By:
Nur Bintang, M.A.*
Fenomena aksi demonstrasi yang berujung menjadi tragedi bentrokan |
Situasi
sosial di Indonesia saat ini, bila saya perhatikan sebagai analis dan pengamat sosial
maka bisa dikatakan kondisi sosial masyarakat di Indonesia sedang mengalami “sakit”. Penyakit-penyakit sosial yang sering melanda masyarakat di
Indonesia serasa tidak pernah kunjung habis dan terus silih-berganti. Analisa
saya saat ini lebih focus terhadap masalah budaya
kekerasan yang semakin akut di kalangan masyarakat di Indonesia. Masih
segar di pikiran kita ketika marak pemberitaan media massa di Indonesia
mengenai perang antar suku di beberapa daerah di Indonesia, kasus demonstrasi
buruh atau demonstrasi mahasiswa yang berujung pada tragedi bentrokan dan kerusuhan, kasus perkelahian (tawuran)
diantara para supporter kesebelasan sepak bola di Indonesia, kasus perkelahian
(tawuran) yang dilakukan antar oknum mahasiswa berbagai universitas di
Indonesia, kasus perkelahian (tawuran) para siswa antar sekolah SMA yang marak
terjadi di Indonesia hingga sampai menimbulkan jatuhnya korban jiwa, budaya
kekerasan pada beberapa institusi pendidikan di Indonesia terkait hubungan
relasi kekuasaan diantara siswa senior dan siswa junior di sekolah, kasus kejahatan geng motor, dan berita
paling terkini di media massa terkait bentrokan perseteruan konflik horizontal masyarakat yang mengatasnamakan kelompok, suku, bahkan agama yang justru malah melanggar nilai-nilai kemanusiaan yang diajarkan oleh agama itu sendiri, hingga maraknya tindakan premanisme yang dilakukan para gangster di kota-kota besar. Dari berbagai fenomena kasuistis di atas nampaknya ada
sesuatu yang salah pada masyarakat kita (something
wrong in my society?) maka dalam pembahasan posting kali ini saya akan
membahas mengenai konsonan “kekerasan” (violence) secara obyektif tanpa harus bersikap skeptis terhadap perubahan yang ada.
Budaya
kekerasan pada masyarakat kita tidak terlepas dari perasaan “benci” atau dalam
bahasa Inggris biasa disebut dengan “hate”.
Jauh sebelum ada kajian secara spesifik mengenai budaya kekerasan telah
terlebih dulu ada kajian mengenai “kebencian” dan “percintaan” dari seorang
filsuf Yunani kuno pada masa pra-Sokratik yang masuk dalam kategori filsuf
pluralis yaitu Empedokles yang lahir
pada awal abad ke-5 SM. Filsuf Empedokles memberi kajian
mengenai perubahan alam semesta yang terdiri dari “Cinta” (philotes) dan “Benci” (neikos). “Cinta” menurutnya adalah penguat unsur terbentuknya “kosmos” (keteraturan dunia) sedangkan
“benci” adalah penguat unsur terbentuknya “khaos”(ketidakteraturan dunia).
Dunia alam semesta ini menurut filsuf Empedokles bagaikan sebuah alur siklus
yang dimana setiap zaman akan menceritakan unsur kejadiannya tersendiri.
Empedokles menjelaskan bahwa pada zaman pertama bahwa semua unsur alam semesta termasuk makhluk hidup yang ada di dalamnya akan
hidup dalam kedamaian dan keteraturan berlandaskan rasa cinta; zaman kedua
bahwa perlahan timbul rasa benci yang berangsur-angsur mulai bangkit dan
merusak hubungan antar unsur-unsur yang berlandaskan rasa cinta tersebut; zaman ketiga
bahwa perasaan benci menjadi perasaan dominan yang melandasi hubungan setiap unsur sehingga mengakibat khaos (ketidakteraturan);
zaman keempat bahwa perasaan cinta berangsur-angsur menjadi dominan dan
akhirnya mengikis perasaan benci hingga akhirnya membentuk harmoni kosmos (keteraturan) di semua unsur lalu kemudian
seiring berjalannya waktu secara berangsur-angsur maka rasa cinta terkikis
kembali oleh rasa benci dan akhirnya berulang menjadi pada zaman kedua yang dialami oleh alam semesta dan
seterusnya.
