebut. Hal tersebut mendeskripsikan bagaimana seorang pejudi profesional berbicara, bagaimana mereka memandang orang. Dan apa ketakutan dan ambisi mereka. Peneliti memberikan sedikit generalisasi dan mengorganisir konsep. Sampah dari laporan berisi detail mengenai dunia perjudian. Teori dan bukti terjalin untuk menciptakan sebuah kesatuan yang utuh: saat konsep dan generalisasi menikah dengan konteks mereka.
  1. Bagaimana seseorang menentukan sebuah penjelasan itu benar atau salah?
Positifis secara logika disimpulkan dari teori, koleksi data, dan analisa fakta dalam cara yang dapat digandakan oleh ilmuwan lain. Sebuah penjelasan dipertimbangkan benar saat hal tersebut berdiri untuk pengulangan. Untuk ISS, sebuah teori adalah benar jika hal itu masuk akal untuk mereka yang dipelajari dan jika mengijinkan orang lain untuk paham secara mendalam atau memasuki realitas dari mereka yang dipelajari. Teori atau deskripsi tersebut akurat jika peneliti menyampaikan sebuah pemahaman mendalam mengenai cara orang lain menjawab, merasakan, dan melihat sesuatu. Prediksi mungkin benar, tapi ada sebuah jenis prediksi yang berlaku ketika dua orang sangat dekat, saat ketika mereka menikah dalam jangka waktu lama. Sebuah penjelasan interpretatif mendokumentasikan cara pandang aktor dan menerjemahkannya kedalam bentuk yang dapat dimengerti oleh pemabaca. Smart (1976: 100) membaca ini sebagai postulat kecukupan:

Postulat kecukupan menegaskan jika sebuah akun ilmiah dari aksi manusia dihadirkan untuk seorang aktor indivisual sebagai sebuah skrip hal ini harus dipahami terhadap aktor tersebut, dapat diterjemahkan dalam aksi oleh aktor dan lebih jauh lebih comprehensif untuk aktor lainnya pada masa sebuah interpretasi nalar dari keseharian hidup.

Sebuah deskripsi dari peneliti interpretatif mengenai sistem makna orang lain merupakan sebuah akun sekunder. Seperti seorang petualang yang bercerita mengenai tanah asing, peneliti bukanlah penduduk asli. Sebuah pandangan luar seperti itu tidak pernah sepadan dengan sebuah akun primer yang diberikan oleh orang yang dipelajari, tetapi hal tersebut akan lebih bagus jika lebih dekat dengan akun primer penduduk asli. Sebagai contoh, satu cara untuk mengetes kejujuran dari sebuah studi interpretatif dari seorang pejudi profesional adalah dengan cara meminta seorang pejudi profesional membaca dan mengklarifikasinya secara mendetail. Sebuah laporan yang bagus memberitahu seorang pembaca cukup mengenai dunia seorang pejudi profesional sehingga jika seorang pembaca menyerapnya dan bertemu dengan pejudi profesional, pemahaannya mengenai jargon perjudian, tampilan, dan gaya hidup mungkin membuat si penjudi bertanya apakah pembaca tersebut juga seorang pejudi profesional.   
  1. Bagaimana sebuah bukti yang baik atau informasi faktual terlihat?
Bukti bagus dalam positivisme dapat diobservasi, tepat, dan mandiri dari teori dan nilai. Sebaliknya, ISS melihat fetures unik dari konteks spesifik dan makna sebagai sesuatu yang penting untuk memahami makna sosial. Bukti mengenai aksi sosial tidak dapat diisolasi dari konteks di mana hal tersebut terjadi atau makna diserahkan kapadanya oleh aktor sosial yang terlibat. Sebagaimana Weber (1978: 5) berkata, “Empati atau apresiasi akurat tercapai jika melalui partisipasi simpatik, kita dapat menyerahkan menggenggam konteks emosional di mana aksi mengambil tempat.”

Ilmu sosial interpretatif melihat fakta sebagai hal yang cair dan melekat pada sebuah sistem makna dalam penbdekatan interpretatif; mereka bukanlah bagian tersendiri, obyektif, dan netral. Fakta merupakan aksi konteks spesifik yang tergantung dari interpretasi dari orang-orang tertentu dengan sebuah latar belakang sosial. Apa yang diasumsikan positifis—jika orang luar yang netral mengobservasi kebiasaan dan melihat fakta yang tidak ambigu dan obyektif—seorang peneliti ISS mengambil seperti sebuah pertanyaan untuk dijawab: Bagaimana orang mengamati ambiguitas dalam kehidupan sosial dan menandai makna? Peneliti interpretatif berkata jika situasi sosial berisi perjanjian hebat mengenai ambiguitas. Hal ini membuatnya nyaris tidak mungkin untuk menemukan fakta yang terusterang dan obyektif. Kebanyakan tingkah laku atau statemen dapat memiliki beberapa makna dan dapat ditafsirkan dalam berbagai cara. Dalam aliran kehidupan sosial yang ambigu, manusia secara konstan “masuk akal” dengan menilai pertanda dalam sebuah situasi dan menandai makna sampai mereka tahu “apa yang terjadi”. Sebagai contoh, saya melihat seorang perempuan mengacungkan tangannya kedepan dengan posisi telapak tangan didepan. Meski aksi sederhana ini membawa makna potensial ganda; saya tidak tahu maknannya tanpa mengetahui situasi sosialnya. Ini bisa berarti ia mencegah calon perampok, mengeringkan cat kukunya, menyetop taksi, mengagumi cincin barunya, berkata pada lalu-lintas didepannya untuk berhenti, atau memesan lima bagel di counter roti. (13) Manusia mampu untuk menandai makna yang sebenarnya terhadap sebuah aksi atau pernyataan jika ia mengambil kontek sosial di mana hal tadi terjadi.

Peneliti interpretatif jarang menanyakan survey, mengumpulkan survey dari banyak orang, dan mangklaim sesuatu bermakna. Interpretasi tiap orang terhadap pertanyaan survey harus ditempatkan dalam konteks (seperti pengalaman individual sebelumnya atau situasi pada saat interviuw survey), dan makna sebenarnya dari jawaban seseorang akan bervariasi menurut konteks interview atau pertanyaannya. Lebih lanjut, karena tiap orang menentukan sebuah makna yang berbeda terhadap pertanyaan dan jawaban, mengombinasikan jawaban hanyalah menjadi omong kosong.

Saat mempelajari sebuah latar belakang atau data, peneliti interpretatif dari sekolah ethnomethodologika sering menggunakan tanda kurung. Tanda kurung adalah sebuah latihan mental dimana peneliti mengidentifikasi kemudian menyiapkan sebuah asumsi yang dapat diterima yang digunakan dalam sebuah latar sosial. Pertanyan peneliti dan pengujian kembali peristiwa biasa yang memiliki makna “jelas” terhadap mereka yang terlibat. Sebagai contoh, pada sebuah kantor, seorang pekerja laki-laki berusia akhir 20-an berkata pada peneliti perempuan, “Kami akan bersama-sama bermain softball malam ini setelah bekerja, Apakah Anda ingin bergabung?” Apa yang tidak dikatakan adalah si peneliti harus mengetahui peraturan softball, memiliki sebuah sarung tangan softball, dan berganti dari baju kerja ke pakaian lain sebelum permainan. Tanda kurung menampakkan apa yang “semua orang tahu” –apa yang diasumsikan orang tapi jarang dikatakan. Hal ini membantu peneliti membuka feature kunci dari latar sosial yang membuat peristiwa lain mungkin. Hal tersebut akan terlihat jika memahami bahan dasar di mana aksi tersebut terjadi.    
  1. Dimana nilai-nilai sosiopolitik masuk dalam ilmu?
Peneliti positivis memanggil untuk mengeliminasi nilai dan beroperasi dalam sebuah lingkungan apolitik. Peneliti interpretatif, sebaliknya, berargumen jika peneliti seharusnya berefleksi, menilai kembali, dan menganalisa cara pandang personal dan perasaan sebagai bagian dari proses untuk mempelajari orang lain. Peneliti interpretatif membutuhkan, setidaknya sekali tempo, untuk berempati dengan dan dan berbagi dengan dan berbagi dalam komitmen dan nilai sosial dan politik dari orang yang ia pelajari.

