Artikel

Sabtu, 11 Agustus 2012

“SOCIOLOGY OF CRIME: CORPORATE CRIME”



Ditulis oleh: Nur Bintang*



Bias Kejahatan Klasik
S
aya selama ini berusaha mengamati dan memahami perihal dunia kejahatan di sekitar lingkungan social sekitar. Hal ini saya sadari sebab selama saya studi dulu pembahasan mengenai mata kuliah “sosiologi perilaku menyimpang” dinilai masih kurang untuk saya dapatkan walaupun dulu sempat mengambil mata kuliah tersebut. Saya kemudian berangsur-angsur tertarik untuk memahami kajian disiplin ilmu kriminologi yang teori-teori kajian mereka banyak meminjam dari pemikiran para tokoh sosiologi yang concern terhadap studi sosiologi perilaku menyimpang. Pada awalnya saya hanya menyukai konsep “abnormalitas” yang dikemukakan oleh sosiolog Perancis yakni Michel Foucault yang membahas mengenai studi kegilaan atau masyarakat yang berbeda dengan yang lain termasuk kaitannya dalam hal ini adalah mengenai hukuman perilaku kejahatan dan biopower di dalam rumah sakit dan penjara. Pada awal masa era Victorian di daratan Eropa (abad 16 - abad 17) dulu yang masih dikenal sebagai masa transisi dari “zaman kegelapan” menuju “zaman pencerahan” (renaissance) ketika para ahli hukum di Eropa saat itu masih mengalami kebingungan dalam memutuskan konteks yang jelas mengenai arti “kejahatan” itu sebagai “pathologi social”. Pada masa zaman kegelapan saat itu, warga Eropa yang dianggap tidak produktif (jobless: pengangguran) ditangkap beramai-ramai oleh pihak keamanan dan dimasukkan ke dalam penjara karena menganggap bahwa para pengangguran adalah kelompok orang-orang yang rentan melakukan aksi kejahatan karena matinya fungsi peran social mereka dalam menjalankan kehidupan social bermasyarakat dan bernegara, tidak hanya pengangguran akan tetapi para orang yang mengalami kondisi gangguan jiwa (kegilaan), cacat mental (keterbelakangan), para lawan politik raja yang dianggap membelot, para gelandangan (homeless), para orang yang menderita penyakit menular yang belum ditemukan obatnya pada saat itu juga dinyatakan bersalah oleh pihak kerajaan dan wajib untuk dikarantina dan ditertibkan dengan menjebloskan mereka semua masuk ke dalam penjara, dan para warga yang dianggap melanggar dogma agama (bid’ah) saat itu juga dimasukkan ke dalam penjara oleh pihak pemerintah kerajaan berkuasa di Eropa kala itu yang berkongsi dengan pihak otoritas gereja. Kejahatan pada zaman itu terlihat sangat bias dan tidak jelas batasan social kejahatan yang sesuai dengan ketentuan aturan hukum yang disepakati bersama oleh masyarakat di daratan Eropa pada zaman itu. Sosiolog Michel Foucault kemudian menganggap bahwa kekuasaan ilmu pengetahuan telah membentuk batasan sosial yaitu cara psikiatri mendefinisikan penyakit jiwa membuat pemisahan antara orang gila dengan orang normal, para dokter yang mendefinisikan tentang penyakit saat itu juga telah membuat pemisahan antara orang yang sehat dengan orang yang sakit, berkembangnya ilmu kriminologi juga telah membuat batas pemisahan antara orang yang berkelakuan baik dengan orang yang berkelakuan menyimpang yang disebut “penjahat/kriminil”. Gagasan diciptakan penjara semakin membuat kekuasaan polisi bertambah semakin besar (powerfull). Perkembangan pemahaman studi terhadap kejahatan kemudian berkembang modern pada arah kemajuan yang dimana kini batasan konsep mengenai kejahatan individu sudah tertulis jelas (tidak bias) ke dalam bentuk undang-undang yang telah disepakati bersama oleh warga masyarakat dengan pemerintah yang berkuasa pada saat ini namun kejahatan mengenai kelompok/korporasi/penyalahgunaan kekuasaan dengan maksud kejahatan (abuse power) nampaknya masih mengalami bias dalam proses hukum pidana.



