Artikel

Selasa, 29 April 2014

"INNER BEAUTY"



Oleh: Nur Bintang


Definisi cantik yang dirasakan oleh setiap manusia pasti akan berbeda-beda. Selama ini kita selalu disesatkan oleh berbagai iklan produk kecantikan televisi yang mengatakan jika makna cantik atau tampan adalah identik dengan kulit putih, hidung mancung, tubuh tinggi, berdarah campur indo-eropa dan berbagai atribut fisik lainnya. Cantik atau tampan sebenarnya bukanlah berasal dari fisik semata namun berasal dari cara sikap positif Anda untuk dapat menerima kelebihan dan kekurangan diri sendiri. Pengadaan event-event seperti Putri Indonesia, Miss World, atau Miss Universe sebenarnya sangat baik dalam mendidik masyarakat dari sudut pandang sosiologis ketika memahami dan memaknai definisi “cantik” secara lebih proporsional dan bermartabat.


Jangan jadikan cantik atau tampan sebagai wujud budaya populer menurut atribut fisik semata tetapi jadikanlah perilaku yang baik sebagai wujud budaya cantik secara non-fisik. Budaya itu adalah keluhuran dan kebaikan. Jadi, segala sesuatu yang menyebabkan perilaku tidak baik seperti kesombongan merasa diri sebagai orang yang paling cantik atau tampan mirip artis atau aktor terkenal bukanlah wujud dari sebuah eksistensi budaya. Cantik atau tampan dari diri sendiri sebenarnya dapat terpancar dari aura cara berpikir (intelektualitas) dan cara berperilaku Anda. Setiap perilaku yang baik dengan dilandasi niat yang baik pasti akan memancarkan sisi ‘inner beauty’ yang kuat dari diri Anda. Jadi berhentilah untuk selalu membandingkan diri sendiri dengan orang lain yang dianggap lebih beruntung. Tuhan itu Maha Adil karena menciptakan manusia secara sempurna sesuai ketetapan yang menjadi kehendak-Nya.


Ingat! Orang lain akan menghormati dan menghargai Anda jika Anda mampu menghargai diri sendiri secara positif. Jangan suka mengeluh dihadapan orang lain, menganggap Tuhan tidak adil, atau bahkan menyakiti orang lain. Pikiran negatif itu sangat berbahaya, merusak dan cenderung menular. Pikiran negatif  dapat membunuh karakter setiap orang yang ditemuinya tanpa kecuali. Dari sini Anda akan belajar jika ‘inner beauty’ itu berasal dari kekuatan pikiran positif Anda terhadap kekurangan dan kelebihan yang anda miliki sendiri.


Inner beauty dari dalam sebenarnya melebihi dari kecantikan luar fisik semata. Belajarlah menghargai orang lain. Ini kelihatannya mudah tapi sangat sulit untuk dilakukan. Tidak ada salahnya anda memberikan pujian yang layak terhadap suatu hal yang menurut Anda itu baik kepada orang lain. Menghargai orang lain sama halnya seperti bagaimana cara Anda untuk menghargai diri sendiri. Hal tersebut menunjukkan sisi ‘inner beauty’ yang terdalam dari diri Anda.


Jadi inner beauty sangat berhubungan dengan cara berpikir positif Anda untuk melakukan suatu hal yang baik berdasarkan landasan niat yang baik. Inner beauty sebenarnya lebih menjurus terhadap kecerdasan intelegensi, emosional dan spiritual Anda. Jadi terlalu dangkal jika memaknai dan menilai cantik atau tampan dari atribut fisik semata. Inner beauty bukan sekedar sudut pandang atau kacamata perspektif menurut selera Anda tetapi bagaimana cara Anda berbuat dan menyebarkan makna kebaikan terhadap sesama. Kuatkan ‘inner beauty’ Anda dengan terus berpikir positif dengan melakukan kebaikan. Hal ini mungkin senada dengan ucapan filsuf Rene Descartes yang dapat menjadi bahan renungan Anda, “Aku berpikir maka aku ada![]

 *Nur Bintang adalah pengamat sosial dan budaya.


