Cerpen oleh: Nur Bintang*
“Persetan dengan bantuanmu!” teriak
Presiden Soekarno kepada duta besar Amerika Serikat di depan publik lebih dari
setengah abad yang lalu. Pembalasan yang kejam segera datang. Setelah kudeta
yang disponsori oleh Amerika Serikat dan rezim fasis berkuasa hingga hari ini,
Jakarta telah berubah menjadi tempat dengan motto “Persetan dengan rakyat!”
(Counter Punch, ”The Perfect Fascist City: Take a Train in
Jakarta”, edisi 17-19 Februari 2012).
Sumber foto: http://www.bakesbangpoljakarta.com/galeri/All%20About%20Jakarta/d0015d6aa3cc328..jpg |
Hari
ini aku terbangun dari tidurku seraya berjalan tergopoh-gopoh menuju ke kamar
mandi. Alasannya, hanya karena diriku mendengar alarm dari dering ponselku
dengan alunan hits musik dangdut yang lagi booming
saat ini dengan judul “Sakitnya tuh di sini!”. Iya… ini hari pertamaku masuk kerja di sebuah
perkantoran elite kawasan Soedirman, Jakarta. Masih terngiang di ingatanku
bagaimana ayah dan ibuku sepagi buta ini harus berangkat mengangkut barang
dagangan sayur-mayur ke salah satu sudut pasar tradisional di kampungku. This is Jakarta bro.. ada yang bilang
Jakarta itu lebih kejam dari ibu tiri, Jakarta itu kota sibuk selama 24 jam
penuh (gak kalah sibuk dibandingkan
dengan kota-kota besar di dunia seperti London, Berlin, Amsterdam, Paris,
Seoul, Tokyo, hingga New York), Jakarta sering dicap sebagai tempat pusat
segala tindak kejahatan (dari bajingan
kelas coro, maling kelas teri bahkan penjahat kelas kakap berdasi ala ‘Bento’ konon
katanya semua bisa dilihat di sini bahkan ada yang bangga jika diliput masuk televisi!),
Jakarta sebagai pusat simbol gaya hidup modern masyarakat kelas atas di Indonesia
(so pasti!), Jakarta sebagai pusat
kebudayaan/trend setter sekaligus
simbol peradaban Indonesia (masa sih?), Jakarta tidak memberikan fasilitas ruang-ruang publik bagi interaksi sosial masyarakatnya (banyak lahan di Jakarta yang kini disulap
menjadi arena lapangan golf, areal gedung perkantoran, bahkan areal parkir),
Jakarta sebagai pusat hiburan dengan menjamurnya tempat-tempat diskotek, café,
dan mall-mall (konon jumlah mall-mall di
Jakarta jauh lebih banyak jika dibandingkan jumlah mall-mall di Singapore,
really?), Jakarta sebagai pusat bisnis di Indonesia (dari bursa pasar saham, pasar gelap, pasar esek-esek, sampai pasar
malam semua ada di sini!), Jakarta macet atau Jakarta kebanjiran? (itu sudah berita basi kalo tidak banjir dan
macet itu bukan Jakarta namanya!).
Anehnya
lagi bro dan sista, orang-orang di kampungku menganggap belum modern atau
menjadi orang kota (urban) jika kalian belum berkunjung ke Jakarta. Tidak
barang aneh ada prestise tersendiri
jika pulang ke kampung halaman mengendarai kendaraan berpelat “B” rasanya sudah di atas angin entah
itu milik pribadi atau harus menyewa sekalipun. Saat diriku berangkat ke
Jakarta maka orang-orang di kampung langsung memanggilku sebagai “calon orang
sukses”. Dalam batinku sudah serasa jadi orang penting ajah.. ya ada paradigma
yang berbeda ketika kita mendengar kata “Jakarta” yang terkesan dan bermakna “high” atau tinggi jika dibandingkan
dengan sebutan kota-kota kecil lainnya di Indonesia yang dianggap masih belum
modern dan terbelakang. Sebenarnya apa yang mereka ketahui tentang Jakarta?
