Ditulis oleh:
Nur Bintang*
"Saya harap kedewasaan dan kebijaksanaan dari pembaca
terhadap postingan saya ini. Tulisan saya kali ini berusaha untuk
menggali pemikiran sosiologi klasik Indonesia yang selama ini
terkubur hidup-hidup oleh teori-teori sosiologi import dari
para filsuf Barat ataupun sosiolog Eropa.
para filsuf Barat ataupun sosiolog Eropa.
Orisinalitas dari tokoh Indonesia ini yang berusaha saya pahami
karena saya anggap Syekh Siti Jenar sebagai filsuf sekaligus sosiolog
yang sangat kritis serta pemberani untuk bersuara
menyatakan hak pendapatnya.
menyatakan hak pendapatnya.
Dalam tulisan kali ini, maka saya hanya sekedar mendokumentasikan serta
menyelamatkan warisan pemikiran sejarah melalui
sekedar catatan tulisan kecil"
sekedar catatan tulisan kecil"
Syekh Siti Jenar: kritikus sosial yang melampaui zaman
Menelaah mengenai keberadaan sosok misterius “Syekh Siti Jenar” atau “Syekh Lemah Abang” maka pikiran kita langsung teringat dan tertuju dengan keberadaan “walisongo” sebagai tokoh mubaligh muslim Arab yang diutus oleh Sultan Turki yakni Sultan Muhamad I pada tahun 808 Hijriah atau tahun 1404 Masehi untuk menyebarkan dakwah ajaran Islam di nusantara khususnya di Pulau Jawa yang ketika itu masih dikuasai kerajaan hindu Majapahit (Jawa Timur) dan kerajaan hindu Padjajaran (Jawa Barat) sebagai pusat kekuasaan di nusantara. Dalam perkembangannya keberadaan “walisongo” mengalami beberapa pergantian anggota “walisongo” hingga mencapai “periode kelima” dimana beberapa tokoh-tokoh walisongo bukan berasal dari Arab, Persia, atau Turki lagi melainkan dari Jawa itu sendiri contohnya adalah Sunan Kalijaga, seorang wali pribumi di Jawa yang sangat gigih menyebarkan agama Islam di nusantara. Tokoh-tokoh “walisongo” periode kelima inilah yang kemudian banyak dikenal oleh masyarakat di Indonesia hingga sekarang.
Menelaah mengenai keberadaan sosok misterius “Syekh Siti Jenar” atau “Syekh Lemah Abang” maka pikiran kita langsung teringat dan tertuju dengan keberadaan “walisongo” sebagai tokoh mubaligh muslim Arab yang diutus oleh Sultan Turki yakni Sultan Muhamad I pada tahun 808 Hijriah atau tahun 1404 Masehi untuk menyebarkan dakwah ajaran Islam di nusantara khususnya di Pulau Jawa yang ketika itu masih dikuasai kerajaan hindu Majapahit (Jawa Timur) dan kerajaan hindu Padjajaran (Jawa Barat) sebagai pusat kekuasaan di nusantara. Dalam perkembangannya keberadaan “walisongo” mengalami beberapa pergantian anggota “walisongo” hingga mencapai “periode kelima” dimana beberapa tokoh-tokoh walisongo bukan berasal dari Arab, Persia, atau Turki lagi melainkan dari Jawa itu sendiri contohnya adalah Sunan Kalijaga, seorang wali pribumi di Jawa yang sangat gigih menyebarkan agama Islam di nusantara. Tokoh-tokoh “walisongo” periode kelima inilah yang kemudian banyak dikenal oleh masyarakat di Indonesia hingga sekarang.
