Kata Pengantar oleh: Nur Bintang*
"Saya harap kedewasaan serta sikap toleransi anda terhadap keberagaman kehidupan di sekitar kita. Saya juga berharap kehati-hatian pendapat anda di dalam membaca artikel ini yang saya posting di blog saya dalam menjelaskan pengetahuan perkembangan sosiologis masyarakat di Amerika Latin mengingat tema mengenai ’teologi pembebasan’ masih sangat permisif untuk dibicarakan secara terbuka di Indonesia namun artikel dulu yang pernah dimuat ’Majalah Gatra’ ini terlihat cukup lengkap secara garis besarnya dalam mengkaji sejarah perkembangan masyarakat di kawasan Amerika Latin secara menyeluruh terutama dalam aspek bidang sosiologi, ekonomi, dan politik. Semoga bermanfaat!"
”Saya mengambil sebuah artikel menarik dari sebuah ’Majalah Gatra’ yang terbit pada bulan Agustus tahun 1996 dengan tema besar mengenai sejarah perkembangan sosial ajaran ’teologi pembebasan’ di kawasan Amerika Latin pada dekade tahun 1960-1970-an yang kemudian menyebar hebat ke seluruh penjuru dunia terutama di negara-negara dunia ketiga yang mayoritas masyarakatnya beragama Katolik seperti di negara Philipina dan negara Timor Leste (konon tergulingnya diktaktor Philipina yaitu Presiden Ferdinand Marcos melalui aksi ’people power’ pada tahun 1986 juga mendapat pengaruh dari paham ’teologi pembebasan’ ini). Pembahasan aspek sosiologis masyarakat di Amerika Latin dewasa ini memang sangat tidak bisa dilepaskan dari perkembangan ’teologi pembebasan’ sama dengan halnya pembahasan aspek sosiologis perkembangan masyarakat di Eropa yang tidak terlepas dari paham ’Calvinisme-etika Protestan’; pembahasan aspek sosiologis perkembangan masyarakat di Jepang yang berjalan seiring dengan pemahaman semangat ’Bushido’; serta pembahasan aspek sosiologis masyarakat di daratan Tiongkok (China) yang tidak lepas dari pemahaman nilai-nilai dari ajaran filsafat ’Konfusianisme’. Di dalam ajaran ’teologi pembebasan’ yang berkembang di kawasan Amerika Latin ini sangat terlihat bagaimana peran agamawan dalam membimbing pencerahan umatnya untuk terlibat dalam kegiatan aksi-aksi sosial membela orang-orang tertindas dan lemah (marjinal) yang dimana peran agamawan sangat diperlukan ketika terjun langsung ke masyarakat untuk terlibat proses sosial terutama dalam pergerakan sosial (pembebasan) yang memperjuangkan pada aspek kedaulatan rakyat kecil yang tertindas. Analisis sosial yang biasa digunakan dalam memahami pergerakan-pergerakan sosial di kawasan Amerika Latin ini biasanya menggunakan analisa dari teori-teori Marxian.
Dulu di Indonesia, pada tahun 1980-an pembahasan mengenai ’teologi pembebasan’ juga sering dikaji para ilmuwan sosial di dalam wadah LP3ES namun setelah awal tahun 1990-an pembahasan mengenai ’teologi pembebasan’ ini sudah mulai surut dikarenakan kondisi situasi politik di Indonesia pada rezim otoriter pemerintahan Presiden Soeharto di masa itu. Dan tulisan yang pernah saya baca dari salah satu pemikir tokoh teolog besar dunia dalam ’teologi pembebasan’ dari Amerika Latin adalah Pendeta ’Dom Helder Camara’ (1909-1999) seorang uskup di Brasil yang terkenal dengan slogannya kontroversial-nya,“When I give bread to the poor, they call me a saint; but when I ask why people are poor, they call me a communist.” Ungkapan ini dikatakan pendeta ‘Dom Helder Camara’ sebagai bentuk keresahan moral sebagai pemimpin umat terhadap kondisi kemiskinan dan ketidakadilan secara struktural yang terjadi pada umat di negaranya sehingga beliau sebagai rohaniawan sempat harus menanggung resiko sangat besar dengan sering berurusan dengan pihak keamanan akibat keberanian sikap kritisnya di dalam membela hak-hak masyarakat marjinal yang ditindas oleh otoritas rezim militer yang berkuasa di Brasil ketika itu maka tak pelak, sebutan ‘uskup merah’ sering ditujukan kepada dirinya. Pendeta ‘Dom Helder Camara’ sendiri berhasil mengeluarkan ide original di dalam karya bukunya yang berjudul “Spiral of Violence” yang sudah menyebar ke seluruh penjuru dunia dan diterjemahkan beragam bahasa itu berusaha mengkritik terjadinya ‘Perang Vietnam’ pada tahun 1971. Menurut beliau, ‘teori spiral kekerasan’ terjadi akibat dari ketidakadilan sosial yang dirasakan oleh rakyat kecil kemudian melahirkan pemberontakan dan pemberontakan pada akhirnya nanti juga akan dilawan oleh kekuatan militer penguasa negara bersangkutan yang dimana spiral kekerasan ini berjalan terus menerus tanpa henti sampai pada batas akhir yang tidak bisa ditentukan hingga sampai ada salah satu pihak yang bertikai menyatakan keluar atau berhenti dari malapetaka perang itu sendiri.