Penelitian interpretatif tidak mencoba untuk menilai bebas, pertanyaan ISS dan kemungkinan untuk meraihnya. Sesungguhny hal ini terjadi karena penelitian interpretatif melihat nilai dan makna ada di mana-mana dalam segala hal. Peneliti interpretatif mendesak untuk membuat nilai eksplisit dan tidak berasumsi jika seseorang menyiapkan sebuah nilai itu lebih baik atau buruk. Aturan paling baik dari peneliti adalah menjadi “partisipan yang penuh ketertarikan” (Guba dan Lincoln, 1994: 115), untuk terlibat dengan yang dipelajarinya.

Rangkuman
Pendekatan interpretatif ada selama bertahun-tahun sebagai oposisi setia positivisme. Meski beberapa peneliti sosial positivis menerima pendekatan interpretatif sangat berguna dalam penelitian eksploratori (lihat bab 2), hanya sedikit positivis yang beranggapan hal ini ilmiah. Anda akan membaca lagi mengenai tampilan saat anda memeriksa penelitian lapangan dan untuk tingkatan yang lebih kecil, penelitian historis komparatif di bab berikutnya. Pendekatan interpretatif adalah dasar untuk teknik penelitian sosial yang peka terhadap konteks, yang menggunakan berbagai metode untuk melihat ke dalam cara melihat dunia dan pendekatan tadi lebih peduli dengan mencapai sebuah pemahaman empati daripada hukum menguji perilaku manusia.

ILMU SOSIAL KRITIS
Ilmu sosial kritis (CSS) menawarkan alternative ketiga sebagai metodologi untuk mengungkap makna. Versi dari pendekatan ini disebut materialisme dialektika, analisis kelas, dan struktualisme. (14) Ilmu pengetahuan kritis mengombinasikan pendekatan nomotetik dan ideografik. Hal ini sejalan dengan banyak kritik dari pendekatan interpretatif langsung pada positivisme, tetapi ini memasukkan beberapa hal lain dan tidak sejalan dengan ISS dalam beberapa hal. Pendekatan ini menitis pada Karl Marx (1818-1883) dan Sigmund Freud (1856-1939), dan dielaborasi oleh Theodor Adorno (1903-1969), Enrich Form (1900-1980), dan Herbert Marcuse (1898-1979). Kadang, CSS diasosiasikan dengan teori konflik, analisa feminis, psikoterapi radikal. Hal ini juga terikat kepada teori kritis yang pertama kali dikembangkan oleh Sekolah Frankfurt di Jerman pada tahun 1930. (15) Ilmu sosial kritis mengkritik ilmu positifisme sebagai hal yang tajam, anti demokratis, dan tidak humanis pada penggunaan alasannya. Hal ini digarisbawahi oleh esai Adorno, “Sociology and Empirical Research” (1976a) dan “The Logic of the Sosial Sciences” (1976b). Perwakilan terkenal dari sekolah tersebut, Jurgen Habermas (1929- ), mempertajam ilmu sosial kritis dalam bukunya Knowledge and Human Interests (1971). Dalam ranah pendidikan, karya Feire Pedagogy of the Oppressed (1970) juga dekat dengan pendekatan CSS.

Contoh lain adalah sosiolog Perancis Pierre Bourdieu. (16) Bourdieu membela pendekatan langka terhadap teori dan riset. Pendekatan dasar ini antipositif dan antiinterpretatif. Ia menolak kedua hal tersebut, hukum seperti pendekatan empiris kualitatif dan pendekatan voluntaris yang subjektif dari ISS. Bourdieu berargumen jika penelitian sosial harus reflektif (mempelajari dan mengkritik dirinya sendiri seperti yang ia lakukan terhadap subjeknya) dan ini bersifat politis. Ia juga mempercayai jika tujuan penelitian adalah untuk membuka dan ketidakjelasan peristiwa biasa. Akhir-akhir ini, sebuah pendekatan filosofis yang disebut realisme telah digabungkan dalam ilmu pengetahuan kritis. (17)

Ilmu pengetahuan interpretatif mengkritik positivisme gagal untuk mengetahui makna dari manusia nyata dan kapasitas mereka untuk berpikir dan merasa. Ilmu tersebut juga mempercayai jika positivisme mengabaikan kontek sosial dan antihumanis. Ilmu pengetahuan kritis setuju dengan kritik terhadap positifisme. Ini juga mempercayai jika positifisme bertahan dari status quo karena ilmu tersebut berasumsi mengenai tatanan sosial yang tidak berubah daripada melihat masyarakat saat ini sebagai tahapan lumrah dalam sebuah proses yang sedang berjalan.

Peneliti kritis mengkritik pendekatan interpretatif menjadi terlalu subyektif dan relatif. Peneliti kritis berkata jika ISS melihat segala sudut pandang sebagai hal yang setara. Pendekatan interpretatif memperlakukan ide manusia sebagai hal yang lebih penting daripada kondisi aktual dan berfokus pada seting lokal, tingkat rendah, dan jangka pendek yang mengabaikan kontek jangka panjang yang lebih luas. Ilmu pengetahuan sosial interpretatif secara umum peduli pada realitas subyektif. Untuk peneliti kritis, ISS amoral dan pasif. Hal itu tidak memiliki posisis nilai kuat atau secara aktif membantu orang untuk melihat kepalsuan ilusi diisekitarnya sehingga mereka bisa meningkatkan mutu hidupnya. Secara umum, CSS mendefinisikan ilmu sosial sebagai proses kritis dalam penyelidikan yang pergi dibalik permukaan ilusi untuk membuka struktur nyata dari dunia materia dalam rangka membantu manusia mengubah kondisi dan membangun dunia yang lebih baik untuk dirinya.

Pertanyaan:

  1. Mengapa seseorang harus menggunakan penelitian sosial?
Tujuan dari penelitian kritis adalah untuk mengubah dunia. Penelitian kritis memperkenalkan penelitian untuk mengkritik dan mengubah hubungan sosial. Mereka melakukan hal ini dengan cara menampakkan dan menggarisbawahi sumber dari relasi sosial dan pemberdayaan masyarakat, terutama masyarakat yang kurang berdaya. Lebih spesifik, mereka membuka mite, mengungkap kebenaran tersembunyi, dan menolong manusia untuk mengubah dunia bagi dirinya sendiri. Dalam CSS, tujuannya adalah “menjelaskan tatanan sosial dalam suatu cara sehingga hal tersebut menjadi katalis bagi dirinya sendiri yang akan memimpin perubahan menuju tatanan sosial tersebut’ (Fay, 1987: 27).

Peneliti kritik sosial berorientasi terhadap aksi. Dia tidak puas dengan banyak cara sesuatu terjadi dan mencari perubahan yang dramatis. Seorang peneliti positifis umumnya mencoba untuk menyelesaikan masalah seperti saat mereka didefinisikan oleh pemerintah atau elit perusahaan tanpa “membatukan kapal”. Sebaliknya, peneliti kritis mungkin menciptakan masalah dengan “ secara intensif menaikkan dan mengidentifikasi lebih banyak masalah daripada elit yang memerintah dalam politik dan administrasi serta mampu untuk mengakomodasi, lebih sedikit ‘menyelesaikan’ “ (Offe, 1981: 34-35). Peneliti kritis menanyakan pertanyan memalukan, mengekspose kemunafikan, dan menginfestegasi kondisi dalam rangka untuk mendorong aksi dramatis akar rumput. “Poin dari segala jenis ilmu termasuk segala pembelajaran adalah untuk mengubahdan mengembangkan pemahaman kita dan mengurangi ilusi.... Belajar adalah cara mengurangi ilusi dan ketidakpedulian; hal ini bisa membebaskan kita dari dominasi, sampai saat ini terkendala pengakuan, dogma dan kesalahan” (Sayer, 1992: 252).