Syekh Siti Jenar
merupakan tokoh yang penuh kontroversi (wali murtad) bahkan keberadaan dari
Syekh Siti Jenar masih dianggap misterius karena sebagian masyarakat Jawa menganggap
bahwa keberadaan Syekh Siti Jenar benar-benar ada namun sebagian masyarakat Jawa yang lain ada yang menganggap
bahwa keberadaan Syekh Siti Jenar hanyalah tokoh fiktif belaka yang ditulis dalam
tulisan kitab sastra-sastra kuno Jawa oleh para sastrawan Jawa kuno yang cerita
ini sengaja dikarang para wali dengan tujuan untuk memberi contoh pelajaran kepada
rakyat perihal ajaran agama Islam yang tidak boleh dilanggar oleh para
pemeluknya sekaligus melegitimasi kedudukan kekuasaan dan kharisma para wali di
Pulau Jawa. Saya dalam tulisan ini tidak akan membahas asal-usul Syekh Siti
Jenar karena akan membuang-buang waktu saja apalagi sampai sekarang masih
banyak tokoh para ahli sejarah sendiri yang masih memperdebatkan dan
mempertanyakan sosok keberadaannya. Dalam tulisan ini saya lebih tertarik dan
menelaah pemikiran dari Syekh Siti Jenar. Saya sebagai “The Sociologist” lebih
tertarik pada pendalaman ajaran Syekh Siti Jenar yaitu “Manunggaling Kawula Gusti”
yaitu “bersatunya jiwa manusia dengan sifat-sifat ketuhanan pencipta alam
semesta” serta pengaruh budaya dan kondisi social masyarakat pada zaman itu.
Pemikiran Syekh Siti
Jenar sebenarnya hampir sama dengan pemikir sufi mistikus muslim dari Baghdad
yakni Mansur Al-Hallaj (866 M-922 M)
yang dihukum mati karena ajaran sufinya yang menyatukan jiwa manusia dengan
sifat-sifat ketuhanan pencipta alam semesta dengan perkataan fenomenalnya, “Akulah kebenaran..!!!”. Al Hallaj
dihukum pancung karena dianggap sebagai pemberontak oleh negara serta juga
dinyatakan bersalah secara hukum agama atas nama negara di Baghdad kala itu karena
kesalahannya membuka tabir rahasia Illahi kepada khalayak umum luas dengan
mendekonstruksi pemahamannya terhadap kitab suci Al-Qur’an yang seharusnya
pengetahuan tersebut hanya terbatas untuk konsumsi orang-orang sufi pada
tataran keilmuan tingkat tinggi. Pemikiran Al Hallaj dan Syekh Siti Jenar yang
mendekonstruksi pemahaman terhadap kitab suci Al-Qur’an juga hampir sama
seperti yang dilakukan oleh Filsuf besar Jerman yaitu Friedrich Nietzsche
(1844-1900) dengan melakukan
dekonstruksi terhadap kitab suci Injil yang kemudian terkenal dengan sebutan
sebagai “Bapak Pascamodernisme di Eropa” yang telah berhasil membunuh Tuhan melalui
pemikiran kontroversialnya, “God is dead”
yang kemudian melahirkan cabang pemikiran filsafat baru yakni “Postmodernisme”
maka tidaklah mengherankan jika sosiologist Yahudi besar Jerman aliran Mahzab
Frankfurt yakni Jurgen Habermas menganggap bahwa sosok Nietzsche sebagai wujud titik
balik kesadaran orang akan rasionalitasnya. Kisah hikmah dari eksekusi Syekh
Siti Jenar oleh para wali jika dianalisa dari sudut pandang ilmu sosiologi ini
pada dasarnya juga untuk memberikan pelajaran kepada masyarakat seyogyanya
dalam mempelajari suatu ilmu agama sebaiknya melalui beberapa mekanisme tahap
yaitu syariat (sembah raga), tarikat (sembah kalbu), hakekat (sembah jiwa), dan Makrifat (sembah rasa)
dalam proses pencarian pengetahuan yang sejati.