Demikianlah sedikit kata pengantar saya mengenai ‘teologi pembebasan’. Saya berharap kedewasaan dan sikap toleransi anda di dalam membaca artikel ini yang saya ambil dari ‘Majalah Gatra’ ini yang khusus mengkaji perkembangan sosiologis masyarakat di kawasan Amerika Latin dewasa ini". Selamat membaca!
(Gatra Nomor 42 Tahun II, 31
Agustus 1996) :
(Amerika
Latin tempoe doeloe). Camilo Torres,
seorang pastor, sosiolog, dan
gerilyawan, dibunuh pasukan Kolombia di pegunungan berhutan di Bucaramanga pada 15
Februari 1966. Di Desa Ribeiro Bonito, Brasilia Selatan, pada 11 Oktober 1976.
Pastor Desa Pater John Bosco Burnier SJ (Serikat Jesus) ditembak mati oleh
seorang kopral karena mencoba menyelamatkan dua wanita yang dianiaya sang
kopral dan kawan-kawannya. Pater Rutilio Grande SJ dibantai The White Warrior
Union--tentara yang disewa tuan tanah di sebuah desa di San Salvador, 12 Maret
1977.
Kisah
di atas dikutip dari buku Teologi
Pembebasan susunan Fr. Wahono
Nitiprawiro. Masih banyak lagi para pengabar Injil di benua yang 90%
penduduknya menganut Katolik itu menghadapi risiko kematian, karena berpihak
atau bahkan bergabung dengan rakyat Amerika Latin yang bergolak untuk
membebaskan diri dari kemiskinan, penindasan, dan keterbelakangan.
Mereka,
para pengabar Injil yang tewas itu, adalah para penganut Teologi Pembebasan,
sebuah paham baru tentang peranan gereja dalam lingkungan sosial. Paham ini
mulai mengagetkan kalangan gereja dan intelektual di Eropa dan Amerika setelah Gustavo Gutierrez --pastor dari Peru--
menerbitkan buku Teologia de la
Liberacion pada 1971. Paham ini
menjadi kontroversial karena memiliki metode pendekatan yang tak biasa
dilakukan kalangan gereja ketika itu, yakni pendekatan marxis yang radikal.
Secara
ringkas, apa yang dimaksud dengan paham itu sebenarnya adalah suatu usaha
kontekstualisasi ajaran-ajaran dan nilai keagamaan pada masalah kongkret di
sekitarnya. Dalam kasus kelahiran Teologi Pembebasan, masalah kongkret yang
dihadapi adalah situasi ekonomi dan politik yang dinilai menyengsarakan rakyat.
Sejak
depresi dunia pada 1930-an, perekonomian negara-negara di Amerika Latin begitu
bergantung pada ekspor barang mentah ke Eropa dan Inggris. Sebaliknya, mereka
mengimpor komoditas pabrik. Sesudah Perang Dunia II, harga barang-barang mentah
jatuh di pasaran dunia. Akibatnya
perekonomian negara-negara itu kacau. Mereka juga tak mampu mengimpor barang-barang
pabrik. Untuk memenuhi kebutuhan barang pabrik di dalam negeri, negara-negara
itu mencanangkan modernisasi dengan memacu industrialisasi atas bantuan negara
maju. Mereka menerapkan sistem kapitalisme sebagai model modernisasi.
