Ditulis oleh: Nur Bintang*
PENGANTAR: Tulisan saya ini diambil dari ‘tinjauan
pustaka’ dalam skripsi saya mengenai kajian sosiologi kesehatan yang berfokus
pada perilaku sehat dan pencegahan penyakit HIV/AIDS di sebuah lokalisasi
prostitusi. Saya rasa tinjauan pustaka dalam skripsi saya ini memuat beragam
informasi yang sangat penting untuk disebarluaskan kepada khalayak masyarakat karena
saya masih menilai banyak pemahaman masyarakat terhadap penyakit HIV/AIDS ini
dinilai masih sangat kurang. Diharapkan setelah membaca sedikit ulasan tulisan
dari skripsi saya ini maka dapat menambah pengetahuan masyarakat mengenai bahaya
penyakit HIV/AIDS melalui situs blog pribadi saya ini. Selamat membaca!
Asal-Usul HIV/AIDS?
HIV (Human Immunodefiency Virus) yang sudah menyebar ke seluruh dunia
ini merupakan virus penyebab AIDS yang merusak kekebalan tubuh manusia sehingga
rentan terhadap berbagai serangan penyakit. AIDS (Acquired Immuno Defiency Syndrome) yang berarti kumpulan gejala
menurunnya kekebalan tubuh yang diperoleh. AIDS melemahkan atau merusak sistem
pertahanan tubuh sehingga tubuh rentan terserang berbagai jenis penyakit lain.[1] Virus HIV penyebab AIDS
ini dapat mati pada suhu diatas 800C dan di luar tubuh manusia,
virus HIV bisa bertahan hidup dalam sejumlah kecil darah pada jarum suntik
sampai dengan tujuh hari lamanya.
Gambar virus HIV/AIDS
Sumber gambar: http://arisudev.files.wordpress.com/2014/01/struktur-luar-virus-hiv.jpg |
Kasus AIDS pertama kali di
dunia dilaporkan secara resmi pada tahun 1981 di Los Angeles, Amerika Serikat.
Saat itu penyakit AIDS masih menjadi penyakit misterius yang belum diketahui
asal penyebabnya. Sejarah nama virus HIV sendiri bermula dari penemuan virus
oleh seorang ahli medis berkebangsaan Perancis pada tahun 1983 yaitu Dr. Luc
Montagnier (Institut Pasteur Perancis) yang berhasil mengisolasi virus dari
kelenjar getah bening pada tubuh pasiennya yang dinamakan Lymphadenopathy Associated Virus (LAV). Sekitar bulan Juli tahun 1984, Dr. Robert
Gallo dari Lembaga Kanker Nasional (NIC-Amerika) juga menemukan virus yang
serupa dari sampel darah salah seorang pasiennya dan dinamakan Human T-Lymphocytic Virus tipe III (HTLV
III). Ilmuwan lain, J. Levy juga menemukan virus penyebab AIDS yang kemudian
dinamakan AIDS Related Virus (ARV). Akhirnya, pada bulan Mei
1986, Komisi Taksonomi Internasional sepakat untuk memberi nama virus penyebab
AIDS dengan Human Immunodefiency Virus
(HIV) yang kemudian nama virus ini menjadi nama internasional untuk virus
penyebab penyakit AIDS.
Konon sebelum ditemukannya kasus epidemi
HIV/AIDS pada dekade tahun 1980-an di dunia pernah juga ditemukan sampel darah
virus dari beberapa jenis kera hijau di Afrika yang sangat mirip dengan HIV
bahkan para ahli kedokteran dunia saat ini berasumsi bahwa asal-usul HIV
berasal dari infeksi silang-spesies oleh virus simian/simpanse di belantara
Afrika. Mungkin karena kontak langsung manusia dengan darah primata yang
terinfeksi. Bukti-bukti terkini adalah bahwa jenis HIV-1 dan HIV-2 pada tubuh manusia diindikasikan berasal dari
paparan SIV (Simian Immunodefiency Virus)
yang berasal dari binatang kera. Pertengahan abad ke-20 telah memungkinkan
infeksi virus ini untuk menyebar, menetap pada manusia, dan menjangkau proporsi
epidemi.[2] WHO juga memproyeksikan
pada tahun 2000 jumlah orang yang terinfeksi HIV akan mencapai 14 juta orang di
seluruh dunia dan nampaknya jumlah ini akan terus bertambah untuk tiap tahun
yang akan datang.[3]
Stigma HIV/AIDS sebagai
penyakit kutukan dari Tuhan karena belum ditemukan obatnya ini lebih cenderung
dianggap sebagai “penyakit orang bule”
atau “penyakit orang Eropa” yang hal ini dikarenakan budaya perilaku seks bebas di
kalangan mereka. Stigma ini tidaklah benar seutuhnya karena penyakit HIV/AIDS
itu sendiri sebenarnya berasal dari Afrika bahkan juga pernah ditemukan sampel
darah lama dari manusia yang berasal dari Afrika pada tahun 1950-an yang
tampaknya sudah mengandung HIV. Pada tahun 1980-an media massa di Amerika
selalu menghubungkan HIV/AIDS sebagai “penyakit
orang Afrika”[4] dan “penyakit kaum gay” atau homoseksual dengan sebutan GRID (Gay-Related Infectious Disease).