Seiring
perkembangan zaman, kajian mengenai kekerasan juga dibahas dalam kajian
ilmu-ilmu social seperti psikologi, antropologi dan sosiologi di masa zaman
modern seperti sekarang ini. Budaya dan perilaku kekerasan manusia dan
masyarakat tidak terlepas dari awal mula dari kelahiran sejarah peradaban
manusia itu sendiri. Mitos kepercayaan
yang salah pada masyarakat pagan zaman kuno di masa lalu ialah menganggap “kekerasan sebagai
karunia dari Para Dewa” maksudnya masyarakat pagan pada zaman kuno sangat
percaya bahwa dewa-dewa sangat mengasihi kekerasan karena jiwa kekerasan sudah
ada dalam diri kita (manusia) masing-masing tanpa terkecuali. Masyarakat zaman
kuno sangat memuliakan kekerasan dan menganggap bahwa perang dengan merampok
dan melakukan penjarahan terhadap apa yang mereka miliki dan harus dikuasai
karena para dewa memberi manusia jiwa kekerasan sebagai bentuk landasan
upah untuk menyembah dan memuja-Nya. Sebagai bentuk contoh kecilnya yaitu adanya pertunjukkan pertarungan gladiator pada era zaman Kerajaan Romawi dulu di Eropa dengan tujuan untuk menghormati kemuliaan Dewa Saturnus. Kepercayaan moral pada masyarakat pagan zaman
kuno ialah beribadah kepada Dewa dengan melalui kejayaan penjajahan,
penaklukan (ekspansi) melalui jalur kekerasan/peperangan dan kemudian melakukan
ritual sesembahan di atas penderitaan korban manusia. Selama masa
awal peradaban manusia dari awal zaman purba (pra-sejarah) hingga sampai zaman
modern millennium sekarang ini dari selama masa proses evolusi dan perkembangan
insting manusia dalam berjuang bertahan hidup maka bisa saya simpulkan bahwa manusia hidup sebagai bagian dari insting purba
kekerasan. Manusia dan kekerasan
adalah bentuk dari suatu hal kejadian yang tidak dapat dipisahkan! Tugas kita
sebagai wujud keberadaan (eksistensi) dari wujud keberadaban manusia adalah
mengendalikan rasio kesadaran dari pengaruh dan pengulangan insting alami kekerasan yang terbentuk dari pengaruh evolusi di zaman lalu!
Pembahasan
dalam posting saya kali ini bukan bermaksud mencampuri perbaikan akhlak para pembaca melainkan mengajak para pembaca semua sekalian untuk berpikir kritis
secara bersama-sama memahami mengenai arti dari “kekerasan” (violence) tersebut. Tanpa harus
menjelaskan dari aspek sudut pandang gender bisa dibilang mayoritas perbuatan
kekerasan kebanyakan secara dominan dilakukan oleh pihak laki-laki (man of violence) dengan tidak menafikan
bahwa kekerasan juga ada yang dilakukan oleh perempuan namun secara mayoritas
aspek kasuistis bahwa kekerasan dari awal sejarahnya hingga sampai detik ini
nampaknya kekerasan lebih banyak melekat pada pihak laki-laki yang tidak
telepas dari konflik fisik. Secara aspek sosiologis bahwa kekerasan juga dapat dianalisis
sebagai wujud keputusan akhir yang disepakati bersama secara kolektif oleh
sekelompok manusia tertentu dalam upaya untuk mencapai ambisi ego dan hasrat
kekuasaannya dengan melakukan tindakan-tindakan anarkhis secara tidak teratur (khaos) dan cenderung merusak! Selama ini
kekerasan yang dilakukan oleh kelompok manusia di dalam masyarakat masih
menjadi pertanyaan misteri di kalangan ahli psikologi dan ahli sosiologi
tentang bagaimana aturan kesepakatan hukum dan norma-norma social dalam wujud
keteraturan (kosmos) di dalam
masyarakat dapat dilanggar dengan mudah melalui kesepakatan kolektif bersama
diantara kelompok-kelompok manusia dalam wujud perilaku merusak melalui
kekerasan yang tidak teratur (khaos).