Namun karena mementingkan pertumbuhan
ekonomi, industrialisasi telah menciptakan kesenjangan sosial yang begitu
tajam. Kaum proletar --kelas buruh-- tumbuh dengan cepat. Inflasi melambung,
biaya hidup membubung. Ketidakpuasan meluas. Situasi politik menjadi tegang dan
labil. Kudeta terjadi di mana-mana dan membuahkan pemerintahan diktator. Pada
1945, misalnya, kelompok militer di Brasilia menggulingkan pemerintahan sipil.
Pada tahun yang sama, Kolonel Juan Peron menjadi penguasa tunggal Argentina,
setelah mengudeta penguasa sebelumnya. Tahun 1948, Manuel Odria menjadi
diktator di Peru. Dan penindasan terhadap rakyat terjadi hampir di seluruh
belahan Amerika Latin.
Kondisi tersebut mengundang gerakan di
berbagai bidang. Dalam literatur sosiologi
dan ekonomi politik, penerapan sistem kapitalisme dalam pembangunan di
Amerika Latin telah melahirkan pemikir-pemikir
baru di bidang sosiologi dan ekonomi
politik. Misalnya Andre Gunder Frank--orang
Amerika Serikat yang pernah tinggal di Amerika Latin--dan Fernando H. Cardoso. Dengan menggunakan pendekatan neomarxis,
mereka melahirkan teori dependensi
(ketergantungan) dalam memandang nasib negara-negara di Dunia Ketiga.
Selama ini, kata mereka, modernisasi di negara-negara Amerika Latin dan negara
Dunia Ketiga lainnya justru melahirkan para penguasa mapan, pemilik modal
besar, tuan tanah, dan kaum elite yang mengeksploitasi rakyat.
Bantuan negara maju dalam proses
modernisasi --yang justru membuat Dunia Ketiga begitu bergantung pada negara
maju-- juga memberi andil besar dalam memiskinkan rakyat Dunia Ketiga. Mereka
para penganut teori dependensi berpendapat, untuk mengakhiri kekuasaan para
elite yang mapan, juga dominasi negara maju, dibutuhkan revolusi sosialis.
Dalam kaitannya dengan pembangunan ekonomi, mereka beranggapan, diperlukan penjungkirbalikan
struktur ekonomi, politik, dan sosial dengan meminjam pendekatan marxis.
Di bidang keagamaan, terjadi pergeseran
pandangan teologis di kalangan Gereja Katolik di seantero Amerika Latin.
Disebutkan dalam buku Teologi Pembebasan, selama berabad-abad gereja di Amerika
Latin menganut pemahaman teologi Barat (Eropa) yang bersifat transendental dan
rasional, yang berkutat dalam upaya memahami Tuhan dan iman secara rasional.
Para uskup Amerika Latin menilai, cara berteologi Barat telah menimbulkan kemandekan
berpikir, bertindak, dan menjauhkan gereja dari masaah-masalah kongkret.
Gereja-gereja penganut teologi Barat, tuding mereka, hanya sibuk mengkhotbahkan
ajaran Yesus sejauh menyangkut hidup pribadi, mengimbau orang agar tetap
bertahan dan sabar menghadapi penderitaan, menghibur kaum miskin dan tertindas
dengan iming-iming surga setelah kematian.
Menurut mereka, gereja harus secara nyata
melibatkan diri dan berpihak pada rakyat yang tak berdaya. Agama dan teologi,
lanjut mereka, tak boleh meninabobokan umat beriman, melainkan harus memberikan
dorongan kepada rakyat untuk melakukan perubahan. Namun keterlibatan rakyat
hanya mungkin dibangkitkan bila mereka memiliki harapan untuk mengubah sistem
yang menindas mereka. Rakyat harus disadarkan bahwa penderitaan, kemiskinan,
dan keterbelakangan bukan nasib turunan, melainkan buah dari struktur
sosial-ekonomi-politik yang berlaku. Kesadaran baru, kata para uskup, hanya
dapat timbul bila rakyat bertambah pandai. Untuk itu gereja memelopori upaya
pembebasan tingkat intelektual dengan mendirikan Universitas Javeriana di
Bogota, Kolombia (1937), Universitas Katolik di Lima (1942), di Rio de Janeiro
dan Sao Paulo (1947), Porto Alegre (1950), Campinas dan Quito (1956), Buenos
Aires dan Cordoba (1960), dan lain-lain.