Sebagai contoh, seorang peneliti kritis memperkenalkan sebuah studi yang memperlihatkan jika ada diskriminasi rasial di sebuah rumah sewa. Pemilik rumah yang berkulit putih menolak untuk menyewakan pada penghuni minoritas. Seorang peneliti kritis tidak hanya mempublikasikan sebuah laporan dan kemudian menunggu kantor perumahan yang adil dari pemerintah kota untuk beraksi. Peneliti memberikan laporan kepada koran dan menemui organisasi akar rumput untuk mendiskusikan hasil dari belajarnya. Ia bekerja dengan aktivis untuk memobilisasi aksi politis atas nama keadilan sosial. Ketika orang-orang akar rumput mengawasi pemogokan kantor pemilik rumah dan membanjiri pemilik rumah tadi dengan aplikasi rasis dari kaum minoritas untuk menyewa apartemen, atau mengorganisir unjuk rasa ke kantor pemerintah, peneliti kritis memperdiksikan jika pemilik rumah akan terpaksa menerima kaum minoritas. Tujuan utama penelitian tersebut untuk pemberdayaan. Kincheloe dan Mc Laren (1994: 140) menyatakan:

Penelitian kritis bisa menjadi pemahaman terbaik dalam kontek pemberdayaan individu. Penyelidikan yang bercita-cita terhadap nama kritis harus terhubung dengan sebuah usaha untuk mengkonfrontasi ketidakadilan dalam masyarakat umum atau lingkungan  dalam masyarakat. Peneliti kemudian menjadi sebuah usaha keras transformatif yang kemudian tanpa malu-malu dilabeli “politis” dan tidak takut untuk mengkonsusmsi sebuah hubungan dengan kesadaran emansipatoris.

  1. Apa dasar dari sifat alamiah realitas sosial?
Seperti positivisme, CSS mengadopsi posisi realis (realitas sosial ada “diluar sana” untuk ditemukan). Hal tersebut berbeda dengan positivisme yang realisme historisnya dalam realitas mena terlihat secara konstan dipertajam oleh faktor sosial, politik, dan budaya yang sama. Hal tersebut mungkin disalah artikan di permukaannya dan tidak dapat diamati selama struktur nyata ada dibawah kekuasaan. Dalam CSS, diasumsikan jika realitas sosial selalu berubah dan perubahan tersebut berdasar pada ketegangan, konflik, atau kontradiksi dari relasi sosial atau institusi. Hal tersebut terfokus pada perubahan dan konflik, terutama paradok atau konflik yang ada dalam cara relasi sosial terorganisir. Paradok tersebut atau konflik internal membutuhkan lebih dari kebenaran alami dari realitas sosial.

Sebuah analogi biologis mengilustrasikan paradok tersebut. Kematian dan kelahiran terlihat saling bertolak belakang , sebelumnya kematian diawali dengan kelahiran. Kita mulai mati saat kita dilahirkan. Hal ini terlihat aneh pada awalnya, tapi tubuh kita mulai menua dan menurun sepanjang hidup kita. Ada kontradiksi  didalamnya. Kelahiran membawa lawannya, kematian. Kemudian, tensi paling dalam diantara hidup dan bertambah tua berjalan sepanjang waktu. Dalam rangka untuk hidup, tubuh kita harus menua, atau bergerak menuju kematian. Kematian dan kelahiran berkurang dari oposisi yang mereka perlihatkan daripada bagian yang bertautan dari sebuah proses panjang tunggal perubahan. Kadangkala, ide ini merupakan konflik internal paradok atau kontradiksi yang membawa perubahan yang disebut dengan dialektika.

Perubahan bisa jadi—sangat lambat dalam jangka waktu lama tetapi kemudian tiba-tiba berubah cepat. Peneliti kritis mempelajari masa latu atau masyarakat yang berbeda dalam rangka untuk melihat lebih jelas perubahan atau untuk menemukan cara alternatif untuk mengorganisir kehidupan sosial. Ilmu sosial kritis tertarik dalam pengembangan selasi sosial baru, evolusi dari institusi sosial atau masyarakat, dan penyebab dari perubahan sosial utama.

Sebuah pendekatan kritis mencatat jika perubahan sosial dan konflik tidak selalu terlihat atau teramati. Dunia sosial itu penuh dengan ilusi, mite, dan distorsi. Observasi awal dari dunia kadang hanya tercapai sebagian dan kadang mengalami menyesatkan karena perasaan manusia terbatas. Apa yang kelihatan sebagai realitas permukaan tidak harus berdasar pada penipuan sadar.Karakteristik yang segera dirasakan oleh obyek, peristiwa, atau relasi sosial jarang mengungkap segalanya. Ilusi ini mengijinkan beberapa grup dalam masyarakat mempertahankan kekuasaan dan mengeksploitasi yang lain. Karl Marx, seorang sosiolog Jerman dan pemikir politis, menyatakan hal ini dengan tegas (Marx dan Angels, 1974: 39):

Ide dari kelas yang memerintah adalah dalam setiap masa ada ide yang memerintah:... Kelas yang memiliki materi produksi dan pembuangannya, memiliki kontrol pada saat yang bersamaan terhadap produksi kejiwaan, dengan demikian ... ide mengenai seseorang yang kekurangan penciptaan mental merupakan subyek dari hal tersebut.

Pendekatan ilmu pengetahuan kritis berargumen jika realitas sosial memiliki banyak lapisan. Dibalik observasi mengenai realitas permukaan tersimpan struktur atau mekanisme yang tidak dapat diobservasi. Peristiwa dan relasi antara realitas sosial superficial berdasarkan struktur dalam diantara permukaan dari obeservasi biasa. Kita dapat membuka atau memperlihatkan struktur tersebut dengan usaha. Pertanyaan tajam dan terarah, teori yang bagus mengenai cara mencari, sebuah posisi nilai yang jelas, dan sebuah orientasi historis membantu peneliti kritis mengira-ira dibawah permukaan realitas dan menemukan struktur yang dalam.

ISS dan CSS keduanya melihat realitas sosial sebagai hal yang berubah dan subyek terhadap makna yang tercipta secara sosial. Pendekatan ilmu kritis tidak setuju dengan penekanan ISS pada level mikro interaksi interpersonal dan penerimaannya terhadap sistem makna. Sebaliknya, CSS berkata meskipun makna subyektif penting, ada relasi nyata yang obyektif yang membentuk relasi sosial. Peneliti kritis mempertanyakan situasi sosial dan menempatkannya di konteks historis level makro yang lebih luas.  

Sebagai contoh, seorang peneliti interpretatif mempelajari interaksi mengenai bos laki-laki dan sekretaris perempuannya dan menyediakan sebuah akun berwarna mengenai aturan tingkah laku mereka, mekanisme interpretatif, dan sistem makna. Sebaliknya, peneliti kritis memulai dengan sudut pandai (seperti feminis) dan mencatat isu yang diabaikan oleh sebuah deskripsi interpretatif: Kenapa bos harus laki-laki dan sekretaris harus perempuan? Kenapa ada aturan jika bos dan sekretaris memiliki kekuatan yang tidak sederajat? Kenapa aturan tersebut tercipta di organisasi besar di seluruh masyarakat kita? Bagaimana kekuatan yang tidak seimbang itu datang secara hisitoris, dan apakah dahulu sekretaris selalu perempuan? Bagaimana aturan mengenai konflik diantara bos dan sekretaris mengenai kondisi tiap hari yang ditemui bos (gaji besar, keanggotaan country club, mobil baru, rumah besar, rencana pensiun, bursa investasi, dll) dan yang dihadapi sekretaris (bayaran rendah tiap jam, anak untuk diasuh, peduli mengenai cara membayar tagihan, televisi sebagai satu-satunya cara rekreasi, dll)? Bisakah sekretaris bergabung dengan yang lain untuk menghadapi kekuasaan bosnya dan bos dengan tipe sama?