HIV bisa ditularkan dari satu
orang kepada lainnya melalui pertukaran cairan tubuh seperti darah, sperma,
cairan vagina, dan air susu ibu. Peluang untuk tertular HIV melalui hubungan
seks adalah 1%, melalui transfusi darah 90 %, melalui jarum suntik tidak steril
90 %, dan dari ibu hamil kepada bayinya 30 %. Meskipun penularan HIV melalui
hubungan seks mempunyai peluang paling kecil, ternyata lebih dari 90 % kasus
HIV/AIDS yang ada sekarang ini terjadi
karena hubungan seks.[5]
Masa inkubasi HIV di dalam tubuh manusia pada umumnya hanya memerlukan waktu 3 bulan - 6 bulan dan bahkan pada beberapa kasus yang jarang ditemui masa inkubasi HIV pada tubuh seseorang bisa berlangsung hingga sampai selama satu tahun dengan gejala awal seperti penyakit flu biasa yang terjadi secara berulang-ulang kali dalam waktu beberapa minggu seperti demam tinggi, radang tenggorok, sakit kepala, sakit otot dan sendi, muntah, sakit perut, yang disertai pembengkakan kelenjar getah bening (leher, ketiak, lipatan paha) atau ruam pada kulit selama satu atau dua minggu setelah terpapar HIV dan gejala ini biasanya hilang tanpa perlu diobati. Setelah itu penderita HIV tampak terlihat sehat (tanpa gejala) selama 5 tahun - 10 tahun sebelum timbul infeksi oportunistik pada tahap AIDS.
Masa inkubasi HIV di dalam tubuh manusia pada umumnya hanya memerlukan waktu 3 bulan - 6 bulan dan bahkan pada beberapa kasus yang jarang ditemui masa inkubasi HIV pada tubuh seseorang bisa berlangsung hingga sampai selama satu tahun dengan gejala awal seperti penyakit flu biasa yang terjadi secara berulang-ulang kali dalam waktu beberapa minggu seperti demam tinggi, radang tenggorok, sakit kepala, sakit otot dan sendi, muntah, sakit perut, yang disertai pembengkakan kelenjar getah bening (leher, ketiak, lipatan paha) atau ruam pada kulit selama satu atau dua minggu setelah terpapar HIV dan gejala ini biasanya hilang tanpa perlu diobati. Setelah itu penderita HIV tampak terlihat sehat (tanpa gejala) selama 5 tahun - 10 tahun sebelum timbul infeksi oportunistik pada tahap AIDS.
Hanya melalui tes uji sampel darah di laboratorium maka kita dapat mengetahui status HIV seseorang apapun hasilnya baik itu “positif” ataupun “negatif” yang dimana identitas dan status penyakit orang tersebut akan dijamin kerahasiaannya namun banyak juga orang yang beresiko tinggi tertular HIV/AIDS yang tidak mempunyai kesadaran untuk memeriksakan kesehatan dirinya dikarenakan “malu” sehingga hal ini dikhawatirkan, akan dapat menularkan penyakit HIV/AIDS kepada orang lain. Pada umumnya, penderita HIV tampak selalu sehat dan bahkan mungkin penderita tersebut tidak menyadari bila dirinya telah mengidap HIV “positif” sebelum akhirnya bertahap pada AIDS yang berujung kepada kematian. Adapun tanda-tanda atau gejala orang yang terinfeksi HIV yang sudah mencapai pada tahap AIDS adalah sebagai berikut:
1. Berat
badan menurun drastis lebih dari 10% dalam waktu singkat.