Cerpen Karanganku: “Rosiana Julia”





Lukisan grafis karya Nur Bintang dengan mencontoh lukisan serupa



Cerpen 'ditulis oleh: Nur Bintang*

Pengantar
Saya menulis cerita pendek (cerpen) dengan judul 'Rosiana Julia' ini sudah cukup lama sekitar bulan Juni tahun 2006 dan berhasil menjadi juara I dalam lomba penulisan cerpen untuk tingkat Universitas Jenderal Soedirman dalam ajang ‘Pekan Seni Mahasiswa’. Naskah cerpen ini sempat hilang sekitar satu tahun dan berhasil saya temukan kembali di gudang rumah dengan kondisi rusak ketika saya sedang menyusun kardus buku-buku. Akhirnya, naskah ini saya dokumentasikan kembali di blog pribadi saya dengan beberapa sedikit editing terhadap beberapa penggal kalimatnya karena ada kesalahan dalam penggunaan kata dengan tanpa merubah cerita aslinya karena saya anggap cerita pendek (cerpen) ini memiliki kenangan dan nilai-nilai historis yang sangat kuat dan melekat pada diri saya secara pribadi. 

Cerita pendek (cerpen) yang saya tulis ini dapat dibilang sebagai konteks wujud sastra yang bergenre postkolonial hampir sama seperti karya-karya novel dari maestro kandidat peraih nobel sastra asal Indonesia yaitu Alm. Pramoedya Ananta Toer yang banyak bercerita mengenai zaman-zaman kolonial atau masa setelah berakhirnya penjajahan. Dalam hal ini, saya berusaha menjadi ‘diri sendiri’ dan ‘lain dari yang lain’ yakni dengan mengedepankan ide-ide orisinalitas untuk dapat mewujudkan sastra cerita pendek (cerpen) dengan menggunakan gaya pendekatan postkolonial. Ide cerita pendek ini sangat sederhana. Saya sebagai penulis cerita pendek (cerpen) ini hanya berusaha mengedepankan konflik batin dari tokoh utama dalam cerita pendek (cerpen) ini yaitu Herman Jansen Soetrisno (seorang anak keturunan Indonesia-Belanda) dalam memaknai identitas sosial dan identitas budaya dalam dirinya. Selamat membaca! (Nur Bintang).


S
eperti bangunan klasik lain di Korte Singel di Holland (Belanda). Rumah yang terletak di Jalan Melati nomor 13 di salah satu sudut Kota Jakarta itu sungguh terlihat sangat besar dan megah. Pohon-pohon mangga besar yang terletak di depan rumah makin menambah rindang dan kesejukan suasana di halaman rumah. Rumah tua bergaya Eropa ini memang masih memiliki aura nuansa natural sehingga memiliki daya tarik tersendiri bagi orang-orang sekitar yang melihatnya. Kondisi rumah saat aku berkunjung ke sana sangatlah sepi dan nampak hanya sesekali satu atau dua pejalan kaki dan seorang pengendara motor yang melintas di depan rumah. Akupun mulai melangkah dan memasuki pekarangan rumah tua yang cukup luas itu sambil sesekali aku melihat keadaan sekitar dan memelototi nama yang jelas terpampang pada pintu masuknya yang terbuat dari potongan balok kayu jati yang cukup kuat dan tebal, Van Bilderbeek Huis (Rumah Van Bilderbeek). Tanpa merasa canggung lagi sesekali aku mulai mengetuk pintu dan memejet bel pintu rumah dan berharap seseorang membukakan pintu tua jati tua itu untukku.

Setelah menunggu beberapa saat, mulai terdengar suara pintu yang hendak dibuka dan setelah pintu dibuka, betapa kaget dan senangnya sang pemilik rumah tua itu melihat kedatanganku sembari menatap wajahku dengan penuh selidik sambil mengingat-ingat penuh tanda tanya. Yah! di hari ini sang pemilik rumah ini sedang kedatangan seorang tamu spesial yang dirasa sudah tidak asing lagi baginya ialah aku.. Herman Jansen Soetrisno! sebuah nama perpaduan Belanda-Jawa yang sebenarnya bila aku pikir cukup aneh dan antik untuk anak-anak seumuranku di zaman millenium ini. Setelah dipersilahkan masuk maka tidak selang beberapa saat, aku langsung dipeluk erat dengan penuh kerinduan oleh sang pemilik rumah tersebut. Sorot matanya yang cekung mulai menatap tajam. Dipandangnya diriku dari ujung rambut hingga ujung kaki dengan senyum bahagia sambil berkata, "Hoe gaat het met je?" (bagaimana kabarmu?). Sesekali nampak keriput di wajah dan uban di rambutnya namun tidak menghilangkan aura kecantikan dari sisa-sisa masa mudanya dahulu. Ya! dia adalah nenekku tercinta yang biasa aku panggil dengan sebutan, “Oma..!” (nenek) atau lebih lengkapnya ialah Oma Rosiana Julia.

