Oleh: Nur Bintang*
Korupsi
peradaban kebudayaan kuno nusantara
Ketika saya membaca buku saku
korupsi yang disusun lembaga KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) mengenai
ranking korupsi Indonesia yang pada tahun 2005 mencapai puncak prestasi sebagai
negara terkorup rangking 1 Asia menurut data Pacific Economic and Risk Consultancy, membuat saya langsung
tersentak kaget dan heran walaupun kini ranking korupsi Indonesia
berangsur-angsur makin turun menjadi peringkat ketiga di Asia Pasifik namun tidak melepas Indonesia masuk ke dalam kategori daftar peringkat 10
besar negara terkorup di Asia Pasifik bahkan dunia. Kurangnya pemahaman pejabat
pemerintah/negara akan praktek korupsi semakin memperluas kebudayaan korupsi di
Indonesia dari menerima hadiah jasa (suap) dari sebuah pelayanan biasanya
terkait izin usaha perusahaan milik pengusaha yang diberikan kepada oknum
pejabat daerah, penggelapan pajak seperti yang dilakukan mafia pajak ‘Gayus
Tambunan’, pelarian dana nasabah dari para bankir-bankir nakal, pemotongan
anggaran dana bantuan pemerintah tanpa sepengetahuan negara dan masih banyak
lagi praktek-praktek pungutan liar yang masuk dalam kategori korupsi yang
menyebabkan kerugian keuangan negara. Menurut Litbang KOMPAS edisi november 2012 bahwa di mata publik penyelewengan anggaran negara melibatkan oknum kader parpol di DPR, oknum pejabat tinggi di kementerian, juga kalangan swasta yang menjadi rekanan proyek yang bersifat langsung.
Peradaban Indonesia saat ini nampaknya tidak
terlepas dari budaya “KORUPSI”,, mengapa demikian…??? Katanya bangsa
Indonesia adalah negara beragama yang pancasilais, makmur dan kaya akan sumber
daya alam tetapi mengapa Indonesia sampai detik ini masih terpuruk akan
kemiskinan dan semakin menjamurnya budaya korupsi? Itulah banyak pertanyaan
yang selalu menghantui masyarakat dewasa ini. Dalam masalah penyakit sosial ini
maka saya sebagai pemerhati sosial (sociologist) akan melakukan analisa
sosial kebudayaan mengapa bangsa Indonesia kini makin terpuruk dan cenderung
dikenal akan budaya korupsi yang semakin menggila ini. Fenomena budaya korupsi
bila kita telisik lebih jauh dari berbagai literature yang sudah saya
baca bahwa ternyata budaya korupsi sudah mengakar kuat pada tradisi budaya kuno
nusantara jauh sebelum kedatangan penjajah perusahaan Belanda VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) di nusantara pada abad ke 16.
Pada masa kerajaan-kerajaan di nusantara setiap menjelang akhir tahun biasanya
rakyat diminta membayar upeti/pajak kepada negara atas nama penghormatan kepada
raja/sultan. Upeti yang diberikan raja terlebih dahulu dikumpulkan di setiap
wilayah administrasi perangkat kepala desa sebelum diberikan kepada bupati yang
nanti akan langsung dikirim ke ibu kota kerajaan. Namun yang menjadi problem
permasalahan adalah adanya oknum-oknum pejabat di daerah yang mengurangi
takaran isi upeti kepada raja/sultan. Isi upeti ini bisa bermacam-macam ada
yang berupa hasil bumi pertanian, hasil tangkapan ikan nelayan hingga emas,
intan, permata yang khusus diberikan kaum saudagar kaya dan para bangsawan yang
diberikan untuk menghormati kewibawaan raja/sultan. Para pembangkang ini
biasanya adalah golongan elite bangsawan yang membawahi urusan pengiriman upeti
kepada raja/sultan di ibu kota kerajaan dengan mengambil sedikit isi upeti
hingga mengurangi sedikit isi takaran upeti untuk menumpuk kekayaannya tanpa
sepengetahuan raja/sultan. Nampaknya budaya “mengutil” atau suka mencuri
ini diwariskan dari generasi pendahulu kepada generasi saat ini di Indonesia.
Saya adalah termasuk orang yang khawatir akan
perkembangan budaya korupsi di Indonesia akhir-akhir ini. Korupsi menggerogoti
sektor segala lini dan membuat kebocoran uang negara serta pelakunya tidak lain
adalah aparat pejabat negara yang mendapat amanah kepercayaan dari rakyat.
