Oleh:
Nur Bintang*
Walter Benjamin adalah seorang
tokoh Yahudi dalam tradisi Mahzab Frankfurt (Jerman) yang juga merupakan
seorang sastrawan, filsuf kawakan beraliran marxis, sekaligus ‘the great
social critism von Germany’. Benjamin lahir di Berlin pada tanggal 15 Juli
1882 dan meninggal dengan jalan bunuh diri pada tanggal 25 September 1940
ketika dalam kondisi jiwa yang tertekan (frustasi) akibat menenggak
beberapa butir pil sianida ketika dalam ‘status pelarian’ saat hendak keluar
dari perbatasan Perancis yang diduduki Nazi-Jerman menuju Spanyol dalam usaha untuk menghindari kejaran pasukan polisi rahasia Nazi-Jerman (Gestapo) yang kala itu mengejar Benjamin dengan dalih sebagai ilmuwan
sosial Yahudi yang memiliki pemikiran-pemikiran berbahaya bagi keberlangsungan
otoritas rezim Nazi-Jerman. Selain itu, pasukan Gestapo Nazi-Jerman juga merusak dan menyita buku-buku perpustakaan sumber pengetahuan
milik Benjamin. Pemerintah fasis Nazi-Jerman menjalankan ‘politik genosida/pemusnahan
etnis’ atas perintah diktaktor “Adolf Hitler” yang sangat bersikap rasis
dan membenci ras Yahudi (anti-semit) yang dimana pada akhirnya Nazi-Jerman berhasil dikalahkan dan dikuasai oleh tentara merah Uni Soviet yang
dipimpin oleh “Joseph Stalin” yang notabene masih berdarah Yahudi dalam
serbuan invansi kilat melalui dua juta tentara merah Uni Soviet yang melakukan penyerbuan ke Jerman. Kekalahan telak Nazi-Jerman akibat jatuhnya Kota Berlin ke tangan Uni Soviet telah mengakhiri perang dunia
ke-2 di Eropa.
Benjamin merupakan seorang kritikus budaya yang
sangat brilian di era zamannya. Pribadi Benjamin seperti dijelaskan dalam
beberapa buku yang pernah saya baca bahwa jika ternyata Benjamin merupakan
seorang pribadi yang tertutup dan cenderung anti-sosial/suka menyendiri.
Penilaian pribadi Benjamin ini diungkapkan oleh beberapa kawan/koleganya yang
selama ini mengenal baik dengan Benjamin. Benjamin sangat jelas terpengaruh
pemikiran marxisme di dalam tulisannya terkait dengan kritik sastra dan kritik
budaya. Kebanyakan tulisan Benjamin menceritakan tentang akibat buruk
modernisasi terhadap kehidupan manusia. Benjamin melalui pemikiran tulisannya
berusaha menyelamatkan manusia dari keburukan akibat modernisasi melalui jalan
seni (art) yang membebaskan atau “estetika penyelamatan”.
Foto 1. tentara Nazi-Jerman ketika sedang melakukan pengejaran.
Benjamin pernah menulis sebuah karya maestro yang
berjudul “The World of Art in
The Age Mechanical Reproduction” pada tahun 1935 sebagai bentuk kritik terhadap ’industri budaya’ yang
melanda Eropa pada zaman itu. Benjamin menjelaskan sejarah industri budaya
mengalami nilai perubahan dari nilai seni sebenarnya yang bermakna ritual pada
wujud pemujaan pada dewa-dewi (Tuhan) yang kemudian berubah sebagai bentuk
materialisme yang dibungkus dalam wujud seni dan diproduksi secara massal untuk
diperjual-belikan secara komersil kepada kelas-kelas sosial tertentu, ex: pertunjukan seni orkestra klasik yang ditujukan
untuk golongan bangsawan Eropa kelas atas atau wujud-wujud lukisan dan
seni patung yang dijual kepada para kurator seni dengan harga tinggi di beberapa art gallery. Karya yang ditulis Benjamin ini sebenarnya merupakan bentuk
sanggahan terhadap tesis Theodor Adorno (kritikus budaya Mahzab Frankfurt) yang
menganggap industri budaya sebagai bagian wujud dari eksistensi masyarakat
industri modern kala itu. Reproduksi mekanik yang dipikirkan oleh Benjamin
dalam karya-karyanya lebih cenderung pada hal kemajuan teknologi peralatan
teknis yang mampu memproduksi berbagai macam karya seni sesuai dengan wujud
aslinya. Proses mekanik dalam produksi karya seni akan berpengaruh terhadap
”aura” dari wujud karya seni itu sendiri. Benjamin lalu mencetuskan ”aura
theory” yang menjelaskan bahwa wujud karya seni buatan yang dibuat sesuai
dengan wujud asli karya seni yang bersifat ’asli’ akan memudarkan ’aura’ dari
karya seni tersebut. Hal tersebut bisa saya ambil contoh dari wujud lukisan
postmodern ”The Scream” karya Edvard Munch (1863-1944), seorang pelukis
ekspresionis asal Norwegia dan lukisan realisme ”Mona Lisa” karya
Leonardo Da Vinci, seorang ilmuwan sekaligus pelukis renaissance Eropa abad 15 asal Italia (lukisan ini kini disimpan di museum Louvre, Paris,
Perancis), berikut ini:
Foto 2. lukisan ”The Scream”.