Bias Kejahatan Modern
K
etertarikan saya mengenai perihal “abnormalitas” maka semakin membuat saya tertarik memahami interaksi social masyarakat pada dunia hitam. Selama saya melakukan karya tulis ilmiah dari skripsi hingga thesis sangat concern dan peduli perihal perkembangan dunia prostitusi yang bagi kebanyakan orang termasuk menjadi bagian dari “abnormalitas” itu sendiri karena mereka menjalankan kehidupan yang sangat different (berbeda) bagi orang “normal” kebanyakan. Pemahaman dunia kriminalitas tidak terbatas pada dunia prostitusi saja melainkan dunia organisasi kejahatan (mafia/triad/gangster) secara keseluruhan karena merekalah yang saat ini mengendalikan dunia kriminalitas secara cantik di beberapa belahan dunia (sebenarnya masih ada konsep kajian mengenai anatomi dalam biology criminal/kedokteran forensik dan psikologi criminal yang didasarkan ciri-ciri fisik khas individu sebagai pelaku kejahatan serta motif tindakan perilaku kejahatan tersebut dalam konteks kondisi kejiwaan pelakunya tetapi dalam pembahasan kali ini saya lebih berorientasi kepada factor sosiologis secara kelompok di dalam organisatoris yang memiliki kedok perusahaan dan lobi-lobi mereka terhadap pihak-pihak oknum yang seharusnya memiliki otoritas/kekuasaan dalam melakukan pendisiplinan hukum). Untuk mencari gambaran tentang perihal dunia kriminalitas tersebut maka saya tak segan-segan untuk rajin menonton tayangan TV kabel di rumah yang mengupas investigasi dunia kriminalitas seperti beberapa channel stasiun TV Amerika Serikat yang menayangkan serial film TV “Law and Order”, “CSI: Criminal Scene Investigation”, dan “Criminal Mind” walaupun kisah mereka fiktif tetapi sangat menjelaskan mengenai pergulatan dunia kriminalitas yang berhubungan dengan artis, orang terkenal, pengusaha, atau politisi yang sesungguhnya karena kisah kriminalitas tersebut juga terinspirasi dari beberapa kasus yang terjadi di New York City, Amerika Serikat yang menjadi tempat setting dalam cerita film tersebut. Pembahasan mengenai organisasi criminal sampai saat ini, dinilai masih sedikit karena besarnya resiko nyawa yang harus ditanggung seorang ilmuwan untuk mengupas mekanisme kerja dalam organisasi criminal tersebut namun saya membaca dari sebuah buku berbahasa Inggris terbitan tahun 2007 yang berjudul “The Organized Crime Community: Essays in Honor of Alan Block” yang editornya adalah guru besar ilmu kriminologi dari Universitas Utrecht, Belanda yaitu Prof. Frank Bovenkerk dan guru besar ilmu kriminologi dari Universitas Cardiff, Inggris yaitu Prof. Michael Levi yang di dalam pengantarnya mereka berpendapat bahwa terdapat aliansi diantara pasar ekonomi, kejahatan politik, dan pengawasan terhadap kejahatan. Selain itu organisasi dalam kejahatan juga ikut membentuk streotipikal dari etnis tertentu juga terkadang mendapat image sebagai bagian dari organisasi criminal seperti Jews American, Italian American dan Irish American. Terlepas dari pemahaman buku yang saya sebutkan di atas maka saya juga memiliki asumsi sendiri dari berbagai literature bacaan koran, majalah, dan internet jika organisasi criminal kebanyakan saat ini dikendalikan para kelompok mafia yang biasanya sering melakukan modus penyamaran dengan berkedok sebagai “pengusaha” yang memiliki banyak perusahaan fiktif sehingga memang sangat sulit untuk tersentuh oleh tangan hukum. Kelompok mafia ini bermain sangat cantik dan elegan dengan kecenderungan sangat menipu yang terkadang juga memakai kedok membentuk yayasan sosial dari perusahaannya untuk selalu mendistribusikan bantuan kemanusiaan, memberi bantuan dana penelitian kepada ilmuwan dalam rangka membentuk citra positif dihadapan public masyarakat. Kelompok mafia ini juga