|
Lukisan grafis karya Nur Bintang dengan mencontoh lukisan serupa
|
|
|
Cerpen 'ditulis oleh: Nur
Bintang*
Pengantar
Saya menulis cerita pendek (cerpen) dengan judul 'Rosiana Julia' ini sudah cukup lama sekitar bulan Juni tahun
2006 dan berhasil menjadi juara I dalam lomba penulisan cerpen untuk tingkat Universitas Jenderal Soedirman dalam ajang ‘Pekan Seni Mahasiswa’. Naskah cerpen ini sempat hilang
sekitar satu tahun dan berhasil saya temukan kembali di gudang rumah dengan
kondisi rusak ketika saya sedang menyusun kardus buku-buku. Akhirnya, naskah
ini saya dokumentasikan kembali di blog pribadi saya dengan beberapa sedikit editing terhadap beberapa penggal kalimatnya
karena ada kesalahan dalam penggunaan kata dengan tanpa merubah cerita aslinya
karena saya anggap cerita pendek (cerpen) ini memiliki kenangan dan nilai-nilai
historis yang sangat kuat dan melekat pada diri saya secara pribadi.
Cerita pendek (cerpen) yang saya tulis ini dapat dibilang sebagai konteks
wujud sastra yang bergenre postkolonial hampir sama seperti karya-karya novel
dari maestro kandidat peraih nobel sastra asal Indonesia yaitu Alm. Pramoedya
Ananta Toer yang banyak bercerita mengenai zaman-zaman kolonial atau masa
setelah berakhirnya penjajahan. Dalam hal ini, saya berusaha menjadi ‘diri
sendiri’ dan ‘lain dari yang lain’ yakni dengan mengedepankan ide-ide
orisinalitas untuk dapat mewujudkan sastra cerita pendek (cerpen) dengan
menggunakan gaya pendekatan postkolonial. Ide cerita pendek ini sangat
sederhana. Saya sebagai penulis cerita pendek (cerpen) ini hanya berusaha
mengedepankan konflik batin dari tokoh utama dalam cerita pendek
(cerpen) ini yaitu Herman Jansen
Soetrisno (seorang anak keturunan Indonesia-Belanda) dalam memaknai
identitas sosial dan identitas budaya dalam dirinya. Selamat membaca! (Nur Bintang).
eperti bangunan klasik lain di Korte
Singel di Holland (Belanda). Rumah yang terletak di Jalan Melati nomor 13
di salah satu sudut Kota Jakarta itu sungguh terlihat sangat besar dan megah.
Pohon-pohon mangga besar yang terletak di depan rumah makin menambah rindang
dan kesejukan suasana di halaman rumah. Rumah tua bergaya Eropa ini memang
masih memiliki aura nuansa natural sehingga memiliki daya tarik tersendiri bagi
orang-orang sekitar yang melihatnya. Kondisi rumah saat aku berkunjung ke sana
sangatlah sepi dan nampak hanya sesekali satu atau dua pejalan kaki dan seorang
pengendara motor yang melintas di depan rumah. Akupun mulai melangkah dan memasuki
pekarangan rumah tua yang cukup luas itu sambil sesekali aku melihat keadaan
sekitar dan memelototi nama yang jelas terpampang pada pintu masuknya yang
terbuat dari potongan balok kayu jati yang cukup kuat dan tebal, Van Bilderbeek Huis (Rumah Van Bilderbeek).
Tanpa merasa canggung lagi sesekali aku mulai mengetuk pintu dan memejet bel
pintu rumah dan berharap seseorang membukakan pintu tua jati tua itu untukku.
Setelah menunggu beberapa saat, mulai terdengar suara
pintu yang hendak dibuka dan setelah pintu dibuka, betapa kaget dan senangnya
sang pemilik rumah tua itu melihat kedatanganku sembari menatap wajahku dengan
penuh selidik sambil mengingat-ingat penuh tanda tanya. Yah! di hari ini sang
pemilik rumah ini sedang kedatangan seorang tamu spesial yang dirasa sudah
tidak asing lagi baginya ialah aku.. Herman
Jansen Soetrisno! sebuah nama perpaduan Belanda-Jawa yang sebenarnya bila
aku pikir cukup aneh dan antik untuk anak-anak seumuranku di zaman millenium
ini. Setelah dipersilahkan masuk maka tidak selang beberapa saat, aku langsung
dipeluk erat dengan penuh kerinduan oleh sang pemilik rumah tersebut. Sorot
matanya yang cekung mulai menatap tajam. Dipandangnya diriku dari ujung rambut
hingga ujung kaki dengan senyum bahagia sambil berkata, "Hoe gaat het met je?" (bagaimana kabarmu?). Sesekali nampak keriput di wajah dan
uban di rambutnya namun tidak menghilangkan aura kecantikan dari sisa-sisa masa
mudanya dahulu. Ya! dia adalah nenekku tercinta yang biasa aku panggil dengan
sebutan, “Oma..!” (nenek) atau lebih
lengkapnya ialah Oma Rosiana Julia.
