Oleh: Nur Bintang*
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia
Pengantar
dari saya:
Suasana
pasca musibah banjir di Jakarta beberapa waktu lalu (tanggal 17-18 Januari
2013) dampaknya masih terasa hingga kini, di tengah kesibukan saya yang
berprofesi sebagai ‘editor buku’ dari sebuah penerbitan buku berskala nasional
yang ada di Jakarta maka saya tidak lupa untuk membaca buku-buku bacaan yang sangat
melimpah tersedia di kantor saya yang dimana buku-buku yang menurut saya sangat
menarik untuk dibaca maka sengaja saya taruh di atas meja kantor saya. Sebagai
editor buku-buku yang berkaitan dengan sosiologi dan antropologi (sosiologi
mikro), maka saya dituntut untuk selalu berkembang dan terkini terhadap semua
berita informasi pengetahuan yang ada di media massa sesuai kajian bidang
disiplin ilmu yang saya geluti dan saya selalu memantau berita-berita on internet yang difasilitasi perusahaan
yang memang harus digunakan para editor untuk mencari bahan informasi demi
penyempurnaan suntingan buku sebelum masuk ke tahap produksi buku.
Beberapa
waktu lalu, saya menemukan format PDF on
internet tentang pengukuhan Guru Besar Sosiologi di Universitas Gadjah Mada
pada tanggal 14 Februari 2012 yang kebetulan beliau adalah dosen pengajar saya
dulu yang merupakan akademisi lulusan dari Universitat Bielefeld, Jerman yaitu Prof. Heru Nugroho,
Ph.D. Ada pidato menarik dari beliau yang sempat menyinggung indigenous
(pribumisasi) dalam kajian sosiologi
walau tidak dijelaskan secara panjang lebar namun cukup menyentil dan
menginspirasi kita semua agar kelak acuan pemikiran teori sosiologi tidak
berkiblat selalu kepada Barat tetapi dapat berkiblat di atas kaki ilmuwan
social Indonesia itu sendiri. Saya lantas langsung berpikir dan merenung dan
menyetujui bahwa sudah saatnya ilmuwan social Indonesia produktif menghasilkan
berbagai ide orisinil yang siap untuk diterbitkan sehingga dapat menjadi bahan
acuan analisa permasalahan social yang dapat digunakan oleh berbagai kalangan.
Sedikit terinspirasi dari pidato dosen saya kemaren maka tidak ada salahnya
sebagai anak bangsa kita harus bangga dan percaya diri jika Indonesia memiliki
pendekar ilmuwan sosial (sociologist)
yang kancah reputasinya tidak diragukan lagi di kalangan ilmuwan sosial dunia.
Bolehlah
Indonesia bisa berbangga bahwa jika Amerika Serikat mempunyai pendekar ilmuwan
sosial dalam wadah seperti “The Chicago School” dan “The
Harvard School”, Jerman
memiliki pendekar ilmuwan social kritis dalam wadah “Frankfurt School” dengan
“Mahzab
Frankfurt”-nya, Inggris berbangga dengan wadah “The
Birmingham School” yang eksis dalam kajian cultural studies-nya, maka
ada Indonesia dengan pendekar ilmuwan social yang berada dalam wadah “The
Gadjah Mada School” (UGM) dengan
acuan “Mahzab Bulaksumur Thought”-nya dan “The Indonesia School” (UI). Who knows? Tidak ada salahnya bermimpi, semua sah-sah saja asal untuk
kemajuan dan kebaikan perkembangan ilmu pengetahuan di Indonesia. Dalam posting
kali ini, maka saya akan sedikit mengulang dan mengulas para pendekar sosiologi
asli Indonesia yang mulai menyebarkan ilmu sosiologi pertama kali di Indonesia dan semua cerita itu berawal dari
sebuah 'universitas perjuangan' yaitu “Universitas Gadjah Mada”. Universitas Gadjah Mada disebut sebagai 'universitas perjuangan' karena banyak mahasiswa dan dosen-dosen di UGM pada zaman tempo doeloe yang memiliki pengalaman pernah ikut terjun langsung berperang melawan penjajah kolonial Belanda maupun penjajah militer Jepang di Yogyakarta ketika pemerintah Republik Indonesia baru berdiri tahun 1945 dan harus bertahan dari serangan agresi militer Belanda pada tahun 1947 dan 1948 sehingga memaksa Presiden Soekarno dan Wapres Mohammad Hatta untuk memindahkan ibukota Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta.