Berita di media massa saat ini yang membuat heboh adalah banyaknya pejabat PNS
(Pegawai Negeri Sipil) di Indonesia yang tersandung masalah korupsi yang
parahnya mereka masih leluasa berangkat ke kantor instansi pemerintah dengan
status “bekas narapidana korupsi” terutama pejabat PNS di daerah dengan alasan
pemerintah daerah tidak bisa memecat mereka karena oknum pejabat PNS daerah
tersebut adalah tim sukses dari bupati atau gubernur daerah setempat yang saat
ini masih menjabat. Hal ini belum ditambah dengan sistem perekrutan pegawai
CPNS yang masih sarat akan nuansa KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) di
beberapa daerah (walaupun tidak semua daerah demikian). Hasil dari sistem
perekrutan CPNS yang sarat nuansa KKN pada akhirnya hanya akan melahirkan
mentalitas birokrat yang gemar akan korupsi dan praktek suap. ALANGKAH LUCUNYA
NEGERIKU.. INDONESIA..!!! Sudah jelas oknum koruptor pejabat PNS itu adalah
pengkhianat negara anehnya dengan bebas leluasanya masih menjabat pejabat plus dapat gaji serta tunjangan PNS
lainnya masih jalan terus. Kabar dari mendagri di bulan November 2012 untuk
menonaktifkan PNS yang tersandung masalah korupsi dari pemecatan hingga
permohonan pengunduran diri patut kita apresiasi dan kita dukung dalam upaya
pemberantasan korupsi di Indonesia.
Budaya korupsi Indonesia pada masa ini sudah tidak
mengherankan lagi bahkan pada zaman dahulu di era pemerintahan kolonial Inggris
di nusantara pada masa pemerintahan gubernur jenderal Sir Thomas Stamford Raffles
(gubernur Jenderal asal Inggris yang menguasai wilayah Bengkulu (Sumatera) dan Jawa sebagai wilayah eks kolonial Hindia-Belanda dari tahun 1811-1816 sekaligus
pendiri koloni Singapura) ketika berkunjung ke nusantara terutama di wilayah Jawa saat
itu heran bukan main melihat golongan elite bangsawan pribumi dan pejabat
pribumi kerajaan di Jawa saat itu yang gemar akan praktek korupsi dan
suap, kongkalikong antara pejabat pribumi/bangsawan pribumi dengan
pengusaha asing, serta gemar melakukan pungutan-pungutan liar yang tidak resmi
kepada rakyat. Analisa budaya korupsi pejabat pribumi secara anthropologis dan
sosiologis dilakukan oleh Raffles untuk melihat akar budaya orang-orang pribumi
ketika itu serta dituangkan ke dalam karangan sebuah buku fenomenalnya yang
berjudul “The History of Java” pada tahun 1817.
Budaya korupsi di kalangan bangsawan dan pejabat pribumi semakin bertambah
canggih karena adanya “knowledge transfer” dari pegawai-pegawai Belanda
dari perusahaan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) yang sudah maju sebagai perusahaan multinasional pertama di dunia yang melakukan monopoli perdagangan di nusantara pada abad 16-abad 17 dengan sistem pembagian saham sebelum pergantian era kekuasaan kolonialis Inggris di nusantara pada abad 18. Pegawai-pegawai VOC Belanda banyak
memberi contoh kepada orang-orang pribumi di dalam melakukan praktek korupsi
dan suap dari mencuri uang pajak, mencuri persediaan hasil bumi pada
gudang-gudang penyimpanan perusahaan VOC, praktek suap sehingga birokrat
pribumi banyak terkena racun virus korupsi yang diajarkan oleh para pegawai
Belanda di perusahaan VOC hingga pada akhirnya perusahaan VOC mengalami
kebangkrutan dan kerugian besar pada tanggal 31 Desember 1799 akibat dari moralitas para pegawainya yang suka
berkorupsi sehingga perusahaan VOC memiliki hutang sebesar 136,7 juta gulden kepada negara
asalnya yaitu “Hollanda” alias “Belanda” atas permintaan tambahan utang
modal yang tidak bisa dibayarnya. Kemudian pada masanya perusahaan VOC diambil
alih atas nama kerajaan Belanda dengan demikian Indonesia mengalami awal babak
baru penjajahan yang bermula dari penjajahan perusahaan Belanda kemudian
beralih kepada penjajahan kerajaan Belanda.
