(Sejarah
Seksualitas)
Sosiolog Post-Strukturalis 'Michel Foucault' |
Ditulis
oleh: Nur Bintang*
Terus terang saya
sebenarnya adalah pengagum pemikiran “gila” dari sosiolog besar Perancis,
pemikir mahzab Post-Strukturalis/Post-Modern abad 20 yakni Michel Foucault
(1926-1984) seorang ilmuwan sosial, dosen profesor yang mengajar di University of California, Berkeley (Amerika Serikat). Why? Mengapa saya harus bilang “gila”? karena pemikiran Michel
Foucault sudah sangat jauh melampaui pemikiran para ilmuwan social modern zaman
ini terlepas dari sisi privasi kehidupannya beliau yang cukup kontroversial
sebagai seorang gay/homoseksual yang meninggal akibat tertular penyakit HIV/AIDS yang cukup lama
dideritanya. Foucault mempelajari semua disiplin ilmu pengetahuan dari
filsafat, sejarah, kedokteran, psikiatri, sastra, bahasa, sosiologi, politik
sehingga sangat sulit menspesialisasikan keahlian Foucault hingga sampai saat
ini dalam ranah kajian ilmu pengetahuan. Berbicara mengenai sejarah seksualitas karya Foucault maka saya pasti tidak melewatkan dari buku bacaan wajib karya Michel Foucault yang sudah diterjemahkan dengan sangat baik dari bahasa Perancis ke dalam bahasa Indonesia yang berjudul “Ingin Tahu: Sejarah Seksualitas” terbitan Yayasan Obor Indonesia bekerjasama dengan FIB Universitas Indonesia. Foucault dalam ranah dunia akademisnya memang tidak
terlepas dari pengaruh pemikiran filsuf Jerman “Sang Pembunuh Tuhan” yakni Friedrich Nietzsche dan pengaruh pemikiran
filsafat mahzab strukturalisme mengenai studi linguistik (bahasa) yang berasal dari pemikiran Ferdinand
Saussure dan antropolog Claude Levi-Strauss hingga Foucault sendiri melakukan konstruksi
baru dan revisi terhadap mahzab Strukturalisme hingga melahirkan mahzab baru
dalam kajian filsafat yakni mahzab Post-Strukturalisme. Foucault bisa dibilang
sangat ekstrem dalam setiap melakukan
studi analisisnya maka Foucault akan selalu melibatkan dirinya dalam kajian
fenomena social yang ditelitinya itu dari persoalan homoseksualitas,
seksualitas, hingga mengenai studi kegilaan. Sebelum Foucault berbicara
mengenai kegilaan, lahirnya klinik, panoptikon dalam sel penjara, relasi kekuasaan, arkeologi ilmu pengetahuan, hingga masalah seksualitas maka Foucault berpikir terlebih
dahulu secara liar dan bebas melakukan analisisnya melalui studi sejarah dahulu.. ya sejarah… karena sejarahlah menurut Foucault yang
telah menceritakan, menjelaskan, dan membentuk etika dan peradaban manusia
hingga sampai saat ini. Foucault tidak berhenti pada pemahaman sejarah disitu saja
tetapi juga melihat bagaimana pola relasi kekuasaan dalam sejarah (history) itu terbentuk dan mengkaji
siapa aktor-aktor yang terlibat di dalam hierarkhi kekuasaan tersebut. Bukankan
ada pameo yang mengatakan “Sejarah tidak
ditulis oleh seorang pahlawan melainkan ditulis oleh seorang pemenang?”. Sejarah Seksualitas adalah sekelumit
pemikiran Foucault dalam pemahamannya mengenai wacana seksualitas.
Strata sosial memiliki simbol kekuasaan terhadap makna seksualitas |
Puritanisme
Victorian
Michel Foucault
menganggap ‘seks’ sebagai bagian ciri manusia sebagai makhluk yang berhasrat (the desiring object). Seks merupakan
kebutuhan pokok manusia yang seharusnya mendapat tempat dan penghormatan yang
tertinggi. Seks ketika hidup pada zaman peradaban Yunani kuno mempunyai
kedudukan yang sejajar dengan filsafat, ekonomi, serta kesehatan namun keadaan itu
berbalik dan sangat kontras ketika zaman pemerintahan Ratu Victoria berkuasa pada era masa transisi abad kegelapan menuju tahap masa Renaissance di Eropa (abad 17) yang disertai dominasi kekuasaan absolut
gereja yang membabi buta maka setiap bentuk ritual seks termasuk onanisme dan heteroseksual
yang ditemukan pada zaman itu dianggap terlarang, tabu, dosa, dan tidak layak. Seks dianggap
sebagai kajian ruang privat bukan bagian dari ruang publik tetapi anehnya para
penguasa ketika itu memanfaatkan wacana “seks” untuk mengatur ruang privat masyarakatnya
dan dilakukan administrasi untuk mengatur hal tersebut ke dalam undang-undang yang
disahkan oleh pihak otoritas penguasa zaman itu. Ketika zaman itu semua orang
dilarang berbicara, menonton, mempelajari hal apapun dari seksualitas.