Perkembangan
Sosiologi di Indonesia
‘Universitas
Gadjah Mada’ yang didirikan di atas tanah hibah dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX pada tanggal 19 Desember 1949 merupakan universitas
pertama setelah revolusi kemerdekaan yang berdiri di Indonesia serta diresmikan langsung oleh Presiden Soekarno dan menjadi barometer kiblat pendidikan tinggi di Indonesia hingga sampai saat ini yang
dimana pada tahun 1970-an memang sangat terkenal dengan sebutan ‘universitas ndeso’ (dalam bahasa Jawa
yang artinya ‘universitas desa’ karena kebanyakan dulu mahasiswa-mahasiswi yang
kuliah di ‘Universitas Gadjah Mada’ adalah anak-anak pintar dari desa dan UGM adalah kampus pertama di Indonesia yang mengagas konsep KKN/Kuliah Kerja Nyata bagi para calon sarjana untuk turun berpartisipasi membangun desa bahkan hingga kini konsep KKN dari UGM banyak diadopsi oleh seluruh perguruan tinggi di Indonesia). ‘Universitas Gadjah Mada’ memang dikenal di Indonesia bahkan di kancah
dunia karena maju dan kuat dalam kajian ilmu sosial dan humaniora. Pada tahun
2007 bahkan ‘Universitas Gadjah Mada’ berhasil masuk dalam daftar 100
universitas terbaik dunia untuk kategori social
science dengan peringkat ranking 47 dunia yang berhasil di survei oleh lembaga Times
Higher Educations yang berpusat di London, British dan bahkan survey setiap
tahun ‘Universitas Gadjah Mada’ selalu masuk ke dalam daftar 100 universitas
terbaik Asia oleh berbagai lembaga survey pemeringkat ranking universitas di
seluruh dunia (rilis survei terbaru 'Top 100 Universities and College in Asia' pada tahun 2013 dari lembaga 4International College and Universities, yakni sebuah lembaga penilai ranking yang menilai kualitas universitas di dunia dari 200 negara dan 11.000 perguruan tinggi telah berhasil menempatkan ‘Universitas Gadjah Mada’
sebagai universitas terbaik ranking 1 di Indonesia dan ranking 26 di Asia serta
berhasil mengungguli beberapa universitas terbaik Asia dari Jepang, Korea Selatan, China,
India, Israel, Thailand, Singapore, dan Malaysia). Prestasi
membanggakan untuk Indonesia dan kita semua.
Pemaparan
mata kuliah sosiologi di lingkup universitas/sekolah tinggi di Indonesia dulu
pada awalnya memang selalu bergabung dengan kajian jurusan ilmu hukum sebelum
Perang Dunia II tepatnya diajarkan pada ‘Sekolah Tinggi Hukum’ (Rechts Hogeschool) bentukan pemerintah
kolonial Hindia-Belanda. Perkembangan sosiologi di Indonesia itu sendiri
berawal dari kepulangan ilmuwan-ilmuwan social Indonesia yang sempat belajar
mendalami ilmu sosiologi di berbagai perguruan tinggi di Eropa Barat dan
Amerika Serikat karena ilmu sosiologi memang produk ilmu dari Barat. Akademisi
yang memberi mata kuliah sosiologi
pertama kali di Indonesia adalah Soenario Kolopaking yang mengajar di ‘Akademi Ilmu Politik’
di Yogyakarta pada tahun 1948 yang kemudian menjadi tonggak cikal bakal dari
terbentuknya Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) di Universitas Gadjah Mada (UGM).
