Ditulis oleh:
Nur Bintang*
"Bahasa merupakan sarana perwujudan simbolik
dimana pihak yang berkuasa akan menguasai ruang komunikasinya"
(Pierre Bourdieu, filsuf sosial, sosiolog postmodern dari Perancis)
httpmeetdoctor.comuploadstaxonomyshutterstock_65409730.jpg |
Jika
dahulu terdapat praktek apartheid atau bahkan
rasisme (diskriminasi terhadap suatu ras suku bangsa) yang sangat
ditentang karena dianggap melanggar batas hak-hak asasi manusia namun kini
masih saja terdapat praktek kekerasan simbolik terhadap para penyandang cacat mata ‘buta warna’ yang saya biasa menyebutkan
melalui istilah sendiri dengan nama colour blindheid (diskriminasi
terhadap penderita buta warna) atau mungkin penyandang disabilitas lain
(menyangkut keterbatasan fisik yang dimiliki seseorang). Negara seharusnya
dapat berbenah dan mengakui hak-hak asasi manusia dalam penghidupan ekonomi
terutama dalam hal ‘mendapatkan pekerjaan’ bagi seluruh warga negaranya tanpa
terkecuali yang dijamin oleh undang-undang.
Namun
perkembangan sosial masyarakat dewasa ini telah mengakibatkan banyak para
penderita buta warna yang memiliki integritas, kecakapan, dan potensi terpaksa harus
kalah bersaing terlebih dahulu dalam bursa pencarian kerja akibat adanya
peraturan awal larangan rekruitmen (lowongan pekerjaan) di beberapa perusahaan
hingga instansi pemerintah untuk tidak menerima para penderita buta warna
terutama bagi para penderita buta warna total atau sebagian (parsial). Dalam
pandangan saya, hal ini merupakan sebuah bentuk
diskriminasi dan wujud praktek kekerasan simbolik! Maka tidak
heran jika sosok Prof. Dr. Shinobu Ishihara dari Universitas Tokyo, Jepang penemu buku tes buta warna yang melegenda ini menjadi tokoh nomor satu yang
paling banyak dibenci, dicaci bahkan dihujat oleh hampir semua penderita buta
warna di seluruh dunia karena dianggap menemukan praktek diskriminasi baru
terkait pembatasan hak sosial terhadap para penderita buta warna.
Prof. Dr. Shinobu Ishihara, penemu tes buta warna |
Semua
manusia dimanapun ia berada pasti menginginkan terlahir dalam kondisi fisik
yang normal namun terkadang Tuhan berkata lain dengan memberikan kekurangan dan
kelebihan dari setiap makhluk yang diciptakan-Nya. Buta warna sendiri pada
umumnya bukanlah sejenis penyakit melainkan cacat mata yang berasal dari faktor
genetis bawaan dari orang tua (biasanya berasal dari garis keturunan ibu atau
dari garis keturunan ayah yang dibawa melalui kromosom X) yang diturunkan kepada anak atau kepada cucunya (bagi ayah penderita buta warna berpeluang besar
menurunkan genetik buta warna kepada anak perempuannya dan bagi pihak ibu
penderita buta warna berpeluang besar menurunkan genetik buta warna kepada anak
laki-lakinya). Namun ada juga penderita buta warna yang disebabkan
bukan berasal dari faktor genetis (keturunan) melainkan akibat dari faktor dari
luar (kemungkinan kecil) seperti benturan kepala akibat mengalami kecelakaan,
keracunan mata, kekurangan gizi, atau terkena sejenis virus yang menyerang sel mata
pada janin ketika dahulu masih berada dalam kandungan dan lain sebagainya. Cacat
mata ‘buta warna’ untuk saat ini belum dapat disembuhkan tetapi bisa dikurangi dampaknya
melalui penggunaan lensa warna pada kacamata khusus.
Skema 'buta warna' yang diturunkan secara genetis |
Jika
sudah ada bawaan genetis cacat mata buta warna yang berasal dari orang tua
biasanya seorang anak memiliki resiko besar untuk menjadi penderita buta warna (baik
total maupun parsial). Kebanyakan penderita buta warna pada umumnya adalah
berjenis kelamin laki-laki sebesar 98% dan berjenis kelamin perempuan sebesar 2%
sebagai penderita atau pembawa genetis buta warna saja walaupun dirinya tidak
menderita buta warna. Secara kasuistis kebanyakan dari penderita buta warna merupakan
anak bungsu dalam keluarganya. Saat ini diperkirakan ada 40 juta orang pengidap
buta warna di seluruh dunia dengan perbandingan rata-rata 1:12 dari setiap jenis
kelamin laki-laki dan 1: 200 dari setiap jenis kelamin perempuan dari setiap
populasi penduduk.