Koruptor
wujud topeng kemunafikan penguasa
Upaya pemberantasan korupsi sudah dilakukan silih berganti dari berbagai masa Presiden di Indonesia dari era Presiden Soekarno, Presiden Soeharto, Presiden BJ. Habibie, Presiden Abdurrahman Wahid, Presiden Megawati, hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui gebrakan institusi KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang dibenahinya setelah masa kepemimpinan Presiden Megawati namun nyatanya korupsi yang dulu dilakukan sembunyi di bawah meja kini dengan berani banyak dilakukan secara terang-terangan di atas meja akibat arus deras euphoria reformasi. Nilai suci demokrasi telah dikotori dengan praktek tindakan korupsi dengan makin banyaknya oknum elite partai politik yang menjadi anggota DPR/MPR yang menggunakan ‘topeng kemunafikan’ membela aspirasi rakyat sesuai jargon janji-janji kampanye di masa lalu tetapi malah justru tersandung kasus korupsi dan mengkhianati amanat kepercayaan rakyat. Hal ini nampaknya telah menjalar hingga ke seluruh daerah dengan makin banyaknya oknum elite partai politik di daerah yang menjabat anggota DPRD yang tersandung pada masalah yang sama yaitu kasus korupsi. KPK kini nampaknya harus bekerja keras memberantas korupsi di Indonesia dan saya adalah termasuk simpatisan yang mendukung atas upaya yang dilakukan oleh KPK selama ini dalam memberantas korupsi di Indonesia terutama pada sektor lingkaran kekuasaan yang memang perlu untuk dibenahi.
Pemberantas korupsi alangkah lebih bijak jika kita
hanya tidak mengandalkan pendekatan 'aspek hukum' saja tetapi juga melalui 'aspek jalur
sosiologis' untuk menjerat dan menyadarkan moralitas semua pelaku korupsi di Indonesia yang banyak
dilakukan oleh golongan elite yang berada pada tataran lingkaran kekuasaan. Hal
tersebut dapat dilakukan melalui upaya pembangunan kebudayaan dalam wujud
pendidikan dan aturan sosial. Budaya harus dilawan dengan budaya..!!!
Budaya Korupsi harus dilawan dengan budaya Anti-Korupsi..!!! Pembangunan
mentalitas dapat dilakukan melalui wujud transfer ilmu pengetahuan pembangunan budaya
anti-korupsi melalui tindakan yang diwujudkan dalam aturan, aturan merupakan
bentuk kesepakatan kebudayaan social masyarakat terutama kepada semua aparatur
penyelenggara pemerintah/negara yang rawan akan praktek tindakan korupsi serta
perlu diadakannya diklat seminar anti-korupsi untuk mengikis budaya korupsi
yang sudah semakin menjamur di tataran mentalitas birokrasi, kalau bisa semua
aparatur penyelenggara pemerintah/negara harus terlebih dahulu “lulus” serta
‘wajib” mengikuti ujian seminar pendidikan anti-korupsi yang diselenggarakan
untuk menyeleksi calon kandidat PNS atau aparatur penyelenggara
pemerintah/negara yang bersih, berkualitas, dan bermoral baik serta bila mereka
ternyata dinyatakan “tidak lulus” bisa dipecat atau diganti dengan kompetitor
lain yang lebih professional dan dapat bertanggung jawab kepada rakyat serta
yang terpenting harus “lulus” dari diklat pendidikan anti-korupsi yang
diselenggarakan untuk membentuk mentalitas birokrasi yang anti-korupsi dengan
melayani rakyat sepenuh hati dan bukan minta dilayani oleh rakyat. Setelah
perubahan melalui pendekatan kebudayaan ini berhasil maka perlu ditambah aturan
“punishment” (hukuman) yang memberatkan bagi semua pelaku korupsi dengan
cara memiskinkan para pelaku korupsi hingga ancaman hukuman penjara seumur
hidup untuk menekan praktek tindak korupsi di Indonesia.
Jika dibandingkan dengan negara Tiongkok maka bisa
kita lihat bahwa hukuman bagi para koruptor di Indonesia terlihat jauh lebih
ringan jika dibandingkan dengan negara Tiongkok. (Tiongkok dahulu juga masuk
kategori negara terkorup di dunia namun kini usaha pemerintah Tiongkok dalam upaya
memberantas korupsi di negaranya tersebut membuahkan hasil). Saya pernah melihat tayangan liputan berita pada sebuah stasiun TV asing melalui TV kabel ketika Presiden Tiongkok kala itu Hu Jintao (menjabat sejak tahun 2003-2012) secara fenomenal mengirim 1000 peti mati kepada semua jajaran PNS di pemerintahannya sebagai peringatan bahwa pelaku tindakan korupsi di negara Tiongkok adalah hukuman mati. Presiden Hu Jintao mengingatkan PNS jajarannya untuk bersih dan terhindar dari segala praktek suap dan korupsi. Menurut hemat saya, langkah Presiden Tiongkok Hu Jintao kala itu sebagai sebuah langkah terobosan besar dan komitmen pemerintah Tiongkok dalam memerangi korupsi. Tiongkok
menganggap korupsi sebagai pelanggaran hukum berat terhadap negara bahkan pejabat
negara yang terbukti menjadi pelaku korupsi di negara Tiongkok kerap mendapat ‘hukuman
mati’ karena ketegasan penegak hukum di negara tersebut di dalam memberantas
korupsi hingga mencapai ke akar-akarnya. Hal yang patut dipertanyakan saat ini
di Indonesia adalah ketegasan para penegak hukum di Indonesia sendiri dalam
memberantas korupsi yang terkesan masih belum tegas. Masa hukuman koruptor di
Indonesia dinilai masih jauh lebih ringan jika dibandingkan dengan hukuman
pencuri hewan ternak dan hukuman pencuri sepeda motor. Hal ini belum ditambah lagi
dari adanya pembayaran uang jaminan dari pengacara yang disewa para koruptor
yang lebih mengedepankan ‘asas praduga tidak bersalah’ sebelum adanya putusan
resmi dari majelis hakim di pengadilan serta keberadaan remisi hukuman
(pengurangan masa tahanan) yang diperoleh oleh koruptor di Indonesia dari
pemerintah sebagai hak tahanan narapidana di saat merayakan hari-hari besar
keagamaan dan hari kemerdekaan Indonesia. Nampaknya keseriusan ketegasan para
penegak hukum di Indonesia masih menuai jalan yang berliku karena nampaknya
semua masih membutuhkan nafas proses yang panjang. KPK sebagai lembaga
pemberantasan korupsi diharapkan dapat menjalankan peran, fungsi, dan tugasnya
dengan baik dalam upaya memberantas semua praktek tindakan korupsi di
Indonesia. Kita tunggu saja apa gebrakan KPK selanjutnya di dalam melakukan
upaya pemberantasan korupsi di negeri Indonesia yang kita cintai ini![]
*Nur
Bintang adalah
alumnus pascasarjana sosiologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Referensi:
KPK.
2006. “Memahami untuk Membasmi: Buku Panduan untuk Memahami Tindak Pidana
Korupsi”. Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi.
Litbang Kompas. "Kongkalikong akibat Mentalitas Birokrasi", Koran KOMPAS edisi Senin 26 November 2012.
Litbang Kompas. "Kongkalikong akibat Mentalitas Birokrasi", Koran KOMPAS edisi Senin 26 November 2012.
Assalamu Alaikum wr-wb, perkenalkan nama saya ibu Rosnida zainab asal Kalimantan Timur, saya ingin mempublikasikan KISAH KESUKSESAN saya menjadi seorang PNS. saya ingin berbagi kesuksesan keseluruh pegawai honorer di instansi pemerintahan manapun, saya mengabdikan diri sebagai guru disebuah desa terpencil, dan disini daerah tempat saya mengajar hanya dialiri listrik tenaga surya, saya melakukan ini demi kepentingan anak murid saya yang ingin menggapai cita-cita, Sudah 9 tahun saya jadi tenaga honor belum diangkat jadi PNS Bahkan saya sudah 4 kali mengikuti ujian, dan membayar 70 jt namun hailnya nol uang pun tidak kembali, bahkan saya sempat putus asah, pada suatu hari sekolah tempat saya mengajar mendapat tamu istimewa dari salah seorang pejabat tinggi dari kantor BKN pusat karena saya sendiri mendapat penghargaan pengawai honorer teladan, disinilah awal perkenalan saya dengan beliau, dan secara kebetulan beliau menitipkan nomor hp pribadinya dan 3 bln kemudian saya pun coba menghubungi beliau dan beliau menyuruh saya mengirim berkas saya melalui email, Satu minggu kemudian saya sudah ada panggilan ke jakarta untuk ujian, alhamdulillah berkat bantuan beliau saya pun bisa lulus dan SK saya akhirnya bisa keluar,dan saya sangat berterimah kasih ke pada beliau dan sudah mau membantu saya, itu adalah kisah nyata dari saya, jika anda ingin seperti saya, anda bisa Hubungi Bpk Drs Tauhid SH Msi No Hp 0853-1144-2258. siapa tau beliau masih bisa membantu anda, Wassalamu Alaikum Wr Wr ..
BalasHapus