Aku sampai hari ini sebenarnya cukup heran dan kagum
melihat keadaan Oma di usia senja sekarang ini. Oma tetap saja dapat dibilang
masih terlihat sehat dan kuat. Oma lalu mempersilahkan aku duduk di ruang tamu
dan memintaku bercerita mengenai kabar keluargaku selama ini. Seperti biasa aku
mulai bercerita tentang kegiatan diriku selama ini dengan memberi kabar
istimewa kepada Oma jika sekarang ini aku telah berstatus menjadi seorang mahasiswa. Maklum saja, aku sudah lama
tidak bertemu Oma lagi sejak aku ikut bersama ayah dan ibuku pindah ke luar negeri menuju Eropa karena alasan ada pemindahan kerja dinas dari kantor
tempat ayahku bekerja, yang dimana aku sewaktu itu masih berumur 10 tahun.
Bayangkan saja!!! Aku sudah lama tidak bertemu Oma selama kurang lebih 12
tahun namun ayah beberapa kali sempat pulang ke Indonesia untuk menjenguk Oma. Tentu saja perasaan rindu kepada Oma tetap berkecamuk di dalam hatiku karena
selama ini aku belum pernah bertemu dengannya kecuali di hari ini, hari yang
membahagiakan dimana kami dapat bertemu kembali setelah beberapa tahun yang
lalu.
Dengan perasaan senang, Oma berkata kepadaku, “Herman cucuku! Kau sekarang ini terlihat
sudah banyak berubah. Bila Oma pandang kamu kini terlihat tampan dan gagah sama
seperti kakekmu saat masih mudah dulu. Pasti sudah banyak anak gadis yang
tertarik sama cucu oma ini.” Akupun tertawa mendengar gurauan oma sembari tersenyum malu, “Ah, Oma bisa saja! Aku sendiri saat ini belum punya pacar kok!”
Oma terlihat tertawa terbahak-bahak ketika mendengar perkataanku hingga tak
terasa suaranya makin memecah kesunyian, yang tampaknya telah lama tersembunyi
di dalam rumah tua ini. Setelah bercakap-cakap sejenak dengan Oma maka Oma
menyuruhku untuk beristitahat sejenak di kamar tidur yang sudah disiapkan
sambil aku menunggu hidangan makan siang yang disiapkan Oma untukku dengan Bibi
Ijah, si pembantu rumah.
Setelah beristirahat sejenak, akupun keluar kamar hanya
untuk sekedar refresh dan membuang
kebosanan dengan berjalan perlahan-lahan menuju ruang utama yang ada di dalam
rumah. Tampak terlihat keadaan rumah Oma masih tetap saja asli dan tidak
berubah sejak kepergianku bersama ayah dan ibu dahulu. Arsitektur di dalam
rumah Oma masih terlihat antik dan klasik dengan mempertahankan gaya ornamen
bangunan rococo, sebuah gaya interior
Eropa yang sangat terkenal pada abad ke-18, kupandangi sebuah lukisan lusuh dan
tua karya salah seorang pelukis Belanda yang tinggal di Batavia dahulu yaitu Dick van
Koopmans. Pelukis asal Belanda itu menggambar wajah kakekku ketika
menggunakan model pakaian adat Jawa tempo doeloe
yang terpampang jelas tegak berdiri di tengah-tengah dinding ruangan. Kakekku
itu bernama Soetrisno, seorang pribumi
biasa yang bernasib mujur mempersunting seorang gadis Eropa, berambut pirang
dan bermata coklat yang tidak lain adalah Omaku sendiri yang sangat aku hormati
itu.
Sebenarnya aku sendiri kurang begitu paham dengan perihal
latar belakang kakek dan Oma tetapi yang jelas ayahku pernah sedikit bercerita
tentang kisah asmara keduanya bahwa pertemuan jodoh antara kakek dan Omaku
bermula ketika kakekku bekerja sebagai kuli kontrak pada perusahaan perkebunan
cengkeh di Jawa yang dimiliki oleh seorang pengusaha kaya Eropa asal Belanda
yang bernama Meneer Van Bilderbeek
yang tidak lain adalah kakek buyutku. Meneer Van Bilderbeek mempunyai anak
semata wayang, seorang noni pirang cantik,
bermata coklat yang selalu menjadi rebutan hati para pemuda Belanda di Batavia
yang bernama Rosiana Julia (Omaku) dan biasa dipanggil dengan sebutan Meisje Rosiana (Nona Rosiana). Pertemuan mereka bermula ketika Meneer Van Bilderbeek menyuruh salah satu kuli kontraknya yang bernama Soetrisno yang tidak lain adalah kakekku
untuk mau mengantarkan dan menemani putrinya yang sedang menjalani masa liburan
dari sekolahnya di Batavia untuk hanya sekedar berjalan-jalan dan menikmati
pemandangan indah kebun cengkeh milik ayahnya itu.