Masyarakat Eropa hidup dalam kondisi tertindas ketika hasrat-hasrat seks diatur
sangat ketat dan represif sebegitu rupa. Zaman Victoria maka “seks” tidak hanya
diadili melainkan juga untuk diatur. Seks harus diatur dan dikelola agar masyarakatnya
terhindar dari dosa (tidak menyimpang) menurut ajaran dogma puritan keagamaan
yang berlaku di Eropa kala itu. Lahirnya lembaga-lembaga sosial yang dibentuk
oleh pihak-pihak otoritas di zaman itu yang bertugas untuk mengatur semua praktik
kegiatan seksual di Eropa dan menangkap serta menghukum seberat-beratnya para
pelaku seksual yang apabila ketahuan melanggar dogma agama. Wacana “seks”
menurut Foucault digunakan untuk menertibkan dan mengatur perilaku masyarakat
Eropa zaman abad pertengahan. Foucault menelaah lebih jauh jika lahirnya
lembaga-lembaga sosial ini tidak terlepas dari motif kepentingan pihak otoritas
(penguasa) saat itu yang berkaitan masalah politik dan ekonomi sebagai bagian
“praktik pengendalian kelahiran” untuk melanggengkan kekuasaan. Praktik
seksualitas yang sebenarnya menjadi daerah otonom individu seseorang telah
tercabut hak kebebasannya dengan adanya intervensi negara yang mengatur fungsi
dari organ genital warga negaranya tersebut atau dengan kata lain penafsiran
saya terhadap pemikiran Foucault bahwa penis dan vagina milik masing-masing
dari warga negara seolah-olah menjadi milik negara sehingga kenikmatan seksual masing-masing
individu tidak akan bisa mencapai orgasme
bahkan hilang untuk merasakan dan menikmati praktik seks ketika harus ada
pihak-pihak luar yang melakukan kontrol pengawasan ketat sebagai perwakilan
pihak otoritas yang berkuasa. Foucault menganggap bahwa masyarakat Victorian
adalah wujud masyarakat yang munafik yang telah menindas peradaban. Masyarakat
yang sebenarnya membutuhkan dan haus akan fantasi “seks” tetapi dalam
praktiknya justru berlaku represif dan menindas “seks” itu sendiri atas nama
dogma agama seakan-akan dengan mudah mengatur tubuh individu manusia.
Distribusi kekuasaan dari penguasa diberikan kepada lembaga-lembaga social
untuk mengendalikan insting naluri manusia itu sendiri yakni kebutuhan akan
seks-nya. Anehnya, Foucault dalam pembahasan karyanya mengenai sejarah seksualitas, tidak pernah membahas mengenai masalah kelaki-lakian manusia. Foucault memberi analisa bahwa semua lembaga-lembaga social
(lembaga sensor, lembaga pemasyarakatan dsb) yang ada di Eropa saat zaman
Victorian dengan sangat leluasa mengatur seks warga negaranya yang seharusnya ‘seks’
itu sendiri menjadi daerah otonomi privat bagi warga negaranya sebenarnya tidak
lain adalah wujud praktik kekuasaan (otoritas) saat itu dalam mengatur jumlah
penduduk dan menekan tindak kriminalitas pelanggar peraturan yang dibuat oleh
penguasa setempat tanpa terlepas dari wacana seksualitas.
Scientia
Sexualis
Foucault menganggap
bahwa manusia di Barat di era zaman Victorian (abad 17-18) menjadi binatang
pengaku. Pengakuan sendiri sebenarnya digunakan untuk membebaskan diri dari
rasa bersalah kepada pihak otoritas yang memiliki kekuasaan merujuk terhadap
“pangakuan dosa” sebagai bagian dogma agama yang bersifat absolut dan berlaku waktu itu yang dimana
kebenarannya sudah dijamin pihak otoritas penguasa. Ilmu pengetahuan berperan
dalam pengakuan. Pengakuan identik dengan pengetahuan ilmu klinis untuk
berbicara melaui interogasi, kuesioner, bahkan hypnosis untuk mengungkapkan kejadian-kejadian di masa lalu yang
dialami individu manusia dan masyarakat di Eropa kala itu. Menurut pengamatan
saya tanpa terlepas dari pemahaman Foucault bahwa praktik pengakuan dosa pada
masyarakat Eropa kala itu yang telah menjadi perkembangan metode klinis pada
abad 19 dalam perkembangan cabang filsafat fenomenologi dan psikoanalisis dalam kajian ilmu
psikiatri. Foucault sendiri juga menganggap ritus pengakuan dosa yang berlaku
pada masyarakat Victorian Eropa sebagai prosedur pengamatan yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Seks yang bersifat tersembunyi dalam
setiap diri individu manusia harus dapat dikeluarkan melalui ritus pengakuan
dosa melalui bimbingan rohani. Ritus tersebut lambat laun terlepas dari sakramen
pengakuan dosa bergeser ke arah pendidikan, ilmu kedokteran, dan ilmu psikiatri.
Dalam hal ini Michel Foucault melakukan analisa terhadap ritus praktek
pengakuan dosa dan berpendapat bahwa pengakuan dosa menjadi hal ilmiah yang
digunakan ilmu pengetahuan untuk mengetahui masalah seksualitas.
