Oleh: Nur Bintang
"Kalau bumi dan gunung-gunung bukan pecinta, maka rumput tidak akan tumbuh dari dada mereka..."
(Jalaluddin Rumi, Pujangga Arab abad 12)
Artikel dalam
postingan kali ini diambil dari kata pengantar pada buku kumpulan sajak-sajak
puisi karya saya yang saya tulis sendiri. Tulisan kata pengantar ini sebenarnya
sudah saya tulis cukup lama sekitar pertengahan tahun 2005 lalu. Tulisan ini
seakan terus merekam memori saya saat itu yang gandrung akan buku-buku sastra novel, cerpen, maupun puisi dari
lokal maupun mancanegara seperti penyair Chairil Anwar, WS. Rendra, Hamka, Sutardji,
Pramoedya Ananta Toer, Ahmad Tohari, Seno Gumira Ajidarma dari Indonesia atau
Anton Chekov, Leo Tolstoy dari Rusia, Jean Paul Sartre dari Perancis, Friedrich
Nietzsche dari Jerman, T.S. Eliot dari Amerika Serikat dan masih banyak lagi.
Saya mengambil sudut pandang lain mengenai sastra sebagai wujud ekspresi
sosial masyarakatnya dan bukan hanya sekedar hasil budaya manusia semata.
Sastra sebagai budaya memiliki fungsi penting untuk menyampaikan
aspirasi/gagasan kritis dari kondisi sosial masyrakat yang disampaikan oleh
penulis, sastrawan, atau penyair kepada khalayak luas. Selamat membaca!
astra identik dengan seni yang mengandung unsur tulisan serta unsur gaya
bahasa. Karya sastra sendiri terbentuk dari kepekaan jiwa penulisnya dalam
mengungkapkan fenomena yang terjadi baik di dalam hatinya ataupun keadaan yang
berada di lingkungan sosial itu sendiri.
Karya sastra menyajikan suatu model kehidupan itu sendiri
yang sebagian bergantung kepada kenyataan sosial, alam, dan dunia subjektif
manusia yang di dalamnya dapat ditemukan karakter-karakter perjalanan kehidupan
dengan mendramatisasi seni tulisan untuk mewakili keadaan di sekitar dengan
diungkap melalui emosi jiwa dari hati penulis sehingga dapat menjadi sebuah
karya tulisan sastra.
Sastra merupakan wujud budaya bahasa yang dirangkai
dengan kalimat indah dengan tujuan memberi makna pesan yang tersirat dalam tulisan
tersebut. Jika kita memandang hubungan sosial budaya dengan karya sastra maka
dapat dikatakan bahwa sastra juga merupakan ekspresi kebudayaan di dalam suatu
unsur masyarakat. Karena di dalam masyarakat mengandung unsur hasil karya
intelegensi manusia dalam hal seni dan sebagai wujud dari kebudayaan sosial
masyarakat setempat.
Sastra sebagai bagian dari karya seni tentu saja dapat
berguna bagi orang lain. Jika karya seni yang diapresiasikan itu memancarkan
sinyal komunikasi yang bisa dipahami dan dimengerti oleh orang lain. Tingkat
pemahaman terhadap karya seni yang sedang diapresiasikan, tentu saja sangat
beragam, tergantung dari sampai sejauh mana orang tersebut sungguh-sungguh mencintai terhadap karya seni yang sedang diapresiasikan atau disajikan
kepada para penikmat sastra itu sendiri.
Sajak syair-syair puisi memang bersifat estetik (indah)
bila kita konsumsikan dengan baik maka akan memberikan kenikmatan batiniah.
Jiwa kita tergetar, terharu, tersentuh oleh komunikasi artistik, menyibakkan
dunia makna yang tak terjangkau kasat mata sehingga dapat memengaruhi keadaan
psikologis bagi orang yang membaca syair tulisan sastra tersebut. Pembaca dapat turut serta merasakan apa yang dirasakan oleh penulis atau
sastrawan dari dalam hatinya dalam mengungkapkan maksud tulisan.
Sastrawan sebagai individu mempunyai perasaan yang sangat
peka telah dibentuk dari masyarakat yang
melahirkannya. Sastrawan sebagai bagian dari masyarakat juga peka membahas
keadaan sosial yang tengah dihadapinya sendiri ataupun yang sedang dihadapi
masyarakatnya saat ini.