Kampus UGM di Keraton Yogyakarta tahun 1950-an |
Para mahasiswa berangkat ke kampus UGM tahun 1950-an |
Suasana pembangunan kampus UGM tahun 1956 |
Kuliah mahasiswa UGM di Keraton Yogyakarta tahun 1950-an |
Suasana belajar mahasiswa UGM di Keraton Yogyakarta tahun 1950-an |
Suasana Kota Yogyakarta di Jalan Malioboro tahun 1955 |
Pemandangan Gunung Merapi di kampus UGM tahun 1960-an |
Kepulangan
ilmuwan-ilmuwan social Indonesia setelah lama menempuh pendidikan di Eropa
Barat (Belanda dan Inggris) serta Amerika Serikat pasca kemerdekaan Indonesia
pada dekade tahun 1950-an telah memberi angin harapan baru bagi perkembangan
ilmu sosiologi di Indonesia setelah sekian lama pemerintah kolonial
Hindia-Belanda maupun pemerintah kolonial Dai
Nippon Jepang melarang diajarkannya ilmu sosiologi secara meluas di
sekolah-sekolah karena ketakutan pemerintah kolonial akan pemahaman masyarakat
di negeri jajahan terhadap perkembangan dan kelemahan masyarakat negara
penjajah di negeri Belanda maupun negeri Jepang. Ilmu sosiologi diajarkan di
era zaman kolonial hanya untuk membantu pemerintah kolonial dalam menaklukan
masyarakat di negeri jajahannya.
Ambisi
Presiden Soekarno mengenai ‘restorasi meiji’ di Indonesia
Kepulangan
beberapa akademisi Indonesia dari Barat ini tidak lepas dari ambisi Presiden
Soekarno pada dekade tahun 1950-1960-an yang sedikit meniru dari ‘restorasi meiji’ ala Jepang dengan
mengirim ribuan putra-putri terbaik Indonesia untuk belajar sesuai keahlian
bidang disiplin ilmu masing-masing ke belahan negara-negara maju di Eropa
seperti Inggris, Belanda, Perancis, Jerman dan juga ke negara maju Asia seperti
Tiongkok dan Jepang dan negara sahabat Indonesia saat itu yakni Uni Soviet
(Rusia) di era Presiden Nikita Kruschev dan juga Amerika Serikat di era
Presiden John F. Kennedy dengan harapan Indonesia bisa maju dan sejajar dengan
bangsa-bangsa maju di dunia dan dapat mengolah sumber daya alam Indonesia
sendiri yang sangat kaya. Spirit percaya diri kualitas manusia Indonesia digelorakan oleh Presiden Soekarno saat pembangunan gedung pusat UGM dimana arsitek gedung tersebut adalah insinyur Indonesia yang ditunjuk langsung oleh Presiden Soekarno. Namun cita-cita Presiden Soekarno ini gagal akibat kudeta
merangkak dari Jenderal Soeharto dalam penumpasan tragedi pemberontakan G-30S/PKI pada tahun 1965-1966 dimana ribuan putra-putri terbaik Indonesia yang berstatus
sebagai mahasiswa di luar negeri yang mendapatkan beasiswa dari Presiden
Soekarno tidak bisa pulang membangun Indonesia bahkan hidup menggelandang tanpa
tujuan yang pasti di negara perantauan karena dituduh cap sebagai orang-orang
komunis yang pro-Soekarno.
Keadaan krisis Indonesia era tahun 1960-an tersebut tidak terlepas dari kebijakan kontroversial Presiden Soekarno yang terlalu dekat dengan Blok Timur dan berkiblat pada pemahaman sosialisme dan anti kapitalisme Barat membuat para investor asing (industrialis Eropa Barat dan Amerika Serikat) hengkang keluar dari Indonesia membuat pemasukan pajak devisa Indonesia semakin berkurang dan memperbanyak jumlah pengangguran. Keadaan krisis ekonomi Indonesia semakin parah setelah pernyataan sikap politik konfrontasi dengan Malaysia yang dicanangkan oleh Presiden Soekarno semakin menguras kas keuangan negara bahkan berujung pada inflasi hingga maraknya kemiskinan dan kelaparan serta perang saudara yang terjadi akibat tragedi PKI tahun 1965-1966 di kalangan rakyat Indonesia. Hal tersebut yang mengakibatkan jatuhnya kekuasaan Presiden Soekarno yang kemudian digantikan oleh Presiden Jenderal Soeharto pada tahun 1967.