       3. Apakah sifat alamiah dari manusia?

Positivisme melihat kekuatan sosial mirip seperti jika mereka memiliki hidup mereka sendiri dan dioperasikan berdasar harapan personal orang-orang. Kekuatan sosial tersebut memiliki tenaga lebih dan beroperasi terhadap manusia. Pendekatan kritis menolak ide ini sebagai reificasi. Reifikasi adalah memberikan penciptaan dari aktivitas pribadimu sebuah eksistensi yang terpisah dan asing. Hal tersebut memisahkan dirimu dengan apa yang Anda ciptakan sampai Anda tidak lagi mengenali hal tersebut sebagai bagian dari Anda atau sebagai sesuatu yang Anda tolong untuk diwujudkan. Sekali Anda tidak lagi melihat kontribusimu dan memperlakukan apa yang Anda bantu untuk ciptakan, Anda kehilangan kontrol terhadap nasib Anda.

Sebagai contoh, dua orang bertemu, jatuh cinta, dan membangun rumah tangga. Dalam dua tahun, sang suami merasa tidak tertolong dan terjebak dalam kekuatan yang tidak terlihat. Ia bertengkar dengan istrinya mengenai perawatan anak dan aturan rumah tangga. Nilai sosial laki-laki tersebut mengatakan jika menganti popok atau mencuci piring merupakan hal yang salah untuk ia lakukan. Perjanjiannya untuk menikahi dan mengadopsi sebuah gaya hidup tertentu tercipta oleh sosialisasi dan keputusan pribadi. Kekuatan tidak terlihat memaksanya untuk membuatnya merasa terjebak dan tidak tertolong untuk kehidupan sosial yang ia ciptakan, meski ia melupakannya. Jika ia menjadi waspada terhadap kekuatan yang menjebaknya (seperti memodifikasi gaya hidupnya), ia mungkin akan menemukan solusi dan untuk merasa sedikit terjebak.

Peneliti kritis berkata jika manusia memiliki potensi hebat yang belum terealisasikan. Manusia itu kreatif, dapat berubah, dan adaptif. Menurut kreatifitas dan potensi mereka untuk berubah, bagaimanapun juga, manusia bisa menyesatkan, salah perlakuan, dan dieksploitasi oleh orang lain. Mereka menjadi terjebak dalam jaringan makna sosial, peraturan, dan hubungan pertemanan. Mereka gagal untuk melihat bagaimana perubahan itu mungkin dan demikian kehilangan kemerdekaan, kebebasan, dan kontrol terhadap hidup mereka. Hal ini terjadi ketika manusia mengijinkan dirinya sendiri menjadi terisolasi dan terpisah dari orang lain dalam situasi yang sama. Potensi yang dapat diciptakan manusia jika mereka menghilangkan ilusi mereka dan bergabung dengan masyarakat yang berubah. Manusia bisa mengubah dunia sosial, tetapi delusi, isolasi, dan kondisi menindas dalam kehidupan sehari-harinya sering menghalangi mereka untuk mewujudkan mimpinya.

Sebagai contoh, dalam beberapa generasi, kebanyakan penduduk Amerika mempercayai mite jika perempuan lebih rendah daripada laki-laki, jika laki-laki memiliki hak turunan untuk membuat keputusan utama dan jika perempuan tidak mampu untuk melakukan pertanggungjawaban profesional. Sebelum 1960, kebanyakan orang percaya jika perempuan kurang mampu jika dibandingkan dengan pria. Pada tahun 1980, hanya sebagian kecil melanjutkan untuk mempertahankan kepercayaaan tersebut. Perubahan dramatis dalam kepercayaan dan hubungan sosial dihasilkan dari sebuah kesadaran baru dan aksi politis terorganisir untuk menghancurkan sebuah mite yang ada di dalam hukum, kebiasaan, dan kebijakan resmi, yang sebaik—paling penting—dalam kepercayaan harian banyak orang.

        4. Apa hubungan antara ilmu pengetahuan dan nalar?

Posisi CSS dalam nalar bedasarkan pada ide mengenai kesadaran yang salah—jika orang salah dan beraksi melawan kebenaran sejatinya seperti yang didefinisikan dalam realitas obyektif. Realitas obyektif terletak dibelakang mite dan ilusi. Kesadaran yang salah tidak memiliki makna untuk ISS karena hal tersebut mengimplikasikan jika ada aktor sosial menggunakan sebuah sistem makna yang salah atau diluar sentuhan dengan realitas obyektif. Pendekatan interpretatif berkata jika orang menciptakan dan menggunakan sistem tersebut dan hanya peneliti yang bisa mendeskripsikan sistem tersebut, tidak menghakimi nilai mereka. Pendekatan kritis berkata jika peneliti sosial seharusnya mempelajari ide subyektif dan nalar karena hal tersebut membantuk tingkah laku manusia. Hingga kini, mereka penuh dengan mite dan ilusi yang memberi topeng terhadap dunia obyektif dimana ada kontrol yang tidak imbang antara sumberdaya dan tenaga.

Struktur yang dikatakan oleh peneliti kritis tersebut tidak mudah dilihat. Peneliti sebelumnya harus ketidakjelasan mereka dan menarik tabir dari bentuk permukaan. Observasi yang hati-hati tidaklah cukup. Hal itu tidaklah mengatakan apa yang harus diobservasi, dan mengobservasi sebuah ilusi tidaklah menghilangkan hal tersebut. Seorang peneliti harus menggunakan teori untuk menggali hubungan diantara permukaan, untuk mengobservasi periode krisis dan intensitas konflik, untuk memperkirakan hubungan, untuk melihat masa lalu, dan untuk melihat kemungkinan di masa depan. Membuka penutup di tingkatan lebih dalam dari realitas merupakan hal yang sulit, tapi hal tersebut penting karena realitas permukaan penuh dengan ideologi, mitologi, distorsi, dan kesalahan pendekatan. “Nalar bertendensi untuk menetralkan fenomena sosial dan untuk berasumsi jika apa itu harus menjadi. Sebuah ilmu sosial yang membangun ketidakkritisan pada nalar... memproduksi kesalahan ini” (Sayer, 1992: 43).

  1. Konstituen apa yang menjelaskan atau menjadi teori dari realitas sosial?
Positivisme berdasarkan ide mengenai determinasi: tingkah laku manusia ditentukan oleh hukum penyebab di mana manusia sedikit memiliki kontrol. Sebagai contoh, ISS berasumsi mengenai voluntarisme: orang memiliki jumlah besar keinginan bebas untuk menciptakan makna sosial. Pendekatan ilmu kritis ini jatuh jika dibandingkan dengan dua yang lain. Hal ini sebagian ditentukan dan sebagian voluntaris. Sebaliknya, CSS berkata jika manusia terdesak oleh kondisi material, konteks kultural, dan kondisi sejarah dimana mereka menemukan diri mereka membentuk keyakinan dan tingkahlakunya. Hingga saat ini, manusia tidak terkunci dalam perangkat tidak terelakkan dari struktur sosial, relasi, atau hukum. Manusia dapat mengembangkan pemahaman baru atau cara untuk melihat yang membuat mereka mampu untuk mengubah struktur, relasi, dan hukum ini. Pertama mereka harus membangun sebuah visi dari masa depan dan bekerja bersama untuk perubahan, kemudian mereka dapat menerima mereka yang beroposisi dengannya. Dalam sebuah kulit kacang, manusia yang membentuk takdir mereka, tetapi tidak dalam kondisi pilihan pribadi mereka.