Penderita
buta warna parsial (sebagian) ini biasanya masih bisa melihat warna secara
normal namun hanya ada beberapa warna-warna tertentu yang dimana penderita ini
tidak bisa membedakan jenis warnanya. Hal ini tentu sangat lain dengan
penderita buta warna total yang hanya bisa melihat warna hitam dan putih saja.
Namun untuk penderita buta warna total saat ini sudah sangat jarang ditemukan
karena pada umumnya populasi penderita buta warna paling banyak ditemui saat
ini di dunia adalah penderita buta warna sebagian (parsial). Adapun jenis-jenis
buta warna tersebut adalah sebagai berikut:
1. Trikromasi
dimana
mata penderita memiliki sensitivitas warna dari satu jenis atau lebih sel
kerucut. Penderita yang lemah terhadap warna hijau (deutramali), penderita yang
lemah terhadap warna merah (protranomali), dan penderita yang lemah terhadap
warna biru (tritanomali).
2. Dikromasi
dimana penderita tidak memiliki salah satu sel kerucut pada retina mata.
Penderita memiliki retina mata yang tidak memiliki sel kerucut yang peka
terhadap warna hijau (deuteranopia), penderita memiliki retina mata yang tidak
memiliki sel kerucut yang peka terhadap warna merah (protanopia), penderita
memiliki retina mata yang tidak memiliki sel kerucut yang peka terhadap warna
biru (tripanopia).
3. Monokromasi
dimana
penderita tidak memiliki sama sekali sel kerucut pada retina mata sehingga
tidak bisa membedakan warna apapun sehingga menderita buta warna total (akromatopsia) yang hanya bisa melihat warna
hitam dan putih saja.
Bagi
para penderita buta warna pada zaman sekarang ini mungkin benar-benar seperti merasa
mengalami praktek diskriminasi, menjadi korban kekerasan simbolik, dan penolakan
sosial terhadap akses hak pendidikan dan hak ekonomi (pekerjaan). Ada terdapat ribuan
bahkan jutaan para penderita buta warna yang harus kecewa, menangis, sedih,
rendah diri, frustasi, merasa tertekan karena cita-cita mereka untuk
melanjutkan studi ke sebuah sekolah favorit, jurusan favorit di universitas,
bahkan pekerjaan yang diimpikan selama ini pada perusahaan besar atau instansi
pemerintah harus gagal hanya karena sebuah seleksi tes kesehatan (medical check up) terhadap mata yaitu Tes Ishihara! (melihat simbol angka,
garis atau huruf dalam bentuk titik-titik warna yang dicampur). Untuk jurusan
atau pekerjaan yang wajib berhubungan dengan penggunaan warna seperti kemiliteran,
psikologi, biologi, kimia, kedokteran, ilmu gizi, farmasi, teknik, agronomi,
geografi, elektro, pertanian, pelayaran dan lain-lain menurut
pandangan saya pribadi masih bisa dimaklumi untuk menghindari human error karena pekerjaannya yang menyangkut
resiko bahaya bagi keberlangsungan institusi dan orang lain di sekitarnya. Sayangnya, terkadang masih ada juga beberapa
sekolah bahkan beberapa perusahaan maupun instansi pemerintah yang dimana dalam
studi atau pekerjaan sehari-harinya tidak banyak bersinggungan dengan
penggunaan warna namun tetap ‘MENOLAK MENERIMA’ murid, mahasiswa, atau karyawan/pegawai
yang menderita ‘buta warna’ tanpa melihat kompetensi dan latar belakang dari para
penderita buta warna tersebut.