Syekh Siti Jenar |
Menelaah
pemikiran filsafat kritikus sosial “Syekh Siti Jenar”
Sebagian masyarakat
Jawa menganggap sosok Syekh Siti Jenar sebagai sosok sufi mistikus Islam besar
pada masanya, wali murtad yang dibenci para wali karena pengaruh ajarannya yang
dianggap membahayakan umat, namun dalam
hal ini saya berpandangan lain jika sosok Syekh Siti Jenar sebenarnya adalah
seorang “kritikus social” yang tidak lain sudah menjadi bagian tokoh sosiologi
klasik Indonesia. Saya menganggap “Syekh Siti Jenar” sebagai seorang 'sociologist' yang cerdas karena sanggup berani menentang hegemoni kekuasaan ilmu pengetahuan yang dipegang para wali di Jawa pada
masa itu dengan melakukan dekonstruksi terhadap penafsiran isi terhadap ayat-ayat kitab suci Al-Qur’an yang dimana hasil penafsiran kritis Syekh Siti Jenar jauh berbeda dengan mayoritas penafsiran dari para wali ketika itu. Logosentrisme ilmu pengetahuan yang berpusat kebenaran hanya kepada golongan yang ahli agama itu yang kemudian direvisi oleh Syekh Siti Jenar dengan bebas mengajarkan ilmu agama kepada semua rakyat jelata yang benar-benar memiliki niat untuk mempelajari ilmu pengetahuan agama tanpa melihat batasan strata sosial yang ada. Berikut adalah penggalan perkataan Syekh Siti Jenar ketika
beradu ilmu dengan utusan wali dari Kerajaan Demak ketika hendak menghukum
Syekh Siti Jenar karena dianggap bid’ah melanggar ajaran agama yang saya kutip
dari sebuah buku yang berjudul "Siti Jenar Cikal Bakal Faham Kejawen" :
“Meskipun
kamu seorang ulama, ketok kenong ya tahu. Pagi sore menyucikan mulut dan muka,
pulang balik pergi ke tempat air untuk memperindah raga. Padahal sesungguhnya
budimu kotor. Kamu menipu, dan menyesatkan umat. Pagi-sore kamu bersujud-sujud
agar mendapat ganjaran besok,berupa surga yang di dalamnya terdapat emas yang
indah. Orang sampai tergila-gila ajaran palsu ini. Jika ia terlambat
bersembahyang, ia menjadi gugup. Sedemikian jauh ia telah disesatkan dan
dibujuk oleh si iblis. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya waktu berdzikir.”
“Ternyata
saudara terbelakang jadi wali tidak mengetahui tafsir. Lebih baik jadi budak
saja. Bergelandangan kemana-mana boleh juga, asal hidup! Tetapi jika diminta
untuk mati, sama sekali menolak. Padahal tuturmu, rela menyerahkan nyawamu,
siang ataupun malam, Jika diminta oleh Tuhan. Kalau demikian kamu bohong! Jika
ada pertengkaran, diminta nyawamu kamu menolak. Nah apa bedanya jadi wali dan
gelandangan, penjahat, dan tunawisma?”
“Saya
berpegangan surat Musakhaf yang
bumyi lafalnya: kayun daim layamatu
Abadan, artinya hidup tidak kenal mati, langgeng untuk selama-lamanya. Oleh
karena itu, ini bukan alam kehidupan. Itulah sebabnya kamu mati, di dunia ini
kamu dalam alam kematian”.
“Surga
dan neraka tidak berwujud, terjadinya dari keadaan. Kitabmu sudah mengatakan: anal jannatu wa nara, artinya ujud
makhluk itu dari kejadian. Selanjutnya dikatakan juga: katannalir al ana. Artinya: surga dan neraka sekarang sudah nampak,
terbentuk oleh kejadian yang nyata”.
“Surga
yang luhur itu terletak dalam perasaan hati yang senang”.
“Dunia
ini alam kematian. Oleh karena itu di dunia yang sunyi ini tidak ada Sang Hyang
Agung serta malaikat. Akan tetapi bila saya besok sudah ada di alam kehidupan,
saya akan berjumpa dan kadang kala saya menjadi Allah. Nah di situ saya akan
bersembahyang.”
Penafsiran saya dari
perkataan Syekh Siti Jenar di atas sebenarnya adalah sebuah bentuk kritik
social terhadap kekuasaan hegemoni “walisongo” di tanah Jawa pada saat itu.
Keberadaan ‘walisongo” yang dikultuskan oleh masyarakat Jawa secara berlebihan
akibat kuatnya pengaruh tradisi budaya Hindu kuno bersamaan hadirnya perkembangan pengaruh budaya Arab dalam tradisi ajaran Islam yang dimana masyarakat Jawa kuno pada masa itu masih selalu menganggap penguasa adalah titisan Dewa/utusan Tuhan yang memiliki kesaktian atau karomah ditambah lagi dengan posisi kedudukan "walisongo" yang sangat strategis sebagai penasehat raja yaitu Sultan Bintara penguasa
Kerajaan Demak yang menguasai Pulau Jawa pada saat itu. Budaya feodalisme pada masa Kerajaan Demak sangatlah ditentang oleh
Syekh Siti Jenar yang lebih mengedepankan logika nalar dan rasionalitasnya dalam menghadapi mitos budaya Hindu dan perkembangan budaya Arab tentang Islam di Jawa ketika itu.
Syekh Siti Jenar lebih mengedepankan terhadap rasionalitas ajarannya bahwa
semua kedudukan manusia tidak berdasarkan jabatan, status social, atau bahkan
kasta karena manusia adalah sama-sama “makhluk bangkai” yang hidup berjalan di
dunia.
Penafsiran saya juga
terhadap pemikiran filsafat dari Syekh Siti Jenar adalah bahwa Syekh Siti Jenar
membenci terhadap segala hal yang berbau kemunafikan yang dimana para tokoh wali
pada zaman itu yang dijadikan sauri tauladan sebenarnya hanya memperkokoh citra
orang alim yang dekat dengan Tuhan dengan hanya sekedar menggunakan simbol baju
jubah, rajin berdakwah, dengan tujuan materi-duniawi untuk memperkokoh hegemoni kekuasaannya
untuk meraih penghormatan masyarakat, mendapat kepercayaan pengaruh dari
raja/sultan untuk meraih kenikmatan dunia dengan melegalkan hukum-hukum agama
melalui penafsirannya terhadap ajaran agama Islam. Kehidupan para wali pada masa itu,
yang dekat dengan penguasa lebih terlihat banyak hidup mewah berkecukupan jika
dibandingkan dengan kehidupan rakyat jelata (kaum sudra) yang hidup serba
kekurangan yang setiap tahun harus membayar upeti dan pajak untuk rajanya. Atas
dasar ini juga beberapa kali Syekh Siti Jenar menolak panggilan Sultan Bintara,
penguasa Kerajaan Demak di tanah Jawa melalui utusan resmi kerajaan yakni "walisongo" yang datang singgah ke padepokannya. Syekh Siti Jenar juga menganggap kedudukan Sultan sebagai raja
adalah sama dengan kedudukan dirinya sebagai sesama makhluk ciptaan Allah.
Syekh Siti Jenar juga menganggap bahwa kehidupan manusia di dunia itu sebenarnya mati dan kehidupan
setelah mati adalah kehidupan yang sesungguhnya dari penafsiran saya bahwa
maksud dari Syekh Siti Jenar bahwa kehidupan manusia di dunia sebenarnya
hanyalah kiasan agar manusia selama hidup di dunia janganlah bersikap sombong
atau congkak karena manusia yang hidup di dunia itu adalah “manusia bangkai
yang sedang hidup” untuk itu sebagai sesama makhluk bangkai harus saling
menghormati dan mengasihi satu sama lain. Kenyataannya banyak manusia yang
tersesat selama hidup di dunia dengan hidup bermewah-mewahan dan
bermegah-megahan, Neraka sesungguhnya adalah di alam dunia itu sendiri yakni kesengsaraan, kesedihan, pertengkaran,
kesombongan, dengki, dan iri hati. Syekh Siti Jenar berpikir bahwa kehidupan
sebagai “mati yang singgah dalam raganya” dan bertekad mengakhiri kematian di
dunia ini dengan menempuh jalan kehidupan yang abadi untuk lebih dekat dengan
Allah.