Pendekatan kritis berfokus kurang dari hukum tetap mengenai tingkah laku manusia karena hukum tersebut berubah. Tingkah laku manusia hanya sebagian diperintah oleh hukum atau kendala yang dipaksakan yang mendasari stuktur sosial. Manusia bisa mengubah sebagian besar dari hukum jelas dari masyarakat meskipun hal ini sulit dan membutuhkan usaha panjang. Melalui identifikasi mengenai mekanisme penyebab, pemicu atau pengungkit dari relasi sosial, CSS menjelaskan mengenai bagaimana dan mengapa aksi tertentu akan membawa perubahan.

  1. Bagaimana seseorang menentukan sesuatu itu benar atau salah?
Positivis menguji teori dengan menyusun kesimpulan dari hipotesis, mengetes hipotesis dengan pengulangan observasi dan kemudian mengkombinasikan hasil untuk mendukung hukum. Peneliti interpretatif mendukung teori dengan melihat apabila sistem makna dn aturan tingkah laku masuk akal untuk mereka yang dipelajari. Teori kritis mencari untuk menyediakan manusia dengan sumber daya yang akan membantu mereka memahami dan mengganti dunia mereka. Seorang peneliti menguji teori kritis dengan secara akurat mendeskripsikan kondisi secara umum dengan cara mendasari struktur dan kamudian mengaplikasikan pengetahuan tersebut untuk mengubah hubungan sosial. Sebuah teori kritis yang baik mengajarkan manusia mengenai pengalaman pribadinya, membantunya untuk memahami aturan historis mereka, dan dapat digunakan untuk memperbaiki kondisi.

Teori kritis menginformasikan aksi praktis atau menyarankan untuk melakukan sesuatu, tetapi teori tersebut dimodifikasi berdasar penggunaannya. Sebuah teori kritis tumbuh dan berinteraksi dengan dunia yang ia cari untuk jelaskan. Karena sebuah pendekatan kritis mencoba untuk menjelaskan dan mengubah dunia engan cara memasuki struktur tersembunyi yang ada dalam aliran konstan, ujian dari sebuah penjelasan tidaklah statis. Cara menguji teori tersebut dinamis, proses berjalan dari aplikasi teori dan memodifikasi hal tersebut. Pengetahuan tumbuh melalui proses berjalan yang mengikis pengabaian dan memperluas wawasan melalui aksi.

Pendekatan kritis menggunakan latihan untuk memisahkan hal baik dari teori yang buruk. Pendekatan tersebut menaruh teori dalam praktek dan penggunaan hasil dari applikasi untuk memformulasikan kembali teori. Latihan berarti jika penjelasan berharga ketika mereka membantu manusia untuk sangat memahami dunia dan untuk mngambil tindakan untuk mengubahnya. Seperti argumen Sayer (1992: 13), “Pengetahuan merupakan hal utama yang dihasilkan melalui aktivitas dalam usaha untuk mengubah lingkungan kita (melalui buruh atau pekerjaan) dan melalui interaksi dengan orang lain.”

Peneliti kritis mencoba untuk mengeliminasi jarak antara peneliti dengan apa yang mereka teliti, jarak antara ilmu pengetahuan dan kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, seorang peneliti kritis membangun sebuah penjelasan untuk diskriminasi perumahan. Dia menguji penjelasan dengan menggunakan hal tersebut untuk mencoba mangubah kondisi. Jika penjelasan menyebutkan jika hubungan yang mendasari ekonomi menyebabkan diskriminasi dan jika tuan tanah menolak untuk menyewakan terhadap minoritas karena lebih menguntungkan jika hanya menyewakan kepada kaum yang bukan minoritas, kemudian aksi politik yang membuat hal tersebut menguntungkan untuk menyewakan kepada minoritas harus mengubah tingkah laku tuan tanah. Sebaliknya, jika penjelasan mengatakan jika hal tersebut didasari oleh kebencian etnis yang menyebabkan tuan tanah untuk mendeskriminasi, kemudian aksi berdasar pada keuntungan tidak akan sukses. Peneliti kritis kemudian akan menentukan kebencian rasial sebagai dasar tingkah laku tuan tanah melalui studi baru yang dikombinasikan dengan aksi politis baru.

  1. Seperti apa bukti penting atau informasi faktual terlihat?
Positivisme berasumsi jika ada fakta netral yang tidak perlu diragukan mengenai bagaimana manusia rasional setuju. Doktrin dualismenya menyatakan jika fakta sosial seperti obyek. Mereka berdiri terpisah dari nilai atau teori. Pendekatan interpretatif melihat dunia sosial terbuat dari penciptan makna, dengan manusia yang menciptakan dan bernegosiasi mengenai makna. Hal tersebut menolak dualisme positivisme, tapi hal tersebut menggantikan penekanan terhadap subyek. Bukti mengenai apa yang tertinggal pada pemahaman subyektif mereka yang terlibat. Pendekatan kritis mencoba untuk menjembatani jarak antara obyek-subyek. Hal tersebut menyebutkan jika fakta atau kondisi material berada secara independen dari persepsi subyektif, tetapi fakta tersebut bukan teori yang netral. Di sisi lain, fakta membutuhkan sebuah interpretasi dari dalam sebuah kerangka berpikir nilai, teori, dan makna.

Sebagai contoh, ada “fakta” jika Amerika Serikat menghabiskan lebih banyak presentase dri gross national product (GNP) untuk perawatan kesehatan daripada negara industri maju lainnya, dan belum termasuk rangkingnya sebagai peringkat ke 29 terendah untuk angka kematian balita (7 mati dari 1.000 kelahiran). Seorang peneliti kritis menginterpretasikan fakta berdasar tanpa apapun ssat Amerika Serikat memiliki banyak penduduk tanpa perlindungan kesehatan dan tidak ada sistem untuk melindungi semua orang. Fakta tersebut termasuk cara perlindungan kesehatan didistribusikan kepada sebagian melalui sistem yang komplek dari perusahaan asuransi non profit, firma farmasi, rumah sakit, dan yang lain dan diuntungkan secara besar-besaran dengan peraturan yang berlaku. Beberapa kelompok kuat semakin kaya saat kaum yang lemah atau miskin mendapatkan perlindungan kesehatan yang rendah atau tidak sama sekali. Peneliti kritis melihat pada fakta dan bertanya mengenai siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan?

Teori membantu seorang peneliti kritis menemukan fakta baru dan memisahkan yang penting dari hal yang sepele. Teori adalah sejenis peta yang memberitahu peneliti dimana harus melihat fakta dan bagaimana menginterpretasikan mereka sekali mereka terbuka. Pendekatan kritis berkata jika teori melakukan hal ini dalam ilmu pengetahuan alam dengan sama baiknya. Sebagai contoh, seorang ahli biologi melihat ke dalam mikroskop dan melihat sel darah merah—sebuah “fakta” berdasarkan sebuah teori mengenai darah dan sel dan pendidikan biologi mengenai fenomena mikroskop. Tanpa teori ini dan pendidikan, seorang ahli biologi hanya melihat sebuah titik tanpa makna. Secara jelas, kemudian antara fakta dan teori berhubungan.

Sebagai contoh, dalam Inequality in Africa, Nafziger (1988) menggunakan sebuah perspektif kritis. Ia mengkritisi “fakta” dalam inequality karena mereka hanya menyebutkan pendapatan dalam bentuk uang di sebuah komunitas dimana uang tidak terlalu digunakan secara luas. Ia juga mengkritisi interpretasi dari “fakta” terhadap isu distribusi tanah dan angka kematian balita. Fakta tersebut mengabaikan angka dari orang yang hidup dalam peternakan dan mengabaikan yanga da di luar sebuah grup dalam sebuah negara (Kelompok kulit putuh Afrika Selatan) yang memiliki angka kematian balita sangat rendah jika dibandingkan dengan mereka yang ada dalam sebuah negara. Di sisi lain, Nafziger melihat sebuah varietas yang luas (seperti angka kelahiran, jarak urban-pedesaan, jarak etnis, perdagangan internasional, kekuatan poitik) dan pergi kebelakang permukaan fakta untuk menghubungkan mereka satu sama lain. Ia bertanya: Kenapa Afrika menjadi satu-satunya wilayah di dunia yang menjadi lebih meningkat semenjak Perang Dunia II? Teorinya membantu ia mengidentifikasi sebuah angka dari kelompok sosial utama (seperti pemimpin pemerintahan) dan kelas (petani). Nafziger juga bertanya apakah bermacam-macam kecenderungan atau kebijakan melayani ketertarikan masing-masing kelompok.