Aku sampai hari ini sebenarnya cukup heran dan kagum melihat keadaan Oma di usia senja sekarang ini. Oma tetap saja dapat dibilang masih terlihat sehat dan kuat. Oma lalu mempersilahkan aku duduk di ruang tamu dan memintaku bercerita mengenai kabar keluargaku selama ini. Seperti biasa aku mulai bercerita tentang kegiatan diriku selama ini dengan memberi kabar istimewa kepada Oma jika sekarang ini aku telah berstatus menjadi seorang mahasiswa. Maklum saja, aku sudah lama tidak bertemu Oma lagi sejak aku ikut bersama ayah dan ibuku pindah ke luar negeri menuju Eropa karena alasan ada pemindahan kerja dinas dari kantor tempat ayahku bekerja, yang dimana aku sewaktu itu masih berumur 10 tahun. Bayangkan saja!!! Aku sudah lama tidak bertemu Oma selama kurang lebih 12 tahun namun ayah beberapa kali sempat pulang ke Indonesia untuk menjenguk Oma. Tentu saja perasaan rindu kepada Oma tetap berkecamuk di dalam hatiku karena selama ini aku belum pernah bertemu dengannya kecuali di hari ini, hari yang membahagiakan dimana kami dapat bertemu kembali setelah beberapa tahun yang lalu.

Dengan perasaan senang, Oma berkata kepadaku, “Herman cucuku! Kau sekarang ini terlihat sudah banyak berubah. Bila Oma pandang kamu kini terlihat tampan dan gagah sama seperti kakekmu saat masih mudah dulu. Pasti sudah banyak anak gadis yang tertarik sama cucu oma ini.” Akupun tertawa mendengar gurauan oma sembari tersenyum malu, “Ah, Oma bisa saja! Aku sendiri saat ini belum punya pacar kok!” Oma terlihat tertawa terbahak-bahak ketika mendengar perkataanku hingga tak terasa suaranya makin memecah kesunyian, yang tampaknya telah lama tersembunyi di dalam rumah tua ini. Setelah bercakap-cakap sejenak dengan Oma maka Oma menyuruhku untuk beristitahat sejenak di kamar tidur yang sudah disiapkan sambil aku menunggu hidangan makan siang yang disiapkan Oma untukku dengan Bibi Ijah, si pembantu rumah.

Setelah beristirahat sejenak, akupun keluar kamar hanya untuk sekedar refresh dan membuang kebosanan dengan berjalan perlahan-lahan menuju ruang utama yang ada di dalam rumah. Tampak terlihat keadaan rumah Oma masih tetap saja asli dan tidak berubah sejak kepergianku bersama ayah dan ibu dahulu. Arsitektur di dalam rumah Oma masih terlihat antik dan klasik dengan mempertahankan gaya ornamen bangunan rococo, sebuah gaya interior Eropa yang sangat terkenal pada abad ke-18, kupandangi sebuah lukisan lusuh dan tua karya salah seorang pelukis Belanda yang tinggal di Batavia dahulu yaitu Dick van  Koopmans. Pelukis asal Belanda itu menggambar wajah kakekku ketika menggunakan model pakaian adat Jawa tempo doeloe yang terpampang jelas tegak berdiri di tengah-tengah dinding ruangan. Kakekku itu bernama Soetrisno, seorang pribumi biasa yang bernasib mujur mempersunting seorang gadis Eropa, berambut pirang dan bermata coklat yang tidak lain adalah Omaku sendiri yang sangat aku hormati itu.

Sebenarnya aku sendiri kurang begitu paham dengan perihal latar belakang kakek dan Oma tetapi yang jelas ayahku pernah sedikit bercerita tentang kisah asmara keduanya bahwa pertemuan jodoh antara kakek dan Omaku bermula ketika kakekku bekerja sebagai kuli kontrak pada perusahaan perkebunan cengkeh di Jawa yang dimiliki oleh seorang pengusaha kaya Eropa asal Belanda yang bernama Meneer Van Bilderbeek yang tidak lain adalah kakek buyutku. Meneer Van Bilderbeek mempunyai anak semata wayang, seorang noni pirang cantik, bermata coklat yang selalu menjadi rebutan hati para pemuda Belanda di Batavia yang bernama Rosiana Julia (Omaku) dan biasa dipanggil dengan sebutan Meisje Rosiana (Nona Rosiana). Pertemuan mereka bermula ketika Meneer Van Bilderbeek menyuruh salah satu kuli kontraknya yang bernama Soetrisno yang tidak lain adalah kakekku untuk mau mengantarkan dan menemani putrinya yang sedang menjalani masa liburan dari sekolahnya di Batavia untuk hanya sekedar berjalan-jalan dan menikmati pemandangan indah kebun cengkeh milik ayahnya itu.