Pertemuan mereka itu selalu terjadi berulang kali bahkan
setiap hari sehingga seiring dengan berjalannya waktu telah semakin menambah kedekatan
kedua insan sejoli ini untuk berikrar janji cinta setia. Konon hubungan cinta
terlarang mereka sempat tercium bahkan sangat ditentang oleh Meneer Van Bilderbeek, kakek buyutku
yang menganggap putrinya sebagai golongan kelas Eropa atas yang tidak pantas
menerima pinangan cinta dari seorang kuli kontrak, pribumi biasa kelas bawah
dari Jawa. Sudah menjadi kebiasaan tingkah kaum feodal orang-orang Belanda pada
zaman kolonial dahulu di Indonesia yang biasa bersikap rasist dan suka melecehkan kulit gelap orang-orang pribumi yang
biasa diberi umpatan, “Inlander kotor..!”
Tetapi apa mau dikata bila kenyataannya, putri semata
wayang Meneer Van Bilderbeek sudah
terlanjur hamil di luar nikah dengan umur janin di tubuhnya yang berusia empat
bulan. Kelak bayi laki-laki Indo-Belanda itu akan diberi nama Rosi Drescher Jansen Soetrisno, yang
tidak lain adalah ayahku sendiri. Mau tidak mau akhirnya Meneer Van Bilderbeek merestui pernikahan putri semata wayangnya
yang dahulu sangat ditentangnya dengan menikahkannya kepada seorang pribumi
kelas bawah yang sangat tidak disukainya itu sambil menahan malu dari cemoohan
dan ejekan dari kawan-kawan sesama pengusaha serta kenalan para pejabat
pemerintah kolonial yang biasa berkumpul di gedung kantor pemerintahan gubernur
jenderal Hindia-Belanda. Semenjak
kejadian tersebut, Meneer Van Bilderbeek kemudian
memutuskan untuk kembali ke negeri Belanda dan enggan menemui putrinya kembali
kecuali hanya berkirim surat hingga sampai ajal menjemputnya.
Omaku, menurut cerita ayahku dahulu pernah menjadi aktivis
idealis yang aktif berorganisasi terutama pada berbagai organisasi yang
berhaluan marxist yang saat itu
sedang merebak di seluruh kawasan Eropa terutama di Hindia-Belanda. Mungkin
berdasarkan dari pengalaman cintanya itu, Oma bercita-cita tidak ada kelas
sosial dominan yang suka menindas karena masalah perbedaan status sosial.
Berulang-ulang dahulu Oma pernah berkata kepada anaknya
yang tidak lain adalah ayahku sendiri yang dimana Oma selalu berbicara risalah
tentang pemikiran Karl Marx dan Engels dalam bahasa Belanda. Oma bahkan sempat
memberi nasehat kepada ayahku yang ketika itu masih berumur sepuluh tahun
dengan berkata, “Vrij man en slaaf,
patricier en plebejer, baron en lijfeigene, gil demeester en yezed, in een
woord, verdrukker en verdrukten, stonden in een voort durende tegenstelling tot
elkander en voerden een gestandigen, nu eens bedekte danweer openstrijd, een
strijd die altijd met een revolutionaire omvorming van dergehele maatschappij
eindig de, of wel met de gezamenlijke ondergang der strij dende klassen!”*
(Orang merdeka atau budak kaum ningrat, kepala buruh atau buruh dengan satu
perkataan penindas yang ditindas, selalu bertentangan satu sama lain, selalu
berjuang satu sama lain, dan perjuangan selalu berakhir dengan perubahan
susunan masyarakat sama sekali, atau hancur binasa kedua-duanya kelas yang
berjuang itu). Celoteh nasehat Oma ditujukan kepada ayahku agar tidak meniru
sikap anak-anak sinyo Belanda lain
yang kerap suka bersikap kurang ajar terhadap anak-anak pribumi. Akupun mulai
bisa membayangkan jika petuah Oma mungkin hampir sama seperti teriakan pidato Bung Karno yang berapi-api ketika sedang membakar semangat tentara
republik di atas podium dahulu.