Semua teori tadi tidak berguna secara sejajar untuk menemukan dan memahami fakta kunci. Teori berdasarkan kepercayaan dan asumsi mengenai seperti apa dunia dan terhadap seperangkat nilai moral-politis. Ilmu sosial kritis menyatakan jika beberapa nilai lebih baik daripada yang lain. (18) Dengan demikian, untuk menginterprtasikan fakta, seseorang harus memahami sejarah, mengadopsi seperangkat nilai, dan mengetahui bagaimana melihat struktur yang mendasari. Versi berbeda dari ilmu kritis menawarkan posisis nilai yang berbeda (seperti Marxisme versus feminisme).

      8. Di mana nilai sosiopolitis masuk dalam ilmu pengetahuan?

Pendekatan kritis memiliki orientasi aktivis. Peneliti sosial adalah aktivitas moral politis yang membutuhkan peneliti untuk berkomitmen terhadap sebuah posisi nilai. Ilmu sosial kritis menolak nilai kebebasan positivis seperti sebuah mite. Hal tersebut juga menyerang pendekatan interpretatif untuk relatifisme-nya (ide jika segalanya relatif dan tidak ada hal yang absolut). Dalam pendekatan interpretatif, realitas mengenai jenius dan realitas mengenai idiot secara sejajar valid dan penting. Ada sedikit, jika ada, dasar dari menghakimi antara alternatif realitas atau cara pandang yang berkonflik. Sebagai contoh, peneliti interpretatif tidak menyebut mebuah sudut pandang rasis salah karena tiap cara pandang benar menurut orang yang meyakininya. Pendekatan kritis berkata jika hanya ada satu untuk sebuah yang sangat sedikit cara pandang yang benar. Cara pandang lain salah atau menyesatkan. Semua penelitian sosial perlu dimulai dengan nilai atau cara pandang moral. Untuk CSS, menjadi obyektif bukan berarti menjadi bebas nilai. Obyektivitas berarti tidak didistorsi, gambaran yang benar mengenai realitas; “hal ini menantang kepercayaan jika ilmu pengetahuan harus dilindungi dari politik. Hal tersebut berargumen jika beberapa politik—politik dari perubahan sosial emansipatoris—dapat meningkatkan obyektivitas ilmu” (Harding, 1986: 162).

Ilmu sosial kritis mengatakan jika untuk menolaknya seorang peneliti memiliki cara pandangnya sendiri. Itu merupakan cara pandang teknisi: memperkenalkan penelitian dan mengabaikan pertanyan moral; memuaskan sposnsor dan mengikuti perintah. Cara pandang demikian mengatakan jika ilmu adalah alat atau instrumen yang bisa dipakai siapa saja. Cara pandang ini sangat dikritik keras ketika peneliti Nazi melakukan penelitian yang tidak manusiawi dan kemudian mengkaim jika mereka tidak bersalah karena mereka “hanya mngikuti perintah” dan “hanya peneliti.” Positivis mengadopsi sebuah pendekatan dan memproduksi pengetahuan teknokratik—sebuah bentuk dari pengetahuan yang paling cocok untuk digunakan oleh orang dalam kekuasaan untuk mendominasi atau mengontrol orang lain. (19) Untuk CSS, “kegunaan politis dari ilmu perilaku membuat positivisme menuju sebuah idiologi yang melegitimasi dari grup yang dominan... nilai kebebasan tersebut datang untuk menyediakan sebuah etis untuk mengkalkulasikan kontrol birokrasi” (Brown, 1989: 39).

Pendekatan kritis menolak positivisme dan ISS sebagai terpisah dan peduli dengan mempelajari dunia daripada bereaksi terhadapnya. Ilmu sosial kritis berpendapat jika pengetahuan adalah kekuatan. Pengetahuan ilmu sosial dapat digunakan untuk mengontrol manusia, ia bisa disembunyikan dalam menara gading bagi para intelektual untuk memainkannya atau dapat diberikan kepada orang untuk membantunya ambil bagian dan memperbaiki hidup mereka. Apa yang dipalajari oleh peneliti, bagaimana mereka belajar, dan apa yang terjadi kepada hasilnya melibatkan nilai dan moralitas karena pengetahuan memiliki efek nyata kepada hidup manusia. Peneliti yang mempelajari perilaku sepele, yang gagal untuk memperkirakan di bawah permukaan atau yang mengubur jawaban dalam sebuah perpustakaan universitas membuat sebuah pilihan moral. Pilihannya adalah untuk mengambil informasi dari orang yang dipelajari tanpa melibatkan mereka atau membebaskan mereka (lihat Box 4.1). Ilmu pengetahuan kritis mempertanyakan moralitas pilihan tersebut, meski hal tadi bukan suatu kesadaran. Peran tepat dari peneliti adalah menjadi “intelektual transformatif” (Guba dan Lincoln, 1994: 115).

Rangkuman
Meski sedikit peneliti penuh waktu mengadopsi pendekatan kritis, pendekatan ini sering diadopsi oleh kelompok komunitas, oraganisasi politik, dan pergerakan sosial. Hal ini hanya jarang terlihat dalam jurnal pendidikan. Peneliti kritis mungkin menggunakan beberapa teknik penelitian tapi mereka cenderung untuk mendukung metode perbandingan sejarah. Hal ini terjadi karena ini memberi penekanan terhadap perubahan dan karena hal ini membantu peneliti membuka struktur dasar. Peneliti kritis berbeda dari yang lain karena kurang banyak menggunakan teknik penelitian jika dibandingkan dengan bagaimana mereka mendekati sebuah permasalahan penelitian, jenis pertanyaan yang mereka ajukan, dan tujuan mereka melakukan penelitian.

FEMINIS DAN PENELITIAN POSMODERN
Anda mungkin mendengar tentang pendekatan tambahan yang masih dalam tahap formatif dan kurang dikenal jika dibandingkan dengan dua sebelumnya. Pendekatan tersebut adalah penelitian feminis dan penelitian posmodern. Kedua kritik positifis menawarkan alternatif yang membangun ilmu sosial intrepretatif dan kritis. Mereka masih dalam bentuk embrio dan menghasilkan penglihatan hanya pada akhir 1980.

Penelitian feminis dilakukan oleh orang yang sebagian besar perempuan yang memegang identitas feminis dan secara sadar mengunakan perspektif feminis. Mereka menggunakan teknik penelitian ganda. Metodologi feminis berusaha memberikan suara kepada perempuan dan untuk mengoreksi perspektif berorientasi laki-laki yang mendominasi dalam pembangunan ilmu sosial. Hal ini terinspirasi oleh pekerjaan seperti Woman’s Ways of Knowing (Belenky et.al 1986) yang berargumen jika perempuan belajar dan mengekspresikan dirinya secara berbeda dengan laki-laki.