Pertemuan mereka itu selalu terjadi berulang kali bahkan setiap hari sehingga seiring dengan berjalannya waktu telah semakin menambah kedekatan kedua insan sejoli ini untuk berikrar janji cinta setia. Konon hubungan cinta terlarang mereka sempat tercium bahkan sangat ditentang oleh Meneer Van Bilderbeek, kakek buyutku yang menganggap putrinya sebagai golongan kelas Eropa atas yang tidak pantas menerima pinangan cinta dari seorang kuli kontrak, pribumi biasa kelas bawah dari Jawa. Sudah menjadi kebiasaan tingkah kaum feodal orang-orang Belanda pada zaman kolonial dahulu di Indonesia yang biasa bersikap rasist dan suka melecehkan kulit gelap orang-orang pribumi yang biasa diberi umpatan, “Inlander kotor..!” 

Tetapi apa mau dikata bila kenyataannya, putri semata wayang Meneer Van Bilderbeek sudah terlanjur hamil di luar nikah dengan umur janin di tubuhnya yang berusia empat bulan. Kelak bayi laki-laki Indo-Belanda itu akan diberi nama Rosi Drescher Jansen Soetrisno, yang tidak lain adalah ayahku sendiri. Mau tidak mau akhirnya Meneer Van Bilderbeek merestui pernikahan putri semata wayangnya yang dahulu sangat ditentangnya dengan menikahkannya kepada seorang pribumi kelas bawah yang sangat tidak disukainya itu sambil menahan malu dari cemoohan dan ejekan dari kawan-kawan sesama pengusaha serta kenalan para pejabat pemerintah kolonial yang biasa berkumpul di gedung kantor pemerintahan gubernur jenderal Hindia-Belanda. Semenjak kejadian tersebut, Meneer Van Bilderbeek kemudian memutuskan untuk kembali ke negeri Belanda dan enggan menemui putrinya kembali kecuali hanya berkirim surat hingga sampai ajal menjemputnya.

Omaku, menurut cerita ayahku dahulu pernah menjadi aktivis idealis yang aktif berorganisasi terutama pada berbagai organisasi yang berhaluan marxist yang saat itu sedang merebak di seluruh kawasan Eropa terutama di Hindia-Belanda. Mungkin berdasarkan dari pengalaman cintanya itu, Oma bercita-cita tidak ada kelas sosial dominan yang suka menindas karena masalah perbedaan status sosial. 

Berulang-ulang dahulu Oma pernah berkata kepada anaknya yang tidak lain adalah ayahku sendiri yang dimana Oma selalu berbicara risalah tentang pemikiran Karl Marx dan Engels dalam bahasa Belanda. Oma bahkan sempat memberi nasehat kepada ayahku yang ketika itu masih berumur sepuluh tahun dengan berkata, “Vrij man en slaaf, patricier en plebejer, baron en lijfeigene, gil demeester en yezed, in een woord, verdrukker en verdrukten, stonden in een voort durende tegenstelling tot elkander en voerden een gestandigen, nu eens bedekte danweer openstrijd, een strijd die altijd met een revolutionaire omvorming van dergehele maatschappij eindig de, of wel met de gezamenlijke ondergang der strij dende klassen!”* (Orang merdeka atau budak kaum ningrat, kepala buruh atau buruh dengan satu perkataan penindas yang ditindas, selalu bertentangan satu sama lain, selalu berjuang satu sama lain, dan perjuangan selalu berakhir dengan perubahan susunan masyarakat sama sekali, atau hancur binasa kedua-duanya kelas yang berjuang itu). Celoteh nasehat Oma ditujukan kepada ayahku agar tidak meniru sikap anak-anak sinyo Belanda lain yang kerap suka bersikap kurang ajar terhadap anak-anak pribumi. Akupun mulai bisa membayangkan jika petuah Oma mungkin hampir sama seperti teriakan pidato Bung Karno yang berapi-api ketika sedang membakar semangat tentara republik di atas podium dahulu.