Presiden Soeharto mengeluarkan kebijakan pro-investasi asing kepada negara-negara Blok Barat dengan menjual aset-aset sumber daya alam Indonesia untuk dikelola pihak asing terutama kepada investor dari Amerika Serikat agar membuat devisa Indonesia kembali pulih untuk sementara waktu. Presiden Soeharto melanjutkan perjuangan Presiden Soekarno mengenai 'restorasi meiji' di Indonesia walaupun sedikit berbeda haluan politik dengan mengirim ribuan putra-putri terbaik Indonesia melalui program beasiswa untuk belajar di luar negeri terutama di negara-negara Blok Barat yang berpaham kapitalisme seperti Eropa Barat dan terutama Amerika Serikat. Di zaman Presiden Soeharto, para akademisi Indonesia yang ahli dalam kajian ilmu ekonomi dan merupakan produk lulusan dari University of California, Berkeley, Amerika Serikat sengaja didatangkan dan ditunjuk langsung oleh Presiden Soeharto sebagai staf penasihat ekonomi presiden sekaligus konseptor program pembangunan di Indonesia pada dekade tahun 1970-an dengan meminjam paket bantuan modal hutang luar negeri dari negara-negara industri maju beserta persetujuan pengembalian bunganya. Kemajuan pesat ekonomi Indonesia pada rezim Soeharto sebenarnya dibangun di atas pondasi ekonomi yang sangat rapuh karena terlalu mengandalkan paket bantuan modal hutang dari luar negeri hingga berujung pada krisis ekonomi yang kembali dialami Indonesia pada tahun 1998 dan berakhir dengan jatuhnya kekuasaan Presiden Soeharto.
Para
ilmuwan social Indonesia yang berjasa ikut membesarkan sosiologi di Indonesia
diantaranya adalah: Djody Gondokusumo, Mayor Polak, Hassan Shadily, dan Selo
Soemardjan yang biasa belakangan disebut sebagai ‘Bapak Sosiologi Indonesia’
setelah tahun 1959. Selo Soemardjan, sosiolog lulusan Cornell University, Amerika Serikat ini juga merupakan seorang abdi dalem Keraton Yogyakarta dan sangat
berjasa karena ikut mendirikan Fakultas Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan di
Universitas Indonesia sekaligus sebagai dekan pertama di fakultas tersebut yang
kemudian menjadi cikal bakal berdirinya Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
di Universitas Indonesia. Universitas Indonesia (UI) dulu bernama Universiteit van Indonesie (UVI) yang didirikan oleh NICA-Belanda di Jakarta pada tanggal 21 Maret 1947 namun setelah berhasil direbut oleh para pejuang kemerdekaan Indonesia kini berubah nama menjadi 'Universitas Indonesia' dan resmi melakukan kegiatan perkuliahan pada tanggal 2 Februari 1950 yang saat ini juga menjadi salah satu barometer kiblat pendidikan tinggi di Indonesia selain UGM dan ITB. Universitas Indonesia dulu juga mempunyai
pendekar sosiologi yang sangat terkenal di Indonesia diantaranya adalah Soerjono Soekanto seorang akademisi ilmu hukum, ahli dalam kajian sosiologi hukum adat yang juga merupakan alumnus University of California, Berkeley, Amerika Serikat dan Robert M.Z. Lawang seorang sosiolog lulusan Leiden Universiteit, Belanda dan juga kini ada Paulus Wirotomo, Imam B.