Psikolog Yahudi-Austria: Sigmund Freud
Para
ahli psikologi dengan menggunakan kacamata psikoanalisa yang dicetuskan oleh
Psikolog Yahudi-Austria yaitu Sigmund Freud berusaha untuk menganalisa sistem
mekanisme pertahanan diri dari setiap individu pelaku kekerasan untuk
merumuskan konflik tidak sadar sekaligus memeriksa daya tahan psikis individu
di dalam melakukan reaksi perilaku menyimpang (dalam hal ini kekerasan). Para
individu pelaku kekerasan kebanyakan akan selalu membenarkan tindakan kekerasannya
tersebut sebagai bagian dari bentuk pertahanan dirinya dalam melawan realita
(kenyataan) social yang ada di luar dirinya sehingga menimbulkan kecemasan dan ketegangan
yang dialami diri sendiri dengan bertindak destruktif (merusak) melawan tatanan
aturan, nilai-nilai, serta hukum yang telah disepakati bersama oleh masyarakat.
Kemarahan sekelompok manusia yang menjalar dan berakhir menjadi kerusuhan |
Kerumunan
orang-orang (crowded) sangat
mempunyai dampak pengaruh terhadap psikologi manusia di dalam suatu kelompok.
Kalau saya (sebagai analis sosiologi) lebih suka menyebutnya sebagai “psikologi massa” dalam melakukan penjelasan
secara aspek sosiologis mengenai kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok manusia di dalam masyarakat. Identitas kemanusiaan dan logika individu manusia bisa melebur atau bahkan
hilang jika setiap individu manusia terjebak bergabung dengan kerumunan manusia (massa) yang cenderung melakukan tindakan destruktif (merusak) dengan bangkitnya insting alami kekerasan manusia secara berkelompok. Massa seolah menjadi segerombolan manusia buas pada zaman purba yang tidak memiliki rasio dan logika yang mudah untuk dihasut dan disulut emosinya oleh issue-issue sensitif yang belum diketahui kebenarannya. Pandangan saya dengan berusaha
melihat wujud relasi kekuasaan diantara individu-individu manusia yang
bergabung dalam kelompok massa ini yang sangat unik untuk dikaji dan diteliti secara
ilmiah tentang bagaimana semangat perbuatan untuk merusak dan tidak teratur (khaos) itu disepakati secara kolektif
bersama-sama di dalam suatu kelompok tertentu sebagai wujud “rasionalitas semu”
yang dianggap sebagai wujud pembenaran tindakan sosial yang pantas untuk
dilakukan oleh sekelompok manusia (massa) tertentu tersebut di dalam mencapai
tujuan dan kepentingannya yang bagi mereka mungkin sulit untuk dicapai/diperjuangkan. Tarik menarik
relasi kekuasaan diantara struktur dan sekumpulan individu nampaknya memberi
dampak pengaruh besar bagi penyimpangan (anomali) di dalam kerumunan manusia
(massa) tersebut!
Dari
penjelasan di atas, maka saya dapat mengambil kesimpulan sederhana bahwa jika ada pihak yang berkata bahwa kosmos dan khaos sebagai bentuk dari siklus perubahan zaman, maka itu adalah pendapat
ahli pada zaman masa lalu; jika ada pihak yang menganggap kosmos dan khaos adalah
wujud dari antithesis (pertentangan)
di dalam perkembangan masyarakat kontemporer (saat ini), maka itu adalah pendapat
ahli pada zaman masa sekarang; namun jika ada pendapat ahli yang menganggap
jika kosmos dan khaos sebagai bentuk simbiosis mutualisme yang saling menguntungkan, maka bisa saya bilang ini adalah pendapat dari para ahli pada zaman masa yang
akan datang! (this is about future
conflict). Karena saya beranggapan jika khaos
(ketidakteraturan) adalah sebagai bentuk resistensi (perlawanan) sekaligus koreksi
terhadap kosmos (keteraturan) yang
enggan melakukan perubahan perbaikan diri terhadap kondisi struktur yang sesuai
dengan arus perkembangan zaman dengan menganggap "reformasi struktur" sebagai bentuk keberadaban khaos ketimbang pergerakan "revolusi" melalui jalan kekerasan yang justru mengakibatkan kerugian besar dengan jatuhnya korban jiwa dan pertumpahan darah yang sangat sia-sia dan melahirkan kebiadaban di luar batas nilai-nilai kemanusiaan. Selain itu, kosmos
(keteraturan) juga membutuhkan khaos
(ketidakteraturan) untuk merubah sistem (change the system) dengan memberi penekanan untuk membenahi struktur sosial yang lama kaitannya dalam lingkup individu dan masyarakat yang selalu ingat, mendambakan kehadiran dan perlindungan
dari kosmos (keteraturan)! Perkara
terbentuknya khaos (ketidakteraturan)
yang terjadi secara alamiah atau sengaja dibentuk melalui rekayasa sosial
(social engineering) bisa saya katakan itu masih menjadi “social mistery” karena insting purba kekerasan dapat dipicu oleh pengaruh tekanan-tekanan aspek psikologi dalam diri seseorang dan tekanan sosial dari luar diri seseorang yaitu lingkungan masyarakat sekitar.