Penelitian feminis berdasarkan pada sebuah ketinggian kesadaran yang dialami secara subyektif oleh perempuan dan berbeda dari perspektif interpretatif biasa. (20) Banyak peneliti feminis melihat positivisme sebagai cara pandang lelaki; yang obyektif, logis, berorientasi pada tugas, dan instrumental. Hal itu merefleksikan penekanan laki-laki pada kompetisi individual, pada dominasi dan kontrol terhadap lingkungan, dan pada fakta kekerasan dan kekuatan yang beraksi di dunia. Sebaliknya, perempuan memberikan penekanan pada perbekalan dan secara berangsur-angsur membangun ikatan manusia. Mereka melihat dunia sosial sebagai jejaring yang menghubunkan manusia, penuh dengan orang terhubung bersama oleh kepercayaan dan kewajiban bersama. Perempuan cenderung memberikan penekanan pada subyektivitas, berorientasi terhadap proses, dan sisi inklusif dari kehidupan sosial. Peneliti feminis juga berorientasi terhadap aksi dan mencari untuk memajukan nilai-nilai feminisme (lihat Box 4.2).

Peneliti feminis berargumen jika ada lebih banyak peneliti yang bukan feminis seksis, hal tersebut secara luas terjadi sebagai hasil dari kepercayaan budaya dan pengaruh yang lebih besar dari peneliti laki-laki. Peneliti mengeneralisir dari pengalaman laki-laki terhadap seluruh manusia, mengabaikan gender sebagai sebuah dasar dari pembagian sosial, berfokus pada masalah laki-laki, dan menggunakan laki-laki sebagai titik referensi, dan berasumsi berdasar aturan gender tradisional. Sebagai contoh, seorang peneliti tradisional akan berkata jika sebuah keluarga memiliki masalah tentang pengangguran ketika laki-laki dewasa tidak dapat menemukan pekerjaan yang mapan. Ketika perempuan di keluarga yang sama tidak dapat menemukan pekerjaan  yang mapan di luar rumah, ini tidak dianggap sebagai masalah keluarga yang sama. Demikian pula, konsep untuk ibu yang tidak menikah yang secara luas dipakai oleh peneliti tradisional tetapi hal tadi tidak pararel dengan ayah yang tidak menikah.

Pendekatan feminis melihat peneliti sebagai mahluk hidup yang secara mendasar bergender. Peneliti perlu memiliki sebuah gender yang akan membentuk bagaimana mereka mengalami realitas dan akhirnya hal tersebut berakibat pada penelitiannya. Selain akibat gender terhadap peneliti individual, asumsi teori dasar dan komunitas ilmuwan terlihat sebagai konteks budaya gender. Gender memiliki pengaruh yang meresap dalam budaya dan membentuk kepercayaan dasar dan terisolasi dari proses sosial penyelidikan ilmiah. (21)
Peneliti feminis tidak obyektif atau terpisah: mereka berinteraksi dan berkolaborasi dengan orang yang mereka pelajari. Mereka menggabungkan hidup personal dan profesional mereka. Sebagai contoh, peneliti feminis akan berusaha untuk membandingkan sebuah pengalaman interviuw ketika membagikan perasaan dan pengalaman mereka. Proses ini mungkin melahirkan hubungan personal antara peneliti dengan orang yang diwawancarai yang mungkin dewasa menurut waktu. Reinharz (1992: 263) berargumen, “Kekaburan dari putusnya hubungan antara relasi personal dan formal hanya sebagai terhapusnya jarak… antara proyek penelitian dan kehidupan peneliti yang menjadi karakteristik kebanyakan, jika bukan keseluruhan, penelitian feminis.”

Dampak dari perspektif perempuan dan keinginannya untuk mendapatkan sebuah relasi intim dengan apa yang ia pelajari terjadi meski di ilmu biologi. Peneliti feminis cenderung untuk menghindari analisis kuantitatif dan percobaan. Mereka menggunakan metode ganda, kadang penelitian kualitatif dan studi kasus. Gorelick (1991) mengkritik daya tarik menarik dari banyak peneliti feminis untuk ilmu sosial interpretatif. Ia merasa jika ISS menjadi terbatas terhadap kesadaran yang dipelajari dan gagal untuk mengungkap struktur tersembunyi. Gorelick menginginkan peneliti feminis mengadopsi lebih banyak pendekatan kritis dan untuk mengadvokasi perubahan sosial dengan lebih tegas.

Penelitian posmodern merupakan bagian dari gerakan posmodern yang lebih luas atau  mengembangkan pemahaman menganai dunia kontemporer yang termasuk seni, musik, sastra, dan kritik budaya. Ini dimulai dengan kemanusiaan dan berakar pada filososi eksistensialisme, nihilisme, dan anarkisme dan dalam ide Heidegger, Nietzsche, Sartre, dan Wittgenstein. Postmoderenisme merupakan penolakan dari mederenisme. Modernisme menunjuk pada asumsi dasar, kepercayaan, dan nilai yang berkembang pada masa Pencerahan. Mederenisme mengandalkan pada alasan logis; hal ini optimis terhadap masa depan dan percaya pada progress, ini memiliki kepercayan terhadap teknologi dan ilmu pengetahuan, dan hal tersebut merangkul nilai-nilai humanis (seperti menghakimi ide berdasar pada efek mereka terhadap kesejahteraan manusia). Moderenisme berpegang jika ada standar kecantikan, kebenaran, dan moralitas mengenai apa yang kebanyakan orang setujui. (22)

Penelitian posmodern melihat tidak ada pembatasan antara seni atau kemanusiaan dan ilmu sosial. Hal tersebut membagikan tujuan ilmu sosial kritis terhadap ketidakjelasan dunia sosial. Ini terlihat untuk medekonstruksi atau menyobek sebagian permukaan yang terlihat untuk memunculkan struktur tersembunyi didalamnya. Seperti bentuk ekstrim ISS, posmodernisme tidak mempercayai penjelasan abstrak dan memegang jika peneliti dapat melakukan lebih dari sekadar menjelaskan, dengan semua penjelasan yang secara sejajar valid. Deskripsi seorang peneliti tidak superior atau inferior terhadap yang lain dan hanya mendeskripsikan mengenai pengalaman personal peneliti. Pergi kedalam interpretatif dan ilmu sosial kritis berusaha untuk mentransformasikan atau membongkar ilmu sosial. Posmodernis ekstrim menolak kemungkinan dari sebuah ilmu dari dunia sosial, tidak mempercayai observasi empiris sistematik dan meragukan jika pengetahuan dapat digeneralisir dan diakumulasikan melampaui waktu. Mereka melihat pengetahuan sebagai membawa banyak bentuk dan unik seperti manusia umumnya atau tempat sepesifik. Rosenau (1992: 77) berargumen, “Nyaris semua postmodernis menolak kebenaran sebagai sebuah tujuan atau teladan karena hal tersebut merupakan ringkasan dari modernitas… Kebenaran membuat referensi kepada pemerintah, aturan, dan nilai; tergantung pada logika, rasionalitas, dan alasan yang semuanya menjadi pertanyaan posmodernisme.”

Obyek postmodernis memperlihatkan hasil penelitian dalam cara yang lepas dan netral. Peneliti atau pengarang sebuah laporan seharusnya tidak pernah bersembunyi ketika seseorang membacanya; kehadirannya membutuhkan bukti yang tidak ambigu dalam laporan. Dengan demikian, sebuah penelitian postmodern sama seperti kaya seni. Tujuannya untuk menstimulasi yang lain, untuk memberikan kesenangan, untuk membuat respon, atau untuk mengembangkan rasa penasaran. Laporan postmodern sering memiliki gaya teatrikal, expressif, dan dramatis dari presentasi. Mereka mungkin ada dalam bentuk fiksi, sebuah film, atau pegelaran. Postmodernis berargumen jika pengetahuan mengenai kehidupan sosial diciptakan oleh peneliti yang mungkin lebih baik dikomunikasikan melalui sebuah lakon pendek atau potongan musikal daripada jurnal pendidika. Nilainya terletak pada bercerita yang mengkin mensimulasikan pengalaman diantara manusia yang m,embaca atau berhadapan dengannya. Postmodernis antielitis dan menolak untuk menggunakan pengetahuan untuk memprediksikan dan untuk membuat keputusan. Lawan postmodernis adalah mereka yang mengggunakan ilmu positivis untuk memperkuat hubungan dan birokrasi dari kontrol mengenai manusia (lihat Box 4.3).