Pernyataan
kontroversial dari Syekh Siti Jenar sehingga menimbulkan kegerahan dan
kemarahan dari para “walisongo” adalah ucapannya, “Ya Ingsun iki Allah” (Ya aku inilah Allah). Pernyataan Syekh Siti
Jenar yang mengajarkan ilmu sufi kepada khalayak umum dan membuka rahasia Tuhan
di padepokannya bisa membuat salah penafsiran bagi orang-orang awam yang baru belajar
ilmu tersebut dan membuat kondisi politik Negara Kerajaan Demak menjadi tidak
stabil karena Sultan Bintara sebagai penguasa Islam di tanah Jawa bisa kehilangan
wibawanya dan hegemoni kekuasaan dari peran walisongo sebagai wali negara Islam
bisa terjatuh karena kalah pamor dengan kemasyuran Syekh Siti Jenar yang
memperoleh banyak pengikut di tanah jawa karena keterbukaan toleransi dan sikap
egaliter dari Syekh Siti Jenar yang mau membagi ilmu rahasia Tuhan terhadap
masyarakat jelata (kaum sudra) yang menjadi masyarakat mayoritas pada saat itu.
Maksud pernyataan Syekh Siti Jenar dalam ajaran “manunggaling kawula gusti” sering disalah tafsirkan oleh penguasa
zaman itu sebagai tindakan murtad dan bid’ah yang harus diberi hukuman. Maksud
dari pernyataan Syekh Siti Jenar, “Ya
Ingsun iki Allah” (Ya aku inilah Allah) sebenarnya adalah bentuk kedekatan
hamba terhadap Tuhannya bahwa manusia berhak dan bebas bersembahyang dan mendekatkan
diri kepada Tuhannya tanpa melalui perantara wali atau kyai (tradisi
budaya pada zaman Kerajaan Demak, hegemoni kekuasaan peran wali selalu ikut serta dalam
mendikte syiar agama terutama dalam perayaan agama). Tradisi budaya secara social tersebut
yang berusaha dikritik oleh Syekh Siti Jenar bahwa untuk mendekatkan diri
terhadap Allah maka keberadaan wali tidaklah diperlukan karena hal tersebut adalah
hak ketentuan manusia untuk mendekatkan diri terhadap Allah, Tuhan semesta alam
(tidak ada perantara manusia dengan Allah, sebagai Tuhannya). Syekh Siti Jenar dalam hal ini mempunyai pemikiran original dengan melakukan dekonstruksi penafsiran filsafat diantara rasionalisme dan iman yang dilakukan jauh sebelum lahirnya gagasan pemikiran dekonstruksi yang hampir sama dari filsuf besar asal Jerman abad 18 yakni Friedrich Nietzsche di Eropa ataupun pendekatan dekonstruksi dalam kajian filsafat poststrukturalisme yang berhasil dimetodologikan secara lebih modern saat ini oleh Filsuf Yahudi-Perancis yaitu Jacques Derrida.
Demikianlah penafsiran
saya terhadap pemikiran filsafat dari Syekh Siti Jenar. Syekh Siti Jenar yang
penuh kontroversi dari asal-usulnya hingga ajal kematiannya yang juga masih
misterius yang tidak luput dari teka-teki perdebatan para ahli sejarah sampai
detik ini. Konon kabarnya setelah eksekusi yang dilakukan para “walisongo”
kepada Syekh Siti Jenar atas restu Sultan Bintara, penguasa Kerajaan Demak yang
masih keturunan trah darah raja-raja Majapahit maka jenazah Syekh Siti Jenar
sengaja ditukar dengan bangkai anjing
kurap untuk diperlihatkan kepada rakyat Kerajaan Demak yang tujuannya tidak
lain adalah memberikan pelajaran kepada rakyat agar tidak mengikuti jejak Syekh
Siti Jenar karena mendapat laknat azab dari Tuhan. Penafsiran saya sebagai “The Sociologist” atas peristiwa kematian
Syekh Siti Jenar yang ditukar dengan bangkai anjing kurap terlihat dominasi
nuansa kepentingan politik pada peristiwa kematian Syekh Siti Jenar tersebut
dengan tujuan meredam bibit-bibit pemberontakan terhadap penguasa Kerajaan Demak
di tanah jawa. Perbedaan sejarah yang lain juga menyebutkan bahwa Syekh Siti Jenar tidak dihukum mati tetapi mendapat hukuman dari penguasa Kerajaan Demak dengan cara diasingkan ke sebuah daerah terpencil. Secara tradisi
sosial-budaya (dari kacamata pandangan Syekh Siti Jenar) para wali nampaknya berusaha tetap mempertahankan pengaruh hegemoni kekuasaannya
sebagai wali negara yang memiliki derajat dan kharisma, kedudukan yang lebih
tinggi dari rakyat jelata yang tujuannya agar proses dakwah ajaran agama bisa
berjalan lancar tenpa suatu halangan apapun. Secara tidak langsung menurut saya
sebagai pengamat sosial dan dari tinjauan aspek keilmuan sosiologi bahwa
tindakan para wali tersebut dianggap telah membunuh nalar kritis dan
rasionalitas rakyat Kerajaan Demak pada masa itu yang terlanjur menyanjung dan
mengkultuskan keberadaan "walisongo” sebagai perantara manusia dengan Tuhannya.