Contoh gambar Tes Ishihara untuk mengetahui status buta warna |
Jika saya telisik
menggunakan kacamata pemikiran filsuf sosial sekaligus sosiolog postmodern
lulusan dari kampus École Normale Supérieure, Paris, Perancis
yaitu Pierre Bourdieu yang melihat
hubungan dominasi (relations of dominations) dalam medan sosial terhadap
kepemilikan akses terhadap modal yang dimana bahwa istilah kata “colour blind” atau “buta warna” menjadi simbol
pihak yang didominasi karena ada pihak-pihak yang memproduksi dan mempertinggi
nilai simboliknya sendiri sebagai “orang sempurna tanpa cacat” dengan
menggunakan strategi perbedaan
(distinction) dengan berusaha membedakan diri dari pihak yang ada di
bawahnya. Kelompok dominan berusaha memperbesar nilai simbolik yang dimilikinya
sebagai manusia sempurna tanpa cacat tubuh yang dapat bekerja baik. Para
penderita buta warna ditundukkan melalui regulasi
(peraturan) resmi melalui pernyataan bahasa oleh pihak-pihak yang
merasa tinggi dengan nilai simboliknya hanya untuk sekedar mempertahankan
praktek dominasi. Hal ini dapat dilihat dari modal memiliki fisik sempurna melalui komunikasi dalam iklan penerimaan
murid di sekolah hingga iklan lowongan pekerjaan seperti kalimat persyaratan ‘sehat
jasmani dan rohani’ lebih menjurus terhadap persepsi ‘tidak cacat’
dan ‘bebas dari buta warna’ sehingga menimbulkan kesan berbeda dari yang
lain nampaknya sudah menjadi basis dominasi dalam struktur sosial terhadap
penyandang disabilitas termasuk penderita buta warna yang merasa dibatasi hak
pendidikan dan ekonominya terutama dalam mendapatkan pekerjaan.
Tanpa melepaskan
dari analisa pemikiran Bourdieu jika ternyata praktek dominasi dan kekerasan
simbolik ini menunjukkan ketidaksetaraan suatu kelompok yang dianggap tidak
tinggi nilai simboliknya terhadap suatu akses seperti ekonomi, teknologi, atau
bahkan budaya. Bagi Bourdieu kekerasan
simbolik tidak dapat dilepaskan dari habitus,
medan, dan praksis bahwa modal yang dimiliki suatu individu dalam medan sosial
akan melahirkan praktik sosial. Akibatnya adalah relasi kekuasaan (power
relations) sekelompok ‘orang sempurna’ sebagai mayoritas yang dapat leluasa
melakukan tekanan sosial lebih besar terhadap sekelompok ‘orang yang tidak
sempurna’ sebagai minoritas sehingga
terpaksa merasa harus dipinggirkan. Khusus dalam pembahasan kali ini
adalah para penderita buta warna atau bahkan penyandang disabilitas lain yang
menjadi pihak yang didominasi dan didiskriminasi. Para penderita buta warna jika
dikaji menggunakan teori sosial analisa Bourdieu ini seperti nampak tidak dapat
melakukan perubahan struktur sosial karena tidak memiliki akses terhadap modal
sosial dan budaya. Para penderita buta
warna dalam hal ini mengalami praktek ketidaksetaraan relasi kuasa dalam medan
sosial (social sphere).
Solusinya? pemerintah sudah seharusnya mulai berbenah
dengan membuat kebijakan mengenai peraturan tenaga kerja yang lebih berpihak
kepada hak sosial dari para penderita buta warna atau para penyandang
disabilitas lain dalam mengakses pendidikan dan pekerjaan. Perlu adanya
deteksi lebih dini (usia 4 tahun) terhadap anak-anak penderita buta warna agar
dapat merancang masa depannya secara lebih baik seperti melalui sosialisasi
pendidikan dan pekerjaan dari pihak sekolah atau pemerintah mengenai jurusan
studi di sekolah atau universitas yang dapat dimasuki oleh para penderita buta
warna sehingga setelah lulus nanti para penderita buta warna dapat mencari
pekerjaan atau memutuskan mandiri menjadi pengusaha sesuai dengan bakat,
keahlian dan kemampuan bidangnya masing-masing. Sekedar saran, sebaiknya para
penderita buta warna untuk lebih memilih jurusan sosial atau IPS ketimbang
jurusan eksak atau IPA karena dalam jurusan ilmu sosial pemahaman mengenai
bidang studi atau bidang pekerjaan nantinya tidak banyak berkaitan langsung dengan
hal-hal teknis penggunaan warna.