2. Demam tinggi
berkepanjangan selama lebih dari
satu bulan.
3. Diare
berkepanjangan selama lebih dari satu bulan.
4. Batuk
lebih dari satu bulan dan bertahap menjadi penyakit TBC Paru.
5. Kandidiasis Orafaringeal
(infeksi jamur pada mulut dan kerongkongan).[6]
Penyakit HIV/AIDS sampai saat
ini belum ditemukan obatnya. Obat untuk penderita HIV/AIDS (ODHA) yang ada
sekarang ini ialah pemakaian obat ARV (Anti
Retro Viral) yang diminum seumur hidup oleh penderita HIV/AIDS (ODHA). Obat
ARV ini hanya dapat mengendalikan jumlah HIV dalam tubuh dan meningkatkan daya
tahan tubuh untuk memperpanjang usia hidup penderita HIV/AIDS (ODHA).
Pencegahan HIV/AIDS di Lokalisasi
Pencegahan HIV/AIDS yang biasa
di lakukan di kawasan lokalisasi prostitusi adalah dengan melalui program pemakaian kondom 100% dalam
mengatasi Infeksi Menular Seksual (IMS), khususnya penularan HIV/AIDS. Namun
seiring kemajuan ilmu pengetahuan di bidang kesehatan ternyata pemakaian kondom
tidak terbukti 100% efektif dalam pencegahan HIV/AIDS.
Gambar aneka kondom
Sumber gambar: http://us.images.detik.com/content/2014/02/27/1390/160435_kondom5ts.jpg |
Berdasarkan pernyataan dari
Dadang Hawari[7]
pada bulan September 2007 yang menyimpulkan fakta medis yang benar bahwa kondom
memang dapat mencegah masuknya sperma, tetapi tidak dapat mencegah masuknya
virus HIV/AIDS yang lebih kecil. Pernyataan-pernyataan keraguan akan
efektifitas kondom juga disampaikan oleh beberapa peneliti yang melakukan
penelitian terhadap efektifitas kondom dalam mencegah HIV/AIDS yang diantaranya
sebagai berikut:
1. Pernyataan J. Mann (1995) dari Harvard AIDS Institute, USA, yang
menyatakan tingkat keamanan kondom hanya 70%. Penelitian yang dilakukan Carrey
(1992) dari Division of Pshysical
Sciences, Rockville, Marryland, USA, menemukan bahwa virus HIV dapat menembus
kondom.
2. Dalam konferensi AIDS Asia Pacific di Chiang
Mai, Thailand (1995) bahwa pada kondom yang terbuat dari bahan latex terdapat
pori-pori dengan diameter 1/60 mikron dalam keadaan tidak meregang, sedangkan
bila dalam keadaan meregang lebar pori-pori tersebut mencapai 10 kali.
Sementara virus HIV berdiameter 1/250 mikron. Dengan demikian jelas bahwa virus
HIV dapat leluasa menembus pori-pori kondom.
3. Hasil penelitian Biran Affandi (2000): Tingkat kegagalan kondom
dalam KB di Indonesia mencapai 20 %, apalagi kondom khusus untuk mencegah virus
HIV. Padahal perbandingan ukuran sperma dan virus HIV adalah 450 banding 1. [8]
Sampai sejauh ini, alat yang digunakan dalam pencegahan penularan HIV/AIDS
melalui hubungan seks adalah kondom khusus yang permukaan luarnya menggunakan
bahan pelicin yang mengandung nonoxynol-9
yang berfungsi untuk membunuh sperma,
virus, dan bakteri yang masuk ketika sedang melakukan hubungan seks. Banyak
juga jenis kondom yang beredar di pasaran saat ini sebenarnya hanya
diperuntukkan sebagai alat pencegah kehamilan dan bukan sebagai alat pencegah
penularan HIV/AIDS karena bahan pelicin yang ada hanya mengandung spermasida yang digunakan hanya untuk
membunuh sperma tetapi tidak untuk membunuh virus ataupun bakteri. Keutuhan
kondom dalam pemakaian juga sangat perlu untuk diperhatikan karena kondom bisa
rusak atau mudah robek bila sudah lama atau terkena panas. Periksa selalu
tanggal kadaluarsa pemakaian kondom di setiap kemasan.