Prasodjo, Iwan Gardono Sudjatmiko, Thamrin
Amal Tomagola, Hanneman Samuel, Mely G. Tan, dan lain-lain. Saya sampai saat ini masih berharap
bahwa para ilmuwan sosiolog dari beberapa universitas besar di Indonesia
seperti ‘Universitas Gadjah Mada’ dan ‘Universitas Indonesia’ saat inilah yang dianggap
mampu dan berperan besar mewujudkan indigenous
sociologist khas Indonesia atau mungkin bahkan universitas-universitas lain di belahan bumi seluruh Indonesia seperti Universitas Andalas (UNAND) di Padang yang memiliki sosiolog yang ahli dalam studi kebudayaan Minangkabau yaitu Mochtar Naim serta Institut Pertanian Bogor (IPB) yang memiliki Prof. Sajogyo, sosiolog besar Indonesia yang mendapat julukan sebagai "Bapak Sosiologi Pedesaan Indonesia."
Bapak Sosiologi Indonesia: Prof. Dr. Selo Soemardjan |
Beberapa
sosiolog Indonesia ada juga yang mempunyai karier internasional dengan mengajar
di beberapa universitas luar negeri diantaranya adalah Vedi R. Hadiz, Ph.D, sosiolog lulusan Murdoch University, Australia yang dulu juga pernah menjadi anggota Dewan Redaksi di majalah Prisma (LP3ES)
di Jakarta dan kini menjadi dosen tetap di National
University of Singapore (NUS) yang sangat produktif dalam menerbitkan buku
dan jurnal yang berskala internasional. Saya sempat bertemu dengan beliau ketika beliau menjadi dosen tamu di jurusan sosiologi pascasarjana S2 dan S3 di ‘Universitas
Gadjah Mada’ dimana beliau memaparkan materi penulisan karya ilmiah menuju publikasi
jurnal nasional dan jurnal internasional, George Junus Aditjondro adalah
sosiolog kritis kontroversial dari Indonesia yang merupakan jebolan lulusan Cornell University, Amerika Serikat yang
kini menjadi dosen di University of
Newcastle, Australia. Beliau juga menjadi dosen tamu di beberapa
universitas di Indonesia, Arif Budiman (Soe Hok Djin) adalah kakak dari
mendiang legenda demonstran Indonesia yaitu Soe Hok Gie merupakan sosiolog
Indonesia lulusan dari Harvard University,
Amerika Serikat yang dulu juga sempat mengajar di UKSW (Universitas Kristen
Satya Wacana) di Salatiga yang kini mengajar di University of Melbourne, Australia. Selain itu, Indonesia juga
mempunyai sosiolog lepas di luar kampus yang sangat aktif dan produktif dalam
menerbitkan buku dan pernah bekerja sebagai editor buku di dunia penerbitan buku yang ber-genre budaya, filsafat, dan sosial yaitu Ignas Kleden yang merupakan jebolan dari salah
satu universitas terkemuka dari Jerman yaitu Universitat Bielefeld. Mungkin masih banyak lagi pendekar
sosiologi Indonesia yang belum saya sebutkan satu-persatu. Intinya, harapan kita semua jika sosiolog Indonesia suatu saat nanti mampu untuk mandiri mengembangkan teori
sosiologi khas Indonesia sendiri tanpa harus bergantung dan berkiblat dari kontribusi
perkembangan teori ilmu sosiologi dari para sosiolog di Barat (Eropa dan Amerika
Serikat).
‘Universitas
Gadjah Mada’ juga sempat melahirkan legenda pendekar sakti ilmu social
khususnya sosiologi pada era zaman pembangunan di Indonesia diantaranya adalah Nasikun, sosiolog lulusan Michigan State University, Amerika Serikat dan Umar Kayam yang juga sebagai sosiolog sekaligus
seorang sastrawan dan budayawan lulusan dari New York University, Amerika Serikat dan Cornell University, Amerika Serikat. Ketika saya masih menempuh studi di jurusan
ilmu sosiologi, Universitas Gadjah Mada dulu maka saya masih bisa bersyukur
bisa belajar langsung dari para pendekar sosiologi Indonesia diantaranya: Prof.