Jika dilihat
dari sistem kesempatan dan penerimaan tenaga kerja saat ini di Indonesia walaupun
sudah ada kebijakan dari pemerintah mengenai pengaturan hak-hak penyandang
disabilitas (terutama dalam hak pekerjaan) namun nampaknya masih belum menjadi
skala prioritas dan perhatian bagi kebanyakan perusahaan maupun instansi
pemerintah di Indonesia mengenai hal rekruitmen bagi calon karyawan atau calon pegawainya.
Pemerintah di Indonesia seharusnya mulai
berkaca, mencontoh dan mencoba membuat kontrol regulasi yang tepat mengenai perlakuan
hak-hak asasi manusia bagi penyandang disabilitas seperti yang sudah diterapkan
pada negara-negara maju di Eropa Barat yang saat ini dinilai cukup baik.
Perusahaan dan
instansi pemerintah yang memberikan peluang pekerjaan bagi para penyandang
disabilitas terutama bagi penderita buta warna di Indonesia saat ini jumlahnya
dianggap masih sangat minim
karena penampilan fisik normal masih menjadi kebutuhan prioritas bagi
rekruitmen calon karyawan atau calon pegawai di berbagai perusahaan atau
instansi pemerintah saat ini. Sekedar saran, bila perlu pemerintah kini harus membuat aturan tegas untuk mencabut
izin operasional suatu perusahaan atau memberikan peringatan tertulis atau
sanksi kepada instansi pemerintah jika dianggap tidak memfasilitasi atau memberi
kesempatan kerja terkait hak ekonomi bagi penyandang disabilitas termasuk para penderita
buta warna yang dimana bidang pekerjaannya tidak menyangkut persoalan teknis
penggunaan warna.
Saya pernah membaca sebuah koran berbahasa
asing dari luar negeri jika ternyata perusahaan swasta dan instansi pemerintah negara-negara
maju di Eropa Barat bahkan di Amerika Serikat pada abad 21 secara humanis sudah
mulai menerapkan kebijakan memberikan peluang hak ekonomi (lowongan pekerjaan) secara
merata kepada semua warga negaranya tanpa melihat perbedaan batasan umur (dewasa),
ras/suku bangsa, agama, status/kelas sosial terutama bagi penyandang
disabilitas termasuk para penderita buta warna (hingga sudah di atas angka 50%
dari jumlah pekerjanya). Perusahaan-perusahaan dan instansi-instansi
pemerintah di Eropa Barat saat ini kini sudah mulai memperhatikan dan
memfasilitasi rekruitmen keberadaan terhadap calon karyawan yang berasal dari
para penyandang disabilitas terutama bagi para penderita buta warna yang
dinilai cocok oleh para tim psikolog untuk dapat bekerja pada bidang yang tidak
berhubungan dengan penggunaan teknis warna yang biasanya terkait pada
bidang-bidang sosial kemasyarakatan, analis, evaluator, hubungan masyarakat, jurnalis, penulis yang mewakili atas nama perusahaan atau
instansi pemerintah.
Terkadang di
lingkungan sosial sekitar (terutama di Indonesia), kita sering menemukan para
penderita buta warna yang menjadi pelamar kerja ternyata lolos ujian tes
tertulis psikotes dan lolos ujian wawancara kerja serta berhasil menyisihkan puluhan,
ratusan bahkan ribuan kandidat pelamar kerja lain yang memiliki kondisi fisik
normal di berbagai perusahaan besar atau instansi pemerintah namun harus
menerima kenyataan pahit harus ‘gugur’ di tengah jalan karena dianggap gagal
dalam tahap final seleksi tes kesehatan (medical
check up) oleh dokter yang berwenang karena divonis menderita buta warna. Sangat diakui jika sebenarnya para
penderita ‘buta warna’ itu sendiri kebanyakan adalah orang-orang yang terlahir
memiliki intelegensi tinggi, pemikir, analitis, dan cenderung dapat menjadi
seorang yang jenius bahkan konon pada zaman ‘Perang Dunia’ melanda Eropa
dahulu banyak serdadu tentara penderita buta warna tertentu di Eropa yang diterjunkan
secara khusus ke medan perang sebagai navigator pada malam hari karena dianggap
memiliki penglihatan detail yang lebih baik dibandingkan penglihatan tentara biasa
yang memiliki kondisi mata normal dengan tujuan untuk mengetahui pergerakan
musuh. Tuhan memberikan para
penderita ‘buta warna’ dengan kekurangan beserta kelebihan yang dimilikinya.