Walaupun pemakaian kondom tidak terbukti 100% efektif dalam pencegahan
HIV/AIDS namun paling tidak, dapat mengurangi dampak resiko tinggi penularan
HIV/AIDS itu sendiri. Penggunaan kondom tetaplah harus dilakukan secara “benar”
dan “konsisten” untuk menghindari gesekan luka pada alat kelamin yang dapat
menjadi jalur penularan HIV/AIDS ketika sedang melakukan hubungan seks.
Pengurangan dampak resiko tinggi penularan HIV/AIDS melalui penggunaan kondom
dapat terlihat dari contoh promosi penggunaan kondom yang gencar dilakukan oleh
pemerintah Thailand pada tahun 2000 kepada kalangan pekerja seks komersial di
negara tersebut dan berhasil menurunkan angka laju kasus Infeksi Menular
Seksual (IMS) termasuk HIV/AIDS dari 13% menjadi 0,3%.
Stiker pemakaian wajib kondom 100% di
salah satu lokalisasi prostitusi
Sumber gambar: dokumentasi penulis |
Penemuan kondom khusus wanita dalam mencegah penularan HIV/AIDS selain kondom pria saat ini
dianggap dapat menjadi metode penghalang baru dalam melindungi diri dan
pasangan seks. Kondom khusus wanita ini bentuknya silinder, dengan ujung
terbukanya berbentuk cincin, dan ujung lainnya tertutup dan diberi spons untuk
menyerap sperma.
Kondom wanita ini memiliki panjang 17 cm dan diameter 6 cm hingga 7 cm.
Pemakaian kondom wanita sama seperti kondom pria yaitu hanya sekali pakai dan
tidak bisa dipakai berkali-kali. Kondom pria dan kondom wanita tidak bisa
digunakan secara bersamaan karena gesekan antara bahan latex pada kondom dapat
menghasilkan kedua produk menjadi robek dan gagal berfungsi sebagai pelindung.
Gambar kondom wanita
Sumber gambar: http://majalahkesehatan.com/wp-content/uploads/2011/01/kondom-wanita.jpg |
Dengan hadirnya kondom wanita saat ini diharapkan dapat membuat pihak pria jadi lebih leluasa
menikmati aktivitas seksnya. Hal ini
disebabkan karena banyaknya studi riset tentang rendahnya kesadaran penggunaan
kondom khusus pria dikalangan kaum pria itu sendiri dengan alasan pemakaian
kondom khusus pria menyebabkan tidak ada gesekan langsung dengan vagina
sehingga kenikmatannya tidak terasa dan pemakaian kondom khusus pria cenderung
dianggap terlalu merepotkan sehingga hal tersebut dapat meningkatkan resiko
tinggi terkena penularan HIV/AIDS.[9]
Untuk itu diperlukan pemahaman yang lebih baik dalam pencegahan penularan HIV/AIDS.
Pengetahuan tentang HIV/AIDS dapat menjadi cara ampuh dalam pencegahan dini
terhadap penularan virus mematikan ini. Adapun rumus ABCDE yang digunakan dalam
pencegahan HIV/AIDS adalah:
1. Abstinen yaitu tidak melakukan seks bebas
2. Be Faithful yaitu setia pada pasangan
3. Condom yaitu gunakan kondom
4. Drugs yaitu hindari penggunaan narkoba suntik
5. Equipment Sterile yaitu menggunakan peralatan yang steril[10]
Penyakit HIV/AIDS sampai sejauh ini penularannya selalu berasal dari cairan vagina, cairan sperma, darah, dan air susu ibu (virus HIV hidup di dalam sel tubuh manusia). Penyakit HIV/AIDS tidak menular melalui:
1. Keringat, air mata, dahak dari penderita “positif“ HIV
2. Mandi bersama
3. Berjabat tangan (bersalaman)
4. Gigitan nyamuk
5. Air urine atau tinja dari penderita “positif“ HIV
6. Air minum
Lokalisasi Prostitusi
Kata prostitusi sendiri berasal dari bahasa latin yaitu prostutuere atau pro-staure yang berarti membiarkan diri berbuat zina.[11] Prostitusi oleh
kebanyakan masyarakat masih dianggap sebagai suatu bentuk perbudakan modern
karena pekerja seks komersial berada di bawah kontrol para induk semang.