KESIMPULAN
Anda mempelajari dua hal penting dalam Bab ini. Pertama, ada kompetisi pendekatan terhadap penelitian sosial berdasarkan asumsi filosofi yang berbeda mengenai tujuan dari ilmu pengetahuan dan sifat alamiah realitas sosial. Kedua, tiga tipe ideal pendekatan terhadap ilmu sosial menjawab pertanyaan dasar penelitian dengan cara yang berbeda (lihat Tabel 4.1). banyak peneliti menggunakan satu pendekatan sebagai hal utama, tetapi banyak juga yang mengombinasikan elemen dari pendekatan lain.

Ingat jika Anda dapat mempelajari topik yang sama dengan pendekatan yang berbeda, tetapi tiap pendekatan akan memberikan hasil yang berbeda. Hal ini diilustrasikan dengan topik mengenai diskriminasi dan kompetisi diantara kelompok minoritas dan mayoritas di empat negara: aborigin di pedalaman Australia, orang Asia di Kanada bagian barat, keturunan Afrika Amerika di barat Amerika Serikat, dan orang Pakistan di London.

Seorang peneliti yang mengadopsi sebuah pendekatan positivis pertamakali menyimpulkan hipotesis dari teori umum mengenai hubungan mayoritas-minoritas. Teori tersebut mungkin ada dalam bentuk pernyataan penyebab atau prediksi. Sebagai contoh, Stone (1985: 56) mengutip satu teori yang “mencari untuk menjelaskan pola kompleks dalam istilah yang ada pada sedikit variable kunci. Hal ini dapat berguna dalam usaha untuk memprediksikan pengembangan yang mungkin dari hubungan ras dan etnis.” Peneliti kemudian mengumpulkan data dari pemerintah yang ada atau menggunakan survey untuk secara tepat mengukur faktor-faktor yang diidentifikasikan oleh teori, seperti bentuk kontak awal, perbandingan angka dalam kelompok mayoritas lawan minoritas, atau jarak yang terlihat dari perbedaan rasial. Akhirnya,peneliti menggunakan statistik untuk menguji secara formal prediksi teori mengenai tingkatan diskriminasi dan intensitas dari kompetisi kerja.

Seorang peneliti interpretatif secara personal berbicara dan mengamati orang-orang spesifik dari kedua kelompok minoritas dan kelompok mayoritas masing-masing di empat negara. Percakapan mereka dan observasinya digunakan untuk mempelajari apa yang masing-masing kelompok rasakan mengenai diskriminasi tersebut atau kompetisi kerja yang menjadi kepedulian harian. Peneliti menaruh apa yang orang katakan pada konteks kegiatan harian mereka (seperti membayar sewa, terlibat dalam perselisihan keluarga, berurusan dengan hukum, sakit, dll). Setelah ia melihat apa yang orang minoritas dan mayoritas pikirkan mengenai diskriminasi, bagaimana cara mereka mendapatkan pekerjaan, dan bagaimana orang di kelompok lain mendapatkan pekerjaan, dan apa yang sesungguhnya mereka lakukan untuk mendapatkan pekerjaan mereka, dia kemudian mendeskripsikan temuannya dalam kalimat yang bisa dipahami orang lain.

Penelitian kritis dimulai dari melihat pada kontek sosial dan historis yang lebih luas. Hal ini termasuk faktor seperti invasi ke Australia oleh koloni Inggris dan sejarah negara sebagai koloni penjara, kondisi ekonomi yang menyebabkan orang bermigrasi ke Canada, peninggalan perbudakan dan perjuangan hak sipil di Amerika, dan kebangkitan serta jatuhnya kerajaan koloni Inggris dan migrasi dari bekas koloninya. Ia menanyakan mengenai sebuah titik berdiri yang kritis: Apakah kelompok mayoritas melakkan diskriminasi dan secara ekonomi mengeksploitasi kelompok minoritas? Peneliti melihat kepada banyak sumber untuk mendokumentasikan pola yang mendasari eksploitasi dan untuk mengukur jumlah diskriminasi di tiap negara. Ia mungkin memeriksa informasi statistik pada perbedaan pendapatan dari tiap kelompok, secara personal memeriksa situasi kehidupan dan pergi mengikuti orang saat interviuw kerja, atau melakukan survey untuk menemukan apa yang orang pikirkan saat ini. Sekali peneliti menemukan bagaimana diskriminasi terlihat saat kelompok minoritas mencari pekerjaan, ia akan memberikan hasilnya kepada kelompok minoritas, memberikan kuliah umum mengenai temuannya, dan mempublikasikan hasilnya di media massa yang dibaca oleh kelompok minoritas dalam rangka untuk membuka keadaan yang sebenarnya dan untuk mendorong aksi sosial politis.

Ada apa dengan maksud ketiga pendekatan ini pada Anda di lingkungan penelitian sosial? Pertama, hal ini berarti tidak ada pendekatan tunggal yang secara mutlak benar dalam penelitian sosial. Hal ini tidak berarti segalanya berjalan begitu saja, tidak ada dasar untuk perjanjian sementara (lihat Boks 4.4). Sebaliknya, hal ini berarti jika dasar untuk melakukan penelitian sosial tidak mapan. Dengan kata lain, ada lebih dari satu pendekatan yang “masih berjalan.” Mungkin hal ini akan selalu menjadi kasus. Sebuah kesadaran dari pendekatan akan membantumu untuk membaca laporan penelitian. Kadang, peneliti akan mengandalkan pada satu pendekatan, tapi jarang akan memberitahumu yang mana yang mereka gunakan. 

Kedua, hal tersebut berarti apa yang Anda coba untuk capai saat melakukan penelitian (seperti menemukan hukum, mengidentifikasi struktur yang mendasari, mendeskripsikan sistem makna) akan diperkaya dengan pendekatan yang Anda pilih.

Kesesuaian antara ketiga pendekatan dan tipe penelitian tersebut didiskusikan pada Bab 2 adalah longgar. Sebagai contoh, positivis mungkin melakukan analisa manfaat biaya, peneliti interpretatif mungkin melakukan penelitian eksplorasi, dan peneliti kritis mendukung penelitian berorientasi aksi. Dengan menjadi sadar terhadap pendekatan saat Anda melakukan penelitian sosial, Anda bisa melakukan sebuah keputusan informasi mengenai jenis studi yang digunakan.

Ketiga, bermacam-macam teknik digunakan untuk penelitian sosial (sampling, wawancara, observasi partisipatif, dll) terutama digunakan berdasar asumsi dari pendekatan yang berbeda. Kadang, Anda akan melihat sebuah teknik penelitian ditampilkan tanpa latar belakang alasan di mana hal tersebut aslinya berawal. Dengan mengetahui tentang pendekatan, Anda akan lebih memahami prinsip-prinsip di mana teknik penelitian spesifik berasal. Sebagai contoh, ketepatan ukuran dan logika eksperimental penelitian mengalir secara langsung dari positivisme dimana penelitian lapangan berdasar pada pendekatan interpretatif.

Sejauh ini, kita melihat operasi dari keseluruhan proses penelitian, jenis yang berbeda dari studi dan teori, dan tiga pendekatan fundamental terhadap penelitian sosial. Mulai saat ini, Anda harus memiliki pegangan mengenai garis dasar dari penelitian sosial. Pada bab berikutnya, anda akan melihat bagaimana cara menemukan laporan dari proyek penelitian spesifik.       


Rangkuman Sumber: Terjemahan dari buku: Review Meaning of methodology Social research methods, Qualitative and Quantitative Approaches by: W. Lawrence Neuman. (Bab IV).

*Nur Bintang adalah alumnus pascasarjana sosiologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar