Artikel

Senin, 31 Desember 2012

“THE TRADITION OF JEWS PHILOSOPHY”



Ditulis oleh: Nur Bintang*


Filsafat menjadi cabang sumber segala ilmu pengetahuan selama beberapa dekade lalu (sebelum Masehi). Filsafat dalam sejarah awal perkembangannya berasal dari tradisi kebudayaan masyarakat Yunani kuno di Eropa Barat. Penjabaran terhadap ilmu pengetahuan saat itu selalu digagas oleh banyak filsuf Yunani kuno dalam menjelaskan fenomena yang ada di sekitar baik alam maupun social (ketika itu belum ada pembagian pokok keilmuan baik ilmu alam maupun ilmu social). Tokoh-tokoh filsuf Yunani kuno yang sangat tersohor banyak memberi pengaruh dalam tradisi ilmu berpikir secara ilmiah diantaranya yang paling menonjol adalah Thales, Socrates, Plato, dan Aristoteles. Perkembangan ilmu modern sekarang ini, kebanyakan sangat terpengaruh dari tafsir ulang atas pemikiran Socrates, Plato, dan terutama Aristoteles yang karya buku dasar logika pemikirannya kini banyak menjadi kiblat bagi para filosof di berbagai universitas-universitas di seluruh dunia dan sangat memberi pengaruh terhadap perkembangan pemikiran para filsuf Yahudi di abad pertengahan di Andalusia (Spanyol, Portugal, Perancis bagian selatan) yang saat itu wilayah Eropa Barat masih berada di bawah ancaman bayang-bayang pengaruh kekuasaan kerajaan kesultanan Arab-Islam, (711 M-1492 M) terutama Dinasti Umayyah sebagai saingan politik Dinasti Abbasiyah (Baghdad) yang berencana akan melakukan invansi ke seluruh daratan Eropa. Andalusia (Spanyol) yang didirikan para orang-orang Moor (Arab-muslim) di benua Eropa kala itu menjadi sumber peradaban ilmu pengetahuan di seluruh benua Eropa setelah era kejayaan zaman Yunani. Saat zaman itu, banyak mahasiswa-mahasiswa dari kerajaan-kerajaan di Eropa yang kebanyakan dari mereka adalah para bangsawan kerajaan dan para pendeta Nasrani yang memutuskan untuk belajar menuntut ilmu di Andalusia (Spanyol) bahkan banyak mahasiswa Eropa sepulang dari Andalusia menjadi tokoh intelektual pendobrak Renaissance di Eropa Barat pada abad 15.

Pada masa kepemimpinan kesultanan Arab-Islam di Andalusia (Spanyol) maka pemikiran filsafat yang berasal dari filsuf berdarah keturunan Yahudi semakin tumbuh menjamur (Andalusia ketika itu menjadi tempat mencari suaka politik bagi kaum Yahudi yang teraniaya bahkan ditindas di wilayah kerajaan-kerajaan Eropa Barat pada masa itu). Kebanyakan  para imigran Yahudi yang datang ke Andalusia (Spanyol) kala itu bekerja menjadi pedagang, guru sekolah, dosen pengajar di universitas, dan dokter. Diantara para filsuf Yahudi yang sangat tersohor ketika itu adalah ‘Musa bin Maimun’ atau yang terkenal dengan panggilan ‘Moses Maimonides’ seorang dokter yang hidup pada tahun 1135-1204 M berhasil mensintesiskan dasar pemikiran filsafat Aristoteles dengan tradisi agama Judaisme yang dipeluk kebanyakan masyarakat Yahudi pada masa itu. Maimonides ketika itu juga belajar pemikiran filsafat dalam tradisi Arab-Islam seperti karya-karya Ibnu Sina yang jauh lebih maju dan lebih dulu ada karena para filsuf Arab-Islam-lah yang menyelamatkan warisan peradaban Eropa dengan menterjemahkan buku-buku filsafat teks Yunani kuno ke dalam bahasa Arab. Bangsa Eropa Barat ketika itu mengalami masa ‘abad kegelapan’ jauh dari segala ilmu pengetahuan, dipenuhi banyak kepercayaan mitos takhayul dan mistik karena pihak otoritas gereja Eropa Barat/Romawi Barat kala itu melarang pemikiran kritis dari buku-buku bacaan filsafat Yunani kuno yang dianggap dapat menyesatkan doktrin ajaran kemurnian agama. Pada masa itu, banyak pendeta Nasrani dari lingkungan gereja serta ilmuwan Barat di Eropa yang tekun mempelajari buku-buku filsafat Yunani kuno berdasarkan hasil terjemahan para filsuf Arab-Islam dan para filsuf Yahudi di Andalusia (Spanyol) dengan belajar langsung menjadi mahasiswa-mahasiswa di Universitas Qordoba atau mereka belajar langsung ke Romawi Timur (Bizantium) tepatnya di Konstantinopel sebelum jatuh menjadi wilayah kekuasaan Turki-Utsmani pada tahun 1453 karena jauh sebelum itu, Konstantinopel termasuk salah satu sumber peradaban ilmu pengetahuan di Eropa Selatan yang letak geografisnya berada di antara benua Eropa dan benua Asia (Asia Minor) selain Andalusia di Eropa Barat yang masih kokoh mempertahankan tradisi kebudayaan Yunani dan lokasinya yang tidak jauh (kurang lebih 331 km) dari sumber peradaban ilmu pengetahuan yang sangat maju di jazirah Arab bahkan dunia pada masa itu yaitu Baghdad.

Ibnu Khaldun: sosiolog dan ekonom muslim Tunisia abad 14, guru besar Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir yang pemikirannya sangat berpengaruh di Eropa pada abad pertengahan.

Perkembangan filsafat Yahudi ketika itu mengalami perkembangan pesat setelah keruntuhan kejayaan kesultanan terakhir Arab-Islam di Andalusia (Spanyol) yaitu Keamiran Granada pada tahun 1492. Perang saudara dan perebutan kekuasaan yang terjadi di antara pecahan kesultanan-kesultanan kecil Andalusia (Spanyol) ditambah lagi serangan persatuan bangsa Eropa yang dipimpin Raja Ferdinand dan Ratu Issabela (pemimpin kerajaan Katolik di Eropa Barat) beserta para ksatria salib yang berjuang untuk mengusir orang-orang Moor (Arab-Islam) dari tanah Eropa akhirnya berhasil menumbangkan kejayaan kekuasaan dinasti kerajaan Arab-Islam yang pernah berkuasa selama hampir 800 ratus tahun silam di Eropa (711 M-1492 M). Kejayaan Arab-Islam setelah keruntuhan Andalusia di Eropa tahun 1492 dan keruntuhan dinasti Abbasyiah akibat serbuan bangsa Mongol tahun 1258 di jazirah Arab akhirnya berpindah ke masa puncak kejayaan kerajaan Turki-Ustmani pada abad 15. Kebesaran bangsa Eropa sendiri mulai bangkit ketika Ratu Issabela setelah menaklukan Andalusia melakukan kunjungan beberapa kali ke salah satu kota di Andalusia yang sangat maju dalam hal peradaban ilmu pengetahuan yaitu kota Qordoba (Cordova atau Cordoba) dengan warisan berharga salah satu universitas yang didirikan oleh para ilmuwan Arab-Islam ketika itu ‘Universitas Qordoba’ yang memiliki referensi perpustakaan paling lengkap di seluruh Eropa tentang buku-buku teks filsafat pemikiran filsuf Yunani kuno, buku-buku filsafat pemikiran filsuf Arab-Islam, buku-buku filsafat pemikiran filsuf Yahudi, serta penemuan-penemuan teknologi seperti alkimia, aljabar, algoritma (ilmu hitung), al musiq (seni musik), teropong bintang, alat-alat kedokteran, seni sastra, seni arsitektur, irigasi, tata kota, senjata yang sudah banyak berhasil ditemukan oleh para ilmuwan Arab-Islam dan para ilmuwan Yahudi di Eropa kala itu. Sadar akan ketertinggalan Bangsa Eropa terhadap kemajuan peradaban Andalusia yang didirikan Arab-Islam kala itu maka Ratu Issabela menyuruh para cendekiawan Eropa untuk menyelamatkan warisan peradaban Eropa (Yunani kuno) yang sudah lama ditinggalkan dengan mendirikan ‘pusat studi bahasa Arab’ untuk belajar serta menyalin kembali  teks-teks pemikiran filsafat bangsa Yunani kuno, pemikiran filsafat Arab-Islam, serta pemikiran para filsuf Yahudi yang banyak ditulis dalam tulisan arab agar dipindah salinannya ke dalam bentuk tulisan latin Romawi. Ratu Issabela juga menginstruksikan agar setelah salinan latin buku-buku Qordoba-Andalusia selesai disalin untuk segera di distribusikan kepada sekolah-sekolah gereja, akademi, serta universitas-universitas yang tersebar di Eropa kala itu. Selama abad 15 dan abad 16 bahkan jauh sebelum itu, buku teks latin terjemahan dari karya-karya para ilmuwan Arab–Islam bahkan para ilmuwan Yahudi menjadi buku teks bacaan wajib bagi pelajar-pelajar di universitas-universitas Eropa diantaranya buku-buku karya filsuf Yahudi Maimonides dan filsuf Arab muslim Ibnu Sina dalam bidang kedokteran; buku-buku pengetahuan tentang notasi musiq (musik) dan psikologi karya filsuf Al Farabi; Buku-buku logika matematika terutama konsep Aljabar dan astronomi dari filsuf Musa Al Khawarizmi; buku-buku ilmu hukum dan filsafat karya filsuf Ibnu Rusyd; buku-buku ilmu sosiologi dan ilmu ekonomi karya filsuf Ibnu Khaldun; dan lain-lain).

Gambar para filsuf keturunan Yahudi:



Sejak saat itu Eropa mengalami abad pencerahan (Renaisannce) pada abad 15 dan abad 16 dengan majunya peradaban Eropa dalam segala aspek ilmu pengetahuan, seni dan kebudayaan terutama ketika pemikiran Pendeta Thomas Aquinas (1225-1274) kembali dihidupkan serta diajarkan kembali di Eropa dengan mensintesiskan filsafat logika Aristoteles dengan ajaran agama Gereja-Kristen. Pada masa ini banyak filsuf-filsuf modern Yahudi yang ikut berkontribusi memajukan peradaban Eropa dalam masa Renaissance (Kebangkitan rasionalisme Yunani di Eropa) diantaranya Rene Descartes, seorang filsuf Yahudi-Belanda yang ahli dalam filsafat dan logika matematika yang dianggap sebagai peletak dasar pengetahuan filsafat modern di Eropa. Perkembangan filsafat di Eropa saat itu sangat terlihat matematis dan kuantitatif (rasio sentris) karena kebanyakan peletak filsafat modern di Eropa adalah para filsuf Yahudi yang sangat menguasai logika matematika dengan menyelidiki di balik fenomena alam maupun fenomena social. Hal ini terlihat dari perkembangan filsafat alam hasil pemikiran fisikawan dari Inggris yaitu Isaac Newton yang banyak menggunakan logika matematika dan juga analisis fenomena social yang dilakukan pendeta Perancis sekaligus sosiolog yakni Auguste Comte yang melakukan analisa social melalui prediksi hitungan statistik matematika untuk meneliti perubahan sosial masyarakat di Perancis saat itu. Pada masa itu, segala hal sesuatu yang berkaitan dengan logika pasti berkaitan dengan matematika. Bisa dibilang matematika sebagai wujud warisan filsafat Yunani kuno masih menjadi bahasa pengantar filsafat pada zaman abad renaisannce di Eropa kala itu.

Perkembangan filsafat dari para pemikir Yahudi sebenarnya adalah penemuan yang dilakukan para sejarawan Barat pada abad ke 19 untuk mengkaji pemikiran para filsuf berdarah Yahudi dalam satu kerangka untuk dipelajari pemikiran rasionalisme mereka secara sistematis dan kritis di dalam memahami realitas karena jauh sebelum itu tidak ada cabang filsafat Yahudi. Filsafat Yahudi lebih banyak membahas mengenai identitas tradisi suku dan agama Yahudi dan kini para filsuf Yahudi sudah banyak belajar dari filsafat Yunani kuno dan filsafat Arab-Islam dan berpengaruh ikut  mengembangkan tradisi filsafat modern dan filsafat kontemporer (saat ini) di Eropa. Tradisi penelitian kualitatif sendiri tidak terlepas dari perkembangan filsafat social berdasarkan studi empirisme (pengalaman indera) bukan hanya sekedar rasio yang dicetuskan oleh filsuf Inggris pada abad 16, yakni Thomas Hobbes. Studi ilmiah melalui eksplorasi pemikiran rasio dan empiris ini kemudian disintesiskan oleh filsuf Inggris pada abad 16, yakni John Locke sehingga mempengaruhi lahirnya penelitian kualitatif yang berakar dari filsafat fenomenologi yang dicetuskan pada abad 19 oleh Edmund Husserl, seorang filsuf Yahudi-Jerman. Dasar filsafat fenomenologi ini akhirnya juga menjadi landasan bagi pemikiran Max Weber, sosiolog Yahudi-Jerman yang melakukan studi analisis sosial melalui penafsirannya terhadap tindakan sosial individu. Pemikiran dari filsuf Yahudi semakin berkibar setelah terjadi tragedi kemanusiaan yang dilakukan pemimpin Nazi-Jerman yakni Adolf Hitler melalui propaganda anti semit yang sangat kejam yaitu politik genosida (pemusnahan ras/etnis) atas etnis Yahudi di kamp konsentrasi Auschwitz yang terjadi di masa Perang Dunia II. Para ilmuwan social Yahudi menentang dan mengutuk kejadian pembantaian tersebut diantaranya mereka bergabung di dalam wadah Mahzab Frankfurt (teori kritis sosial) seperti Max Horkheimer, Theodor Adorno, Herbert Marcuse, etc yang terpaksa melarikan diri ke New York (Amerika Serikat) pada tahun 1933 untuk menghindari kejaran bala tentara Nazi-Jerman. Mahzab Frankfurt banyak memberikan kontribusi pemahaman ilmu social, humaniora, dan kritik kebudayaan mengenai dampak dari kekuasaan Nazi di Jerman serta menggugat dominasi logika matematika dalam ilmu social yang dimana mereka lebih mengedepankan proses kualitatif ketimbang kuantitatif karena dominasi eksak matematika dalam analisa social terkesan menjadikan manusia hanya sebagai bahan objek kajian kelinci percobaan bukan sebagai subyek yang harus dibebaskan (emansipatoris) dan diberdayakan layaknya sebagai manusia. Pemikiran besar filsafat dari Yahudi juga lahir dari Hannah Arendt, seorang filsuf politik wanita Yahudi-Jerman yang berpindah kewarganegaraan dari Jerman menjadi warga negara Amerika Serikat pada tahun 1950. Hannah Arendt sebagai seorang ilmuwan sosial berhasil menjadi profesor wanita pertama untuk kajian ilmu politik di Princeton University, Amerika Serikat. Pemikiran Hannah Arendt yang paling terkenal adalah mengenai teori "banalitas negara" perihal kejahatan yang dilakukan atas nama negara. Teori ini berhasil dicetuskan oleh Hannah Arendt setelah beliau menghadiri persidangan langsung para pelaku kejahatan perang yakni beberapa bekas perwira tentara Nazi-Jerman yang kalah perang dalam Perang Dunia II. Para bekas perwira tentara Nazi-Jerman tersebut dengan tanpa rasa bersalah membenarkan tindakan keji otoritas Nazi-Jerman atas penyiksaan terhadap para tawanan Yahudi yang berada pada kamp-kamp konsentrasi Nazi terutama di Auschwitz dengan dalih menaati perintah negara. Kontribusi ilmuwan sosial yahudi dalam kajian Postmodernisme juga hadir melalui pemikiran sosiolog Yahudi-Perancis beraliran Post-Strukturalis yakni Jacques Derrida yang berhasil memetodologikan pemikiran filsuf besar Jerman "Friedrich Nietzsche" dan berusaha mengkritik modernisme dan merobohkan spirit rasionalitas masyarakat Eropa. 


Filsuf besar wanita Yahudi: Hannah Arendt



Gambar kamp konsentrasi Nazi di Auschwitz



Kini banyak pemikiran filsuf Yahudi yang sangat mempengaruhi dunia bahkan di setiap universitas di seluruh dunia maka kini kita tidak lepas dari bacaan para filsuf pemikir Yahudi dari beberapa negara di Eropa. Ilmuwan Yahudi saat ini banyak meraih nobel sebagai ”penemu” di berbagai cabang disiplin ilmu pengetahuan di dunia (baik ilmu alam dan ilmu sosial) bahkan hampir 20% dosen-dosen di universitas-universitas top di Amerika Serikat saat ini adalah orang-orang Yahudi dari yang bergelar akademik master, doktor, hingga profesor. Berikut adalah segelintir dari banyaknya tokoh-tokoh terkenal Yahudi di dunia (baik itu politisi, artis, ataupun ilmuwan) yang berhasil dicatat dalam buku-buku populer sejarah di antaranya adalah: konsep bank sentral, kapitalisme (Adam Smith), sosialis-komunisme (Karl Marx), Revolusioner Rusia (Lenin-Stalin-Troutsky), Revolusioner Prancis (Voltaire), Nabi Ilmu Sosiologi (Emile Durkheim, Max Weber, George Simmel), tokoh Mahzab Frankfurt dalam tradisi filsafat kritis sosial dan budaya (Jurgen Habermas, Theodor Adorno, Herbert Marcuse, Max Horkheimer, Walter Benjamin), Bapak Antropologi (Claude Levis Strauss), Postmodernisme (Jacques Derrida), Filsafat Politik (Hannah Arendt), Mark Zuckerberg (CEO facebook), Nabi ilmu Biologi (Charles Darwin), Fisika, teori relativitas (Albert Einstein), Bapak psikologi modern, psikoanalisa (Sigmund Freud), Sutradara jenius Hollywood (Steven Spielberg), Kritikus sastra, semiologi (Roland Barthes), Teoritikus sastra (Noam Chomsky), dan lain-lain. Tragedi pembantaian Yahudi oleh tentara Nazi-Jerman di kamp konsentrasi Auschwitz mendapat tanggapan dari filsuf Yahudi yakni Emanuel Levinas yang sangat baik untuk kita pelajari dan senantiasa untuk diingat agar kita selalu memiliki rasa 'humanisme' dengan menerima keberagaman manusia dan menghilangkan batasan sekat perbedaan yang ada dengan saling menghormati dan menghargai antara satu dengan yang lainnya sebagai bentuk penerimaan keberadaan dari suatu eksistensi.[]

--------------------------------------
*Nur Bintang adalah alumnus pascasarjana sosiologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Sumber Referensi: 

-Anhari, A Maskur. 1992.  Filsafat Sejarah dan Perkembangannya dari Abad ke Abad, Jakarta: CV Karya.
-DR. Harun Hadiwijono. 1980. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
-Frank, Daniel H., dan Leaman, Oliver. 1997. History of Jewish Philosophy. London: Routledge.
-Jujun S. Suriasumantri. 2009. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
-Prof. Dr. K. Bertens. 1999. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
-Rupert Woodfin dan Oscar Zarate. (2008). "Marxisme untuk Pemula: Mengenal Marxisme". Yogyakarta: Resist Book.
-Sindhunata. (1983). “Dilema Usaha Manusia Rasional: Kritik Masyarakat Modern oleh Max Horkheimer dalam Rangka Sekolah Frankfurt”. Jakarta: PT. Gramedia.

-Modul Filsafat Ilmu: Sekolah Tinggi Theologi Injili Philadelphia.

Kamis, 27 Desember 2012

”THE SPIRIT CAPITALISM OF JAPAN: WORKER LOYALTY”




Oleh: Nur Bintang*




”Ketika saya (Mas Bintang) sedang jalan-jalan ke tempat penjualan buku dalam sebuah mall di sudut Kota Jakarta maka saya sempatkan untuk membaca buku-buku di sana sekaligus membeli beberapa buku namun ada sebuah buku yang tidak sengaja membuat saya tertarik perihal perkembangan kapitalisme di Jepang namun sayangnya, saya lupa mencatat nama pengarang dan judul bukunya karena terlarut asyik membaca hingga tanpa sadar melahap semua isi buku tersebut sampai habis walau saya tidak membeli buku tersebut.. hehehe... (buku tersebut kebetulan tidak ditutup segel plastik). Namun saya tidak terlalu khawatir karena masih mengingat dan mencatatnya point-point dari buku tersebut ke dalam sebuah lembaran kertas kosong yang saya bawa di dalam tas saya kemudian rencananya saya tulis ke dalam blog sebagai postingan saya kali ini. Saya rasa hal ini sangat menarik di dalam mengkaji aspek sosiologis perkembangan budaya perusahaan serta budaya masyarakat di Jepang saat ini.”

 Pendidikan menjadi peran kunci dalam perubahan sosial kemajuan industri di Jepang.


Sejak era Restorasi Meiji’ pada masa kepemimpinan Kaisar Meiji tahun 1866-1869 (Reformasi modernisasi pendidikan Jepang secara menyeluruh disesuaikan dengan kurikulum standart pendidikan di Eropa untuk mengejar ketertinggalan bangsa Jepang dari negara-negara Barat, dengan salah satu tokoh reformis pendidikan Jepang yang terkenal di era Meiji adalah ”Fukuzawa Yikichi” yang memberi usul kepada kaisar Jepang untuk mengirim ribuan putra bangsa terbaik Jepang untuk belajar sesuai keahlian disiplin ilmu bidangnya masing-masing ke belahan sudut benua Eropa terutama belajar ke negara Jerman untuk kemudian kembali lagi ke Jepang dalam misi membangun kembali negaranya agar sejajar dan terhormat kedudukannya dengan negara-negara di Eropa Barat dan Amerika Serikat). Selain itu, budaya mentalitas ’bushido’ yang diturunkan para ksatria Samurai pada masyarakat Jepang yang berupa (tanggung jawab, kerjasama, kerja keras, jujur, dan tahu malu) makin membentuk karakter kuat masyarakat Jepang menuju pada arah kemajuan. Intinya, faktor pendidikan menjadi peran utama dalam perubahan sosial kemajuan industri di Jepang.

Pada awalnya (Zaman Perang Dunia I dan Perang Dunia II) terutama pada masa kepemimpinan Kaisar Jepang ”Hirohito”, produk-produk Jepang pada zaman itu terkenal sebagai ”produk industri yang sedap dipandang mata namun cepat rusak dan lantas dibuang!” dan setelah kekelahan Jepang atas Amerika Serikat dan sekutunya dalam Perang Pasifik pada tahun 1945 maka semua kini berbalik bahwa produk Jepang adalah produk yang unggul dan berdaya saing tinggi serta tidak kalah dengan produk-produk industri dari negara-negara maju Barat terutama Amerika Serikat dan Eropa. Ini berkat semboyan dari Jepang ”inovasi tiada henti” untuk selalu melakukan inovasi-inovasi baru hasil produk industri-nya yang ilmunya itu sendiri mereka dapatkan dari negara-negara maju Barat (terutama belajar kepada negara Jerman) yang kini menjadi saingan berat bagi keberlangsungan persaingan industri Jepang itu sendiri.

Sistem kapitalisme Jepang mengenai hubungan antara para kaum pemilik modal dan buruh memang sangat unik yakni berdasarkan hubungan ”budaya kesetiaan” yg menjadi adat tradisi Jepang sejak dulu. Jika saat zaman Perang Dunia dulu kesetiaan rakyat Jepang harus ditujukan dan tunduk kepada kaisar dan negaranya namun kini berbalik setelah kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II, maka kesetiaan rakyat Jepang adalah kepada perusahaan-perusahaan besar Jepang dimana mereka (para buruh/karyawan) banyak menggantungkan nafkah hidup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.


Suasana para pekerja di Jepang ketika berangkat ke kantor


Kaum buruh di Jepang tidak mengenal sistem kontrak kerja (outsourching) seperti lazimnya yang banyak dilakukan oleh pabrik-pabrik industri di Eropa, Amerika, bahkan di Asia Tenggara termasuk Indonesia. Buruh yang bekerja di perusahaan Jepang itu berlaku seumur hidup apabila kandidat pelamar tersebut lolos dalam tes seleksi karyawan. Perusahaan-perusahaan Jepang selalu melakukan pemberian ’tunjangan dana pensiun’ kepada semua para mantan pekerja/karyawan yang dulu setia mengabdi bekerja memajukan perusahaan. Hubungan relationship antara Majikan dan buruh di Jepang adalah ”keluarga” yang sama-sama saling bahu membahu memajukan perusahaan dalam memenangkan kompetisi persaingan dunia usaha yang sangat ketat di Jepang bahkan bersaing juga dengan perusahaan-perusahaan negara industri maju lain seperti Amerika Serikat, Korea Selatan, China, Taiwan, dan Eropa.

Para pekerja di Jepang ketika aktivitas kerja dalam kantor


Budaya perusahaan yang menarik di perusahaan-perusahaan Jepang adalah pakaian kerja antara majikan dan buruh adalah ’sama’ dan tidak dibedakan, letak kantor antara kepala perusahaan, manajer, dan staff office juga sama dalam satu tempat dan tidak dipisahkan. Hal ini dilakukan untuk melakukan efisiensi waktu dan kemudahan pengawasan koordinasi antara atasan dan bawahan serta juga untuk meningkatkan rasa kekeluargaan sebagai rekan satu team di dalam suasana kantor. Tunjangan bonus diberikan kepada perusahaan kepada karyawan yang berprestasi dalam bentuk uang, paket liburan, jam tangan, ataupun medali penghargaan dari perusahaan. Jangan heran jika demonstrasi buruh di Jepang sangat jarang ditemui hal ini disebabkan budaya loyalitas (kesetiaan) buruh Jepang yang tinggi kepada perusahaan dimana mereka selama ini bekerja menggantungkan hidup.[]
*Nur Bintang adalah alumnus pascasarjana sosiologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

"BAYANG-BAYANG TEOLOGI PEMBEBASAN"







 Kata Pengantar oleh: Nur Bintang*


 "Saya harap kedewasaan serta sikap toleransi anda terhadap keberagaman kehidupan di sekitar kita. Saya juga berharap kehati-hatian pendapat anda di dalam membaca artikel ini yang saya posting di blog saya dalam menjelaskan pengetahuan perkembangan sosiologis masyarakat di Amerika Latin mengingat tema mengenai ’teologi pembebasan’ masih sangat permisif untuk dibicarakan secara terbuka di Indonesia namun artikel dulu yang pernah dimuat ’Majalah Gatra’ ini terlihat cukup lengkap secara garis besarnya dalam mengkaji sejarah perkembangan masyarakat di kawasan Amerika Latin secara menyeluruh terutama dalam aspek bidang sosiologi, ekonomi, dan politik. Semoga bermanfaat!" 


”Saya mengambil sebuah artikel menarik dari sebuah ’Majalah Gatra’ yang terbit pada bulan Agustus tahun 1996 dengan tema besar mengenai sejarah perkembangan sosial ajaran ’teologi pembebasan’ di kawasan Amerika Latin pada dekade tahun 1960-1970-an yang kemudian menyebar hebat ke seluruh penjuru dunia terutama di negara-negara dunia ketiga yang mayoritas masyarakatnya beragama Katolik seperti di negara Philipina dan negara Timor Leste (konon tergulingnya diktaktor Philipina yaitu Presiden Ferdinand Marcos melalui aksi ’people power’ pada tahun 1986 juga mendapat pengaruh dari paham ’teologi pembebasan’ ini). Pembahasan aspek sosiologis masyarakat di Amerika Latin dewasa ini memang sangat tidak bisa dilepaskan dari perkembangan ’teologi pembebasan’ sama dengan halnya pembahasan aspek sosiologis perkembangan masyarakat di Eropa yang tidak terlepas dari paham ’Calvinisme-etika Protestan’; pembahasan aspek sosiologis perkembangan masyarakat di Jepang yang berjalan seiring dengan pemahaman semangat ’Bushido’; serta pembahasan aspek sosiologis masyarakat di daratan Tiongkok (China) yang tidak lepas dari pemahaman nilai-nilai dari ajaran filsafat ’Konfusianisme’. Di dalam ajaran ’teologi pembebasan’ yang berkembang di kawasan Amerika Latin ini sangat terlihat bagaimana peran agamawan dalam membimbing pencerahan umatnya untuk terlibat dalam kegiatan aksi-aksi sosial membela orang-orang tertindas dan lemah (marjinal) yang dimana peran agamawan sangat diperlukan ketika terjun langsung ke masyarakat untuk terlibat proses sosial terutama dalam pergerakan sosial (pembebasan) yang memperjuangkan pada aspek kedaulatan rakyat kecil yang tertindas. Analisis sosial yang biasa digunakan dalam memahami pergerakan-pergerakan sosial di kawasan Amerika Latin ini biasanya menggunakan analisa dari teori-teori Marxian.

Dulu di Indonesia, pada tahun 1980-an pembahasan mengenai ’teologi pembebasan’ juga sering dikaji para ilmuwan sosial di dalam wadah LP3ES namun setelah awal tahun 1990-an pembahasan mengenai ’teologi pembebasan’ ini sudah mulai surut dikarenakan kondisi situasi politik di Indonesia pada rezim otoriter pemerintahan Presiden Soeharto di masa itu. Dan tulisan yang pernah saya baca dari salah satu pemikir tokoh teolog besar dunia dalam ’teologi pembebasan’ dari Amerika Latin adalah Pendeta ’Dom Helder Camara’ (1909-1999) seorang uskup di Brasil yang terkenal dengan slogannya kontroversial-nya,When I give bread to the poor, they call me a saint; but when I ask why people are poor, they call me a communist.” Ungkapan ini dikatakan pendeta ‘Dom Helder Camara’ sebagai bentuk keresahan moral sebagai pemimpin umat terhadap kondisi kemiskinan dan ketidakadilan secara struktural yang terjadi pada umat di negaranya sehingga beliau sebagai rohaniawan sempat harus menanggung resiko sangat besar dengan sering berurusan dengan pihak keamanan akibat keberanian sikap kritisnya di dalam membela hak-hak masyarakat marjinal yang ditindas oleh otoritas rezim militer yang berkuasa di Brasil ketika itu maka tak pelak, sebutan ‘uskup merah’ sering ditujukan kepada dirinya. Pendeta ‘Dom Helder Camara’ sendiri berhasil mengeluarkan ide original di dalam karya bukunya yang berjudul “Spiral of Violence” yang sudah menyebar ke seluruh penjuru dunia dan diterjemahkan beragam bahasa itu berusaha mengkritik terjadinya ‘Perang Vietnam’ pada tahun 1971. Menurut beliau, ‘teori spiral kekerasan’ terjadi akibat dari ketidakadilan sosial yang dirasakan oleh rakyat kecil kemudian melahirkan pemberontakan dan pemberontakan pada akhirnya nanti juga akan dilawan oleh kekuatan militer penguasa negara bersangkutan yang dimana spiral kekerasan ini berjalan terus menerus tanpa henti sampai pada batas akhir yang tidak bisa ditentukan hingga sampai ada salah satu pihak yang bertikai menyatakan keluar atau berhenti dari malapetaka perang itu sendiri. 

Demikianlah sedikit kata pengantar saya mengenai ‘teologi pembebasan’. Saya berharap kedewasaan dan sikap toleransi anda di dalam membaca artikel ini yang saya ambil dari ‘Majalah Gatra’ ini yang khusus mengkaji perkembangan sosiologis masyarakat di kawasan Amerika Latin dewasa ini".  Selamat membaca!

(Gatra Nomor 42 Tahun II, 31 Agustus 1996) :


Pastor Gustavo Gutierrez


(Amerika Latin tempoe doeloe). Camilo Torres, seorang pastor, sosiolog, dan gerilyawan, dibunuh pasukan Kolombia di pegunungan berhutan di Bucaramanga pada 15 Februari 1966. Di Desa Ribeiro Bonito, Brasilia Selatan, pada 11 Oktober 1976. Pastor Desa Pater John Bosco Burnier SJ (Serikat Jesus) ditembak mati oleh seorang kopral karena mencoba menyelamatkan dua wanita yang dianiaya sang kopral dan kawan-kawannya. Pater Rutilio Grande SJ dibantai The White Warrior Union--tentara yang disewa tuan tanah di sebuah desa di San Salvador, 12 Maret 1977.

Kisah di atas dikutip dari buku Teologi Pembebasan susunan Fr. Wahono Nitiprawiro. Masih banyak lagi para pengabar Injil di benua yang 90% penduduknya menganut Katolik itu menghadapi risiko kematian, karena berpihak atau bahkan bergabung dengan rakyat Amerika Latin yang bergolak untuk membebaskan diri dari kemiskinan, penindasan, dan keterbelakangan.

Mereka, para pengabar Injil yang tewas itu, adalah para penganut Teologi Pembebasan, sebuah paham baru tentang peranan gereja dalam lingkungan sosial. Paham ini mulai mengagetkan kalangan gereja dan intelektual di Eropa dan Amerika setelah Gustavo Gutierrez --pastor dari Peru-- menerbitkan buku Teologia de la Liberacion pada 1971. Paham ini menjadi kontroversial karena memiliki metode pendekatan yang tak biasa dilakukan kalangan gereja ketika itu, yakni pendekatan marxis yang radikal.

Secara ringkas, apa yang dimaksud dengan paham itu sebenarnya adalah suatu usaha kontekstualisasi ajaran-ajaran dan nilai keagamaan pada masalah kongkret di sekitarnya. Dalam kasus kelahiran Teologi Pembebasan, masalah kongkret yang dihadapi adalah situasi ekonomi dan politik yang dinilai menyengsarakan rakyat.

Sejak depresi dunia pada 1930-an, perekonomian negara-negara di Amerika Latin begitu bergantung pada ekspor barang mentah ke Eropa dan Inggris. Sebaliknya, mereka mengimpor komoditas pabrik. Sesudah Perang Dunia II, harga barang-barang mentah jatuh di pasaran dunia. Akibatnya perekonomian negara-negara itu kacau. Mereka juga tak mampu mengimpor barang-barang pabrik. Untuk memenuhi kebutuhan barang pabrik di dalam negeri, negara-negara itu mencanangkan modernisasi dengan memacu industrialisasi atas bantuan negara maju. Mereka menerapkan sistem kapitalisme sebagai model modernisasi.

Namun karena mementingkan pertumbuhan ekonomi, industrialisasi telah menciptakan kesenjangan sosial yang begitu tajam. Kaum proletar --kelas buruh-- tumbuh dengan cepat. Inflasi melambung, biaya hidup membubung. Ketidakpuasan meluas. Situasi politik menjadi tegang dan labil. Kudeta terjadi di mana-mana dan membuahkan pemerintahan diktator. Pada 1945, misalnya, kelompok militer di Brasilia menggulingkan pemerintahan sipil. Pada tahun yang sama, Kolonel Juan Peron menjadi penguasa tunggal Argentina, setelah mengudeta penguasa sebelumnya. Tahun 1948, Manuel Odria menjadi diktator di Peru. Dan penindasan terhadap rakyat terjadi hampir di seluruh belahan Amerika Latin.

Kondisi tersebut mengundang gerakan di berbagai bidang. Dalam literatur sosiologi dan ekonomi politik, penerapan sistem kapitalisme dalam pembangunan di Amerika Latin telah melahirkan pemikir-pemikir baru di bidang sosiologi dan ekonomi politik. Misalnya Andre Gunder Frank--orang Amerika Serikat yang pernah tinggal di Amerika Latin--dan Fernando H. Cardoso. Dengan menggunakan pendekatan neomarxis, mereka melahirkan teori dependensi (ketergantungan) dalam memandang nasib negara-negara di Dunia Ketiga. Selama ini, kata mereka, modernisasi di negara-negara Amerika Latin dan negara Dunia Ketiga lainnya justru melahirkan para penguasa mapan, pemilik modal besar, tuan tanah, dan kaum elite yang mengeksploitasi rakyat.

Bantuan negara maju dalam proses modernisasi --yang justru membuat Dunia Ketiga begitu bergantung pada negara maju-- juga memberi andil besar dalam memiskinkan rakyat Dunia Ketiga. Mereka para penganut teori dependensi berpendapat, untuk mengakhiri kekuasaan para elite yang mapan, juga dominasi negara maju, dibutuhkan revolusi sosialis. Dalam kaitannya dengan pembangunan ekonomi, mereka beranggapan, diperlukan penjungkirbalikan struktur ekonomi, politik, dan sosial dengan meminjam pendekatan marxis.

Di bidang keagamaan, terjadi pergeseran pandangan teologis di kalangan Gereja Katolik di seantero Amerika Latin. Disebutkan dalam buku Teologi Pembebasan, selama berabad-abad gereja di Amerika Latin menganut pemahaman teologi Barat (Eropa) yang bersifat transendental dan rasional, yang berkutat dalam upaya memahami Tuhan dan iman secara rasional. Para uskup Amerika Latin menilai, cara berteologi Barat telah menimbulkan kemandekan berpikir, bertindak, dan menjauhkan gereja dari masaah-masalah kongkret. Gereja-gereja penganut teologi Barat, tuding mereka, hanya sibuk mengkhotbahkan ajaran Yesus sejauh menyangkut hidup pribadi, mengimbau orang agar tetap bertahan dan sabar menghadapi penderitaan, menghibur kaum miskin dan tertindas dengan iming-iming surga setelah kematian.

Menurut mereka, gereja harus secara nyata melibatkan diri dan berpihak pada rakyat yang tak berdaya. Agama dan teologi, lanjut mereka, tak boleh meninabobokan umat beriman, melainkan harus memberikan dorongan kepada rakyat untuk melakukan perubahan. Namun keterlibatan rakyat hanya mungkin dibangkitkan bila mereka memiliki harapan untuk mengubah sistem yang menindas mereka. Rakyat harus disadarkan bahwa penderitaan, kemiskinan, dan keterbelakangan bukan nasib turunan, melainkan buah dari struktur sosial-ekonomi-politik yang berlaku. Kesadaran baru, kata para uskup, hanya dapat timbul bila rakyat bertambah pandai. Untuk itu gereja memelopori upaya pembebasan tingkat intelektual dengan mendirikan Universitas Javeriana di Bogota, Kolombia (1937), Universitas Katolik di Lima (1942), di Rio de Janeiro dan Sao Paulo (1947), Porto Alegre (1950), Campinas dan Quito (1956), Buenos Aires dan Cordoba (1960), dan lain-lain.

Bersamaan dan berkaitan dengan pendirian universitas Katolik, mulai muncul aksi-aksi Katolik di Kuba, Argentina, Uruguay, Kosta Rika, Peru, dan Bolivia. Organisasi pemuda aksi Katolik tumbuh dengan cepat. Di Argentina, misalnya, pada 1934, jumlah anggotanya baru 600 orang. Tapi tahun 1953, sudah mencapai 8000 orang. Di Brasil, pada 1953 baru 15.000. Tahun 1961 meningkat ke angka 120.000 orang. Organisasi buruh juga makin populer. Pada 1954, baru ada empat negara yang mempunyai Serikat Buruh Nasional. Tapi pada 1960-an, hampir semua negara Amerika Latin mempunyai Serikat Buruh Nasional, kecuali Kosta Rika, Guatemala, dan Kuba. Total ada 23 Serikat Buruh Nasional dengan anggota militan sekitar satu juta orang. Menurut buku Teologi Pembebasan, itu ada hubungannya dengan upaya gereja untuk menciptakan kaum awam yang militan.

Untuk melembagakan kesadaran baru di bidang teologi itu, para uskup Amerika Latin membentuk Consejo Episcopal Latino-Americano (Celam)--sidang para uskup Amerika latin--Di Rio de Janeiro, Brasil, pada 1955. Peristiwa ini sekaligus menjadi tonggak diterapkannya "sistem kolegialitas antar uskup" dan ditinggalkannya sistem patronato yang telah diterapkan sejak abad ke-13. Dalam sistem patronato, gereja berada di bawah kekuasaan penguasa. Para uskup cenderung berkompromi bahkan berpihak kepada para penguasa politik, walaupun penguasa itu menyengsarakan rakyat. Sedangkan dalam sistem kolegialitas, gereja tak lagi berada di bawah payung penguasa politik. Mereka dapat bergerak bebas untuk menyentuh masalah ekonomi, politik, dan budaya. Hal ini mengantar mereka untuk melancarkan gerakan pembebasan bagi rakyat tertindas, walau dengan risiko dimusuhi penguasa. 

Gerakan pembebasan itu makin gencar setelah Konsili Vatikan II --sidang resmi para uskup sedunia-- pada 1962 memerintahkan agar Gereja Katolik memikirkan masalah-masalah aktual, umpamanya, turut memajukan kebudayaan, ekonomi, dan ikut mewujudkan perdamaian dunia.

Apa yang dicanangkan Konsili Vatikan II tersebut menjadi salah satu alasan para uskup Amerika Latin untuk menggelar Sidang Celam II di Medellin, Kolombia, pada 1968. Ringkasnya, sidang itu menyimpulkan bahwa penindasan di Amerika Latin telah menjelma menjadi kekerasan yang melembaga (institutionalized violence) dan terjadi di segala bidang. Maka gereja harus berinisiatif dan bertanggung jawab untuk mengembangkan kebudayaan, berperan serta dalam kehidupan sosial politik.

Tiga tahun kemudian, 1971, terbit Teologia de la Liberacion --Teologi Pembebasan-- karya Gustavo Gutierrez, pastor dari Peru itu. Buku ini menguraikan secara jelas gagasan-gagasan dan tindakan-tindakan yang ditempuh para uskup Amerika Latin.

Sidang Celam II dan buku Gutierrez mendorong gereja untuk makin terlibat dalam perlawanan rakyat. Sebaliknya, rasa permusuhan penguasa dan orang-orang kaya terhadap gereja kian tajam. Seiring dengan meluasnya paham Teologi Pembebasan, gencar pula suara yang menuduh para pengikut teologi ini menerapkan ajaran marxis yang merekomendasikan perjuangan kelas dan perubahan radikal melalui revolusi kekerasan. Penggunaan analisis marxis "perjuangan kelas" dan "perubahan struktur" oleh para teolog Teologi Pembebasan, termasuk Gutierrez, dianggap para kritikus sebagai "dosa terhadap Kristianitas".

Namun para tokoh Teologi Pembebasan membantah tuduhan tersebut. Camilo Torres, pastor dari Kolombia yang ikut bergerilya dan tewas, misalnya, mengaku sebenarnya tak ingin bergabung dengan para gerilyawan. "Berkali-kali saya dituduh menyuarakan revolusi dengan kekerasan. Manakala rakyat mempunyai keberanian untuk mengorganisasi diri, kelas penguasa cepat-cepat menuduh kita menghimpun revolusi dengan kekerasan. Kita tak ingin kekerasan, kita tak hendak menggunakan paksaan. Yang kita cita-citakan adalah bahwa suatu ketika kekuasaan akan berada di tangan rakyat," katanya pada 1965.

Bahwa ia akhirnya menggunakan kekerasan, bergabung dengan kelompok gerilyawan komunis, memanggul senjata, menurutnya karena tak ada pilihan lain. Pemerintah dan aparat militer tak dapat diajak berbicara. Penguasa hanya mempunyai satu jalan: senjata. Tapi Camilo menolak bila dituduh komunis. "Saya tak pernah akan bergabung ke dalam aparatnya, dan saya tak hendak menjadi komunis, baik sebagai warga Kolombia, sebagai sosiolog, sebagai orang Kristen, maupun sebagai pastor. Namun saya bersedia berjuang bersama-sama mereka untuk meraih tujuan serupa, yakni melawan dan menentang oligarki dan dominasi Amerika Serikat agar kekuasaan kembali ke tangan rakyat," katanya pada September 1965.

Pengikut Teologi Pembebasan memang tak menyangkal bahwa mereka menggunakan analisis marxis, tapi menolak bila dituduh "berdosa" terhadap Kristianitas. Gutierrez, yang mendalami tulisan-tulisan Marx sejak mahasiswa di Universitas San Marcos, tetap bersikap kritis terhadap kekurangan dan bahaya marxis.

Bagi Gutierrez, peranan marxisme hanyalah alat analisis yang dapat merekam dan mendeskripsikan keadaan tak adil dan praktek kekerasan yang melembaga di Amerika Latin. Menurut Gutierrez, "perjuangan kelas" yang dikumandangkan oleh Marx bukan hal baru bagi penganut Kristiani. Santo Lucas yang hidup sebelum Marx, kata Gutierrez, telah menyuarakan perjuangan kelas. Transformasi struktur, perubahan struktur kapitalisme yang menciptakan ketidakadilan dan kemiskinan rakyat banyak, bukanlah monopoli Marx. Injil, Gutierrez melanjutkan, sudah lebih dulu menganjurkannya. Untuk memperkuat argumentasinya, Gutierrez mengutip ayat-ayat dalam Injil. Misalnya dari Injil Lukas bab 1 ayat 51-53 yang antara lain berbunyi: "Ia menurunkan orang-orang yang berkuasa dari tahtanya dan meninggikan orang-orang yang rendah. Ia melimpahkan segala yang baik kepada orang-orang lapar, dan menyuruh orang kaya pergi dengan tangan hampa." 

Tak lupa ia menafsirkan makna kelahiran Yesus sebagai Sang Pembebas. Yesus, menurut Gutierrez, lahir untuk mewartakan kabar gembira kepada orang miskin, dan mewartakan pembebasan bagi mereka yang terbelenggu, yang telah dengan berani menghadapi serangan para penguasa Romawi yang menindas orang Yahudi. Berdasarkan argumentasi tersebut, ia menganggap tak ada salahnya meminjam pendekatan marxis untuk melaksanakan tugas sosial gereja. "Pentingnya konsepsi bukan ditentukan oleh siapa yang mengatakannya, melainkan oleh ketepatannya dalam mendeskripsikan dunia tempat kita hidup. Entah yang merumuskannya itu manusia Karl Marx atau manusia yang lain," katanya.

Namun, Gutierrez tetap bersikap kritis terhadap marxis dan menempatkan Kristianitas sebagai pedoman hidup yang lebih unggul ketimbang marxis. Keunggulan Kristianitas, katanya, terletak pada kemampuannya melihat kemenangan setelah kematian. Sementara tentang maut, marxisme tak punya jawaban.

Pembenaran Gutierrez tersebut tak mengurangi kecurigaan berbagai pihak terhadap gerakan Teologi Pembebasan. Tahun 1984, Vatikan mengeluarkan instruksi yang melarang para imam Katolik terlibat dalam kegiatan politik praktis dan menggunakan pendekatan marxis. Bahkan sebelum itu, dari kalangan para uskup Amerika Latin yang tergabung dalam Celam sendiri sudah terdengar kritik terhadap penerapan marxisme. Dan pada Sidang Celam III di Puebla de los Angeles, Meksiko, pada 1979, mereka mengecam marxisme seraya mengutuk kapitalisme. Menurut mereka, kedua sistem itu membuat manusia menjadi budak ambisi kekayaan, kekuasaan, pengagungan kepentingan umum negara, seks, dan kenikmatan duniawi yang menggerogoti hubungan manusia dengan Tuhan. Namun, mereka tetap mengimbau untuk menggalakkan gerakan "umat basis" yang sudah dilakukan sebelumnya.

Toh, semangat Teologi Pembebasan terlanjur menjalar ke berbagai negara, terutama negara Dunia Ketiga yang mayoritas penduduknya beragama Katolik seperti Filipina. Ed de la Torre, penulis buku Touching Ground, Taking Root: Theological and Political Reflections on The Phillipine Struggle, menyimpulkan bahwa pengaruh Teologi Pembebasan itu terlihat pada gerakan massa yang menggulingkan Presiden Ferdinand Marcos pada 1986. Umat Kristiani, katanya, terlibat aktif dalam gerakan rakyat untuk melakukan perubahan fundamental di bidang ekonomi dan politik.

Di Indonesia, menurut Budhy Munawar Rachman, Manajer Program Studi Islam Yayasan Paramadina, bayang-bayang teologi itu tak begitu jelas. Yang agak kentara, katanya, justru pengaruh teori dependensi --pemikiran di bidang ekonomi-- yang pernah dipakai sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) pada 1970-an.

..."Gereja Katolik Indonesia tak mengimpor Teologi Pembebasan dari Amerika Latin itu," ujar Romo Purbo.

Begitu pula menurut Romo Ismartono. "Tapi bukan berarti gereja menutup mata terhadap ketidakadilan yang terjadi di masyarakat," kata Romo Ismartono. Menurutnya, garis keterlibatan gereja di Indonesia dalam solidaritas sosial berpegang pada Instruksi Mengenai Kebebasan dan Pembebasan Kristiani yang dikeluarkan Tahta Tinggi Vatikan yang antikekerasan. "Butir-butir instruksi itu berbeda dengan yang ada pada Teologi Pembebasan di Amerika Latin. Gereja lebih memilih jalan reformasi ketimbang revolusi, yang sering memakan korban dan akhirnya melahirkan rezim totaliter," lanjut Romo Ismartono kepada J. Eko Setyo Utomo dari Gatra.
*Nur Bintang adalah alumnus pascasarjana sosiologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Sumber Referensi:

-Diambil dari Majalah Gatra Nomor 42 Tahun II, 31 Agustus 1996.