Namun ada pendapat dari kajian antropologi sosial tentang pelacuran yang
dilakukan oleh Alison J. Murray.[12] Menurut Murray pelacuran
adalah suatu tindakan pilihan rasional dan bukanlah perbudakan atau patologi,
yang memberikan pemasukan ekonomi dan kebebasan dari kekangan-kekangan sosial
terhadap perempuan kelas bawah. Dalam kompleks (lokalisasi) sekalipun, perempuan
memperoleh pendapatan jauh lebih banyak daripada pekerja-pekerja kelas bawah
lainnya.[13]
Gambar suasana lokalisasi prostitusi
Sumber gambar: http://assets.kompas.com/data/photo/2014/06/16/1855284GangDollySurabaya161402919087-preview780x390.jpg |
Nampaknya kemiskinan yang melanda di negara-negara berkembang termasuk
Indonesia sangat berdampak pada tingginya tindak kejahatan dan masalah
prostitusi. Pelacuran yang rawan resiko tinggi penularan HIV/AIDS ini dianggap
sebagai jalan pintas bagi
kebanyakan kaum wanita yang terhimpit tuntutan kebutuhan hidup yang semakin
berat. Lokalisasi dianggap sebagai suatu tempat yang pantas bagi para pekerja
seks komersial dalam menjalankan profesinya secara aman dan nyaman.[14]
*Nur Bintang adalah seorang pengamat sosial dan budaya.
000
Sumber Pustaka:
Bintang, Nur, “Seks Aman di Lokalisasi” (Kajian Tentang Persepsi, Sikap, Peran
Induk Semang dalam Pencegahan HIV/AIDS di “Gang Sadar” Baturraden Purwokerto),
Skripsi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman
Purwokerto, Tahun 2009.
[1] Lihat Danny Irawan Yatim, Dialog Seputar AIDS (Jakarta: PT
Grasindo, 2006) hal. 1-3.
[2] Lihat Geo. F. Brooks, et.al, Mikrobiologi
Kedokteran. Terjemahan dr. Nani Widorini (Jakarta: Salemba Medika, 2005)
hal. 297.
[3]
Danny Irawan Yatim., op.cit. hal. 27.
[4] Pada tahun 1980-an di Amerika Serikat ada
anggapan bahwa HIV berasal dari pekerja migran
Afrika Tengah yang pergi ke Haiti, yang kemudian menyebarkannya kepada
orang-orang Amerika yang berlibur di sana. Ada anggapan bahwa AIDS terjadi
karena perilaku seks bebas orang kulit hitam. Saat ini epidemi HIV/AIDS sudah
menyebar ke seluruh dunia, sehingga semua orang baik itu orang Asia, Eropa, dan
Afrika dapat terkena HIV/AIDS tanpa terkecuali jika memang perilakunya dianggap
beresiko.
[5]
Ibid.,
hal. 38-39.
[6] Ibid.,
hal. 10.
[7]
Prof. Dadang Hawari adalah pakar ahli jiwa sekaligus Guru Besar Tetap di
Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia.
[8] Dadang Hawari, ”Efektifitas Kondom Diragukan?”.http://mediaindonesia.com/berita.asp?
id=144457. Diakses tanggal 8
Maret 2008.
[9]
LPPSLH, ”Kondom
Wanita ? Kenapa Nggak...!!”, Waras,
Edisi 2, Maret 2007.
[10]
Ibid.,
hal. 10.
[11]
Kartini Kartono, Pathologi Sosial (Jakarta: Rajawali, 1992) hal. 199.
[12] Alison
J. Murray, Ph.D. adalah seorang pakar antropologi sosial sekaligus
seorang dosen di University of Sydney (Australia)
yang biasa membahas masalah pelacuran. Murray juga menulis beberapa buku yang
khusus membahas masalah tentang pelacuran di negara-negara Asia Tenggara yang
salah satunya adalah buku dengan judul No
money, No honey: A Study of Street Traders and Prostitutes in Jakarta
(1991). Saat ini Murray menjadi konsultan pada lembaga Indonesia AIDS Project.
[13] James
J. Spilane., op. cit.
[14]
Reno Bachtiar dan Edy Purnomo, op. cit., hal 74.