Bersamaan dan berkaitan dengan pendirian
universitas Katolik, mulai muncul aksi-aksi Katolik di Kuba, Argentina,
Uruguay, Kosta Rika, Peru, dan Bolivia. Organisasi pemuda aksi Katolik tumbuh
dengan cepat. Di Argentina, misalnya, pada 1934, jumlah anggotanya baru 600
orang. Tapi tahun 1953, sudah mencapai 8000 orang. Di Brasil, pada 1953 baru
15.000. Tahun 1961 meningkat ke angka 120.000 orang. Organisasi buruh juga
makin populer. Pada 1954, baru ada empat negara yang mempunyai Serikat Buruh
Nasional. Tapi pada 1960-an, hampir semua negara Amerika Latin mempunyai
Serikat Buruh Nasional, kecuali Kosta Rika, Guatemala, dan Kuba. Total ada 23
Serikat Buruh Nasional dengan anggota militan sekitar satu juta orang. Menurut
buku Teologi Pembebasan, itu ada hubungannya dengan upaya gereja untuk
menciptakan kaum awam yang militan.
Untuk melembagakan kesadaran baru di
bidang teologi itu, para uskup Amerika Latin membentuk Consejo Episcopal Latino-Americano (Celam)--sidang para uskup Amerika latin--Di Rio de Janeiro, Brasil, pada
1955. Peristiwa ini sekaligus menjadi tonggak diterapkannya "sistem kolegialitas antar uskup"
dan ditinggalkannya sistem patronato yang telah diterapkan sejak abad ke-13.
Dalam sistem patronato, gereja berada di bawah kekuasaan penguasa. Para uskup
cenderung berkompromi bahkan berpihak kepada para penguasa politik, walaupun
penguasa itu menyengsarakan rakyat. Sedangkan dalam sistem kolegialitas, gereja
tak lagi berada di bawah payung penguasa politik. Mereka dapat bergerak bebas
untuk menyentuh masalah ekonomi, politik, dan budaya. Hal ini mengantar mereka
untuk melancarkan gerakan pembebasan bagi rakyat tertindas, walau dengan risiko
dimusuhi penguasa.
Gerakan pembebasan itu makin gencar
setelah Konsili Vatikan II --sidang resmi para uskup sedunia-- pada 1962
memerintahkan agar Gereja Katolik memikirkan masalah-masalah aktual, umpamanya,
turut memajukan kebudayaan, ekonomi, dan ikut mewujudkan perdamaian dunia.
Apa yang dicanangkan Konsili Vatikan II
tersebut menjadi salah satu alasan para uskup Amerika Latin untuk menggelar
Sidang Celam II di Medellin, Kolombia, pada 1968. Ringkasnya, sidang itu
menyimpulkan bahwa penindasan di Amerika Latin telah menjelma menjadi kekerasan
yang melembaga (institutionalized violence) dan terjadi di segala bidang. Maka
gereja harus berinisiatif dan bertanggung jawab untuk mengembangkan kebudayaan,
berperan serta dalam kehidupan sosial politik.
Tiga tahun kemudian, 1971, terbit Teologia de la Liberacion --Teologi Pembebasan-- karya Gustavo Gutierrez, pastor dari Peru
itu. Buku ini menguraikan secara jelas gagasan-gagasan dan tindakan-tindakan
yang ditempuh para uskup Amerika Latin.
Sidang Celam II dan buku Gutierrez
mendorong gereja untuk makin terlibat dalam perlawanan rakyat. Sebaliknya, rasa
permusuhan penguasa dan orang-orang kaya terhadap gereja kian tajam. Seiring
dengan meluasnya paham Teologi Pembebasan, gencar pula suara yang menuduh para
pengikut teologi ini menerapkan ajaran marxis yang merekomendasikan perjuangan
kelas dan perubahan radikal melalui revolusi kekerasan. Penggunaan analisis
marxis "perjuangan kelas" dan "perubahan struktur" oleh
para teolog Teologi Pembebasan, termasuk Gutierrez, dianggap para kritikus
sebagai "dosa terhadap Kristianitas".
Namun para tokoh Teologi Pembebasan
membantah tuduhan tersebut. Camilo Torres, pastor dari Kolombia yang ikut
bergerilya dan tewas, misalnya, mengaku sebenarnya tak ingin bergabung dengan
para gerilyawan. "Berkali-kali saya dituduh menyuarakan revolusi dengan
kekerasan. Manakala rakyat mempunyai keberanian untuk mengorganisasi diri,
kelas penguasa cepat-cepat menuduh kita menghimpun revolusi dengan kekerasan.