memiliki profesi pekerjaan tertentu serta terhormat dan memiliki izin perusahaan secara resmi kepada negara dan terkadang perusahaan mereka juga memberi pemasukan pajak terhadap kas negara. Kejahatan individual biasanya sangat mudah dideteksi oleh pihak kepolisian karena tidak melibatkan banyak orang namun jika kejahatan korporasi sangat susah untuk dideteksi karena pemilik perusahaan biasanya berasal dari kalangan orang-orang terhormat dan terkenal, memiliki power (kekuasaan) yang cukup berpengaruh, dan memiliki hubungan relasi yang sangat baik dari para politikus, petinggi, dan pejabat yang memiliki kekuasaan di suatu negara tertentu yang menjadi ladang investasi bisnisnya. Fenomena kejahatan ini kemudian dikategorikan oleh  sosiolog criminal kenamaan yakni E. Sutherland dengan istilah “white-collar crime”. Melalui analisis studinya pada tahun 1939, Sutherland menganggap jika hukum dalam melakukan mekanisme kerjanya bersifat “tebang-pilih” dan sangat sulit menyeret mereka ke dalam pengadilan pidana karena ‘penjahat kerah putih’ mempunyai pengaruh kekuasaan yang kuat (powerfull). Hal ini menurut saya bisa dipahami karena 'penjahat kerah putih' mempunyai link koneksi dengan penguasa setempat serta memiliki lawyer (pengacara) handal dan mahal yang selalu siap melakukan lobi-lobi ke pengadilan dengan tebusan uang jaminan sebagai syarat pembebasan klien-nya apabila mengalami permasalahan hukum. Seorang tokoh sosiolog criminal Edward Ross juga menyebut istilah “white-collar crime” ini dengan sebutan “criminaloid” yang artinya kebal hukum. Dampak kejahatan korporasi criminal ini sangat besar pengaruhnya terhadap masyarakat luas seperti contoh kasus: Terjadi pada negara-negara Amerika Latin seperti Mafia Kolombia dan Mafia Meksiko yang melakukan kegiatan “Black Industry” yaitu industry-illegal seperti heroin, opium maupun jenis narkotika dan obat-obatan terlarang lainnya yang pendistribusiannya terkadang dimasukkan ke dalam produk kemasan makanan untuk menghindari pemantauan dan pemeriksaan dari pihak kepolisian negara setempat yang dibantu FBI Amerika Serikat yang hal ini marak terjadi di negara-negara kawasan tersebut bahkan sering ditemukan bangkai kapal selam di kawasan hutan Amazon dekat negara Brasil yang biasa digunakan para kelompok mafia ini untuk menyelundupkan narkotika melalui jalur bawah laut; monopoli industry pornografi yang dilakukan kelompok mafia Yakuza di Jepang yang hampir menguasai seluruh asset-aset industri pembuatan film porno Japan Adult Video dan bisnis pemerasan di negeri Sakura; Adanya beberapa perusahaan internasional yang melakukan kejahatan lingkungan dengan membuang limbah secara sembarangan ke lingkungan perairan negara tertentu dan pihak manajemen perusahaan menolak memberi kompensasi ganti rugi untuk menyelamatkan keuangan perusahaan dari kerugian yang lebih besar; Perusahaan yang melakukan kegagalan produk baik otomotif, kosmetika, obat-obatan, dan makanan yang ternyata sangat merugikan para konsumen yang hal ini langsung ditutup-tutupi oleh pihak manajemen perusahaan untuk mengamankan aset-aset perusahaan dari segala tuntutan hukum; dan kejahatan perbankan yang dulu pernah marak di Indonesia yaitu bankir-bankir nakal yang memiliki bank-bank swasta dan kemudian buron melarikan uang nasabahnya ke luar negeri setelah menerima bantuan BLBI ketika terjadi krisis moneter Asia tahun 1998. Tidak hanya pengusaha nakal saja tetapi para oknum birokrat pemerintah bisa terlibat dalam hal ini karena menerima suap dari para pengusaha yang ingin melicinkan urusan masalah bisnisnya. Kejahatan korporasi sangat merugikan rakyat karena membuat rakyat menjadi miskin dan kecenderungan terhadap bentuk-bentuk pemerintahan yang korup.