Sunyoto Usman, Prof. Heru Nugroho, Prof. Tadjuddin Noer Effendi,
Prof. Susetiawan, dan beberapa kolega lain civitas Universitas Gadjah
Mada yang reputasi mereka di dunia akademik internasional sudah tidak diragukan
lagi karena beberapa dari mereka merupakan anggota dari International
Sociological Association (ISA). Untuk
mencapai cita-cita indigenous sociologist
memang tidaklah semudah membalikan telapak tangan diantaranya adalah
regenerasi ilmuwan sosiologi sekarang harus produktif menulis dan menerbitkan
buku atau menyampaikan ide gagasannya melalui jalur indie lewat media social semacam Blog atau Wordpress agar
tulisan idealisme pemikiran serta ide-ide mereka dapat dibaca oleh khalayak umum (digital society). Ide-ide orisinil juga
harus diterbitkan oleh para sosiolog di Indonesia agar dapat menjadi acuan
referensi bagi ilmuwan social yang lain yang menurut hemat saya bisa dilakukan
melalui tiga cara model pendekatan filsafat Hegel yaitu: melakukan penelitian
social dengan mungubah sudut pandang baru dari penelitian sebelumnya yang sudah
ada sehingga dapat menghasilkan tesis baru yang berbeda dari kebanyakan tesis sebelumnya,
melakukan penelitian social dengan mensintesiskan teori yang sudah ada sehingga
membentuk teori baru, melakukan penelitian social dengan mengkritik kelemahan
teori yang sudah ada dan menawarkan jalan solusi alternatif teori baru atau
biasa disebut dengan istilah antitesis.
Gambar Kampus FISIPOL UGM sekarang
Kesimpulan saya sangat sederhana saja bahwa untuk
menjadi seorang ilmuwan yang berkualitas
tidaklah harus selalu menuntut ilmu ke luar negeri. Hal ini bisa dilihat
dari spirit bangsa Jepang yang dimana banyak ilmuwan Jepang yang belajar di
berbagai universitas dalam negerinya sendiri namun hasil karya orisinil akademis
mereka dapat paten diakui oleh para akademisi di dunia internasional. Perkembangan internet dan teknologi membuat
kesetaraan dalam hal distribusi ilmu pengetahuan serta publikasi riset di
seluruh dunia menjadi jauh lebih cepat sehingga semua universitas di dunia
mempunyai kesempatan yang sama untuk bergerak maju dan terus untuk berkembang.
Hal ini tentu jauh berbeda dengan zaman sebelum era internet dulu yang harus memungkinkan
para ilmuwan di Indonesia untuk belajar terbang langsung ke Eropa atau Amerika
Serikat hanya untuk mengikuti perkembangan dunia ilmu pengetahuan di dunia
Barat yang sudah jauh lebih maju.
Sudah
saatnya ilmuwan di Indonesia percaya diri dengan kemampuan dirinya untuk mampu
bersaing secara global. Intinya adalah
mempunyai ide-ide orisinil yang siap untuk diterbitkan! Hal ini bisa saya
lihat dari liputan VOA Indonesia-Amerika yang meliput keberhasilan beberapa
orang Indonesia yang notabene hanya produk
lulusan universitas dalam negeri yang menempuh pendidikan S1, S2, S3 di
Indonesia namun kini dapat berkarier menjadi dosen pengajar tetap di beberapa
universitas terkemuka di Amerika Serikat. Ini adalah bukti jika kualitas diri
ada di dalam diri sendiri bukan ditentukan dari label produk lulusan
universitas luar negeri tertentu. Saya
berpendapat bahwa sekolah hingga merantau ke luar negeri mempunyai nilai yang sangat positif karena seseorang pasti akan mendapatkan pengalaman jaringan link internasional
secara global serta dapat menambah wawasan pengetahuan luas dengan belajar
kebudayaan bangsa lain dimana seseorang itu belajar dan tinggal namun semua kualitas ada di dalam diri sendiri
dan jangan lantas menjadikan sekolah ke luar negeri adalah kiblat kemajuan
seseorang karena kemajuan seseorang terletak pada spirit motivasi diri sendiri
untuk terus berkarya menghasilkan ide-ide orisinil dan mau
melangkah terus untuk maju!