Aku secara tidak sadar mulai mendengar teriakan Bibi Ijah,
pembantu rumah Oma di ruang makan dengan memanggil namaku, “Den Hermaaan.. ayo makan siang dulu!” Akupun segera bergegas
berdiri meninggalkan ruang utama dan berjalan menuju ruang makan. Di ruang
makan aku melihat Oma sudah menunggu kedatanganku, lalu dengan sigap aku
menghampiri kursi duduk di meja makan dan mengambil lauk-pauk yang sudah
disajikan di atas meja makan. Aku dan Oma selalu berbincang dan bercanda di
saat kami sedang makan siang bersama bahkan Oma selalu menasehatiku
berkali-kali dengan peribahasa Belanda, “Wie
de jeugd heeft, heeft de toekomst!” (Siapa yang memegang pemuda hari
sekarang, dia juga akan memegang hari kemudian!).
Aku saat ini hanya bisa tersenyum kecil ketika harus
mendengarkan nasehat ucapan Oma berkali-kali di ruang makan yang masih terlihat
menjaga norma tradisi di zamannya dahulu. Maklum saja, Omaku termasuk dooppsgezind, pengikut agama yang bisa
dibilang taat. Padahal pikirku dalam hati sebenarnya zaman ini, zaman setelah
setengah abad Hindia-Belanda (Indonesia) berhasil merdeka dari pengaruh
belenggu penjajahan Belanda sudah banyak perubahan situasi dan kondisi yang ada
di zaman saat ini dimana banyak budaya-budaya
baru dari Barat yang dinilai tidak etis telah masuk dan sudah mengikis budaya
Timur orang-orang pribumi bahkan sosialisme yang banyak didengungkan pada zaman masa lalu sudah lama runtuh dengan hadirnya modernitas gaya hidup yang disokong oleh kapitalisme. Namun Oma masih bisa bernafas lega jika praktek rasisme yang ditentangnya saat zaman penjajahan Belanda dahulu saat ini sudah hancur dan hak-hak kesetaraan manusia kini sudah diakui sejajar di seluruh penjuru bumi. Aku sendiri tidaklah merasa bangga menganggap diriku
ini sebagai orang Indo turunan Belanda. Karena bagiku, darah di tubuhku ini
masih mengalir dan melekat darah Soetrisno,
kakekku, seorang bekas kuli kontrak sebagai bagian dari orang-orang pribumi
berkulit gelap yang harus banyak menanggung beban penderitaan selama akibat
masa penjajahan kolonial Belanda dahulu.
Sekali lagi aku hanya bisa memandangi wajah Oma dari
sudut atas meja makan. Oma mulai menelan makanan dari sendok miliknya sambil
sesedikit melihat ke arahku sambil tersenyum. Terus terang saja aku saat ini
terharu dan kagum melihat pesona kepribadian Oma yang masih tetap saja bersahaja,
teguh pendirian dan penyayang. Dalam hati aku dapat bersyukur tentang nasib
almarhum kakekku dahulu yang bisa dikatakan sangat beruntung dapat menaklukkan
hati cinta Oma. Keputusan Oma untuk
menjadi warga negara Indonesia dan tidak kembali ke negeri Belanda agar bisa
hidup bersama kakek merupakan bentuk kesetiaan cinta Oma kepada kakek. Tidak
terasa sekilas terbesit dalam pikiranku untuk memikirkan alur tentang kehidupan
di dunia ini bahwa kehidupan itu ibarat historiche
taak saja yang bergerak seiring dengan kehendak sejarah saja yang sudah
ditetapkan garis takdirnya oleh Sang Maha Kuasa.
Pada akhirnya, aku tak mau ambil pusing lagi memikirkan
makna kehidupan selain hanya ingin menikmati hari-hariku selama berada di rumah
Oma. Hari ini aku mulai dapat merasakan perasaan hati yang bahagia karena aku
dapat mengunjungi dan melihat keadaan Oma yang masih terlihat sehat. Aku
sendiripun tidak ingin berharap banyak selain dapat menemani dan merawat Oma di
saat usia senjanya saat ini. Dan sekali lagi, di atas meja makan. Oma hanya
bisa tersenyum bahagia saat menatap wajahku. Mungkin Oma sekarang sedang senang
ketika di saat sisa-sisa usia senjanya saat ini masih diberi umur panjang oleh
Sang Maha Kuasa untuk dapat melihat cucu kesayangannya saat ini sudah mulai
tumbuh beranjak dewasa.[]
Nur Bintang, Purwokerto, Juni
2006.
*Kutipan bahasa Belanda, saya ambil
dari pemikiran Karl Marx-Engels dalam buku “Di
bawah Bendera Revolusi.” Terbitan III tahun 1964 karya Ir. Soekarno (Presiden Republik Indonesia
ke-1).