Akhir dari Korporasi Kejahatan?
K
ejahatan organisasi melalui bentuk kejahatan korporasi nampaknya masih sangat sulit diberantas di belahan bumi manapun walaupun tanpa perlu bersikap skeptis terhadap perubahan yang ada. Pengaruh dalam organisasi kejahatan sangat kompleks dan besar karena melibatkan system hukum dan ekonomi yang bekerja pada saat ini dari para pekerja, manajer, pengusaha, direksi, pemilik saham, pihak keamanan, pengacara, dan pemerintah apalagi situasi ini akan sulit jika harus menghadapi pada suatu rezim pemerintahan yang korup di suatu negara. Kelicinan organisasi kejahatan ini biasanya melakukan “cuci tangan” dengan mengorbankan beberapa anggotanya untuk menyelamatkan organisasi secara keseluruhan dan korbannya biasanya adalah anggota organisasi atau karyawan dari sebuah perusahaan korporasi kejahatan yang tidak memiliki kekuasaan (powerless) serta dituduh lalai dan merugikan orang banyak dan merusak citra nama baik perusahaan sehingga layak menerima tuntutan hukum dari masyarakat atau pemerintah. Kejahatan korporasi sulit untuk ditindak karena keberadaan perusahaan korporasi masih dianggap sendi nafas ekonomi dalam memperoleh pekerjaan dan menghidupi keluarga di masyarakat (bagi orang-orang yang berpikir realistis terkadang tidak mempedulikan hal ini karena tanggungan kebutuhan ekonomi yang sangat mendesak untuk kebutuhan keluarga jauh lebih penting!). Di luar negeri biasanya tindakan hukum terhadap perusahaan korporasi yang dianggap melanggar hukum biasanya dikenai tindakan tuntutan terhadap perusahaan korporasinya, korporasi bersama dengan pegawainya, atau pegawainya saja melalui konsep pengesahan (ratifikasi) dan pembiaran (tolerasi). Tampaknya pendapat dari ahli sosiologi hukum pidana (Chambliss dan Seidman) perlu menjadi renungan bahwa kejahatan bukan permasalahan amoralitas melainkan masalah yang bersifat politik, karena pembentukan undang-undang sering menjadi bagian dari kepentingan tangan panjang, lobi-lobi pendekatan dari kebutuhan social kelompok tertentu yang memiliki kekuasaan (di Amerika Serikat terkenal dengan istilah “Lobi Yahudi”). Hal ini yang saya lihat dari organisasi kejahatan yang memiliki korporasi yang sulit untuk tersentuh hukum karena lobi-lobi cerdas pengusaha korporasi tersebut kepada oknum agen pemerintah yang korup karena merasa memiliki kepentingan hukum atas perundang-undangan yang dibentuk oleh pemerintah untuk melanggengkan keuntungan perusahaannya. Nampaknya saya harus semakin rajin untuk menonton serial TV: “Law and Order”, “CSI: Criminal Scene Investigation”, dan “Criminal Mind” selama dalam proses memahami fenomena social ‘Anomalie’ dalam dunia kriminalitas terutama kejahatan korporasi ini nampaknya yang mulai berpola lintas negara dalam pengaruh arus globalisasi dan model capital flight. Godaan sumbangan kekayaan dari korporasi kejahatan lintas negara tersebut mungkin saja bisa menggoyahkan keimanan para oknum agen pemerintah yang selama ini mengalami kondisi kesulitan ekonomi karena faktor kecilnya gaji yang diperoleh tiap bulan dan mungkin saja bisa berbalik justru meningkatkan prinsip keyakinan suci dari para agen pemerintah yang masih bersikap terhormat dan bertanggung jawab terhadap kewibawaan negara untuk melawan dan tidak tergoda iming-iming penawaran dari sumbangan kekayaan dari pihak korporasi kejahatan sehingga praktek suap, kolusi, dan korupsi dapat diberantas. Semoga…
*Nur Bintang adalah alumnus pascasarjana sosiologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Sumber Referensi:
-Prof. Dr. I. S. Susanto., S.H. (tanpa tahun). “Diktat Kriminologi”. Purwokerto. Penerbit: Universitas Wijayakusuma.
-Prof. Frank Bovenkerk dan Prof. Michael Levi. et.al. (2007). “The Organized Crime Community: Essays in Honor of Alan A. Block”.  New York. Springer Science + Business Media Publisher.
-Haryatmoko. “Kekuasaan Melahirkan Anti Kekuasaan”. Basis edisi nomor 01-02, Tahun ke 51, Januari-Februari 2002.

Sabtu, 04 Agustus 2012

“FILSAFAT EKSISTENSIALISME: JEAN PAUL SARTRE”


L'homme est condamné à être libre
(Jean Paul Sartre)

Foto Filsuf Jean Paul Sartre



Ditulis oleh: Nur Bintang*


Tentang ‘Jean Paul Sartre’
Jean Paul Sartre (1905-1980) merupakan pemikir besar Perancis pada abad 20 walaupun beliau bukan seorang tokoh dalam pemikiran sosiologi tetapi Sartre mempunyai kharisma dalam ranah kajian ilmu-ilmu sosial. Sartre dilahirkan di Kota Paris, Perancis. Masa kecil Sartre bisa dibilang suram karena selama masa kecilnya Sartre selalu menjadi bahan olok-olokan oleh kawan-kawannya karena kondisi keterbatasan fisik dan penyakit yang dideritanya. Jean Paul Sartre atau lebih biasa dipanggil “Sartre” sudah dikenal sebagai seorang filsuf, psikolog, aktivis politik, dan sastrawan. Sartre adalah seorang pemikir jenius serba bisa karena beliau ahli dalam berbagai bidang disiplin ilmu sosial dan kajian budaya seperti psikologi, filsafat, sastra, drama, politik bahkan Sartre sempat mamenangkan hadiah nobel sastra tahun 1964 namun beliau dengan bijaksana menolaknya dengan alasan ingin bebas lepas dari pengaruh gelar prestisius dan bergengsi tersebut. Sartre menderita penyakit mata 'strabismus' atau mata juling ketika berusia 4 tahun dan secara fisik tubuh Sartre tidak seperti fisik tubuh orang Eropa kebanyakan kala itu yang tinggi besar, Sartre tergolong pendek dengan tinggi 160 cm walaupun demikian sampai saat ini pemikiran Sartre sudah sangat mempengaruhi para ilmuwan social se-antero penjuru dunia. Sartre menempuh pendidikan di Universitas Sorbonne, Perancis dalam kajian bidang filsafat dengan hasil studi yang dibilang standart (biasa) saja namun tidak dipungkiri jika Sartre sangat berbakat dalam dunia menulis sastra dan drama. Dalam karier perjalanan akademisnya, Sartre tidak terlepas juga dari pengaruh pemikiran filsuf wanita yang merupakan teman semasa kuliahnya dulu yaitu ‘Simone de Beauvoir’. Mereka saling jatuh cinta namun tidak berjodoh dan kemudian menjadi sepasang sahabat hingga akhir usianya. Makam Jean Paul Sartre dan Simone de Beauvoir sampai saat ini diletakkan bersama dan saling berdampingan untuk mengenang keharmonisan mereka berdua dalam membangun tradisi pemikiran-pemikiran filsafat kepada dunia.

Invansi Nazi-Jerman saat menduduki Perancis

Perjalanan Ranah Intelektual Sartre
Sartre sempat belajar mengenai filsafat fenomenologi yang sangat berpengaruh pada perkembangan ilmu psikologi dan ilmu sosiologi yaitu metode yang memperlihatkan ciri-ciri subjektif dari kesadaran dan struktur obyektifnya dan menghasilkan ‘deskripsi’ mengenai tindakan kesadaran yang dicetuskan oleh filsuf Edmund Husserl (Bapak Fenomenologi) di Berlin, Jerman yang hidup pada tahun 1859-1938. Sartre setelah menyelesaikan studi kemudian kembali ke Perancis dan memasukkan pemikiran fenomenologi ke dalam karya novel sastranya yang berjudul “Nausea” dan buku filsafat “The Psychology of the Imagination”, “Transcendence of The Ego”. Sartre sempat mengikuti wajib militer menjadi tentara Perancis ketika pemimpin fasis Nazi, Jerman yakni Adolf Hitler menyatakan perang kepada Perancis dan menginvansi Perancis pada Perang Dunia II. Perancis kalah perang dari Jerman bahkan tentara Nazi Jerman berhasil memasuki dan menduduki Kota Paris, Perancis hingga banyak tentara Perancis yang menyerah, melarikan diri, dan bahkan menjadi tawanan perang dan dimasukkan ke dalam kamp-kamp tahanan Nazi di Jerman. Pada saat menjadi tahanan Jerman, Sartre produktif menulis dan menghasilkan beberapa karya sastra novel “The Age of Reason” dan karya filsafat yang berjudul “Being and Nothingness”. Sartre berhasil melarikan diri dari kamp tahanan Nazi di Jerman ketika bulan Maret 1941 dan kembali ke Kota Paris kemudian bekerja sebagai dosen (guru besar) di Lycee Condorcet dan Lycee Pasteur di Kota Paris. Sartre setiba di Paris sering bergabung ke dalam kelompok intelektual Perancis yang sering nongkrong di café-café pinggiran Kota Paris bersama filsuf Simone de Beauvoir, sastrawan Albert Camus, dan seniman Pablo Picasso. Pemikiran Sartre pada akhir Perang Dunia II di saat kejatuhan dan kekalahan Nazi Jerman oleh sekutu mulai berkembang luas dan memperoleh perhatian dari publik di Perancis sendiri. Masyarakat Perancis berbondong-bondong membaca dan mempelajari buku-buku sastra dan filsafat yang ditulis oleh Sartre. Sartre sendiri akhirnya mencetuskan “Filsafat Eksistensialisme” dan menganggap dirinya sebagai penganut Atheis yang menolak keberadaan Tuhan. Pengakuan Sartre sebagai seorang penganut Atheis menimbulkan polemik dan kontroversial bagi publik di Perancis sendiri bahkan tokoh pemikir sosiolog Yahudi-Jerman tradisi Mahzab Frankfurt (Frankfurt School) yakni Max Horkheimer (1895-1973) menentang gagasan ‘eksistensialisme’ yang diusung Sartre karena menolak keberadaan Tuhan. Max Horkheimer sebagai seorang ilmuwan social yang religius tetap berpegangan bahwa Tuhan adalah jalan hidup pegangan manusia yang memegang makna dan moralitas mutlak. Sartre sendiri pada dasarnya tidak konsisten dengan tesis pemikirannya mengenai ‘filsafat eksistensialisme’ karena beralih ke paham ‘marxisme’ serta merapat ke partai komunis yang diusung Uni Soviet walau tidak begitu lama karena kekecewaan Sartre terhadap penindasan marxisme ortodoks Kremlin di Rusia (Otoritas Uni Soviet) kala itu yang menginvansi Chekoslovakia. Sartre selang tidak berapa lama kemudian menyatakan berhenti sebagai seorang Marxis kepada seluruh publik di Perancis.

Filsuf Sartre bersama tokoh revolusi Kuba yakni 'Che Guevara'. 
Sartre mengakui dalam memoarnya bahwa 'Che Guevara' merupakan
sosok inspirasi yang menjadi tokoh idolanya

Filsafat Eksistensialisme ala Sartre
Eksistensialisme lebih dulu dipikirkan oleh filsuf asal Denmark yaitu Soren Kierkegaard (1813-1855), seorang radikal Kristen sebagai “Bapak Eksistensialisme” yang menganggap kepercayaan kepada Tuhan hanyalah menjadi sebuah kepercayaan yang tak akan pernah menjadi data logis secara ilmiah diantara manusia dengan Tuhannya. Eksistensialisme menurut Sartre memang berbeda dari pendahulunya karena Sartre beranggapan jika eksistensialisme adalah eksistensi lebih dulu ada dibanding esensi. Maksudnya “Tidak ada hakikat sesuatu karena tidak ada yang menciptakannya”. Eksistensialisme adalah “Manusia bagaimana menjadi dirinya sendiri” serta realitas manusia terlahir sebagai individu yang bebas, sebebas-bebasnya dalam melakukan tindakan serta menentukan hidupnya sendiri. Sartre beranggapan bahwa musuh sesungguhnya manusia bukanlah iblis, setan, atau neraka melainkan ‘sesama manusia’ dan menganggap awal kejatuhanku adalah eksistensi orang lain (Neraka adalah orang lain). Inti pemikiran filsafat eksistensialisme dari Sartre secara ekstrim adalah ‘kebebasan individual adalah total’ dan ‘kebebasan ditentukan dan dibatasi oleh keadaan’. Pemikiran kontroversial dari Sartre yang menimbulkan polemik yaitu menganggap eksistensi manusia akan hilang ketika manusia mempercayai Tuhan. Sartre pernah berkata, "Pada dasarnya manusia adalah keinginan untuk menjadi" (kebebasan yang sama atas yang pernah dicita-citakan oleh filosof Yunani yakni Aristoteles dahulu). Keinginan untuk menjadi ini berkaitan dengan bentuk-bentuk keinginan alami yang dimiliki manusia seperti: cinta, seks, nafsu, cemburu etc. Jadi kebebasan adalah sumber yang diperlukan manusia untuk menjadi dirinya sendiri. Eksistensialisme dalam pemikiran Sartre membahasa tentang keber-ADA-an manusia yang dihadirkan melalui bentuk kebebasan. Jika manusia ingin hidup bebas, merdeka lepas dari belenggu kungkungan maka menghilangkan eksistensi Tuhan harus bisa dilakukan karena kepercayaan terhadap Tuhan dianggap telah menghilangkan eksistensi keberadaan manusia yang sesungguhnya. Seorang eksistensialis menganggap universalitas manusia adalah kebebasan itu sendiri dan batasan kebebasan setiap manusia adalah kebebasan manusia yang lain. Inti penting dari filsafat eksistensialisme Sartre ialah membuat, memutuskan atas kemauan dan kesadaran diri sendiri, dan memiliki kesadaran untuk mau mengambil pilihan putusannya tersebut secara bertanggung jawab tanpa ada tekanan atau intervensi dari pihak lain. Contoh: Seorang anak yang baru lulus sekolah SMA memutuskan untuk melanjutkan studi ke universitas dengan mengambil jurusan ilmu sosiologi ketimbang mengambil jurusan ilmu tekhnik atau jurusan ilmu kedokteran karena keyakinan anak tersebut akan kemampuan dirinya sendiri bahwa jurusan ilmu sosiologi adalah yang cocok untuk bekal masa depannya walaupun orang tua terus menghimbau anaknya untuk memilih jurusan kedokteran tetapi anak tersebut tetap kokoh dengan pendiriannya untuk tetap memilih jurusan ilmu sosiologi sebagai studi lanjutnya di universitas.


V  for Vendetta..!


Aktivitas Politik ‘Jean Paul Sartre’
Sartre melakukan banyak kegiatan aktivitas politik selama di Perancis dan pada tahun 1968 mendukung demonstrasi-demonstrasi yang dilakukan mahasiswa untuk menentang otoritas pemerintah Perancis. Sartre mendukung perjuangan revolusi Kuba yang dilakukan Fidel Castro dan Che Guevara bahkan Sartre secara terang-terangan mendukung perjuangan revolusioner Aljazair untuk merdeka dan terlepas dari penjajahan Perancis. Akibat dukungannya terhadap Aljazair tentu sangat berdampak tidak menguntungkan bagi kehidupan Sartre sendiri selama hidup di Perancis. Sartre hidup dalam tekanan, ancaman pembunuhan, dan terror dari pihak-pihak yang menentang lepasnya Aljazair dari Perancis sebagai bagian koloni jajahan Perancis. Sartre menjelang akhir hidupnya melakukan pola gaya hidup tidak sehat dengan terlalu banyak mengkonsumsi minuman beralkohol, rokok, hingga obat-obatan terlarang. Sartre kemudian jatuh sakit parah hingga beberapa organ tubuhnya harus diamputasi ditambah lagi kondisi matanya yang mengalami kebutaan. Filsuf besar Perancis yakni Jean Paul Sartre kemudian menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 15 April 1980. Sekitar 50.000 pelayat memadati jalan-jalan di Kota Paris untuk memberi penghormatan terakhir kepada Sartre. Filsafat Eksistensialisme dari Sartre kemudian lambat laun pudar dengan marak hadirnya pemikiran Strukturalisme dan Post-Strukturalisme (Post-Modern) yang berkembang di Perancis yang diusung ilmuwan sosial Perancis yakni sosiolog "Michel Foucault", sosiolog "Pierre Bourdieu", dan filsuf Yahudi "Jacques Derrida" asal Aljazair yang bermukim di Perancis.

Tanggapan saya (Nur Bintang) atas tafsir filsafat eksistensialisme Sartre:


Walau pengaruh eksistensialisme agak mulai pudar di Perancis dengan hadirnya mahzab filsafat Post-Strukturalisme (Post-Modernisme) yang sangat berkembang di Perancis namun hal tersebut tidak melunturkan semangat eksistensialisme bagi masyarakat di Perancis itu sendiri. Hal ini dapat dilihat dari beberapa survei yang pernah dilakukan beberapa lembaga riset yang melakukan penelitian tentang religiusitas masyarakat di Eropa terutama di Perancis dengan mengambil sampel populasi yang hasilnya cukup mengejutkan bahwa semakin berkembangnya penduduk Eropa Barat terutama Perancis yang berpindah agama dengan memeluk Islam dan menjadi seorang muslim namun di sisi lain semakin banyak juga masyarakat di Eropa termasuk Perancis yang kini banyak menganut paham Atheis (tidak mempercayai Tuhan) dengan berpikir rasional bahkan hingga dengan hasil jumlah 95% dari jumlah responden yang dijadikan sampel penelitian (fenomena sosial di Perancis saat ini). Saya sebagai penulis menganggap jika filsafat eksistensialisme Sartre yang dulu sangat berpengaruh di Perancis kini masih terasa dampaknya di Perancis hingga sampai saat ini. Kondisi di Perancis saat ini tidak terlepas dari sejarah Eropa terutama di Perancis itu sendiri yang pernah mengalami masa transisi dari "Abad Kegelapan" menuju "Abad Renaissance" (abad 12-abad 17) ketika kekuasaan monarkhi kerajaan di Eropa berkongsi dengan otoritas gereja secara absolut hingga masalah-masalah ilmiah yang seharusnya diputuskan oleh ilmuwan-ilmuwan dan para filosof saat itu di Eropa justru berada di bawah tekanan dominasi kekuasaan gereja bahkan pihak otoritas gereja di Eropa kala itu dengan berani menghukum para cendekiawan yang pemikirannya dianggap bertentangan/berseberangan dengan ajaran-ajaran dogma agama yang telah menjadi pedoman garis dari pihak otoritas gereja saat itu. Contoh: Galileo (ilmuwan Italia) yang dihukum dan diasingkan seumur hidup oleh otoritas gereja pada masa itu yakni Paus Urbanus VIII karena mendukung teori Copernicus bahwa bumi mengelilingi matahari. Hal tersebut sangat ditentang pihak otoritas gereja saat itu yang menganggap bahwa matahari-lah yang mengelilingi bumi. Puncak kebencian masyarakat Perancis terhadap keserakahan kekuasaan bangsawan, raja dan penyalahgunaan wewenang pendeta atas nama dogma agama dalam bingkai otoritas gereja saat itu yang terkesan sangat absolut dan menindas rakyat maka timbul perlawanan rakyat Perancis melalui jalan "Revolusi Perancis" pada tanggal 14 Juli 1789 dengan menyerbu penjara Bastille, menyerang istana kerajaan, menangkapi semua para bangsawan dan Raja Perancis saat itu yakni Louis XVI beserta istrinya Marie Antoinette yang dianggap merugikan rakyat dengan bergaya hidup mewah di atas penderitaan rakyat dengan menghamburkan banyak keuangan negara, serta menyerang gereja dengan tujuan menjatuhkan serta mengakhiri semua kekuasaan feodalisme raja, bangsawan, dan kemunafikan pendeta yang gemar menumpuk kekayaan. Revolusi Perancis meletakkan kekuasaan atas nama rakyat di atas segala-galanya dengan menghapus sistem monarkhi kerajaan lalu menggantinya menjadi sistem pemerintahan republik di Perancis. Basic sejarah Perancis itu juga mempengaruhi Sartre untuk melepas pemikiran rasional filsafat dari pengaruh dogma-dogma agama, terlepas dari Tuhan yang dianggap telah mematikan eksistensi individu dalam berpikir secara luas dan bebas hingga mencetuskan "Filsafat eksistensialisme". Pada awalnya saya berpikir tidak setuju dengan thesis eksistensialisme Sartre lalu kemudian saya merenung jika alangkah baiknya jika manusia melakukan sintesis antara rasional filsafat dengan agama seperti apa yang dilakukan para filosof pendahulu kita yakni filosof besar Islam yakni Ibnu Rusyd yang melakukan sintesis rasionalitas filsafat Aristoteles dengan spirit dalam tradisi agama Islam dan juga filosof besar Yahudi di Andalusia (Spanyol) yaitu Moses Maimonides yang mensintesiskan rasionalitas filsafat Aristoteles dengan tradisi agama Judas, serta Thomas Aquinas seorang filsuf, teolog, pendeta Nasrani pada abad pertengahan di Eropa yang juga memasukkan sintesis rasionalitas filsafat Aristoteles ke dalam ajaran-ajaran agama Nasrani sehingga agama sebagai moralitas mutlak dapat berjalan berdampingan dengan etika rasionalitas dalam kajian filsafat sehingga pemikiran Thomas Aquinas mempunyai pengaruh besar dalam masa abad pencerahan (renaissance) di Eropa pada saat itu. Harapan penulis agar kita dapat berpikir secara logis dan rasional dari kajian ilmu filsafat dengan tetap menjadi seorang yang memiliki agama dan religius dan menepis anggapan bahwa untuk menjadi seorang berfikir rasional dan logis harus melepaskan atribut basis keagamaan itu sendiri seperti yang dilakukan Jean Paul Sartre yang menganggap dirinya sebagai seorang Atheis (menolak keberadaan Tuhan). Saya sebagai penulis menyerahkan eksistensialisme pembaca sendiri untuk tetap melakukan kemerdekaan berpikir secara logika dengan agama atau melakukan kemerdekaan berpikir secara logika dengan melepaskan agama. Semua pilihan tersebut adalah eksistensialisme dari pembaca sendiri. Semoga... []

*Nur Bintang adalah alumnus pascasarjana sosiologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Sumber Referensi:
-Donal D. Palmer. (2003). “Sartre Untuk Pemula”. Yogyakarta. Penerbit: Kanisius.
-Jean Paul Sartre. (2002). “Seks dan Revolusi”. Yogyakarta. Penerbit: Yayasan Bentang Budaya.
-Korrie Layun Rampan. (2005). “Tokoh-Tokoh Cerita Pendek Dunia”. Jakarta. Penerbit: PT. Grasindo.