Latar belakang sosio-kultural penulis atau sastrawan juga
sangat memengaruhi isi sebuah karya sastra yang ditulisnya. Hal ini
dikarenakan karya sastra lahir sebagai representasi bagian kisah hidup manusia
selama masih berjalan di atas dunia ini.
Seorang penulis atau sastrawan biasanya selalu mencari
inspirasi pada suasana hening, sunyi dan sepi untuk dapat mencurahkan segala
isi hatinya tanpa adanya gangguan dari luar agar tetap fokus dan konsisten
terhadap karya sastra yang hendak ditulisnya. Seni juga dapat memengaruhi karakter dari kepribadian
seseorang. Seorang penulis atau sastrawan selalu merenungi makna arti dari
kehidupan itu sendiri. Mirip juga dengan para filsuf yang sedang mencari makna
arti kebijaksanaan dan akal-akal logika dari pikiran mereka sendiri.
Kehidupan penulis atau sastrawan itu sendiri memanglah
tidak berbeda dari para filsuf yaitu sama-sama terlahir sebagai orang-orang
yang peduli dan peka sosial bahkan Leonardo
Da Vinci yang juga merupakan seorang, ilmuwan sekaligus seniman ternama
dari Italia pernah mengatakan, “Semakin
peka jiwa seseorang maka semakin lengkaplah penderitaan duka batin yang
dialaminya.” Maka tidak salah, jika banyak orang-orang mengatakan bahwa
menulis adalah mengekspresikan emosi hati ke dalam bentuk sebuah tulisan.[]
Nur Bintang, 2005
Sweet Memory...
Berikut ini adalah salah satu syair puisi karya saya yang
sempat menjadi juara I dalam ajang Lomba Cerpen dan Puisi Islami yang diadakan
oleh FLP (Forum Lingkar Pena) Purwokerto bekerjasama dengan surat kabar harian nasional ‘REPUBLIKA’ pada tahun 2005 bersamaan dengan acara bedah buku novel “Ayat-Ayat Cinta” bersama penulis novel best seller ‘Habiburrahman El Shirazy’ dan tokoh sastrawan Indonesia ‘Ahmad Tohari.’ Syair puisi
yang saya tulis ini juga sempat diterbitkan oleh Majalah lokal “Suara
Gerilya” pada edisi bulan September
tahun 2005. Syair puisi yang saya tulis ini saya beri judul “Kasidah Sayap-Sayap Proletar.” Berikut
ini adalah syair puisinya:
*Kususuri got-got
tikus jalanan
Disaat alur-alur
debu trotoar memicek mata belekku
Melihat sesak
dari tulang-belulang manusia-manusia rombeng
Di gemerlap
pengap megah relung sudut kota
*Lihatlah kaum
sahayaku yang kere
Berteduh di
kardus-kardus lapuk
Berjalan terkulai
dan ngesot
Dari tangis para
busung pesakitan
*Tolong sampaikan
salamku buat Pak Gusur
Supaya lekas
bantu aku mengangkat kasur
Sebelum rumahku
dihancur lebur
Digilas roda
bisnis properti
*Sampaikan juga
salamku buat Sang Khalik
Dari hamba-Mu
yang kere ini
Umat-umat marhaen
utusan kaum proletar
*Kubentangkan
sayap seraya tangan mengadah
Memohon hidayah
meminta anugerah
Kunci gembok
pintu sorga jazirah
Sebening aroma
merdu lagu-lagu kasidah
*Salam tonjok
buat tikus-tikus berdasi
Yang doyan makan
duit bungkus sambal terasi
Hingga kaumku tak
dapat makan sebutir nasi
*Tolong juga
sampaikan salamku buat para penjahat
Para maling ayam
kelaparan
Yang berpijak
pada tanah maha kaya ini
Tanah firdaus
anugera illahi
*Tolong dengarkan
isi penjara hati kami
Hati nurani kami,
Yang dipecundangi
semunya keadilan
Kaum tertindas
yang selalu diremehkan!
*Tolong beri kami
ketabahan dan kekuatan
Hingga ingin
kubakar langit dan bintangpun pergi
Sampai-sampai....?
Aku didamprat dan
dimaki-maki oleh matahari
Sebagai imbas
dari pembalasan nelangsa batin ini ?
(Nur Bintang, Purwokerto, 2005)