Sistem
Seksualitas
Kekuasaan berhak
menentukan hukum mengenai seks melalui wacana “halal” atau “haram”. Penguasaan
seks dilakukan melalui tindak wacana (bahasa) dalam wujud aturan-aturan yuridis yang
berkaitan dengan hukuman dan larangan agar memperoleh kepatuhan. Hukum digunakan
sebagai senjata sosial oleh para raja-raja di dalam sistem negara monarkhi untuk mengamankan jalannya kekuasaan.
Foucault berusaha membangun analitika melepaskan citra tentang kekuasaan yang
tidak lagi memfokuskan hukum sebagai tanda kodenya dengan melakukan pengamatan
lebih dekat kepada seluruh aspek bahan-bahan yang menjadi bagian sejarah (historis) itu sendiri. Foucault menganggap bahwa kekuasaan
itu hadir dan ada dimana-mana dan beranggapan bahwa kekuasaan adalah nama yang
diberikan kepada suatu situasi strategis yang rumit dalam masyarakat tertentu. Penolakan
terhadap kekuasaan itu hal yang wajar
terjadi menurut Foucault dan menganggap setiap praktek kekuasaan akan
menimbulkan pertentangan murni yang dilakukan kaum pemberontak revolusioner
yang ingin melakukan “pembebasan” dan “perubahan” pada era zamannya. Setiap
pemberontakan akan selalu tetap hadir di dalam lingkaran kekuasaan. Sekali lagi
Foucault mengambil kesimpulan wacana otoritas
penguasa dan ilmu pengetahuan saling berkaitan dengan menganggap seks tidak
lain hanyalah peraturan dan larangan yang dibuat oleh kelas-kelas yang memiliki
dominasi kekuasaan (disiplin, bio-politik
pengendalian manusia). Ini adalah salah satu cara strategi bangsawan
untuk mengokohkan kasta dan keturunannya dengan menganggap darah biru kebangsawanannya adalah bagian istimewa dari makna seksnya. Dengan demikian, Michel Foucault
beranggapan jika seksualitas bukan persoalan tanda atau simbol melainkan ialah
tujuan dan sasaran yang sesungguhnya.
*Nur
Bintang adalah alumnus pascasarjana sosiologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Sumber
Referensi:
-Lydia Alix Fillingham.
(2001). “Foucault Untuk Pemula”. Terjemahan: A. Widyamartaya. Yogyakarta.
Penerbit: Kanisius.
-Michel Foucault.
(1976). “Ingin Tahu: Sejarah Seksualitas”.
Jakarta. Penerbit: Yayasan Obor Indonesia bekerja sama dengan FIB Universitas
Indonesia.
-A.Sudiarja, “Panseksualisme: Antara Kewajaran dan
Kepanikan”. Basis. Seks Membuat Revolusi?. Edisi no. 09-10, Tahun ke-55,
September-Oktober 2006.
wah...benar sekali. sanagt inspiratif setelah saya membaca tulisan ini. trimksh atas gagasan bagus yang lahir dari pemikir besar.
BalasHapusWah terima kasih sudah mampir.. saya juga masih harus banyak belajar lagi dari para tokoh pemikir-pemikir besar.. sukses selalu.. amin...
HapusAssalamu Alaikum wr-wb, perkenalkan nama saya ibu Rosnida zainab asal Kalimantan Timur, saya ingin mempublikasikan KISAH KESUKSESAN saya menjadi seorang PNS. saya ingin berbagi kesuksesan keseluruh pegawai honorer di instansi pemerintahan manapun, saya mengabdikan diri sebagai guru disebuah desa terpencil, dan disini daerah tempat saya mengajar hanya dialiri listrik tenaga surya, saya melakukan ini demi kepentingan anak murid saya yang ingin menggapai cita-cita, Sudah 9 tahun saya jadi tenaga honor belum diangkat jadi PNS Bahkan saya sudah 4 kali mengikuti ujian, dan membayar 70 jt namun hailnya nol uang pun tidak kembali, bahkan saya sempat putus asah, pada suatu hari sekolah tempat saya mengajar mendapat tamu istimewa dari salah seorang pejabat tinggi dari kantor BKN pusat karena saya sendiri mendapat penghargaan pengawai honorer teladan, disinilah awal perkenalan saya dengan beliau, dan secara kebetulan beliau menitipkan nomor hp pribadinya dan 3 bln kemudian saya pun coba menghubungi beliau dan beliau menyuruh saya mengirim berkas saya melalui email, Satu minggu kemudian saya sudah ada panggilan ke jakarta untuk ujian, alhamdulillah berkat bantuan beliau saya pun bisa lulus dan SK saya akhirnya bisa keluar,dan saya sangat berterimah kasih ke pada beliau dan sudah mau membantu saya, itu adalah kisah nyata dari saya, jika anda ingin seperti saya, anda bisa Hubungi Bpk Drs Tauhid SH Msi No Hp 0853-1144-2258. siapa tau beliau masih bisa membantu anda, Wassalamu Alaikum Wr Wr ..
BalasHapus