Foto 3. lukisan ”Mona Lisa”.
Dari lukisan foto
di atas apa yang bisa kita lihat dan kita tafsirkan jika menggunakan kacamata
pemikiran dari Benjamin...? Yups benar... ’aura’ lukisan asli
dari lukisan ”The Scream” dan lukisan ”Mona Lisa” jelas nampak
pudar... why..??? because these pictures are not original! but we can
enjoy see all duplicate pictures! Tanpa kita harus mengeluarkan banyak uang
untuk pergi jauh-jauh melancong ke Eropa hanya untuk sekedar melihat lukisan
aslinya tapi toh kita bisa menikmati lukisan tersebut walau melalui sebuah
gambar foto yang diproduksi secara mekanik sesuai dengan wujud aslinya. Artinya
kesakralan lukisan asli yang diproduksi secara massal tersebut jelas nampak
memudar dan mulai hilang. Keunikan karya seni adalah kelangkaannya
(terbatas/ekslusif) dan aura kelangkaan karya seni tersebut akan rusak atau
bahkan hilang jika karya seni tersebut diproduksi massal akibat kemajuan
teknologi sehingga semua orang dapat melihat, menikmati, dan mendapatkannya
karya seni secara mudah (tidak langka lagi). Benjamin melalui pemikirannya
berjuang ingin mengembalikan hakikat seni ke dalam wujud aslinya yakni pada
hakikat keindahan dalam wujud ”seni murni” yang terlepas dari pengaruh
materialisme kebudayaan yang berjalan seiring kemajuan teknologi reproduksi
dengan bertumbuhnya alat foto, alat perekam, dan media massa televisi yang
banyak dimiliki oleh para kaum pemilik modal di dalam menjalankan bisnis
industri kebudayaan. Inti dari pemikiran Benjamin bahwa ternyata penemuan
teknologi memberikan akses distribusi kebudayaan yang sangat luas kepada
khalayak masyarakat yang pada akhirnya justru makin membunuh ’aura’ dari
karya seni itu sendiri.[]
*Nur Bintang adalah alumnus pascasarjana sosiologi, Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta.
Sumber Referensi:
-Martinjay. 2009. Sejarah Mahzab Frankfurt: Imajinasi Dialektis dalam Perkembangan Teori Kritis. Terjemahan: Nurhadi. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
-Stuart sim dan Borin van loon. 2008. Memahami Teori Kritis. Yogyakarta. Penerbit: Resist Book.
Assalamu Alaikum wr-wb, perkenalkan nama saya ibu Rosnida zainab asal Kalimantan Timur, saya ingin mempublikasikan KISAH KESUKSESAN saya menjadi seorang PNS. saya ingin berbagi kesuksesan keseluruh pegawai honorer di instansi pemerintahan manapun, saya mengabdikan diri sebagai guru disebuah desa terpencil, dan disini daerah tempat saya mengajar hanya dialiri listrik tenaga surya, saya melakukan ini demi kepentingan anak murid saya yang ingin menggapai cita-cita, Sudah 9 tahun saya jadi tenaga honor belum diangkat jadi PNS Bahkan saya sudah 4 kali mengikuti ujian, dan membayar 70 jt namun hailnya nol uang pun tidak kembali, bahkan saya sempat putus asah, pada suatu hari sekolah tempat saya mengajar mendapat tamu istimewa dari salah seorang pejabat tinggi dari kantor BKN pusat karena saya sendiri mendapat penghargaan pengawai honorer teladan, disinilah awal perkenalan saya dengan beliau, dan secara kebetulan beliau menitipkan nomor hp pribadinya dan 3 bln kemudian saya pun coba menghubungi beliau dan beliau menyuruh saya mengirim berkas saya melalui email, Satu minggu kemudian saya sudah ada panggilan ke jakarta untuk ujian, alhamdulillah berkat bantuan beliau saya pun bisa lulus dan SK saya akhirnya bisa keluar,dan saya sangat berterimah kasih ke pada beliau dan sudah mau membantu saya, itu adalah kisah nyata dari saya, jika anda ingin seperti saya, anda bisa Hubungi Bpk Drs Tauhid SH Msi No Hp 0853-1144-2258. siapa tau beliau masih bisa membantu anda, Wassalamu Alaikum Wr Wr ..
BalasHapus