Mark Zuckerberg, pembuat situs fenomenal jejaring sosial "facebook" merupakan penderita buta warna parsial yang kini sukses menjadi pengusaha top dunia |
Neil Harbisson, seniman penderita buta warna total pendiri yayasan nirlaba 'Cyborg Foundations' |
Tentara navigator malam pada Perang Dunia ke-2 kebanyakan diambil dari penderita buta warna |
Kita perlu mengenal sosok tokoh-tokoh besar dunia yang ternyata adalah seorang penderita buta warna diantaranya adalah ilmuwan penemu berat atom asal Inggris yaitu John Dalton; mantan Presiden Amerika Serikat yaitu Bill Clinton; Pangeran William dari Kerajaan Inggris; seniman yang menderita buta warna total (akromatopsia) yang mendirikan Cyborg Foundations, yayasan nirlaba yang mambantu manusia menjadi cyborg (manusia robot) terutama bagi para penyandang disabilitas yaitu Neil Harbisson; CEO & founder situs jejaring sosial ‘facebook’ yaitu Mark Zuckerberg; pencipta krayon senior yaitu Emerson Moser, artis-artis ternama dunia seperti Mark Twain, Paul Newman, Rutger Hauer, Bing Crosby, Meat Loaf, Keanu Reeves, Fred Rogers, Jack Nicklaus, Matt Lauer dan Bob Dole. Kisah perjuangan hidup para tokoh dunia sebagai penderita buta warna namun kini sukses dan berhasil mengubah dunia dapat menjadi acuan referensi bagi kita sebagai umat manusia untuk dapat terus melangkah maju. Semoga kesuksesan selalu menyertai langkah kita semua tanpa kecuali karena sukses adalah hak setiap manusia. Amin![] STOP DISKRIMINASI, STOP KEKERASAN SIMBOLIK…!!!
*Nur Bintang adalah
pengamat sosial dan budaya
OOO
keren mas artikelnya
BalasHapusMakasih Mas Danny sudah mampir di blog saya.. :)
HapusKeren jadi semangat kita mas. Makasih yah
Hapuscakep
BalasHapusyo sama2 mas... :)
HapusSaya juga penderita buta warna parsial
BalasHapusselalu gagal dlm medical chek up pdhal tinggal slangkah lagi
Kira" klo jdi seorang chef (juru masak) buta warna ngaruh ga ya ??
mudah2an cita-cita bisa terkabul ya mas.. menjadi seorang chef.. yang penting punya jiwa seni mengolah taste rasa nikmat masakan.. saya rasa tidak begitu berpengaruh.. maju terus jangan patah semangat.. ;)
HapusAssalamu Alaikum wr-wb, perkenalkan nama saya ibu Rosnida zainab asal Kalimantan Timur, saya ingin mempublikasikan KISAH KESUKSESAN saya menjadi seorang PNS. saya ingin berbagi kesuksesan keseluruh pegawai honorer di instansi pemerintahan manapun, saya mengabdikan diri sebagai guru disebuah desa terpencil, dan disini daerah tempat saya mengajar hanya dialiri listrik tenaga surya, saya melakukan ini demi kepentingan anak murid saya yang ingin menggapai cita-cita, Sudah 9 tahun saya jadi tenaga honor belum diangkat jadi PNS Bahkan saya sudah 4 kali mengikuti ujian, dan membayar 70 jt namun hailnya nol uang pun tidak kembali, bahkan saya sempat putus asah, pada suatu hari sekolah tempat saya mengajar mendapat tamu istimewa dari salah seorang pejabat tinggi dari kantor BKN pusat karena saya sendiri mendapat penghargaan pengawai honorer teladan, disinilah awal perkenalan saya dengan beliau, dan secara kebetulan beliau menitipkan nomor hp pribadinya dan 3 bln kemudian saya pun coba menghubungi beliau dan beliau menyuruh saya mengirim berkas saya melalui email, Satu minggu kemudian saya sudah ada panggilan ke jakarta untuk ujian, alhamdulillah berkat bantuan beliau saya pun bisa lulus dan SK saya akhirnya bisa keluar,dan saya sangat berterimah kasih ke pada beliau dan sudah mau membantu saya, itu adalah kisah nyata dari saya, jika anda ingin seperti saya, anda bisa Hubungi Bpk Drs Tauhid SH Msi No Hp 0853-1144-2258. siapa tau beliau masih bisa membantu anda, Wassalamu Alaikum Wr Wr ..