Kita tak ingin kekerasan, kita tak hendak menggunakan paksaan. Yang kita
cita-citakan adalah bahwa suatu ketika kekuasaan akan berada di tangan rakyat,"
katanya pada 1965.
Bahwa ia akhirnya menggunakan kekerasan,
bergabung dengan kelompok gerilyawan komunis, memanggul senjata, menurutnya
karena tak ada pilihan lain. Pemerintah dan aparat militer tak dapat diajak berbicara. Penguasa hanya
mempunyai satu jalan: senjata. Tapi Camilo menolak bila dituduh komunis. "Saya tak pernah akan bergabung ke dalam
aparatnya, dan saya tak hendak menjadi komunis, baik sebagai warga Kolombia,
sebagai sosiolog, sebagai orang
Kristen, maupun sebagai pastor. Namun saya bersedia berjuang bersama-sama
mereka untuk meraih tujuan serupa, yakni melawan dan menentang oligarki dan
dominasi Amerika Serikat agar kekuasaan kembali ke tangan rakyat,"
katanya pada September 1965.
Pengikut Teologi Pembebasan memang tak
menyangkal bahwa mereka menggunakan analisis marxis, tapi menolak bila dituduh
"berdosa" terhadap Kristianitas. Gutierrez, yang mendalami
tulisan-tulisan Marx sejak mahasiswa di Universitas San Marcos, tetap bersikap
kritis terhadap kekurangan dan bahaya marxis.
Bagi Gutierrez, peranan marxisme hanyalah
alat analisis yang dapat merekam dan mendeskripsikan keadaan tak adil dan
praktek kekerasan yang melembaga di Amerika Latin. Menurut Gutierrez,
"perjuangan kelas" yang dikumandangkan oleh Marx bukan hal baru bagi
penganut Kristiani. Santo Lucas yang hidup sebelum Marx, kata Gutierrez, telah
menyuarakan perjuangan kelas. Transformasi struktur, perubahan struktur
kapitalisme yang menciptakan ketidakadilan dan kemiskinan rakyat banyak,
bukanlah monopoli Marx. Injil, Gutierrez melanjutkan, sudah lebih dulu
menganjurkannya. Untuk memperkuat argumentasinya, Gutierrez mengutip ayat-ayat
dalam Injil. Misalnya dari Injil Lukas bab 1 ayat 51-53 yang antara lain
berbunyi: "Ia menurunkan orang-orang
yang berkuasa dari tahtanya dan meninggikan orang-orang yang rendah. Ia
melimpahkan segala yang baik kepada orang-orang lapar, dan menyuruh orang kaya
pergi dengan tangan hampa."
Tak lupa ia menafsirkan makna kelahiran
Yesus sebagai Sang Pembebas. Yesus, menurut Gutierrez, lahir untuk mewartakan
kabar gembira kepada orang miskin, dan mewartakan pembebasan bagi mereka yang
terbelenggu, yang telah dengan berani menghadapi serangan para penguasa Romawi
yang menindas orang Yahudi. Berdasarkan argumentasi tersebut, ia menganggap tak
ada salahnya meminjam pendekatan marxis untuk melaksanakan tugas sosial gereja.
"Pentingnya konsepsi bukan ditentukan oleh siapa yang mengatakannya,
melainkan oleh ketepatannya dalam mendeskripsikan dunia tempat kita hidup.
Entah yang merumuskannya itu manusia Karl Marx atau manusia yang lain,"
katanya.
Namun, Gutierrez tetap bersikap kritis
terhadap marxis dan menempatkan Kristianitas sebagai pedoman hidup yang lebih
unggul ketimbang marxis. Keunggulan
Kristianitas, katanya, terletak pada kemampuannya melihat kemenangan setelah
kematian. Sementara tentang maut, marxisme tak punya jawaban.
Pembenaran Gutierrez tersebut tak
mengurangi kecurigaan berbagai pihak terhadap gerakan Teologi Pembebasan. Tahun
1984, Vatikan mengeluarkan instruksi yang melarang para imam Katolik terlibat dalam
kegiatan politik praktis dan menggunakan pendekatan marxis. Bahkan sebelum itu,
dari kalangan para uskup Amerika Latin yang tergabung dalam Celam sendiri sudah
terdengar kritik terhadap penerapan marxisme. Dan pada Sidang Celam III di Puebla de los Angeles,
Meksiko, pada 1979, mereka mengecam marxisme seraya mengutuk kapitalisme.