Bukan maksud saya bersikap sinis kepada Jakarta melainkan bentuk kepedulianku
kepada temanku, sekaligus sahabatku yang bernama Jakarta. Panas, penat, dan banyak
nyamuk itu yang aku rasakan ketika aku memikirkan Jakarta.
Hidup di Jakarta itu ibarat laboratorium
dimana segala macam masalah sosial bisa diuji cobakan kepada masyarakatnya
untuk dipelajari. Seberapa kuat penduduk Jakarta dapat bertahan hidup..? menjadi bagian dari proses seleksi alam. Saya
rasa banyak dari mereka yang belum memahaminya.. ini mungkin sangat paradoks
ketika pernah saya berjalan di ujung jalan-jalan kawasan elite di Jakarta
dengan hiasan gedung pencakar langit nan megah namun di kanan-kiri masih banyak
gubug-gubug reot (slum) sebagai
dampak potret kemiskinan arus urbanisasi.. Ini bukan salah Jakarta… ini salah
masyarakat kita sendiri termasuk saya sendiri yang belum menyayangi temanku, Jakarta..!!!
Pernah kalian dengar wisata kemiskinan? Itu hanya ada di Jakarta. Setiap bulan
berbondong-bondong para pelancong dari luar negeri seperti turis asal Jepang dan turis asal Amerika Serikat melakukan tur wisata
kemiskinan dengan mengunjungi pemukiman-pemukiman kumuh (slum) di sudut-sudut kota Jakarta (Jakarta hidden tour). Kebalikan dengan para pelancong
Indonesia asal Jakarta yang berbondong-bondong berwisata ke luar negeri hanya
untuk bertepuk tangan mengagumi kemegahan gedung-gedung tinggi bertingkat yang ada di negara
mereka?
Tak
terasa waktu sudah menunjukkan jam 5 pagi. Di Jakarta ada istilah “time is money” itu sangat benar adanya,
terutama bagi kita yang hendak memulai aktivitas pekerjaan di pagi hari. Jam 5
pagi di Jakarta akan mulai terasa detak jantungnya. Sepagi ini, di kampungku
mungkin aku masih bisa asyik tertidur pulas sambil mendengar nyanyian ayam
jantan berkokok karena diriku sudah terbiasa memulai aktivitas pada jam 6 pagi tetapi
tidak untuk Jakarta! Jakarta itu ibarat jam pasir yang waktunya akan segera
habis! Akibat celah sistem pemerintah yang korup dan masih kurang terawatnya sistem
transportasi publik di Jakarta maka semua orang berlomba-lomba mencapai tujuan serta menghalalkan segala cara hanya alasan takut tidak mendapatkan kendaraan
umum! Melihat orang-orang rela berdesak-desakan naik busway, berebut naik KRL, berebut naik angkot, berebut naik bus
kota hingga keluhan macetnya jalanan saat menggunakan kendaraan pribadi adalah
sebuah pemandangan yang sangat indah di seantero sudut Jakarta. Semua laju
lampu diterabas, jalan trotoar khusus pejalan kakipun bisa disulap menjadi
jalan raya bebas hambatan (jadi mirip
suasana di jalan tol alternatif)..
lampu lalu-lintas ibarat pemanis simpul di perempatan jalan seperti
dengan adanya aturan baru lampu dari rambu-rambu lalu-lintas yakni warna hijau
jalan terus, warna kuning injak gas, warna merah langsung terobos, mana mereka
peduli? mereka hanya ingin cepat sampai, masa bodoh dengan aturan. Aturan di Jakarta
kebanyakan diciptakan untuk dilanggar bukan untuk ditaati.. really? Tapi hati-hati awas nanti kena
tilang bapak polisi…!!! Saya tidak kaget jika masyarakat Jakarta akhir-akhir
ini banyak terpengaruh menjadi para kumpulan individu eksistensialis atau homo eksistensialis!