Mungkin begitulah takdir para filsuf yang berjuang dalam kemerdekaan berpikir tanpa batas sama halnya dengan Socrates, filsuf Yunani yang dihukum mati meminum racun oleh penguasa Yunani karena dianggap menyebarkan ilmu pengetahuan yang membahayakan otoritas penguasa, Al Hallaj seorang filsuf muslim di Baghdad yang harus mati karena eksekusi hukuman pancung akibat ajaran pemikirannya yang tidak dapat dijamah oleh orang-orang pada zamannya serta Galileo, seorang astronom, ilmuwan Italia di Eropa abad pertengahan yang terkena sanksi hukuman yaitu dikucilkan/diasingkan sampai akhir hayatnya melalui kebijakan pemimpin gereja tertinggi di Eropa saat itu yaitu Paus Urbanus VIII karena menganggap pemikiran astronomi Galileo yang mendukung teori Copernicus bahwa bumi mengelilingi matahari bertentangan dengan kebijakan pihak otoritas Gereja pada zaman itu yang membuat fatwa agama bahwa matahari yang mengelilingi bumi, dan nampaknya kebebasan berpikir dan bersuara dari Syekh Siti Jenar juga harus mengalami nasib yang serupa ketika kemerdekaan berpikir dan bersuara itu harus dibungkam oleh elite-elite lingkaran kekuasaan yang mengatasnamakan wakil Tuhan di tanah Jawa pada masa itu.[]
*Nur
Bintang adalah alumnus pascasarjana sosiologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta,
Sumber
Referensi:
Y.B. Prabaswara.
(tanpa tahun). “Siti Jenar Cikal Bakal Faham Kejawen”. Jakarta. Penerbit:
Armedia.
Assalamu Alaikum wr-wb, perkenalkan nama saya ibu Rosnida zainab asal Kalimantan Timur, saya ingin mempublikasikan KISAH KESUKSESAN saya menjadi seorang PNS. saya ingin berbagi kesuksesan keseluruh pegawai honorer di instansi pemerintahan manapun, saya mengabdikan diri sebagai guru disebuah desa terpencil, dan disini daerah tempat saya mengajar hanya dialiri listrik tenaga surya, saya melakukan ini demi kepentingan anak murid saya yang ingin menggapai cita-cita, Sudah 9 tahun saya jadi tenaga honor belum diangkat jadi PNS Bahkan saya sudah 4 kali mengikuti ujian, dan membayar 70 jt namun hailnya nol uang pun tidak kembali, bahkan saya sempat putus asah, pada suatu hari sekolah tempat saya mengajar mendapat tamu istimewa dari salah seorang pejabat tinggi dari kantor BKN pusat karena saya sendiri mendapat penghargaan pengawai honorer teladan, disinilah awal perkenalan saya dengan beliau, dan secara kebetulan beliau menitipkan nomor hp pribadinya dan 3 bln kemudian saya pun coba menghubungi beliau dan beliau menyuruh saya mengirim berkas saya melalui email, Satu minggu kemudian saya sudah ada panggilan ke jakarta untuk ujian, alhamdulillah berkat bantuan beliau saya pun bisa lulus dan SK saya akhirnya bisa keluar,dan saya sangat berterimah kasih ke pada beliau dan sudah mau membantu saya, itu adalah kisah nyata dari saya, jika anda ingin seperti saya, anda bisa Hubungi Bpk Drs Tauhid SH Msi No Hp 0853-1144-2258. siapa tau beliau masih bisa membantu anda, Wassalamu Alaikum Wr Wr ..
BalasHapus