Era teknologi dan internet telah merubah zaman.
Bila zaman dulu Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, "Tuntutlah ilmu hingga sampai ke negeri China" tetapi bila di zaman ini maka saya hanya bisa berkata, "Tuntutlah ilmu dengan internet lalu berselancarlah hingga sampai ke negeri China". Zaman era masyarakat digital maka semua orang mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh distribusi ilmu pengetahuan untuk melangkah lebih maju dengan makin banyaknya penyedia download PDF buku di internet yang menyediakan buku-buku pengetahuan dari luar negeri. Era masyarakat digital telah menghilangkan batasan
sekat lingkup antar negara dan telah menghubungkan seluruh manusia di planet bumi ini. Jadi, akademisi produk lulusan dalam negeri maupun lulusan luar negeri di zaman era teknologi internet sekarang bagi saya tidak ada bedanya karena hanya kualitas output seseorang yang nanti akan menjawab semuanya![]
*Nur Bintang adalah alumnus pascasarjana sosiologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta yang kini merintis karier sebagai editor buku di salah satu perusahaan penerbitan nasional di Jakarta.
*Nur Bintang adalah alumnus pascasarjana sosiologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta yang kini merintis karier sebagai editor buku di salah satu perusahaan penerbitan nasional di Jakarta.
Sumber
Referensi:
-Fritz H.S. Damanik.
2012. Sosiologi SMA/MA Kelas X. Jakarta:
PT. Bumi Aksara.
-Prof. Drs. Heru
Nugroho, S.U.,Ph.D. 2012. Negara,
Universitas, dan Banalitas Intelektual: Sebuah Refleksi Kritis dari Dalam.
Pidato pengukuhan jabatan guru besar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, Universitas Gadjah Mada.
Assalamu Alaikum wr-wb, perkenalkan nama saya ibu Rosnida zainab asal Kalimantan Timur, saya ingin mempublikasikan KISAH KESUKSESAN saya menjadi seorang PNS. saya ingin berbagi kesuksesan keseluruh pegawai honorer di instansi pemerintahan manapun, saya mengabdikan diri sebagai guru disebuah desa terpencil, dan disini daerah tempat saya mengajar hanya dialiri listrik tenaga surya, saya melakukan ini demi kepentingan anak murid saya yang ingin menggapai cita-cita, Sudah 9 tahun saya jadi tenaga honor belum diangkat jadi PNS Bahkan saya sudah 4 kali mengikuti ujian, dan membayar 70 jt namun hailnya nol uang pun tidak kembali, bahkan saya sempat putus asah, pada suatu hari sekolah tempat saya mengajar mendapat tamu istimewa dari salah seorang pejabat tinggi dari kantor BKN pusat karena saya sendiri mendapat penghargaan pengawai honorer teladan, disinilah awal perkenalan saya dengan beliau, dan secara kebetulan beliau menitipkan nomor hp pribadinya dan 3 bln kemudian saya pun coba menghubungi beliau dan beliau menyuruh saya mengirim berkas saya melalui email, Satu minggu kemudian saya sudah ada panggilan ke jakarta untuk ujian, alhamdulillah berkat bantuan beliau saya pun bisa lulus dan SK saya akhirnya bisa keluar,dan saya sangat berterimah kasih ke pada beliau dan sudah mau membantu saya, itu adalah kisah nyata dari saya, jika anda ingin seperti saya, anda bisa Hubungi Bpk Drs Tauhid SH Msi No Hp 0853-1144-2258. siapa tau beliau masih bisa membantu anda, Wassalamu Alaikum Wr Wr ..
BalasHapus