BalasHapusUntuk jurusan atau pekerjaan yang
BalasHapuswajib berhubungan dengan
penggunaan warna seperti kemiliteran,
psikologi, biologi, kimia, kedokteran,
ilmu gizi, farmasi, teknik, agronomi,
geografi, elektro, pertanian, pelayaran
dan lain- lain menurut pandangan
saya pribadi masih bisa dimaklumi
untuk menghindari human error
karena pekerjaannya yang
menyangkut resiko bahaya bagi
keberlangsungan institusi dan orang
lain di sekitarnya. Seharusnya si
diadakan polling/ pnelitian lbih jauh Om.. jangan
langsung menjudge profesi yg
dsebutkn itu gabisa dilakukan orang2
yg punya kekurangan bw Parsial.. sy
yakiin ada &mungkin banyak orang2
bw parsial yg bkrja di salah satu
bidang yg dsbutkan tsb.. sy brtahun2 krja disalh satu bidang yg dsbut diatas ga prnah ada kndala ga prnah mbuat orang lain celaka/ membuat orang lain mati terbunuh oleh kekurangan sy ini... wlpun sy harus sllu mnymbunyikan kekurangan sy
yah saya setuju dengan pendapat om... penderita buta warna memiliki kelebihan yang mungkin belum diketahui oleh orang2 yang dinilai normal.. intinya tetap berjuang dan pantang menyerah ya om.. hehehe... keep semangat! :)
HapusBagus kang artikelnya.. Kalau pembuatan sim apa seharusnya jg diganti syarat2ny..sperti tidak perlu menyertakan Surat kesehatan tidak buta warna.. Sepengalaman saya selama 15thn dgn 4 kali membuat sim tidak terkendala apapun di jalan raya saat mengendarai kendaraan meskipun saya menderita buta warna...yahh mudah2an pemerintah membaca artikel anda ini.. Dan peraturan bisa berubah.. Aminn
BalasHapusBagus kang artikelnya.. Kalau pembuatan sim apa seharusnya jg diganti syarat2ny..sperti tidak perlu menyertakan Surat kesehatan tidak buta warna.. Sepengalaman saya selama 15thn dgn 4 kali membuat sim tidak terkendala apapun di jalan raya saat mengendarai kendaraan meskipun saya menderita buta warna...yahh mudah2an pemerintah membaca artikel anda ini.. Dan peraturan bisa berubah.. Aminn
BalasHapussubhanallah..artikelnya keren skli mas
BalasHapusBaguss mass saya juga baru menyadari klo saya mengidap buta warna parsial dan akhirnya yaa begini lahh haruss pupus harapan karna ini
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusSekedar sharing, saya ada grup line bagi penderita buta warna parsial, masih belum banyak membernya, tapi semoga bisa saling share dan membantu :) linknya: http://line.me/ti/g/ZUg1OxZiK2
BalasHapusArtikel sangat bagus. Sy sendiri terjebak di jurusan teknik. Beberapa Kali gugur di mcu. Sempat kerja di bagian multimedia tidak masalah. Namun bullying masih kuat antar sesama karyawan walaupun hanya candaan kadang membuat drop n minder. Untuk BW harus punya mental kuat n tetep semngat teman2.
BalasHapusArtikel sangat bagus. Sy sendiri terjebak di jurusan teknik. Beberapa Kali gugur di mcu. Sempat kerja di bagian multimedia tidak masalah. Namun bullying masih kuat antar sesama karyawan walaupun hanya candaan kadang membuat drop n minder. Untuk BW harus punya mental kuat n tetep semngat teman2.
BalasHapusmungkin sangat bnyak penderita BW di indonesia. terlahir untuk mencari keadilan di negeri sendiri
BalasHapusterusin artikel selanjutnya bang.
Terimakasih mas.... tulisan ini memotivasi saya..
BalasHapusTulisan yang sangat memotivasi.. Saya ingin bertanya apakah Buta Warna Parsial masuk dalam kategori Penyandang Disabilitas dan apakah bisa mendaftarkan diri ke CPNS yang pada penerimaan kali ini ada kategori Penyandang Disabilitas.. Trimakasih dan Mohon Infonya... 🙏🙏🙏
BalasHapus