Menurut mereka, kedua sistem itu membuat manusia menjadi budak ambisi kekayaan,
kekuasaan, pengagungan kepentingan umum negara, seks, dan kenikmatan duniawi
yang menggerogoti hubungan manusia dengan Tuhan. Namun, mereka tetap mengimbau
untuk menggalakkan gerakan "umat basis" yang sudah dilakukan
sebelumnya.
Toh, semangat Teologi Pembebasan terlanjur
menjalar ke berbagai negara, terutama negara Dunia Ketiga yang mayoritas penduduknya
beragama Katolik seperti Filipina. Ed de la Torre, penulis buku Touching
Ground, Taking Root: Theological and Political Reflections on The Phillipine
Struggle, menyimpulkan bahwa pengaruh Teologi Pembebasan itu terlihat pada
gerakan massa yang menggulingkan Presiden Ferdinand Marcos pada 1986. Umat
Kristiani, katanya, terlibat aktif dalam gerakan rakyat untuk melakukan
perubahan fundamental di bidang ekonomi dan politik.
Di Indonesia, menurut Budhy Munawar Rachman, Manajer Program Studi Islam Yayasan Paramadina,
bayang-bayang teologi itu tak begitu jelas. Yang agak kentara, katanya, justru
pengaruh teori dependensi --pemikiran di bidang ekonomi-- yang pernah dipakai
sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) pada 1970-an.
..."Gereja
Katolik Indonesia tak mengimpor Teologi Pembebasan dari Amerika Latin itu,"
ujar Romo Purbo.
Begitu pula menurut Romo Ismartono. "Tapi bukan berarti gereja menutup mata
terhadap ketidakadilan yang terjadi di masyarakat," kata Romo
Ismartono. Menurutnya, garis keterlibatan gereja di Indonesia dalam solidaritas
sosial berpegang pada Instruksi Mengenai Kebebasan dan Pembebasan Kristiani
yang dikeluarkan Tahta Tinggi Vatikan yang antikekerasan. "Butir-butir
instruksi itu berbeda dengan yang ada pada Teologi Pembebasan di Amerika Latin.
Gereja lebih memilih jalan reformasi ketimbang revolusi, yang sering memakan
korban dan akhirnya melahirkan rezim totaliter," lanjut Romo Ismartono
kepada J. Eko Setyo Utomo dari Gatra.
*Nur Bintang adalah alumnus pascasarjana sosiologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Sumber Referensi:
-Diambil dari Majalah Gatra Nomor 42 Tahun II, 31
Agustus 1996.
Assalamu Alaikum wr-wb, perkenalkan nama saya ibu Rosnida zainab asal Kalimantan Timur, saya ingin mempublikasikan KISAH KESUKSESAN saya menjadi seorang PNS. saya ingin berbagi kesuksesan keseluruh pegawai honorer di instansi pemerintahan manapun, saya mengabdikan diri sebagai guru disebuah desa terpencil, dan disini daerah tempat saya mengajar hanya dialiri listrik tenaga surya, saya melakukan ini demi kepentingan anak murid saya yang ingin menggapai cita-cita, Sudah 9 tahun saya jadi tenaga honor belum diangkat jadi PNS Bahkan saya sudah 4 kali mengikuti ujian, dan membayar 70 jt namun hailnya nol uang pun tidak kembali, bahkan saya sempat putus asah, pada suatu hari sekolah tempat saya mengajar mendapat tamu istimewa dari salah seorang pejabat tinggi dari kantor BKN pusat karena saya sendiri mendapat penghargaan pengawai honorer teladan, disinilah awal perkenalan saya dengan beliau, dan secara kebetulan beliau menitipkan nomor hp pribadinya dan 3 bln kemudian saya pun coba menghubungi beliau dan beliau menyuruh saya mengirim berkas saya melalui email, Satu minggu kemudian saya sudah ada panggilan ke jakarta untuk ujian, alhamdulillah berkat bantuan beliau saya pun bisa lulus dan SK saya akhirnya bisa keluar,dan saya sangat berterimah kasih ke pada beliau dan sudah mau membantu saya, itu adalah kisah nyata dari saya, jika anda ingin seperti saya, anda bisa Hubungi Bpk Drs Tauhid SH Msi No Hp 0853-1144-2258. siapa tau beliau masih bisa membantu anda, Wassalamu Alaikum Wr Wr ..
BalasHapus