Kekerasan dapat dikendalikan dengan tatanan norma dan seperangkat peraturan yang tegas yang sesuai dengan wujud kesepakatan masyarakat di lingkungan sosialnya serta bersifat mengikat tanpa kecuali. Selain itu, perlunya penyebaran stand konsultasi psikologi dan sosiologi seperti di sekolah, kantor atau tempat-tempat umum agar setiap bibit pelaku tindak kekerasan dapat mengenali dirinya sendiri, mengenali orang lain dan memahami lingkungan sosial masyarakat disekitarnya dan sudah menjadi hak pendapat dan hak persepsi dari para pembaca sekalian masing-masing untuk menganalisisnya sendiri bahwa kekerasan sengaja diciptakan atau kekerasan menciptakan dirinya sendiri ? Coba pikirkan dan renungkan..[]
Kekerasan dapat dikendalikan dengan tatanan norma dan seperangkat peraturan yang tegas yang sesuai dengan wujud kesepakatan masyarakat di lingkungan sosialnya serta bersifat mengikat tanpa kecuali. Selain itu, perlunya penyebaran stand konsultasi psikologi dan sosiologi seperti di sekolah, kantor atau tempat-tempat umum agar setiap bibit pelaku tindak kekerasan dapat mengenali dirinya sendiri, mengenali orang lain dan memahami lingkungan sosial masyarakat disekitarnya dan sudah menjadi hak pendapat dan hak persepsi dari para pembaca sekalian masing-masing untuk menganalisisnya sendiri bahwa kekerasan sengaja diciptakan atau kekerasan menciptakan dirinya sendiri ? Coba pikirkan dan renungkan..[]
*Nur
Bintang, M.A. adalah alumnus pascasarjana ilmu sosiologi,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Sumber
Referensi:
-Fritz H.S. Damanik.
(2012). Sosiologi SMA/MA Kelas X.
Jakarta: PT. Bumi Aksara.
-Prof. Dr. K. Bertens.
(1999). Sejarah Filsafat Yunani : Dari
Thales ke Aristoteles. Yogyakarta: Penebit Kanisius.
Assalamu Alaikum wr-wb, perkenalkan nama saya ibu Rosnida zainab asal Kalimantan Timur, saya ingin mempublikasikan KISAH KESUKSESAN saya menjadi seorang PNS. saya ingin berbagi kesuksesan keseluruh pegawai honorer di instansi pemerintahan manapun, saya mengabdikan diri sebagai guru disebuah desa terpencil, dan disini daerah tempat saya mengajar hanya dialiri listrik tenaga surya, saya melakukan ini demi kepentingan anak murid saya yang ingin menggapai cita-cita, Sudah 9 tahun saya jadi tenaga honor belum diangkat jadi PNS Bahkan saya sudah 4 kali mengikuti ujian, dan membayar 70 jt namun hailnya nol uang pun tidak kembali, bahkan saya sempat putus asah, pada suatu hari sekolah tempat saya mengajar mendapat tamu istimewa dari salah seorang pejabat tinggi dari kantor BKN pusat karena saya sendiri mendapat penghargaan pengawai honorer teladan, disinilah awal perkenalan saya dengan beliau, dan secara kebetulan beliau menitipkan nomor hp pribadinya dan 3 bln kemudian saya pun coba menghubungi beliau dan beliau menyuruh saya mengirim berkas saya melalui email, Satu minggu kemudian saya sudah ada panggilan ke jakarta untuk ujian, alhamdulillah berkat bantuan beliau saya pun bisa lulus dan SK saya akhirnya bisa keluar,dan saya sangat berterimah kasih ke pada beliau dan sudah mau membantu saya, itu adalah kisah nyata dari saya, jika anda ingin seperti saya, anda bisa Hubungi Bpk Drs Tauhid SH Msi No Hp 0853-1144-2258. siapa tau beliau masih bisa membantu anda, Wassalamu Alaikum Wr Wr ..
BalasHapus