Setelah
mandi, merapikan baju, dan memasukkan berkas-berkas file kerja, laptop ke dalam tas dan koper maka aku segera bergegas berangkat menuju kantor sembari memanggil tukang
ojek motor yang mangkalnya tidak jauh dari tempat kostku. Apakah kalian semua
tahu..? barusan tukang ojek motor tadi bercerita kepadaku jika para pelanggan setia
ojek motornya adalah para eksekutif mulai dari direktur, direksi, manager, ekspatriat pekerja
asing yang biasa bermarkas kantor di kawasan perkantoran elite Segitiga Emas Jakarta sebagai central business district mulai dari jalan
Soedirman, Gatot Soebroto, Thamrin, Rasuna Said, Kuningan.. Wow
amazing! orang-orang sukses seperti mereka sangat menghargai waktu.. waktu
ibarat uang dollar.. saya tahu persis seberapa besar penghasilan mereka setiap
bulan tentulah sangat mudah bagi mereka-mereka untuk bertamasya ke luar negeri,
itu merupakan hal yang sangat sepele bagi mereka, apartemen dan rumah mereka saja
ibarat bak hotel bintang lima karena semua fasilitas sudah tersedia, berderet mobil
mewah sport seperti Ferrari, Lamborghini, Porsche hingga mobil sedan
keluaran terbaru ternyata hanya menjadi besi hiasan di rumah yang teronggok di dalam
bagasi karena alasan mereka menghindari macet,, ya harga waktu sangat mahal
di Jakarta karena waktu di Jakarta tidak bisa dibeli dengan uang melainkan
dengan reputasi..!!! bayangkan deadline,
bertemu relasi bisnis jika semua buyar karena keterlambatan? berapa kerugian
yang harus ditanggung? Kalo saja waktu bisa diisi ulang menggunakan kartu pra
atau pascabayar?
Akhirnya
diriku sudah sampai di tempat kerja tepat jam 8 pagi setelah banyak menerobos
lampu merah berkat tukang ojek motor langgananku yang kemampuan
bermotornya tak kalah hebat dengan para pembalap Moto GP di televisi. Lihat kantorku.. gedung megah.. kerja berdasi, masuk kantor ber-AC. Kedatanganku di lobi gedung langsung disambut senyum manis dari pekerja
resepsionis yang terlihat sangat cantik. This
is Jakarta bro (gak ada yang serba gratis bahkan kencing di toiletpun harus
membayar).. senyuman mereka itu
semua hanya sandiwara.. senyum gadis resepsionis itu adalah bagian dari pekerjaan
mereka.. mereka menyambut setiap tamu yang datang ke gedung kantor dengan lips service-nya itu juga bagian dari strategi
marketing bisnis perusahaan. Selama
aku di Jakarta jarang sekali aku menemukan senyuman tulus yang berasal dari
hati selama berada di lingkungan kantor. Mereka tersenyum ketika ada
kepentingan setelah itu mereka acuh dan pergi. Bagi kebanyakan dari mereka hidup
di kota metropolitan sekelas Jakarta cuma hanya ada “urusan lhoe.. ya lhoe..!”
dan “urusan gue.. ya gue..!” atau bila
dianggap melanggar aturan privacy maka
bisa-bisa mereka berkata,“hubungan lhoe
dan gue end.” Aku rindu senyum tulus
dari ayah dan ibuku di kampungku.. senyuman kebaikan yang datang dan tulus
datang dari hati..
Kemana
perginya senyum itu…?
Kata
orang, Jakarta itu banyak serigala!
Ah lagi-lagi
soal Jakarta.. pusing aku dibuatnya..
Namun aku
masih percaya, jika Tuhan pernah singgah di Jakarta.
Parijs van Java, 26 Desember 2014.
00:48:48
Nur Bintang adalah pemerhati masalah sosial dan budaya.
Nur Bintang adalah pemerhati masalah sosial dan budaya.