Aku secara tidak sadar mulai mendengar teriakan Bibi Ijah, pembantu rumah Oma di ruang makan dengan memanggil namaku, “Den Hermaaan.. ayo makan siang dulu!” Akupun segera bergegas berdiri meninggalkan ruang utama dan berjalan menuju ruang makan. Di ruang makan aku melihat Oma sudah menunggu kedatanganku, lalu dengan sigap aku menghampiri kursi duduk di meja makan dan mengambil lauk-pauk yang sudah disajikan di atas meja makan. Aku dan Oma selalu berbincang dan bercanda di saat kami sedang makan siang bersama bahkan Oma selalu menasehatiku berkali-kali dengan peribahasa Belanda, “Wie de jeugd heeft, heeft de toekomst!” (Siapa yang memegang pemuda hari sekarang, dia juga akan memegang hari kemudian!).

Aku saat ini hanya bisa tersenyum kecil ketika harus mendengarkan nasehat ucapan Oma berkali-kali di ruang makan yang masih terlihat menjaga norma tradisi di zamannya dahulu. Maklum saja, Omaku termasuk dooppsgezind, pengikut agama yang bisa dibilang taat. Padahal pikirku dalam hati sebenarnya zaman ini, zaman setelah setengah abad Hindia-Belanda (Indonesia) berhasil merdeka dari pengaruh belenggu penjajahan Belanda sudah banyak perubahan situasi dan kondisi yang ada di zaman saat ini dimana  banyak budaya-budaya baru dari Barat yang dinilai tidak etis telah masuk dan sudah mengikis budaya Timur orang-orang pribumi bahkan sosialisme yang banyak didengungkan pada zaman masa lalu sudah lama runtuh dengan hadirnya modernitas gaya hidup yang disokong oleh kapitalisme. Namun Oma masih bisa bernafas lega jika praktek rasisme yang ditentangnya saat zaman penjajahan Belanda dahulu saat ini sudah hancur dan hak-hak kesetaraan manusia kini sudah diakui sejajar di seluruh penjuru bumi. Aku sendiri tidaklah merasa bangga menganggap diriku ini sebagai orang Indo turunan Belanda. Karena bagiku, darah di tubuhku ini masih mengalir dan melekat darah Soetrisno, kakekku, seorang bekas kuli kontrak sebagai bagian dari orang-orang pribumi berkulit gelap yang harus banyak menanggung beban penderitaan selama akibat masa penjajahan kolonial Belanda dahulu.

Sekali lagi aku hanya bisa memandangi wajah Oma dari sudut atas meja makan. Oma mulai menelan makanan dari sendok miliknya sambil sesedikit melihat ke arahku sambil tersenyum. Terus terang saja aku saat ini terharu dan kagum melihat pesona kepribadian Oma yang masih tetap saja bersahaja, teguh pendirian dan penyayang. Dalam hati aku dapat bersyukur tentang nasib almarhum kakekku dahulu yang bisa dikatakan sangat beruntung dapat menaklukkan hati  cinta Oma. Keputusan Oma untuk menjadi warga negara Indonesia dan tidak kembali ke negeri Belanda agar bisa hidup bersama kakek merupakan bentuk kesetiaan cinta Oma kepada kakek. Tidak terasa sekilas terbesit dalam pikiranku untuk memikirkan alur tentang kehidupan di dunia ini bahwa kehidupan itu ibarat historiche taak saja yang bergerak seiring dengan kehendak sejarah saja yang sudah ditetapkan garis takdirnya oleh Sang Maha Kuasa.

Pada akhirnya, aku tak mau ambil pusing lagi memikirkan makna kehidupan selain hanya ingin menikmati hari-hariku selama berada di rumah Oma. Hari ini aku mulai dapat merasakan perasaan hati yang bahagia karena aku dapat mengunjungi dan melihat keadaan Oma yang masih terlihat sehat. Aku sendiripun tidak ingin berharap banyak selain dapat menemani dan merawat Oma di saat usia senjanya saat ini. Dan sekali lagi, di atas meja makan. Oma hanya bisa tersenyum bahagia saat menatap wajahku. Mungkin Oma sekarang sedang senang ketika di saat sisa-sisa usia senjanya saat ini masih diberi umur panjang oleh Sang Maha Kuasa untuk dapat melihat cucu kesayangannya saat ini sudah mulai tumbuh beranjak dewasa.[]

Nur Bintang, Purwokerto, Juni 2006.

*Kutipan bahasa Belanda, saya ambil dari pemikiran Karl Marx-Engels dalam buku “Di bawah Bendera Revolusi.” Terbitan III tahun 1964 karya Ir. Soekarno (Presiden Republik Indonesia ke-1).